Realitas Perjalanan Malam dan Kenaikan Nabi Muhammad ke langit
(Isro' Mi'roj) dengan jiwa dan raga, dan tidak dalam keadaan tidur.
Sebagian besar sahabat mempercayai bahwa baginda telah pergi pada Perjalanan Malam (Isro’ Mi’roj) dengan jiwa dan raga baginda serta dalam keadaan terjaga. Peristiwa tersebut benar-benar nyata, dan banyak Sahabat yang telah melaporkannya, diantaranya adalah Ibnu Abbas, Jabir, Anas, Hudzaifah, Umar, Abu Hurairah, Malik bin So'soa, Abu Habba AlBadri, Ibnu Mas'ud, Dohhak, Said bin Juber, Qotada, Ibnu Musayyab, Ibnu Shihab, Ibnu Zaid, Hasan, Ibrohim, Masruq, Mujahid, Ikrimah dan Ibnu Juraij.
Allah berfirman: "Maha Suci Dia yang telah memperjalankan penyembah-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram (Mekah) sampai Masjidil Aqso (Yerusalem) yang Kami telah memberkati sekelilingnya untuk memperlihatkannya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Isro',17:1)
Didalam ayat diatas terdapat kata "Hambahnya" (yakni jiwa dan raga). Andaikan (kata tersebut adalah) "ruh hambanya" berarti baginda dalam keadaan tidur. Maka menjadi jelas dan nyata bahwa baginda melakukan Perjalanan Malam dengan jiwa raga baginda serta dalam keadaan terjaga.
Bukti lainnya adalah Firman Allah dalam surah An-Najm (53) ayat 17, "Pandangannya tidak membelok dan tidak melampaui." Pandangan merupakan bagian dari tubuh manusia, bukan bagian dari jiwa.
Mengenai hal-hal tertentu yang ditanyakan kepada baginda, Abu Hurairah memberitahu bahwa baginda bersabda, "Orang-orang Quraisy menanyaiku tentang Perjalananku. Mereka menanyakan kepadaku perkara-perkara yang tidak kuingat, sehingga kesusahan menyelimutiku aku sama sekali tidak pernah sesusah itu, kemudian Allah mengangkatnya dihadapanku, jadi aku pun melihatnya." (maka baginda bisa menjawab pertanyaan mereka)."
Bantahan bagi yang mengatakan bahwa Isro’ Mi’roj hanya sebuah mimpi
(Sisipan Syeikh Darwish: Ada beberapa orang yang hidup berabad-abad setelah terjadinya Isro' Mi'roj, mengatakan bahwa peristiwa Isro' Mi'roj hanyalah mimpi. Untuk mendukung pendapatnya, mereka mengutip ayat, "Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai fitnah bagi manusia." (Al-Isro',17:60). Oleh karena itu, mereka menyebut Perjalanan Malam dan Pendakian (Isro' Mi'roj) sebagai sebuah mimpi, namun ayat pertama surah Al-Isro' telah menggugurkan pendapat mereka, sebab Allah berfirman, "Maha Suci Dia yang telah memperjalankan penyembah-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram (Mekah) sampai Masjidil Aqso (Yerusalem) yang Kami telah memberkati sekelilingnya untuk memperlihatkannya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Isro',17:1) Dari ayat ini maka tak seorangpun dapat mengucap bahwa Perjalanan Malam terjadi ketika baginda sedang tidur. Dan lagi, kata "fitnah" didalam surah Al Isro' ayat 60 juga membuktikan, apa yang dilihat oleh baginda akan menjadi fitnah (ujian) bagi manusia, sedang penglihatan mata dalam sebuah mimpi tidak akan menjadi fitnah. Tak ada seorang pun akan menyangkal sebuah mimpi tak peduli betapapun jauhnya suatu perjalanan!)
Allah berfirman, "Dan Kami tidak menjadikan penglihatan yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai fitnah bagi manusia." (Al-Isro',17:60)
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan keputusan yang diambil oleh Nabi Muhammad (setelah baginda bermimpi pergi ke Mekah) di suatu tempat bernama Hudaibiyah, dan berkaitan dengan kekecewaan kaum Muslimin yang dihalangi orang-orang Quraisy untuk menjalankan haji.
Orang-orang yang mengatakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di alam mimpi, telah mengutip ayat diatas untuk mendukung pendapat mereka (padahal ayat diatas terkait dengan peristiwa Hudaibiyah, dan tidak berhubungan dengan Isro’ Mi’roj) dan mereka memilih untuk mengabaikan ayat pertama surah yang sama, yang secara jelas berbicara tentang Perjalanan Malam.
Allah Berfirman, "Maha Suci Dia yang telah memperjalankan penyembah-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram (Mekah) sampai Masjidil Aqso (Yerusalem) yang Kami telah memberkati sekelilingnya untuk memperlihatkannya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Isro',17:1)
Para pembantah yang mengatakan bahwa Isro’ Mi’roj tidak terjadi secara nyata melainkan hanya mimpi, juga mengabaikan fakta bahwa Abu Bakar, khalifah pertama, segera menerima peristiwa nyata tersebut dan tidak pernah menafsirkan sebaliknya.
Kata berbahasa Arab "ru'yah" bermakna: melihat secara nyata, dan bukan sebuah mimpi.
Di permulaan surah Al-Isro’ (Perjalanan Malam), Allah telah berfirman, "Maha Suci Dia yang telah memperjalankan penyembah-Nya (Muhammad) pada suatu malam." (Al Isro, 17:1) ayat ini telah menyangkal pendapat orang yang menganggap Isro’ Mi’roj sebagai mimpi, karena tak seorangpun akan mengatakan bahwa orang yang tidur dapat melakukan suatu perjalanan malam.
Sebagai kesimpulan, jika Isro’ Mi’roj terjadi didalam mimpi, orang-orang kafir tidak akan pernah menyanggahnya. Orang yang menganggap Isro’ Mi’roj terjadi didalam mimpi berarti mereka telah menggugurkan Prinsip Pokok Keislaman seperti kewajiban solat; pertemuan baginda dengan para nabi mulia yang sekaligus menjadi imam solat mereka; Malaikat Jibril yang datang dan membawa baginda naik menggunakan Buroq, yang juga dipakai oleh para nabi sebelumnya, dsb.
Apakah Nabi Muhammad telah melihat Sang Penguasa?
(Syekh Darwish menambahkan: Pernyataan Ibnu Abbas mengacu pada status Nabi yang dijamin masuk Surga dan juga telah memasuki Surga pada saat Isro' Mi'roj. Jadi, Nabi melihat-Nya dengan mata Surga seperti halnya ketika kelak di Kehidupan Abadi (akhirat) mereka yang masuk Surga akan melihat-Nya. Bunda Siti Aisyah, di sisi lain, mengambil sumber acuan yang sebaliknya. Nabi tidak melihat-Nya, karena tidak ada penampakan fisik seperti halnya orang-orang kafir Mekah melihat patung mereka, dan karena Allah tidak bertempat.
Allah berfirman, "maka diwahyukan kepada penyembah-Nya apa yang diwahyukan". Allah mewahyukan kepada Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, Kehebatan Kerajaan Gaib-Nya di mana baginda telah melihat dan menyaksikan kebesaran alam malaikat yang tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata dan tidak mungkin bagi akal manusia untuk bertahan melihat atau mendengarnya, bahkan dalam atom terkecil sekalipun.
Hendaknya disadari bahwa Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, diberi kekuatan yang jauh melebihi kita. Misalnya baginda diberi kekuatan dan daya untuk menerima intensitas Wahyu, menyaksikan zikirnya para malaikat, Perjalanan Malam dari Mekah ke Yerusalem ketika baginda diangkut oleh Buroq dengan kecepatan cahaya dan sesudah itu baginda naik sampai ke langit hingga batas terjauh.
Mengenai kebutuhan sehari-hari, baginda memberitahu para Sahabatnya bahwa Allah telah memberinya makan dan minum, dan walaupun matanya tidur hatinya selalu terjaga, kesemuanya itu diluar jangkauan kita. Keberkatan luar biasa dari Allah ini berada jauh diluar jangkauan daya pemahaman kita, dan jika coba-coba memahaminya maka akal pikiran akan menjadi lumpuh. Fakta ini penting dipahami sebelum melangkah maju ke hadis riwayat bunda Siti Aisyah dan Ibnu Abbas sehubungan dengan melihat Penguasanya).
Pendapat generasi pertama umat Islam (para Sahabat) bervariasi, apakah Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, melihat Sang Penguasa, ataukah tidak. Diantara yang menyangkal adalah Bunda Siti Aisyah, semoga Allah meridhainya, ketika ditanya oleh Masruuq, "Wahai Ibu orang-orang beriman, apakah Muhammad melihat Penguasanya?" Bunda Aisyah menjawab, "Berdiri rambutku pada apa yang kamu katakan. Ada tiga perkara, barangsiapa mengabarimu ketiganya maka benar-benar telah berdusta. Barangsiapa mengabarimu bahwa Muhammad melihat Penguasanya maka benar-benar telah berdusta. Kemudian bunda membaca ayat, 'Tidak ada mata yang dapat melihat-Nya," (Al-An'am,6:103)...dst."
Ibnu Mas'ud juga mengatakan hal yang serupa dengan Bunda Siti Aisyah.
Sedangkan Sahabat lainnya memiliki pendapat yang berbeda.
Ibnu Abbas, semoga Allah meridhainya, menyatakan, "Baginda melihat Dia dengan mata kepala baginda." Pendapat Ibnu Abbas ini sangat terkenal dikalangan para ulama'.
(Pernyataan Ibnu Abbas dan Siti Aisyah tidak saling bertentangan, namun masing-masing memandang penglihatan tersebut dari aspek yang berbeda).
Pendapat yang paling diterima adalah bahwa Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, secara nyata memang telah melihat sang Penguasa dengan mata kepala baginda (berarti dengan Mata Surga). Banyak sekali riwayat yang menyebutkan pernyataan Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas juga menarik perhatian kita dengan mengingatkan bahwa Allah mengistimewakan Nabi Musa, kesejahteraan atasnya, dengan pembicaraan (tanpa pendengaran maupun suara) dan Nabi Ibrahim, kesejahteraan atasnya, dengan Persahabatan dekat, sedangkan Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, terpilih untuk dapat melihat-Nya.
Bukti yang mendukung pendapat tersebut adalah, "Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya; apakah kamu hendak membantah apa yang telah dilihatnya; Sungguh dia telah melihatnya. (nya bisa merujuk pada Allah, bisa pula pada malaikat Jibril) pada pendaratan yang lain." (An-Najm, 53:11-13)
Abdur Rozzaq memberitahu kalau Hasan Basri bersumpah atas nama Allah bahwa Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, telah melihat Penguasanya. Ketika Abu Hurairah ditanya, "Apakah Nabi Muhammad melihat Penguasanya?" Abu Hurairah menjawab, "Ya."
Hadis sahih terkait dengan baginda melihat Penguasanya sangat banyak. An-Naqqosh memberitahu bahwa Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Arti pernyataan Ibnu Abbas adalah bahwa baginda telah melihat-Nya dengan kedua mata baginda." Imam Ahmad bin Hambal mengulangi kalimatnya berkali-kali sampai hampir kehabisan nafas.
Sa’iid bin Jubair berkata, "Saya tidak mengatakan baginda telah melihat-Nya dan saya tidak mengatakan baginda tidak melihat-Nya."
Ibnu Abbas, Ikrima, Hasan AlBasri, Ibnu Mas’ud berbeda dalam penafsiran mereka. Ibnu Abbas dan Ikrimah berkata, "Baginda telah melihat-Nya dengan hati baginda." Sementara Hasan Al-Basri dan Ibnu Mas’uud berkata, "Baginda telah melihat Jibril." Abdullah bin Ahmad mengatakan bahwa ayahnya mengatakan, "Baginda telah melihat-Nya."
Ibnu Atho’ menarik perhatian kita pada ayat, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu untukmu." (Al-Insyiroh,94:1), dan mengatakan ini berarti bahwa Allah melapangkan dada baginda dalam rangka untuk melihat-Nya dan Dia melapangkan dada Musa untuk Pembicaraan.
Abu Hasan Al-Ashori dan kawan-kawan beliau berkomentar bahwa baginda telah melihat Allah dengan mata fisik baginda, dan mereka berkata, "Setiap nabi diberi tanda. Nabi kami juga diberi tanda. Baginda dipilih dari mereka semua dengan keistimewaan bisa melihat-Nya." Seorang ilmuwan Islam merasa segan berkenaan hal tersebut dan berkata, "Tidak ada bukti yang jelas baginda telah melihat-Nya, namun hal itu bisa saja terjadi."
Dalam kehidupan ini, sangat mungkin bagi baginda untuk melihat Allah, ini merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Secara akal, tidak ada yang membuatnya tidak mungkin (kecuali menjelaskan Allah secara fisik, dalam hal ini menjadi tidak mungkin).
Bukti pendukung bahwa baginda sangat mungkin melihat Allah, bisa diingat pada peristiwa Nabi Musa yang pernah meminta untuk melihat-Nya. Mustahil seorang nabi tidak tahu apa yang jaiz (boleh / wenang) untuk Allah, dan apa yang jaiz untuk dirinya. Nabi Musa tentunya hanya akan meminta sesuatu yang diperbolehkan, bukan sesuatu yang mustahil. Faktanya, perihal melihat Allah dan perihal nabi Musa menyaksikan Allah dianggap sebagai perkara gaib, dan tak seorang pun kecuali seseorang yang diajarkan oleh Allah memiliki pengetahuan semacam itu.
Allah memberitahu nabi Musa, "Kamu tidak akan melihat-Ku, akan tetapi lihatlah kepada gunung, jika tetap kokoh ditempatnya, maka kamu akan melihat-Ku." (Al-A'rof,7:143). Ini berarti Nabi Musa tidak akan sanggup melihat Allah. Lalu dibuatlah perumpamaan bagi beliau dengan menjadikan gunung yang secara fisik jauh lebih kokoh dan lebih kuat daripada nabi Musa, menjadi hancur lebur dan rata dengan tanah.
Mengenai ayat, "Tidak ada pandangan yang dapat mencapai-Nya." (Al-An'am,6:103)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa (secara fisik) pandangan tidak akan mencapai-Nya.
Tidak ada ayat yang menyatakan mustahil bisa melihat-Nya. Meski ada beberapa penafsiran yang berbeda-beda tetap tidak mengungkap bahwa melihat Allah adalah hal yang mustahil.
Tidak peduli pendapat mana yang anda baca, hendaknya dimengerti, seperti semua Sahabat baginda, mereka tidak pernah mengkira-kirakan ukuran Allah. Para Sahabat tidak pernah mengatakan bahwa Allah mempunyai ukuran fisik, dimensi, lokasi, maupun berada pada suatu tempat dan waktu.
Kesimpulannya, tidak ada alasan bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad melihat Allah dalam kehidupan ini, dan lagi tidak ada dalil yang membuktikan dan menyangkal hal itu terjadi pada baginda. Jadi yang terbaik adalah pasrah kepada Allah semata yang Maha Mengetahui segala sesuatu di dunia dan di akhirat.
Percakapan Nabi Muhammad dengan Allah Yang Maha Tinggi
Bahan rujukan untuk peristiwa menakjubkan sewaktu Isro’Mi’roj, tampak dalam ayat, "Maka (Allah) mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang Dia wahyukan." (An-Najm,53:10). Sebagian besar pakar keislaman mengatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Malaikat Jibril. Dari Malaikat Jibril kemudian sampai kepada Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya.
Diperbolehkan untuk mengatakan bahwa Allah telah berbicara kepada Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya (tanpa perantaraan malaikat Jibril), karena dalam hukum Islam tidak ada yang secara pasti tidak memperkenankan hal tersebut terjadi kepada baginda maupun kepada para nabi terpilih lainnya. Jika ada hadis sahih yang tidak memperkenankan terjadinya pembicaraan tersebut, tentu akan dijadikan sebagai sandaran dan bahan rujukan.
Terdapat fakta bahwa Allah telah berbicara kepada Musa. Buktinya secara jelas ada didalam ayat yang berbunyi, "Dan Allah telah berbicara pada Musa dengan Pembicaraan." (An-Nisa', 4:164).
Allah mengangkat posisi Musa ke langit keenam, dengan sebab Pembicaraan dari Allah tersebut. Adapun Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, Allah mengangkat baginda melebihi posisi itu, hingga mencapai suatu tingkatan dimana baginda bisa mendengar Goresan Pena. Karenanya, bagaimana bisa seseorang menyatakan berbicara dengan Allah adalah hal yang mustahil, maupun menyatakan bahwa baginda tidak mungkin bisa mendengar Firman Allah? Maha Suci Dia yang mengkhususkan siapapun yang Dia pilih untuk apapun yang Dia kehendaki, dan mengangkat beberapa nabi diatas nabi yang lainnya!
Telah dekat dan kedekatan Nabi Muhammad
Pujian dan kesejahteraan atasnya
Ada beberapa penjelasan untuk berbagai riwayat dan kutipan kenabian terkait semakin dekatnya baginda dan dekatnya baginda selama Isro’ Mi’roj, dimana Allah berfirman, "Kemudian dia telah dekat, lalu bertambah dekat; maka menjadi dua ujung busur panah atau lebih dekat." (An-Najm,53:8-9). Sebagian besar ahli tafsir telah menjelaskan, ayat tersebut merujuk kepada Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, yang 'telah dekat' dan 'bertambah dekat' ke Malaikat Jibril atau sebaliknya, atau salah satu dari keduanya dekat ke Sidrotul Muntaha.
Rozi menceritakan bahwa Ibnu Abbas telah berkata: ''Baginda Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, telah dekat dan menjadi dekat dengan Penguasanya.''
Hendaknya dipahami bahwa 'Bertambah dekat' dan 'kedekatan', 'dari' atau 'kepada' Allah, bukanlah dekat seperti di alam manusia yang dibatasi tempat, ruang dan waktu, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan.
Semakin dekatnya Nabi Muhammad kepada Penguasanya dan kedekatan kepada-Nya, mempunyai arti keagungan kedudukan baginda, kemuliaan peringkat baginda, kemegahan cahaya pengetahuan baginda yang telah menyaksikan rahasia alam gaib dan kekuasaan Allah, serta kebaikan, kesejukan dan kemurahan yang datang kepada baginda dari Allah.
Berkenaan dengan kata-kata Nabi, "Penguasa kami turun ke langit dunia" maka harus ditafsiri untuk bisa memahami perkataan tersebut. Salah satu pendapat mengatakan maknanya adalah penganugerahan karunia, keindahan, penerimaan dan kemurahan... dan demikian pula pada ayat yang berbunyi,
Pada bagian ayat yang berbunyi, "Maka adalah (jaraknya) seperti jarak dua ujung busur panah atau lebih dekat." Kesepakatan ulama adalah hal itu merujuk pada Malaikat Jibril, berarti secara lahiriah Nabi dekat pada Malaikat Jibril.
(Sisipan Syeikh Darwish: Lebih sedikit para ulama yang mengatakan kalau ayat tersebut merujuk kepada Allah, bagaimanapun, penafsiran mereka didasarkan pada pemahaman akan hadis Qudsi dimana Allah berfirman, "Barangsiapa datang mendekat kepada-Ku sejengkal, aku datang mendekat kepadanya sehasta." Ini berarti para ulama meniadakan jarak dan arah secara fisik dengan membuat contoh tersebut.)
Pada uraian sebelumnya, hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas mempunyai makna bahwa Nabi telah melihat Allah dengan mata Surga.
Adapun para Sahabat, mereka meyakini pernyataan Allah bahwa Dia tidak seperti makhluk manapun yang telah diciptakan-Nya. Tidak terlintas sedikitpun dibenak mereka bahwa Dia memiliki bagian tubuh yang dapat diperbandingkan dengan manusia. Mereka juga tidak berusaha menafsirkan Hadis Qudsi-Nya karena penjabaran tentang-Nya diluar jangkauan setiap manusia. Satu-satunya kesamaan hanyalah dalam pengucapan kata-kata saja bukan dalam artinya.
Di abad-abad selanjutnya, ketika para ulama berhadapan dengan peradaban yang berbeda di mana terdapat dewa-dewa yang lekat pada dimensi, waktu, lokasi dan sifat keduniawian lainnya, para ulama Muslim tidak goyah dalam keyakinan mereka bahwa tidak ada yang seperti Allah, juga tidak memperinci secara detail, tapi ketika situasi perlu untuk ditangani, mereka secara ringkas mengelakkan perkara-perkara semacam itu sebagai Sifat-sifat-Nya seperti Kekuasaan, Rahmat, Kebaikan dan sebagainya
Tidak ada kontradiksi dalam dua pernyataan antara Siti Aisyah dan Ibnu Abbas. Siti Aisyah mengacu pada fakta bahwa Nabi tidak melihat Allah di sebuah tempat dan arah, sedangkan Ibnu Abbas merujuk fakta bahwa Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, melihat-Nya melalui Mata Surga
Sebagai kesimpulan, ada dua mazhab (lembaga pemikiran), satu generasi awal yang membacanya dan memasrahkan maknanya kepada Allah, tidak mentakwilkannya serta tidak mempertanyakannya. Sedang generasi berikutnya menafsirkan sesuai dengan kemurnian Al Quran dan Hadis dalam rangka menyebarkan Islam diantara mereka yang belum mendengar ajaran Islam.
SAHIH SHIFA
KESEMBUHAN
Seri ke-9
SYAFAAT NABI MUHAMMAD
PUJIAN DAN KESEJAHTERAAN ATASNYA
Karya
Hakim Agung Abulfadl Iyad
wafat tahun 1123M / 544H
Periwayat Hadis
Muhaddis Agung Hafiz Abdullah Bin Siddiq
Perevisi
Muhaddis Abdullah Talidi
Diadaptasikan oleh
Abdi Hadis Syekh Ahmad Darwish (Arab)
Anne Khadeijah (Inggris)
Siti Nadriyah (Indonesia)
Copyright © 1984-2013 Allah.com Muhammad.com. Hak Cipta dilindungi
Karunia untuk Nabi Muhammad pada Hari Kiamat
Pada Hari Kiamat, Nabi Muhammad akan diberi karunia sebelum orang-orang lainnya.
Banyak sekali Perkataan Kenabian (Hadis) sahih yang berkaitan dengan kemuliaan kedudukan Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, pada Hari Kiamat.
Anas memberitahu kita bahwa suatu hari Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, membicarakan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Baginda bersabda, "Aku adalah orang pertama yang muncul ketika manusia dibangkitkan, dan aku akan menjadi juru bicara mereka ketika mereka tiba. Aku akan memberi mereka berita baik ketika mereka putus asa. Bendera Pujian akan berada ditanganku. Aku adalah anak turun nabi Adam yang paling mulia dihadapan Penguasaku dan aku tidak bangga."
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, bersabda, "Aku adalah yang pertama ketika bumi membelah terbuka, kemudian aku akan dipakaikan pakaian kebesaran dari Surga. Aku akan berdiri dikanan Singgasana, dimana tidak ada satu makhluk pun yang berdiri ditempat itu selain aku."
Sekali lagi, Abu Hurairah meriwayatkan sabda baginda yang berbunyi, "Aku akan menjadi Junjungan anak turun nabi Adam pada Hari Kiamat, dan aku orang pertama yang kuburannya membelah terbuka, serta yang pertama mensyafaati, dan yang pertama syafaatnya diterima."
Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, berbicara tentang posisi semua nabi pada Hari Kiamat seraya bersabda, "Pada Hari Kiamat, aku akan menjadi Junjungan anak turun nabi Adam dan Bendera Pujian akan ada ditanganku dan aku tidak bangga. Pada Hari itu semua nabi sejak nabi Adam akan berada dibawah Benderaku, dan aku orang pertama saat bumi membelah terbuka, dan aku tidak bangga." Sabda baginda ini diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri.
Ibnu Abbas memberitahu kita bahwa Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, telah berbicara tentang syafaatnya yang diterima dan pembukaan Gerbang Surga seraya bersabda, "Pada Hari Kiamat, aku akan menjadi pembawa Bendera Pujian, dan aku tidak bangga. Aku akan menjadi yang pertama mensyafaati dan yang pertama syafaatnya diterima, dan aku tidak bangga. Aku orang pertama yang mengetuk gelang pengetuk pintu di Gerbang Surga, dan akan dibuka untukku, lalu aku akan masuk ditemani orang-orang miskin yang beriman dan aku tidak bangga. Diantara yang pertama dan yang terakhir, aku akan menjadi yang paling mulia, dan aku tidak bangga."
Anas mendengar Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, bersabda, "Aku orang pertama yang akan mensyafaati di Surga, dan aku akan mempunyai pengikut yang paling banyak." Anas juga mendengar baginda bersabda, "Aku akan menjadi junjungan semua manusia pada Hari Kiamat. Apakah kalian tahu kenapa? Allah akan mengumpulkan yang pertama dan yang terakhir.."lanjutan hadis ini terdapat didalam hadis tentang syafaat.
Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, telah memberi pertanda bahwa pada Hari itu (Hari Kiamat), baginda sendirian yang akan diberi penguasaan dan syafaat. Ini karena umat manusia tidak akan menemukan tempat perlindungan pada nabi lainnya, dan mereka akan mencari perlindungan kepada baginda. Ketika sedang membutuhkan, seseorang mencari pertolongan dari seorang tuan, dan pada Hari itu, baginda sendirian diantara semua umat manusia yang akan diberi penguasaan. Tak ada seorang pun yang akan berbagi dengan baginda atau mengklaim dapat berbagi dengan baginda.
Allah berfirman, "Siapa Pemilik Kerajaan pada Hari ini? Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Penakluk!" (Ghoofir,40:16). Dunia dan akhirat adalah kepunyaan Allah, dan mereka yang mengklaim kerajaan mereka akan terputus, dan tidak ada keraguan bahwa Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya, akan diberi penguasaan atas semua orang di Kehidupan Abadi.
Anas mendengar Nabi, pujian dan kesejahteraan atasnya, bersabda, "Pada Hari Kiamat, aku akan mendekati Gerbang Surga, lalu meminta agar dibuka. Penjaganya akan bertanya, 'Siapa anda?' dan aku akan menjawab 'Muhammad', lalu Penjaga itu berkata, 'aku diperintahkan supaya tidak membuka untuk siapapun sebelum anda.'"
Telaga Nabi Muhammad
Pujian dan kesejahteraan atasnya
Sejumlah hadis berikut ini menggambarkan Telaga Nabi Muhammad, pujian dan kesejahteraan atasnya.
Abdullah bin Amr meriwayatkan bahwa baginda bersabda, "Telagaku mempunyai panjang dan lebar yang sama, yang jaraknya sejauh perjalanan sebulan. Airnya lebih putih dari perak, aromanya lebih harum dari kesturi, dan gayungnya bagaikan bintang-bintang di angkasa. Barangsiapa minum darinya tidak akan pernah haus selama-lamanya."
Kutipan yang serupa diriwayatkan oleh Abu Dzar, dengan disertai rincian bahwa panjang telaga baginda adalah antara Amman (ibukota Yordania) dan Ailah (kota diseberang lautan di Palestina). Dua pancuran air dari Surga mengalir ke dalam telaga (yang berasal dari sungai Kausar).
Tsauban juga meriwayatkan hadits yang sama, dan menambahkan, "Dua pancuran air itu, yang satu dari emas dan yang satunya dari perak."
Harisah bin wahab berkata, "Bisa juga, panjang telaga adalah antara Madinah dan Shon'a (ibukota Yaman)."
Anas dan Ibnu Umar juga telah meriwayatkan ukuran panjang telaga. Anas berkata, "Panjangnya ialah antara Ailah dan Sona'a." Sedang Ibnu Umar berkata, "Panjangnya ialah antara Kufah (sebuah kota di Irak) dan Batu Hitam / Hajar Aswad (di Mekah)."
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Siti Aisyah, serta lebih dari tiga puluh Sahabat, semoga Allah meridhai mereka semua.
Dostları ilə paylaş: |