1337 Hadis Sahih, 900 Keistimewaan, 830 Tafsir


Makanan yang diharamkan bagi orang-orang muslim 2: 172 – 173



Yüklə 2,05 Mb.
səhifə8/16
tarix26.10.2017
ölçüsü2,05 Mb.
#14081
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   16
Makanan yang diharamkan bagi orang-orang muslim 2: 172 – 173

[2.172] Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172)
[2.173] Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ المَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (173)

أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesuatu yang disembelih untuk selain Allah dan disembelih dengan menyebut nama selain Allah.

غَيْرَ بَاغٍ

Membegal di jalan

وَلاَ عَادٍ

Berpisah dari jama’ah kaum muslimin. Dan ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.


@Penyembunyian kebanaran dari Allah 2: 174 – 176

[2.174] Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَناًّ قَلِيلاً أُوْلَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلاَّ النَّارَ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (174)
[2.175] Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (175)

فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ

Alangkah beraninya mereka melakukan hal yang mana itu dapat mendekatkan mereka kepada neraka. Dan dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat dalam taafsirnya.


[2.176] Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ نَزَّلَ الكِتَابَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِي الكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ (176)


@Ciri-ciri orang muslim dan orang-orang yang ingin memeriksa (ciri-ciri tersebut pada) orang muslim 2: 177

[2.177] Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa

لَيْسَ البِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ البِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى المَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي القُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي البَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ البَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ المُتَّقُونَ (177)

وَابْنَ السَّبِيلِ

Tamu dan orang yang lewat (kehabisan bekaal di jalan)

وَفِي الرِّقَابِ

Budak mukatab yakni budak yang berusaha untuk membebaskan diri mereka dari perbudakan (dengan cara mencicil sejumlah harta tertentu kepada majikanya untuk menebus dirinya)

البَأْسَاءِ

Orang-orang fakir

وَالضَّرَّاءِ

penyakit

وَحِينَ البَأْسِ

Ketika peperangan
@Qishoosh (hukuman setimpal) 2: 178 – 179

[2.178] Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ القِصَاصُ فِي القَتْلَى الحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (178)

القِصَاصُ

Pembalasan terhadap perkataan dan perbuatan (dengan yang setimpal)

عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ

Ditinggalkan. Sebagian mengatakan: bahwa yang dimaksud memaafkan di sini adalah bahwa keluarga korban menerima pembayaran dendaa (dari si pelaku) dan meninggalkan tuntutan qishoosh-nya (untuk menghukum mati si pelaku tersebut)

وَأَدَاءٌ

Ganti rugi

فَمَنِ اعْتَدَى

(maka siapa yang melampaui batas) yakni seorang wali dari pihak si terbunuh (yakni keluarga korban) membunuh (menuntut hukuman mati bagi) si pembunuh setelah ia mengambil denda darinya (yakni dari si pembunuh)

فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ



Sebagian mengatakan: (yang dimaksud dengan siksa yang pedih) adalah hukuman mati – lain tidak – atas keluarga korban yang menerima denda lalu ia membunuh si pembunuh keluarganya itu setelah menerima denda tersebut.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Adalah dahulu qishosh (hukuman setimpal) itu berlaku pada bani Israil, dan tidak ada diyat (pembayaran denda sebagai ganti hukuman qishosh) pada mereka. Maka Allah Yang Maha Berkah lagi Maha Luhur berfirman kepada ummat ini: “Telah diwajibkan atas kalian qishosh dalam pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka…” hingga firman-Nya yaitu: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik….” Maka yang dimaksud memaafkan adalah (keluarga korban) menerima pembayaran diyat (denda dari si pelaku) dalam kasus pembunuhan yang disengaja, sedangkan yang dimaksud ‘mengikuti dengan cara yang baik’ adalah hendaknya engkau memperlakukan (atau menagih denda tersebut dari) si pelaku dengan baik dan hendaknya si pelaku membayar denda itu dengan cara yang baik pula. Maka Allah meringankannya dari ummat ini. Itu merupakan suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat (kasih sayang) jika dibandingkan dari apa yang telah Dia tetapkan untuk ummat yang sebelum kalian. Maka barang siapa yang melampaui batas setalah (pembayaran diyat) itu maka baginya azab yang pedih. Yakni jika si keluarga korban membunuh si pelaku setelah si pelaku membayar diyatnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir dan bab diyat dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Mujtabaa dan dalam Al-Kubroo, dan Ibnu Chibbaan dalam sahihnya, juga oleh Al-Bayhaqiy dan yang selain mereka.
Dalam ayat mulia tersebut terdapat dalil tentang masalah kemaafan dalam kasus pembunuhan dan pengambilan diyat (dari si pembunuh untuk keluarga korban), dan bahwasanya itu termasuk keringanan yang Allah berikan kepada ummat ini dan bentuk kasih sayang Allah. Yang mana pada tradisi Yahudi terdapat qishosh namun tanpa ada kesempatan memaafkan, sedangkan dalam tradisi hukum Nashraniy adalah memaafkan tanpa pembayaran diyat, maka Allah mengumpulkan untuk ummat ini ketiga macam jenis tindakan tersebut (yakni qishosh, atau memaafkan dan mengambul diyat)
Dan diriwayatkan dari Anas (bin An-Nadhr) – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – bahwasanya Ar-Rubayyi’, bibinya, mematahkan gigi depan dai seorang hamba sahaya perempuan, maka mereka (keluarga Ar-Rubayyi’) meminta maaf kepada si hamba sahaya perempuan itu namun hamba sahaya itu menolak, dan mereka menawarkan pembayaran denda namun ia tetap menolak, maka mereka datang kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan ternyata hamba sahaya itu tidak menghendaki kecuali hukuman qishosh. Lalu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – pun memerintahkan untuk dilakukan hukuman qishosh, maka Anas bin Nadhr berkata: “Ya Rasululloh, apakah gigi depan Ar-Rubayyi’ akan dipatahkan? Tidak, demi Allah Yang telah mengutus anda dengan kebenaran, tidak akan dipatahkan giginya.” Maka Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Wahai Anas ketetapan Allah (dalam masalah ini) adalah qishosh.” Maka kaum (keluarga hamba sahaya permpuan itu) merelakan dan mereka memaafkan. Lalu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Sesungguhnya di antara para hamba Allah ada orang-orang yang seandainya ia bersumpah atas (nama) Allah, maka Allah akan melaksanakan sumpahnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, dan dalam bab jihad, dan juga oleh Muslim dalam bab Al-Qosaamah, dan juga oleh Abu Dawwud dan An-Nasaa-iy dalam bab Al-Qosaamah, juga oleh Ibnu Maajah.
Dalam hadits tersebut terdapat dalil wajibnya qishosh dalam pelukaan anggota badan, dan hal ini sesuai dengan firman Allah Yang Maha Luhur: “gigi dibalas gigi dan pada luka itu ada qishoshnya” (Q.S Al-Maa-idah: 45) dan dalam hadits itu terdapat petunjuk tentang karomah para wali. Sebab Anas bin An-Nadhr ketika ia bersupah bahwa gigi Ar-Rubayyi’ tidak akan dipatahkan maka Allah mengabulkan sumpahnya dan tidak menjadikannya sumpahnya itu batal. Dan masalah sumpahnya yang ia arahkan untuk membatalkan qishosh itu dijelskan oleh An-Nawawiy dalam syarah Muslim. Maka silakan merujuknya.
[2.179] Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa

وَلَكُمْ فِي القِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)

فِي القِصَاصِ حَيَاةٌ

Yakni pencegahan terhadap orang bodoh, ia tidak akan membunuh karena takut dengan hukuman qishoosh

الأَلْبَابِ

Yang berakal


@Membuat wasiat untuk keluarga sebelum datang kematian 2: 180 – 182

[2.180] Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ المَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْراً الوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقاًّ عَلَى المُتَّقِينَ (180)

إِن تَرَكَ خَيْراً

Harta. Sebagaian ulama berpendapat tentang al-khoir (kebaikan / harta) yang dimaksud adalah antara 700 dirham hingga 1000 dirham ( sebagai gambaran bahwa 20 dirham adalah harga seekor kambing kurban). Sebagian lain mengatakan bahwa harta yang sedikit sekalipun atau yang banyak dapat disebut sebagai khoir. Dan dalam masalah ini terjadi perbedaan antara para ulama.
Diriwayatkan dari ‘Amr bin Khoorijah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Saya mendengar Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – berkhutbah sedang beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberi hak dari setiap orang yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo, Ibnu Maajah, Al-Bayhaqiy dengan sanad yang sahih, dan hadits ini memiliki beberapa hadits pendukung yang sahih, bahkan Asy-Syafi’iy mengatakan di Al-Umm sesungguhnya hadits ini mutawatir, diriwayatkan oleh banyak orang dari banyak orang, dan disebutkan oleh banyak orang bahwa telah disepakati oleh para ulama tentang isinya yakni bahwa tidak ada wasiat bagi hali waris.
Ayat yang mulia tersebut di-nasakh oleh hadits ini dan oleh ayat warisan, setelah sebelumnya wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat hukumnya adalah wajib.memang masih tersisa atau berlaku hukum wasiat bagi kerabat yang bukan ahli waris, dengan kesepakatan para ulama.
[2.181] Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181)


[2.182] (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفاً أَوْ إِثْماً فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (182)

مِن مُّوصٍ

Orang yang sekarat yang berwasiat

جَنَفاً

Kezaliman atau sesuatu yang menyimpang dari kebenaran, itulah asal maknanya dalam perkataan orang-orang Arab. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata al-janaf di sini adalah semakna dengan kata al-khotho’ (kesalahan)



أَوْ إِثْماً

Makna kata al-itsm di sini pemberontakan (pergolakan) satu atas yang lainnya. Sebagian mengatakan bahwa maknanya adalah “kesengajaan”. Dan dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat.

فَأَصْلَحَ

Orang yang berwasiat diperintahkan untuk adil dan mengembalikan wasiat kepada (atau menurut) cara yang benar (dalam syari’at).


@Puasa Romadhoon adalah kewajiban bagi orang-orang muslim 2: 183 – 187

[2.183] Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Makna shiyaam (puasa) adalah menahan dari segala sesutau yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa agar menahan diri darinya seperti berupa, makan, dan sebagainya. (kata shiyaam berasal dari shooma-yashuumu) Dikatakan shomat al-khoil (kuda itu menahan / ditahan) jika ia dicegah dari berjalan.
Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Adalah dahulu hari ‘Asyuro merupakan hari yang dipuasai oleh orang-orang Quraisy pada masa jahiliah. Dan adalah Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – mempuasainya. Lalu ketika beliau tiba di Madinah beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa pada hari itu. Lalu turunlah perintah bahwa berpuasa Romadhon adalah sebuah kewajiban. Maka (setelah itu) barangsiapa yang mau hendaknya ia berpuasa hari ‘Asyuro dan siapa yang mau boleh meninggalkannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam tafsir, Muslim dalam bab puasa, dan An-Nasaa-iy dalam Al-Kubroo, dan diriwayatkan pula dari Ibnu Umar semacam hadits di atas yang diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dan yang lainnya.
Orang-orang muslim (yakni para ulamanya) bersepakat bahwa puasa wajib adalah puasa Romadhon dan bahwasanya puasa ‘Asyuro telah dinasakh kefardhuannya dan tersisa kesunnahannya. Dan dalam hadits tersebut juga ayat tersebut terdapat keterangan bahwa puasa telah diwajibkan atas generasi terdahulu akan tetapi atas mereka itu merupakan sesuatu yang berat. Adapun untuk ummat ini maka puasa merupakan penolong untuk menuju ketaqwaan dan benteng bagi mereka dari kemaksiatan dan dari api neraka.
[2.184] (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui

أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (184)

أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ

Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud itua adalah: Hari-hari pada bulan Romadhoon, dan sebagian lain mengatakan bahwa itu adalah tiga hari dari setiap bulan hijriah yang diperintahkan untuk dipuasai sebelum datang perintah puasa di bulan Romadhoon.

فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Di hari-hari selain hari-hari bulan Romadhoon dan ia berpuasa sebanyak hari yang tidak dia tidak berpuasa.

فِدْيَةٌ طَعَامُ

Memberi makan orang miskin setiap hari sebanyak hari yang ia tidak berpuasa, bersama itu ia juga harus berpuasa untuk mengganti hari yag ia tinggalkan.


Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – berkata: “Ketika turun ayat: “…dan bagi orang yang tidak mampu maka ia membayar fidayah yaitu memberi makan fakir miskin…” maka sebagian orang yang berkehendak untuk memberi makan atau memberi fidyah mereka melakukannya (dan mereka tidak berpuasa dan siapa yang ingin maka mereka berpuasa) hingga turun ayat berikut ini (yakni ayat 185) dan menasakh hukum ayat ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, Muslim, At-Turmudziy, Abu Daawuud, An-Nasaa-iy dalam Al-Mujtaba semuanya dalam bab puasa, dan ia juga meriwayatkan hadits ini dalam Al-Kubroo juga, dan juga oleh Al-Bayhaqiy.
Hadits tersebut jelas bahwasanya ayat ini telah dinasakh, dan itu menurut pendapat seluruh para ulama. yang mana puasa pada awalnya diwajibkan atas pilihan, yakni barangsiapa yang mau maka ia berpuasa dan barangiapa yang mau ia boleh tidak berpuasa dan memberi makan seorang fakir-miskin setiap hari, lalu ketika turun firman-Nya Yang Maha Luhur: “…maka barangsiapa menyaksikan bulan itu hendaklah ia mempuasainya…” maka menjadi wajiblah berpuasa dan terangkatlah pilihan tersebut.
@Bulan Romadhon adalah bulan yang mana Allah menurunkan Al-Qur’an yang menjadi petunjuk bagi seluruh manusia di dunia 2: 185

[2.185] (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ القُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ اليُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)

شَهْرُ رَمَضَانَ

Kata syahr (bulan) terambil dari kata syuhroh (keterkenalan), dikatakan: asyharo asy-syharu (telah masuk bula baru) ketika terbit hilaal (bulan sabit, tanda bulan baru), dan dikatakan pula asyharnaa nachnu jika kita telah masuk bulan baru. Dan dikatakan bahwa dinamakan Romadhoon karena teriknya matahari yang sanbat panas yang biasanya terjadi pada bulan itu. Sebagaimana bulan robii’ul awwal dan robii’ul aakhir keduanya dinamakan robii’ (yang artinya musim semi, karena terjadinya musim semi pada bulan tersebut)

فَمَن شَهِدَ

Maknanya: maka barangsiapa di antara kalian menetap dirumahnya.

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ اليُسْرَ

Keringanan dan kemudahan

العُسْرَ


Kesusahan dan kesulitan
Diriwayatkan dari Abu Huroiroh – semoga Allah Yang Maha meridhoinya – dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – beliau bersabda: “Sesungguhnya Agama ini mudah, dan tidak akan ada seorang pun bersikap keras terhadap Agama ini kecuali ia akan dikalahkan…”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab Iman, dan juga oleh An-Nasaa-iy dalamm kitab Al-Kubroo.
Dan diriwayatkan dari Abu Musa – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Permudahlah dan jangan dipersulit, berilah kabar gembira dan jangan engkau buat mereka lari, hendaklah kalian saling bersatu dan janganlah kalian berselisih.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy dalam bab peperangan, bab hukum, dan juga oleh Muslim dalam bab jihad dan lainnya, dan keduanya juga meriwayatkan dari Anas, yaitu: Al-Bukhooriy dalam bab ilmu, dan Muslim dalam bab jihad.
Dalam kedua hadits tersebut terdapat dalil bahwa Agama Islam terbangun atas dasar kemudahan, keringanan, meniadakan kesulitan, serta kesempitan dan kekakuan (kekerasan) kecuali dalam kesempatan tertentu.
Dan diriwayatkan dari beliau – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Aku diutus dengan agama yang lurus dan toleran.” Yakni syari’at yang mudah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, di dalam sebuah hadits yang panjang, dan di dalamnya juga terdapat kata-kata: “Sebaik-baik agama kalian adalah yang paling mudah.” Dan sanadnya sahih.
Maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menginginkan untuk kita kemudahan, keringanan, dan bukan kesulitan atau kekakuan (kekerasan). Oleh karena itu tidak ada seseorang pun yang menjalani jalan kekerasan kecuali kesudahannya adalah rasa jemu dan bosan, dan kembali ke belakang.
@Allah menjawab doa atau permohonan 2: 186

[2.186] Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُم يَرْشُدُونَ (186)
Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ariy – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Dahulu kami pernah bersama Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dalam sebuah peperangan, maka tidak kami menaiki atau mendaki suatu tempat yang tinggi dan menuruni suatu lembah kecuali kami mengangkat suara kami dengan takbir. Lalu beliau mendekat kepada kami lalu beliau bersabda: “Wahai manusia sayangilah diri kalian (janganlah kalian berteriak-teriak), sebab sesungguhnya kaliam tidak sedang memanggil menyeru Tuhan yang tuli atau tidak ada, hanya saja yang kalian panggil adalah Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dan Yang kalian panggil adalah lebih dekat (pengawasan-Nya) kepada salah seorang kalian dari pada leher tunggangan kalian sendiri.” Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya kalian sedang menyeru Tuhan YangMaha Mendengar lagi Maha dekat, sedang Dia (pengawasan-Nya) selalu bersama kalian.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy dalam bab takdir, bab jihad dan bab doa, juga oleh Muslim dalam bab taubat, dan Abu Daawuud serta yang lainnya.
Dalam ayat dan hadits di atas terdapat penjelasan bahwa Allah bersama kita, dekat. Bahkan Dia lebih dekat dengan kita daripada urat leher kita sendiri. Dan para ulama menafsirkan kedekatan ini dengan ilmu-Nya (yakni bukan dekat dengan makna ‘tempat’ sebab itu mustahil bagi Allah). Yang lebih utama adalah membiarkannya dalam makna lahiriahnya namun bersama dengan maniadakan penitisan atau penyerupaan dari Dzat Allah Yang Mulia. Sedangkan kedudukan ketuhanan adalah sesuatu yang amat agung, yang mana tidak dapat dijangkau kedalamannya dan tidak dapat di cerna oleh akal. Sebab tidak ada sesuatu pun yang menyamainya. Dalam ayat tersebut juga terdapat dalil bahwasanya siapa saja yang berdoa kepada Allah meskipun dalam dirinya atau hatinya maka Allah pastilah mendengarnya dan menjawab doanya. Dan ini termasuk perkara yang harus diyakini.
@


Yüklə 2,05 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   ...   16




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin