1337 Hadis Sahih, 900 Keistimewaan, 830 Tafsir


Orang-orang yang diizinkan untuk dinikahi oleh seorang muslim 2: 221



Yüklə 2,05 Mb.
səhifə11/16
tarix26.10.2017
ölçüsü2,05 Mb.
#14081
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   16
Orang-orang yang diizinkan untuk dinikahi oleh seorang muslim 2: 221

[2.221] Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran

وَلاَ تَنكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُوا المُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221)
@Haidh 2: 222

[2.222] Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ المَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي المَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرِينَ (222)

قُلْ هُوَ أَذًى

Kotoran atau najis

حَتَّى يَطْهُرْنَ

Sampai darah haid berhenti dari mereka

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ

Mandi (bersuci) dengan iar untuk melaksanakan sholat

فَأْتُوهُنَّ

Lakukanlah hubungan suami istri pada mereka

مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Dari segi yang Allah perbolehkan dan menghalalkannya

الْمُتُطَهِّرِيْنَ

(orang-orang yang bersuci) dengan air (dari najis), sebagian lain mengatakan: orang-orang yang bersuci dari berbuat dosa, dan mnejaga dirinya agar tidak kembali kepadanya setelah ia bertaubat darinya.
Diriwayatkan dari Anas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – bahwasanya Yahudi apabila seorang wanita dari mereka haidh di tengah-tengah mereka, mereka tidak akan makan bersamanya dan tidak akan mengumpulkannya di satu rumah. Lalu para sahabat Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bertanya kepada Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – maka Allah Yang Maha Luhur menurunkan:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ المَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي المَحِيضِ.....(البقرة:222)

Artinya: dan mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauh dari para wanita pada saat haidh…..” (Q.S Al-Baqoroh: 222)

Lalu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Perbuatlah segala sesuatu (terhadap isteri) kecuali berkumpul (mengumpuli siteri di kubulnya).” Maka hal itu sampai kepada para Yahudi, lalu mereka pun berkata: “Orang laki-laki ini (yakni Rasul) ia tidak ingin meninggalkan urusan kita sedikit pun kecuali ia menyalahi kita dalam urusan tersebut.” Lalu datanglah Usaid bin Chudhoir dan ‘Abbaad bin Bisyr – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – lalu keduanya berkata: “Ya Rasululloh sesungguhnya Yahudi mengatakan ini dan itu maka kita tidak akan mengumpulkan mereka (para isteri dalam serumah).” maka berubahlah wajah Rasululloh– semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – sehingga kami menduga bahwasanya beliau telah menaruh kejengkelan kepada keduanya maka keduanya keluar lalu dayanglah hadiah berupa susu kepada Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – lalu diutuslah seorang kepada kedua orang itu lalu beliau menuangkan susu itu untuk keduanya maka barulah keduanya mengetahui bahwa beliau tidak menyimpan kejengkelan kepada keduanya.”


Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daawuud, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Mujatbaa dan dalam Al-Kubroo, juga oleh Ad-Daarimiy, Ibnu Maajah dan selainnya.
Dan hadits tersebut menunjukkan atas wajibnya menyalahi (tidak menyamai) Yahudi dalam urusan mereka yang khusus untuk mereka. Dan para ulama juga telah menyebutkan bahwa menyelahi orang-orang kafirtermasuk salah satu tujuan penting dari pengutusan penting. Dalam hadits itu terdapat kebolehan bersenang-senang dengan isteri meskipun ia haidh. Hanya saja yang tercegah adalah mengumpuli isteri di tempat keluarnya kotoran, yakni darah, ( di qubul) pada hari-hari haidh. Dan tidak ada perbedaan antara kaum muslimin tentang pengharaman mengumpuli wanita haidh pada masa siklus bulanannya.
Jika diperhatikan bahwa pertanyaan yang timbul berkenaan dengan haidh ini merupakan salah satu dari tujuh pertanyaan yang dating pada surat yang mulia ini, yaitu ayat-ayat yang telah lalu:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ..... (البقرة: 189)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang bulan sabit.....” (Q.S Al-Baqoroh: 189)

يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ..... (البقرة: 215)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang apa yang mereka infaqkan, katakanlah: “Apa yang kalian infaqkan daripada kebaikan adalah untuk kedua orang tua……..” (Q.S Al-Baqoroh: 215)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ..... (البقرة: 219)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang khomr dan judi……” (Q.S Al-Baqoroh: 219)

.....وَيَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلِ الْعَفْوَ..... (البقرة: 219)

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang apa yang mereka infaqkan, katakanlah: “(Infaqkanlah) kelebihan (dari kebutuhan)……”

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِ..... (البقرة: 217)

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang bulan haram, tentang peperangan di dalamnya……” (Q.S Al-Baqoroh: 217)

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَهُمْ خَيْرٌ..... (البقرة: 220)

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang anak-anak yatim, katakanlah: “Perbuatan baik kepada mereka adalah suatu kebaikan……” (Q.S Al-Baqoroh: 220)

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ..... (البقرة: 222)

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Rasul) tentang haidh………” (Q.S Al-Baqoroh: 222)

Dan ini termasuk kekhususan-kekhususan surat ini, maka tidak akan didapati dalam surat lain pertanyaan-pertanyaan seperti ini dalam rangkaian seperti ini, maka hal ini menambah kekhususan surat ini.


@Hubungan suami-isteri 2: 223

[2.223] Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلاقُوهُ وَبَشِّرِ المُؤْمِنِينَ (223)

حَرْثٌ لَّكُمْ

Ladang anak-anak kalian

أَنَّى شِئْتُمْ

Maknanya adalah bagaimana saja yang engkau sukai dengan syarat tujuannya adalah ke qubul, dan kapan saja (kecuali selama ketika haidh dan nifas)

وَقَدِّمُوْا ِلأَنْفُسِكُمْ

(sipakanlah untuk diri kalian)yakni kebaikan
Diriwayatkan dari Jaabir – semoga Allah Yang Maha Luhur merdihoinya – ia berkata: “Yahudi berkata: “Barangsiapa yang mendatangi (mengumpuli) isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir juling (matanya).” Lalu turunlah:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Artinya: “Isteri-isteri kalian ibarat ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian dari mana kalian kehendaki…..” (Q.S Al-Baqoroh: 223)
Hadist ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam tafsir, Muslim dalam bab nikah, At-Turmudziy dalam bab tafsir, Abu Daawuud, Ibnu Maajah, dan selainnya.

Dan diriwayatkan oleh Ummu Salamah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tentang firman Yang Maha Luhur:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Artinya: “Isteri-isteri kalian ibarat ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian dari mana kalian kehendaki…..” (Q.S Al-Baqoroh: 223)

Yakni pada tempat yang satu (maksudnya adalah farji / qubul, atau kemaluan depan wanita)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Datang Umar – semoga Allah Yang Maha Luhur merdihoinya – kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – lalu ia berkata: “Ya Rasululloh, aku telah celaka.” Rasul bersabda: “Apa yang membuatmu celaka?” Umar berkata: “Aku membalik (merubah posisi) isteriku.” (yakni ia mengumpuli isterinya dari arah belakang). Ibnu Abbas berkata: “Lalu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tidak menjawabnya sedikitpun sehingga Allah Yang Maha Luhur menurunkan atas Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – ayat ini:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ.....

Artinya: “Isteri-isteri kalian ibarat ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian dari mana kalian kehendaki…..” (Q.S Al-Baqoroh: 223)

Yakni datangilah dari depan atau dari belakang tapi hati-hati terhadap lubang dubur dan ketika haidh (yakni jangan engkau kumpuli di lubang dubur dan di kala haidh)


Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo, Ibnu Chibbaan, Al-Bayhaqiy dengan sanad yang sahih.
Dan diriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbaas) pula, ia berkata: “Ibnu Umar – semoga Allah mengampuninya – menyangka bahwasanya kampung ini dari kalangan kaum Anshoor –sedangkan mereka (dahulu) penyembah berhala – dan kampung itu dari kalangan Yahudi – sedangkan mereka adalah ahli kitab – mereka memandang bahwa ahli kitab memiliki keutamaan di atas mereka dari segi ilmu, maka mereka mengikuti banyak dari perbuat ahli kitab. Dan temasuk perbuatan ahli kitab adalah mereka mendatangi (yakni mengumpuli atau menggauli isteri) mereka secara menyamping, yaitu suatu kondisi di mana seorang wanita lebih tertutup (daerah qubulnya), maka penduduk kampung tersebut dari kalangan kaum Anshoor telah mengambil perbuatan seperti itu dari para ahli kitab tersebut. Sedangkan orang-orang Quraisy menggauli isterinya secara terlentang yang mana hal itu tidak dikenal (di kalangan wanita Anshoor), mereka bersenang-senang dengan isteri mereka baik dari arah depan, atau belakang atau secara terlentang. Lalu ketika orang-orang Muhajirin (dari kalangan Quraisy) hijrah ke Madinah, maka salah seorang lelaki dari mereka menikahi salah seorang wanita dari kalangan Anshoor. Maka si lelaki Quraisy itupun menggauli isterinya itu dengan cara mereka yang mana isterinya itu mengingkari (atau tidak menyukai) cara tersebut. Dan berkatalah isterinya itu: “Kami biasa didatangi (atau digauli) dari arah samping, maka perbuatlah seperti, jika tidak maka jauhilah aku.” Sehingga perkara mereka pun terangkat kepermukaan dan sampailah kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – lalu Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menurunkan:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Artinya: “Isteri-isteri kalian ibarat ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian dari mana kalian kehendaki…..” (Q.S Al-Baqoroh: 223)

Yakni baik dari arah depan, belakang, atau pun terlentang, yang pasti yang dituju adalah tempat (kelahiran) anak (yakni farji atau qubul).


Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daawuud dalam bab nikah, Al-Chaakim dan disahihkan olehnya serta disepakati oleh Adz-Dzahabiy.
Diriwayatkan dari Naafi’ – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – ia berkata: “Adalah Ibnu Umar apabila membaca Al-Qur’an, ia tidak berbicara sehingga ia selesai darinya. Lalu suatu hari aku membaca surat Al-Baqoroh sehingga aku sampai pada satu tempat, ia berkata: “Apakah engkau tahu, tentang apa ayat ini diturunkan?” aku berkata: “Tidak.” I9a berkata: “Ia turun karena ini dan itu.” Kemudian ia berlalu.” Dalam riwayat lain: “Suatu hari aku membaca ayat ini:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ

Artinya: “Isteri-isteri kalian ibarat ladang bagi kalian, …….” (Q.S Al-Baqoroh: 223)

Ibnu Umar berkata: “Apakah engkau tahu, untuk apa ayat ini diturunkan?” Aku berkata: “Tidak.” Ia berkata: “Ia turun tentang menggauli isteri pada duburnya.”


Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir dengan riwayat pertama yang tidak menjelaskan ayatnya, dan diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dalam tafsirnya dengan menjelaskan ayatnya melalui jalur-jalur yang sahih, begitu juga diriwayatkan secara jelas penyebutan ayatnya oleh Ischaaq bin Roohawaih dalam Musnad-nya dan Al-Ismaa’iliy dalam Mustakhroj-nya, juga oleh Ath-Thobrooniy dalam Al-Awsath, Ad-Daaruquthniy dalam Ghroo-ib Maalik dan yang selain mereka. Sebagaimana diketengahkan pula dalam Ad-Durrul Mantsuur dan oleh Al-Chaafizh Ibnu Chajar dalam Fatchul Baarii, dan ia berkata: “(Hadits ini) berasal dari jalur-jalur yang kuat.” Ibnu Abdil Barr berkata: “Riwayat dari Ibnu Umar dengan makna atau isi seperti itu adalah riwayat yang sahih dan terkenal serta termasyhur.”
Tiga riwayat tersebut menunjukkan bahwa ayat yang mulia ini turun berkenaan dengan sebab-sebab tersebut, dan tidak ada yang mencegah berbilangnya sebab dalam turunnya ayat tersebut, sebagaimana hal itu telah diketahui.
Dan semua riwayat0riwayat tersebut bersama dengan hadits riwayat Ummu Salamah yang telah tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh firman-Nya Yang Maha Luhur: “maka datangilah ladangmu bagaimana (atau dari mana saja) engkau mau.” Yakni atas cara yang kalian kehendaki daripadanya, selam pada tempat bercocok-tanam dan produksi, yaitu farji (qubul). Maka makna “dari mana saja engkau kehendaki” bermakna: “bagaimana saja cara yang engkau kehendaki.” Menurut pendapat seperti inilah yang berlaku dan diakui oleh para sahabat dan generasi setelahnya, dan mereka menguatkanny dengan hadits-hadits yang banyak lagi sahih tentang pengharaman menggauli isteri di lubang duburnya sebagaimana ia menggaulinya di lubang farjinya. Hanyasaja hadits Ibnu Umar – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – yang tersebut terakhir menuntut makna bahwa ayat tersebut turun sebagai keringanan dalam masalah menggauli isteri dari dubur meskipun riwayat tersebut sahih. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam hal tersebut. Sebagian kelompok mengambil makna lahiriah hadits ini, di antaranya adalah: Muhammad bin Ka’b Al-Qurozhiy, Sa’iid bin Yasaar Al-Madaniy, Muhammad bin Al-Munkadir, Ibnu Abi Mulaikah, dan selian mereka, juga menurut riwayat yang sahih dari Al-Imam Malik.
Dan Abubakar bin Al-Arobiy dalam kitab Achkaamul Qur’aan mengatakan: “Banyak ulama yang membolehkannya dan Ibnu Sya’baan mengumpulkannya dalam kitab Jimaa’un Niswaan wa Achkaamul Qur’aan dan menyandarkan kebolehannya kepada jumlah yang besar dari para sahabat dan tabi’in dan kepada Maalik dari riwayat yang banyak. Abubakar Al-Jashshoosh dalam Achkaamul Qur’aan: “Yang termasyhur riwayat dari Maalik kebolehannya, namun para pengikutnya menafikan pendapat ini dari beliau karena buruknya dan jeleknya….” Dan Asy-Syafi’iy berkata: “Tidak sahih dari Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – sesuatu keterangan pun tentang pengharamannya dan tidak juga penghalalannya, secara qiyaas (analogi) maka (mengumpuli isteri di dubur) itu halal.” Kemudian ia merujuk kembali pendapatnya dan berpendapat dengan pengharamannya. Hal ini dinukil darinya oleh lebih dari seorang dari kalangan pengikutnya.
Sedangkan yang benar, yang mana tidak ada keraguan tentangnya adalah bahwa hal itu (yakni mengumpuli isteri di duburnya) adalah haram. Ibenu Katsiir berkata: “Dengan kesepakatan para ulama kecuali pendapat yang syadz (menyimpang) dari sebagian ulama salaf. Dan paling ringannya yang dapat dikatakan dalam masalah ini adalah syubhat (bercampur antara halal dan harama, namun lebih banyak haramnya daripada halalnya). Sedangkan orang mu’min sangat menjaga diri untuk tidak jatuh kepada yang syubhat. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.
@Bersumpah 2: 224 – 225

[2.224] Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

وَلاَ تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّوا وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224)

عُرْضَةً


Dalih (alasan). Seperti seseorang yang bersumpah aats naman Allah untuk tidak berbicara kepada saudaranya atau tidak bersedekah. Lalu ia berkata: “Aku telah bersumpah aats nama Allah.” Maka sumpahnya itu dijadikan sebagai dalih (untuk meninggalkan kebaikan).
Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – mendengar suara pertengkaran di pintu yang mana suara kedua orang yang bertengkar itu keras. Lalu tiba-tiba salah satu dari keduanya meminta kepada yang lain untuk meringankan hutangnya dan berlembut kepadanya tentang itu, sedang yang satunya itu berkata: “Demi Allah aku tidak akan melakukannya.” Lalu keluarlah Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – kepada mereka berdua lalu beliau bersabda: “Manakah orang yang bersumpah dengan nama Allah untuk tidak berbuat baik?” maka orang tadi berkata: “Saya Ya Rasululloh, maka baginya apa yang paling ia sukai.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy di awal-awal bab Shuluch (perdamaian), dan juga oleh Muslim dalam bab Al-Musaaqooh dan dalam bab meringankan daripada hutang.
Hadits tersebut bersesuaian dengan ayat yang mulia di atas dalam pelarangan bersumpah dengan nama Allah untuk meninggalkan kebaktian dan kebaikan, dan agar manusia tidak menjadikan sumpahnya dengan nama Allah mencegahnya untuk berbuat yang ma’ruf dan menjadi penghalang baginya antara dia dan perbuatan baik. Ayat ini seperti firman-Nya Yang Maha Luhur dalam surat An-Nuur:

وَلاَ يَأْتَلِ أُوْلُوا الفَضْلِ مِنكُمْ وَالسَّعَةِ أَن يُؤْتُوا أُوْلِي القُرْبَى..... (النور: 22)

Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya),…….” (Q.S An-Nuur: 22)
Maka terus menerus bersikukuh pada sumpahnya itu lebih berdosa daripada ia keluar dari sumpahnya itu dengan membayar kaffaaroh (penebus) sebagaimana penjelasan yang datang dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – yaitu: “Demi Allah seseorang terus-menerus memegang sumpahnya itu lebih itu lebih berdosa di sisi Allah daripada ia memberikan kaffaarohnya yang Allah wajibkan kepadanya.” [Hadist riwayat Al-Bukhootiy dan Muslim]
[2.225] Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (225)

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ

Seseorang yang menyambung perkataannya dengan ucapan billaahi atau walloohi (keduanya berarti demi anam Allah) sebagai sumpah. Ada pula yang mengatakan bahwa: itu adalah orang yang sumpah dalam keadaan lupa. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah orang yang bersumpah atas sesuatu yang mana ia meyakininya demikian namun ternyata tidak demikian. Al-Laghwu asal artinya dalam perkataan orang-orang Arab adalah: segala perkataan yang tercela dan tidak ada maknanya.

وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

Yakni sumpah yang engkau sengaja melakukannya. Yaitu seseorang bersumpah aats suatu kebohongan (dengan sengaja). Dan dalam masalah ini pun terdapat perbedaan.


Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur merdihoinya – ia berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan perkataan seseorang: “Tidak demi Allah, atau Ya demi Allah.” (yakni kebiasaan orang-orang Arab sejak dahulu tanpa sengaja menyelipkan kalimat sumpah pada jawaban-jawaban mereka)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, Abu Daawuud dalam bab sumpah dan nadzar, dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo.
Sumpah yang tidak dimaksud adalah sumpah yang tidak terhitung dan tidak ada kaffarohnya serta tidak ada dosa sebab sumpah itu terjadi tanpa ada kesengajaan dan niat di hati oleh karena itu Allah mengikutinya dengan perkataan:

وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

Artinya: “……tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu……”

Yakni yang kalian sengaja (niatkan) dengan hati kalian, sebagaimana dalam surat Al-Maa-idah:

......وَلكِن يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ اْلأَيْمَانَ..... (المائدة: 89)

Artinya: “…….akan tetapi Dia menghukum kalian karena apa yang kalian sengaja dengan hati daripada sumpah……”


Yang termasuk dalam masalah ini adalah riwayat yang tersebut dalam sahih Al-Bukhooriy dan sahih Muslim yaitu hadits Abu Huroiroh bahwasanya Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Barangsiapa yang bersumpah lalu ia berkata dalam sumpahnya demi Laata dan ‘Uzzaa maka hendaklah ia mengatakan: Laa Ilaaha illallooh (tiada Tuhan selain Allah).”

Sebab kaum muslimin ketika itu baru masuk Islam dan mereka telah terbiasa untuk bersumpah dengan nama Laata tanpa sengaja, maka mereka diperintah untuk mengucapkan kalimat ikhlash (kalimat tauhid) sebagaimana mereka telah mengucapkan kalimat itu (yakni: demi Laata) tanpa sengaja. Agar yang ini diganti atau ditebus dengan yang itu. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir.


@Cerai dan Rujuk 2: 226 – 233

[2.226] Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِن فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (226)

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ

Mereka bersumpah. Kata al-aliyyah maknanya adalah sumpah, dan yang dimaksud di sini adalah seorangg lelaki bersumpah untuk tidak berkumpul dengan isterinya, untuk memberi dia pelajaran atau untuk menyakitinya

تَرَبُّصُ

menunggu

فَإِن فَاءُوا

Mereka kembali untuk melanggar janji mereka dari meninggalkan istri mereka
Diriwayatkan dari Anas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – meng-iilaa’ para isterinya (yakni berjanji atau bersumpah untuk tidak mengumpulinya) yang mana kaki beliau terkilir maka beliau menetap di ruangan khusus di rumah beliau selama 29 (dua puluh sembilan) hari, lalu dikatakan: “Wahai Rasululloh, sesungguhnya anda telah meng-iilaa’ sebulan. Beliau bersabda: “Sesungguhnya bulan itu dua puluh sembilan hari.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab Nikah, dan ia juga meriwayatkan hadits yang senada dengan ini dari Ummu Salamah – semoga Allah Yang Maha Luhur merudhoinya – dan dalam sahih Al-Bukhooriy dan sahih Muslim juga terdapat riwayat dari Umar secara panjang dan akan dating insya Allooh dalam surat At-Tachriim.
Iilaa’ secara bahasa berarti sumpah, sedangkan secara istilah syari’at maka ia berarti sumpah untuk mencegah diri dari mengumpuli isteri. Sedangkan dalam hadits Anas, Ummu Salamah, dan yang selainnya terdapat petunjuk bahwa Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – meng-iilaa’ para isterinya karena sebab-sebab yang menuntut adanya hal tersebut sebagaimana itu dijelaskan di hadist-hadits lainnya, sedangkan ayat mulia di atas menjelaskan bahwa siapa saja yang meng-iilaa’ isterinya maka hendaklah ia menunggu selama empat bulan maka jika telah berlalu masa tersebut, ia boleh memilih antara dua pilihan, hyaitu: kembali lagi kepada isteri atau mencerainya. Ini adalah makna ayat tersebut. Adapun para ahli fiqih dan para imam memiliki pendapat-pendapat dalam masalah ini.
[2.227] Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)


@
Yüklə 2,05 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   16




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin