1337 Hadis Sahih, 900 Keistimewaan, 830 Tafsir


Hubungan suami-isteri selama Romadhoon 2: 187



Yüklə 2,05 Mb.
səhifə9/16
tarix26.10.2017
ölçüsü2,05 Mb.
#14081
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   ...   16
Hubungan suami-isteri selama Romadhoon 2: 187

[2.187] Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)

الرَّفَثُ

Di sini maknanya adalah kalimat majaz dari kata jima’ (berhubungan suami istri). Sedangkan di tempat selain ini maknanya adalah kata-kata keji.

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ

Setiap suami istri ibaratnya seperti pakaian bagi pasangannya ketika tidak berpakaian diwaktu tidur.

كُنتُمْ تَخْتَانُونَ

Kalian mendapat makan dan minum serta perempuan setelah tidur

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ

Kalimat majas dari kata berhubungan suami istri. (kata baasyiruu terambil dari kata mubaasyaroh) yang makna asalnya dalam perkataan orang-orang Arab adalah bertemunya (bersentuhannya) kulit laki-laki dengan kulit wanita.

وَابْتَغُوا

Carilah dan tujulah

مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

(apa-apa yang) Allah halalkan dan perintahkan padamu

الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ

Cahaya siang hari dengan terbitnya fajar dari hitamnya malam dan kegelapannya

أَتِمُّوا

sempurnakanlah

عَاكِفُونَ

(Beri’tikaf berasal dari kata ‘ukuuf) pada dasarnya kata ‘ukuuf menetap dan menahan diri pada sesuatu.

حُدُودُ اللَّهِ

Syarat-syarat-Nya yang telah dibedakan, dibatasi, dan diberitahukan pada para hamba-Nya.
Diriwayatkan dari Al-Baroo’ – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Adalah para Sahabat Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – jika seorang dari mereka berpuasa lalu hadir waktu berbuka, kemudian ia tertidur atau tidur sebelum berbuka puasa maka ia tidak boleh makan setelah ia bangun baik pada waktu malamnya itu atau juga pada esok paginya hingga petang (maghrib) lagi. Sesungguhnya Qois bin Shirmah Al-Anshooriy suatu hari ia berpuasa, lalu ketika tiba waktu berbuka puasa ia dating kepada isterinya dan berkata: “Apakah engkau memiliki makanan?” maka isterinya berkata: “Tidak. Tetapi aku akan pergi dan mencarikannya untukmu.” Sedangkan Qois pada hari itu bekerja selama siang harinya maka tertidurlah kedua matanya, lalu datanglah isterinya dan ketika isterinya itu melihatnya maka ia berkata: “Celaka kamu!” lalu ketika esok tengah hari Qois pun pingsan (tak sadarkan diri). Maka turunlah ayat ini: “Dihalalkan bagi kalian pada malam puasa untuk berkumpul dengan isteri kalian….” (Q.S Al-Baqoroh: 187) maka mereka semua sangat bergembira.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy, Abu Daawuud, At-Turmudziy, dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-KUbroo dan Al-Mujtabaa.
Sedangkan dalam riwayat Al-Bukhooriy dan yang lainnya: “mereka tidak mendekati isteri mereka sama sekali sepanjang bulan Romadhon penuh dan beberapa lelaki mengkhianati diri mereka sendiri (tidak dapat menahan nafsunya), lalu Allah Yang Maha Luhur menurunkan:

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

Artinya: Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, (Q.S Al-Baqoroh: 187)
Dan telah datang keterangan tentang sebab turunnya dari sekelompok orang dari Ka’b bin Maalik yang diriwayatkan oleh Ahmad, dan Ibnu Jariir serta selain keduanya dengan sanad yang baik dengan lafazh: “Adalah dahulu manusia apabila ia berpuasa lalu ia tidur (setelah tiba waktu maghrib sebelum berbuka puasa) maka haramlah baginya makan dan minum juga berkumpul dengan isteri sehingga ia berbuka esok petang. Lalu suatu kali pulanglah Umar bin Al-Khoththoob – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dari sisi Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – satu malam sedang ia telah menghabiskan sebagian waktu malam di sisi beliau dan ia dapati isterinya telah tertidur, lalu Umar membangunkan isterinya itu dan ia menghendaki untuk berkumpul dengan isterinya, maka isterinya berkata: “Sungguh aku telah tidur.” Umar berkata: “Engkau tidak tidur.” Maka Umar pun mengumpuli isterinya. Ka’b bin Maalik pun memperbuat hal yang sama. Maka esok paginya Umar bin Al-Khoththoob pergi kepada Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan mengabarkan beliau tentang hal itu lalu Allah menurunkan ayat: “…Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian….” (Q.S Al-Baqoroh: 187) dan dalam bab yang sama juga terdapat riwayat dari Abu Huroiroh, Ibnu ‘Abbaas, , dan beberapa hadits mursal lainnya dari sekelompok sahabat. Lihatlah: “Ibnu Jariir (yakni Tafsir Ath-Thobariy) dan Ad-Durrul Mantsuur.
Dalam ayat tersebut terdapat nikmat yang agung atas kaum muslimin dan rahmat bagi mereka setelah pengujian terhadapa mereka, dan pengharaman makanan dan minuman serta mendekati isteri di malam-malam Romadhoon. Dan pada hal tersebut terdapat kesulitan yang besar dan pemberatan yang sangat.
Adapun tentang firman Allah Yang Maha Luhur:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ

Artinya: “...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (Q.S Al-Baqoroh: 187)

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Turun ayat ini:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ

Namun belum turun kata-kata minal fajri maka beberapa orang lelaki jika mereka hendak berpuasa (di malam harinya) salah seorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya, dan mereka terus makan dan minum sehingga jelas mereka dapat melihat perbedaan antara benang putih dan benang hitam tersebut. Lalu Allah Yang amha Suci lagi Maha Luhur setelah itu menurunkan minal fajri. Barulah setelah itu mereka mengetahui bahwa yang dimaksud (dengan benang putih dan benang hitam) adalah malam dan siang.”


Hadist riwayat Al-Bukhooriy dalam bab puasa dan bab tafsir,dan juga oleh Muslim dalam bab puasa.
Diriwayatkan dari ‘Adiyy bin Chaatim – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Ketika turun: “….sehingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam…” ‘Adiyy bin Chaatim berkata: “Ya Rosululloh, aku menjadikan di bawah bantalku dua benang, satu benang putih dan satu lagi benang hitam, sehingga aku mengetahui perbedaan malam dan siang.” Lalu Rosululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Sungguh lebar bantalmu (atau sungguh panjang tidurmu) itu. Sebab hanya saja yang dimaksud (dengan benang hitam dan benang putih) adalah gelapnya malam dan terangnya siang.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, Muslim dalam bab puasa, Abu Daawuud, At-Turmudziy, dan An-Nasaa-iy keduanya dalam bab tafsir.
Dalam dua hadits tersebut beserta ayat yang mulia terdapat penjelasan tetang batas makan dan minum dalam malam-malam Romadhon. Dan bahwasanya (kebolehan makan dan minum) itu boleh samapai nampak jelas terangnya siang di antara gelapnya malam yaitu fajar shodiq yang melebar dari kanan dan kiri di arah terbitnya matahari (ufuk timur). Dalam kedua hadits itu terdapat penjelasan bahwa nash-nash (teks-teks) syar’iy dibawa kepada penafsiran atau makna lahiriahnya dan makna hakikinya selama tidak adapenjelasan syar’iy (bahwa yang dimaksud adalah makna majazinya).
Adapun tentang firman-Nya Yang Maha Luhur:

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي المَسَاجِدِ

Artinya: “….sedangkan kalian sedang beri’tikaf di masjid….”
Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Adalah Rosululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – beri’tikaf pada sepuluh terakhir dari Romadhon sehingga beliau diwafatkan oleh Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Kemudian para isteri beliau pun beri’tikaf setelah (wafatnya) beliau.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy, Muslim, Abu Daawuud, At-Tirmidziy, dan selain mereka.
I;tikaaf, secara bahasa adalah menetapi, sedangkan (secara syari’at) dalam Islam adalah: menetapi salah satau dari rumah-rumah Allah (masjid) untuk beribadah kepadanya. Dan ia memiliki beberapa syarat dan hukum-hukum yang terkait dengannya yang tersebut pada tempatnya (yakni kitab-kitab fiqih / huku Islam)
@Suap dan penipuan 2: 188

[2.188] Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)

أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

Seseorang dari kalian mendzolimi saudaranya

وَتُدْلُوا



Maknanya: “mengajukan”. (Tudluu berasal dari kata idlaa’) asal makna idlaa’ adalah engkau mengulurkan timba atau ember yang terikat dengan tali ke dalam sumur. Maka dikatakan bagi orang yang mengajukan dalil / bukti untuk dakwaannya: adlaa bichujjatihi (ia telah mengajukan dalilnya begini dan begitu) yakni jika dalilnya yang ia pergunakan adalah alat yang dapat menghantarkan dia, sedang ia terkait dengan dalil itu dalam perkaranya, seperti keterkaitan orang yang mengambil air dari sebuah sumur dengan sebuah ember yang ia ulurkan ke dalam sumur itu dengan tali yang diikatkan pada ember tersbeut.
Diriwayatkan dari Abdulloh bin ‘Amr – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – mela’nat orang yang menyuao dan menerima suap.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam beberapa tempat, Abu Daawuud, At-Turmudziy, Ibnu Maajah, Al-Chaakim dengan sanad yang sahih, demiakian pula dihanaskan dan disahihkan oleh At-Turmudziy, juga disahihkan oleh Al-Chaakim dan Adz-Dzahabiy. Dan dalam riwayat lain terdapat tambahan: “dalam maslah hukum.” Dan hadits ini memiliki beberapa hadits pendukung. Dan dalam riwayat Ahmad dari Tsawbaan terdapat tambahan: “…dan (dila’nat pula) ar-roo-isy (yakni orang yang menjadi perantara antara si penyuap dan si penerima suap).”
Itu menunjukkan tentang haramnya suap-menyuap dan bahwasanya setiap dari ketiga pihak tersebut terkena la’nat Allah – semoga Allah melindungi kita darinya – karena hal itu merupakan sebab pengambilan harta orang lain dengan cara yang tidak benar dan menghukum dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan.
Firman Allah Yang Maha Tinggi: “dan engkau membawa urusan itu kepada hakim” yakni engkau menyerahkan urusan itu kepada hakim atau penguasa dengan memberi uang suap agar hakim itu menolong kalian untuk mengambil harta sebagian orang yang mana mereka (para hakim itu) menghukum untuk kemaslahatan / kepentingan kalian dengan cara zalim dan aniaya.
Dan diriwayatkan dari Ummu Salamah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rosululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Sesungguhnya kalian berselisih (melaporkan perselisihan) kepadaku dan hanya saja aku ini seorang manusia, dan barang kali sebagian di antara kalian lebih kuat buktinya dari sebagian yang lain. Oleh karenanya jika aku memutuskan untuk salah satu dari kalian dengan sesuatu dari hak saudaranya maka hanya saja aku memotongkan untuknya sebagian dari api neraka. Maka janganlah ia mengambilnya sedikitpun darinya (jika memang ua merasa bahwa itu bukan haknya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab Hukum-hukum dan Muslim dalam bab peradilan dan beberapa ahli hadits lain.
Hadits ini menyatakan bahwa hukum yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, namu perhitungan sebenarnya adalah dengan kenyataan yang benar (hakiki). Oleh karenanya apabila seorang hakim memutuskan berdasarkan bukti yang tidak benat (atau diada-adakan, walapun bukti itu ternyata kuat di mata pengadilan) maka hukumnya batil menurut Allah Yang Maha Luhur walaupun telah dilaksanakan, dan hak atau sesuatu yang di ambil oleh pihak yang menang (di muka pengadilan) adalah ibarat potongan dari api neraka, yang mana ia mengambilnya dengan cara yang batil dari saudaranya sesama muslim. Maka dalam ayat yang mulia di atas terdapat pengharaman mengambil harta orang dengan cara yang apapun kecuali dengan nalan syar’iy.
@Tahun berdasarkan perhitungan bulan (tahun lunar) 2: 189

[2.189] Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ البِرُّ بِأَن تَأْتُوا البُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ البِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا البُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)

بِأَن تَأْتُوا البُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا

Adalah dahulu orang-orang Arab dan orang-orag Anshor apabila mereka berhaji pada jaman jahiliah dahulu, dan mereka kembali (dari hajjinya), mereka menaiki rumah mereka dari belakang, dan mereka tidak memasukinya melewati pintu-pintunya.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Allah telah menjadikan bulan sabit (hilal) sebagai tanda waktu bagi manusia, maka berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Maka apabila tertutupi dari kalian maka hitunglah (genapkanlah) tiga puluh hari.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrozzaaq dalam bab puada dalam kitab Al-Mushonnaf, juga oleh Al-Chaakim dan disahihkan menurut syarat keduanya (Al-Bukhooriy & Muslim) dan disetujui oleh Adz-Dzahabiy. Dan hadits memiliki pendukung hadits lain yaitu riwayat Tholq bin Ali yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Chaatim dalam tafsirnya dan Ath-Thobrooniy dan selain keduanya.
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Orang-orang bertanya kepada Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tentang hilal (bulan sabit) lalu Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menurunkan: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal…..” (Q.S Al-Baqoroh: 189) Allah menjadikannya sebagai pertanda waktu untuk kaum muslimin, untuk permulaan puasa mereka, berbuak (hari raya) mereka, hajji mereka dan manasik mereka, dan untuk masa ‘iddah isteri mereka dan jatuh temponya hutang mereka.
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dan Ibnu Abi Chaatim dan diriwayatkan pula semisalnya dari sekelompok para ahli tafsir seperti: Qotadah, Abul ‘Aaliyah, Mujaahid dan yang lainnya. Dan tidak ada perbedaan antara mereka dalam hal itu.
Dan pertanyaan orang-orang adalah karena mengecilnya bulan sabit dan membesarnya, maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menjawab tetang pembaharuan bentuk hilal di setiap perputaran dari perputaran-perputarannya dalam garis edarnya, dan itu merupakan sesuatu yang terpenting yang seharusnya menjadi perhatian dan bahan pertanyaan.
Adapun tentang firman Allah Yang Maha Luhur:

وَلَيْسَ البِرُّ بِأَن تَأْتُوا البُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ البِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا البُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)



Artinya: “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Q.S Al-Baqoroh: 189)
Diriwayatkan dari Al-Baroo’ – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Ayat tersebut turun karena kami (orang-orang Anshoor). Dahulu orang-orang Anshoor apabila telah berhajji (ketika pulang) mereka tidak mau masuk ke rumahnya dari pintu depan. Lalu datanglah salah seorang dari Anshoor (dari menunaikan ibadah hajji) maka ia masuk melalui pintu depan rumahnya, maka seakan-akan orang itu dicela karena pebuatannya itu. Maka turunlah: “Dan bukanlah kebaikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya…..” Sedangkan dalam riwayat lain: “mereka apabila sedang dalam keadaan ihrom pada masa jahiliah, mereka memasuki rumah dari belakangnya, lalu Allah menurunkan: “Dan bukanlah kebaikan……”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab hajji dan dalam bab tafsir, juga oleh muslim di akhir kitabnya, dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo.
Dan diriwayatkan pula dari Jaabir – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: Adalah orang-orang Quraisy dipanggil dengan sebutan chumus (jama’ dari kata achmas, yang terambil dari kata chamasah yang berarti ‘semangat’, yakni mereka adalah orang yang berpegang teguh dengan sangat kepada tradisinya atau agamanya) dan mereka masuk dari pintu-pintu (depan) rumah meskipun dalam keadaan ichroom. Sedangkan orang-orang Anshoor dan orang-orang arab yang lain mereka tidak masuk dari pintu-pintu (depan) rumah mereka ketika mereka masih dalam keadaan ichroom. Lalu suatu kali ketika Rosululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – berada di suatu kebun kemudian beliau keluar melalui pintu (depan)nya dan keluar pula bersama beliau Quthbah bin ‘Aamir Al-Anshooriy. Maka mereka berkata: “Ya Rasululloh, sesungguhnya Quthbah seorang lelaki yang fajir (melanggar atau berbuat buruk) sesungguhnya dia keluar bersama anda melalui pintu (depan dari kebun tersebut)”. Beliau bersabda: “Apa yang membuatmu melakukan hal itu (wahai Quthbah)?” Quthbah menjawab: “Aku melihat nada melakukannya maka aku pun melakukannya.” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya aku adalah termasuk achmas (sebab beliau berasal dari Quraisy),” Quthbah berkata: “Sesungguhnya Agamaku adalah Agama anda.” Lalu Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menurunkan: “Dan bukanlah kebaikan, kalian mendatangi rumah…..”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Chaakim dan disahihkannya menurut syarat Al-Bukhooriy & Muslim dan disetujui oleh Adz-Dzahabiy namun menurut syarat Muslim saja, begitu pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Chaatim.
Demikianlah orang-orang jahiliah membuat-buat perkara yang mereka anggap sebagai suatu kebaikan, padahal ia hanya wahyu (inspirasi) dari setan. Maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung memberitahukan bahwa masuk ke rumah melalui belakang atau pintu-pintu (depan)nya tidak ada hubungan dengan kebaikan. Hanya saja kebaikan itu adalah dengan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung yaitu dengan melaksanakan apa yang Dia perintahkan dan melarang apa yang Dia larang.
@Allah tidak suka perbuatan kezaliman (agresi atau penyerangan / pengrusakan) 2: 190 - 194

[2.190] Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِينَ (190)
[2.191] Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir

وَاقْتُلُوَهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوَهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ القَتْلِ وَلاَ تُقَاتِلُوَهُمْ عِندَ المَسْجِدِ الحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِن قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوَهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الكَافِرِينَ (191)

حَيْثُ ثَقِفْتُمُوَهُمْ

(Kata tsaqiftum berasal dari kata ats-tsaqoofah) makna ats-tsaqoofah adalah: teliti dan hati-hati, dikataka innahu tsaqifun laqifun (sesungguhnya ia adalah orang yang tsaqif) jika ia sangat tanggap dan hati-hati. Adapun di sini maknanya adalah: “kalian mencari dan mendapatkan mereka”.


Diriwayatkan dari Abu Syuroich – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata kepada ‘Amr bin Saa’iid: “Izinkan aku, wahai pemimpin, untuk memberitahukan kepadamu sebuah perkataan yang mana Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – berdiri mengucapkan kalimat itu ketika pada pagi hari fatchu Makkah (hari pembukaan kota Makkah), yang mana didengar oleh dua telingaku, dimengerti oleh hatiku, dan di lihat oleh kedua mataku ketika beliau mengucapkannya. Sesungguhnya beliau memuji Allah, dan menyanjungnya kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya Makkah diharamkan oleh Allah tidak diharamkan oleh manusia. Maka tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari kahir untuk menumpahkan darah di dalamnya, atau menumbangkan pohon padanya. Lalu jika ada seseorang ingin mengambil keringanan untuk melakukannya karena pembunuhan yang dilakukan oleh Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – (yakni Rasul ketika itu menyuruh membunuh beberapa orang yang sangat memusuhi Islam di antaranya adalah Ibnu Khothol) maka katakanlah kepadanya: “Sesungguhnya Allah mengizinkan untuk Rasul-Nya – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – namun tidak mengizinkan untuk kalian.” Hanya saja Dia mengizinkanku sesaat daripada siang dan sekarang telah kembali keharamannya sebagaimana keharamannya kemarin, dan hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab hajji dan bab-bab lain, juga oleh Muslim juga dalam bab hajji, dan oleh selian keduanya, dan dalam riwayat keduanya (Al-Bukhooriy dan Muslim) juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbaas dengan lafazh: “Sesungguhnya negeri ini (Makkah) diharamkan oleh Allah sejak penciptaan langit dan bumi, maka ia haram dengan pengharaman Allah hingga hari kiamat. Sesungguhnya tidak dihalalkan peperangan (pembunuhan) di dalamnya bagi seorang pun sebelumku, dan tidak halal bagiku kecuali sesaat daripada siang hari….” Dalam masalah ini terdapat terdapat hadits-hadits lain dari sekelompok para sahabat dalam sahih Al-Bukhooriy dan lainnya.
Dalam keduaq hadits tersebut dan yang semakna dengan itu terdapat dalil atas pengharaman peperangan (pembunuhan) dalam tanah haram Allah, Makkah, dan bahwasanya tidak halal bagi seorang pun untuk menumpahkan darah padanya. Hanyasaja Allah Yang Maha Luhur membolehkan untuk Rasul-Nya – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – untuk melakukan pembunuhan padanya sesaat dari siang pada hari Fatchu Makkah, kemudian kembali lagi keharaman seperti semula. Hanyasaja Al-Qur’an yang mulia menyatakan dengan jelas pembolehan untuk memerangi orang yang memerangi kaum muslimin yang berada di Makkah, karena untuk membela diri bukan memulai serangan. Dan begitulah yang dilakukan oleh Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – pada hari fatchu Makkah, yaitu beliau tidak membunuh kecuali yang menyerang beliau, sebagaimana hal itu telah diketahui. Dan terdapat pula pembicaraan yang panjang tentang masalah ini yang tidak yang tidak terasa perlu untuk diketengahkan, sebab tidak termasuk persyaratan kami (yakni riwayatnya lemah dan tidak sahih).
[2.192] Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

فَإِنِ انتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (192)


[2.193] Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim

وَقَاتِلُوَهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ (193)

حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ

Makna fitnah disini adalah kemusyrikan dan penyembahan kepada selain Allah.

فَإِنِ انتَهَوْا

Berhenti memerangi kalian dan mereka masuk kedalam agama kalian

إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ

Orang-orang yang tidak berhenti (memerangi kalian)


Diriwayatkan dari Ibnu Umar- semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – bahwasnya dua orang dating kepadanya ketika terjadi fitnah Ibnuz Zubair, lalu keduanya berkata: “Sesungguhnya manusia sungguh telah disia-siakan, sedangkan engkau adalah putera Umar (bin Al-Khoththoob) dan sahabat Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – maka apa yang menghalangimu untuk keluar (yakni berperang bersama Ibnuz Zubair). Maka Ibnu Umar berkata: “Sesungguhnya Allah mengharamkan darah saudara saya. Mereka berdua berkata: “Tidakkah Allah berfirman: “Dan perangilah mereka sehingga tidak terjadi fitnah?” maka ia berkata: “Kami telah berperang agar tidak terjadi fitnah dan agar penyembahan atau agama hanya milik Allah, sedangkan kalian hendak berperang supaya terjadi fitnah , dan supaya penyembahan atau agama menjadi milik selain Allah.” dalam riwayat lain: “Semoga ibumu kehilanganmu? Apakah engkau tahu apakah fitnah itu? Hanya saja dahulu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – memerangi kaum musyrikin, dan memasuki agama mereka adalah fitnah, dan beliau tidak memerangi mereka karena kekuasaan.”
Dalam riwayat lain: “Bahwasanya seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar dan Ibnu Umar berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdurrahman, apa yang membawamu untuk berhajji setahun dan berumaroh setahun dan engkau meninggalkan jihad fi sabilillah sedangkan engkau tahu tentang anjuran Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung dalam hal tersebut.” Ibnu Umar berkata: “Wahai anak saudaraku, Islam dibangun atas dasar yang lima: keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, sholat lima waktu, puasa di bulan Romadhon, menunaikan zakat, dan hajji ke Baitulloh.” Orang itu berkata: “Wahai Abu Abdurrochmaan apakah anda tidak mendengar apa yang difirmankan Allah dalam kitab-Nya:

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ..... (الحجرات: 9)

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.....” (Q.S Al-Chujuroot: 9)

وَقَاتِلُوَهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ..... (البقرة: 193)

Artinya: “Dan perangilah mereka sehingga tidak terjadi fitnah (kerusakan)…..” (Q.S Al-Baqoroh: 193)”

Ibnu Umar berkata: “Kami telah melakukannya pada masa Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan ketika itu Islam sedikit, dan orang-orang teruhji dalam memegang Agamanya. Ada yang terbunuh da nada yang disiksa. Sehingga Islam menjadi banyak, dan tidak lagi terjadi fitnah.” Orang itu berkata lagi: “Lalu apa pendapatmu tentang Ali dan ‘Utsmaan? Ibnu Umar berkata: “Adapun ‘Utsman maka ia telah dimaafkan oleh Allah, namun kalian tidak mau memaafkannya, adapun Ali maka ia adalah sepupu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan menantunya – lalu ia menunjuk dengan tangannya seraya berkata – itulah rumahnya yang mana kalian melihatnya.” Dalam riwayat lain: “Itulah puterinya yang mana kalian melihatnya.”


Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy yakni pada riwayat yang pertama dan yang terakhir dan dalam bab tafsir, dan diriwayatkan oleh An-Nasaa-iy dalam Al-Kubroo dengan riwayat yang kedua, dan dalam Ad-Durrul Mantsuur riwayat tersebut dinisbatkan kepada Al-Bukhooriy dan juga kepada Abusy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih.
Adapun yang dimaksud dengan fitnah Ibnuz Zubair adalah peperangan yang dilakukan oleh Abdulloh bin Az-Zubair melawan bani Mu’awiyah yang mana Ibnuz Zubair memegang kekholifahan secara merdeka (lepas dari kekuasaan anak-anak Mu’awiyah) yaitu di wilayah Makkah dan Madinah dan disekitarnya. Maka antara kedua pihak itu terjadi beberapa pertempuran yang menghantarkan kepada kekalahan Ibnuz Zubair dan terbunuhnya Ibnuz Zubair di tanah haram yang mulia, Makkah, di tangan Chajjaaj (bin Yusuf) Ats-Tsaqofiy yang melampaui batas yang telah terkenal. Dan adalah Abdulloh bin Umar teramsuk orang-orang yang tidak mau ikut campur dalam peperangan tersebut dan menghindarkan diri dari fitnah, maka ia didatangi oleh sebagian orang yang suka dengan fitnah dan pencelaan terhadap sahabat yang mana orang itu mencelanya karena ia mundur danorang itu menyuruh (atau mendorong) Ibnu Umar untuk berperang. Maka Ibnu Umar menjawab mereka dengan jawaban yang telah tersebut di atas dan ia memberitahu mereka bahwasanya mereka telah berusaha mengobarkan fitnah dan berperang demi kekuasaan dan kepemimpinan. Tidak seperti pada masa Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan apara sahabat beliau terdahulu.
Dalam hadits tersebut terdapat keutamaan dua orang Kholifah yaitu sayyidina Ali dan sayyidina ‘Utsmaan – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – dan telah tersebut keutamaan keduanya dalam kitab khusus tentang keutamaan para sahabat. Adapun ayat yang mulia menunjukkan atas wajibnya memerangi orang-orang musyrik khususnya para penyembah berhala dan orang-orang yang tidak beragama sehingga tidak tersisa fitnah (kerusakan) kekafiran, dan agama (atau penyembahan) secara murni dan keseluruhan menjadi hanya milik Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung yang mana tidak bersekutu seorang pun padanya. Dan ayat tersebut termasuk ayat yang muchkam (yang tidak terkena naskh) dan tetap di amalkan hingga hari kiamat.
Dan sunnguh telah dating riwayat dalm sahih Muslim dari beliau – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – yaitu: “berperanglah kalian di jalan Allah, dan perangilah orang-orang yang ingkar kepada Allah….” Sedangkan dalam suatu hadits yang mutawatir disebutkan: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka semua berkata: “Tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah….” Dan dikecualikan dari keumuman hadits tersebut para ahli kitab, maka mereka diperangi sehingga membayar jizyah (pajak sebagai tanda ketundukan kepada pemerintah Islam) dan kemudian mereka dibiarkan dalam agama mereka.
@Bulan haram (bulan-bulan yang dimuliakan, yaitu Dzul Qo’dah, Dzul Chijjah, Mucharrom, dan Rojab) 2: 194

[2.194] Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa

الشَّهْرُ الحَرَامُ بِالشَّهْرِ الحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ المُتَّقِينَ (194)

الشَّهْرُ الحَرَامُ

Yang dimaksud bulan haram pada ayat di atas adalah Bulan Dzulqo’dah tahun ketujuh hijrah yang mana pada tahun atau bulan itu Rasul masuk kedalam kota Makkah (untuk berumaroh)

بِالشَّهْرِ الحَرَامِ

(Sebagai ganti bulan harom yang lain) yakni bulan Dzul Qo’dah tahun keenam hijrah yang mana padanya Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimphakan salawat dan salam atas beliau – melakukan umroh Chudaybiah, dan orang-orang musyrikin mencegah beliau untuk masuk ke Baitulloh.

وَالْحُرُمَاتُ

Churumaat adalah bentuk jama’ dari churmah, yaitu kehormatan Bulan haram, tanah haram dan juga ihrom.

قِصَاصٌ


Imbalan Allah untuk nabi-Nya dengan mengambil Qishas (denda) dari orang-orang musyrik dengan cara Allah memasukkan mereka (kaum muslimin) ke kota Mekah pada tahun ketujuh ketika mereka tidak bisa masuk pada tahun keenam.
Diriwayatkan dari Jaabir – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya –ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tidaklah berperang pada bulan haram kecuali apabila beliau diperangi atau orang-orang kafir memerangi (menyerang) lalu jika bulan haram itu dating, beliau berdiam diri di Madinah (tidak berperang) sehingga keluar (selesai) bulan haram tersebut.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang sahih.
Adapun bulan-bulan haram adalah Dzul Qo’dah, Dzul Chijjah, Muharram, dan Rojab, yang mana Allah mengharamkan padanya segala kezaliman dan peperangan dan Dia memerintahkan untuk mengormatinya. Hal itu telah terkenal meskipun pada masa jahiliah, meskipun mereka melakukan An-Nasii’ (pengunduran bulan haram dari waktu yang seharusnya). Dan adalah Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – menghormatinya, mengangungkannya, dan menyuruh untuk menjaganya. Oleh karenya beliau tidak pernah berperang pada bulan-bulan itu sehingga selesai bulan tersebut kecuali apabila beliau diperangi. Sehingga ketika beliau berada di Chudaibiyyah dan beliau mengutus ‘Utsman bin ‘Affaan – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – sebagai utusan (duta) dan samapai berita bahwasanya ia telah dibunuh, maka beliau menyerukan kepada para sahabat untuk berbai’at sebagai persiapan perang meskipun ketika itu beliau sedang berada di bulan haram. Lalu ketika datang kabar tentang keselamatan ‘Utsman maka beliau melakukan perdamaian dengan mereka (orang-orang Quraisy). Lalu mereka pun mensyaratkan agar neliau dan para sahabat kembali pulang pada tahun itu dan boleh kembali lagi ke Makkah (untuk berumroh) pada tahun akan dating. Maka beliau dan kaum muslimin mengikuti syarat itu. Maka berumrohlah beliau pada tahun berikutnya yaitu pada bulan Dzul Qo’dah seperti tahun sebelumnya. maka Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung menurunkan: “Bulan haram dengan bulan haram…..dst” (yakni ayat 194 di atas) maknanya bulan haram yang mana kamu dapat memasuki kota Makkah adalah sebagai ganti bulan haram yang mana engkau terhalang padanya dari memasuki Makkah.
Lihatlah: Ad-Durrul Mantsuur dan Ibnu Abi Chaatim.
Dikatakan (tentang makna ayat itu): “Apabila mereka memerangi kalian di bulan haram maka perangilah juga di bulan haram itu (yakni balaslah serangan mereka itu meskipun mereka menyerang di bulan haram), dan sebagaimana mereka merusak kehormatan bulan haram tersebut dan menghalalkan darah kalian, maka perbuat lah kepada mereka seperti itu pula.” Dan itulah yang sesuai dengan petunjuk baginda – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan hadits dalam bab ini.
@Jadilah orang yang selalu berbuat baik untuk memperoleh kecintaan Allah 2: 195

[2.195] Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ (195)

التَّهْلُكَةِ

Seseorang menahan harta dan jiwanya untuk jihad di jalan Allah. Sebagian lagi mengatakan bahwa itua adalah seorang yang terjerumus kepada dosa besar lalu ia mengatakan: “Allah tidak akan mengampuni saya” atau “Tidak ada kesempatan bertaubat untuk saya” maka ia melemparkan dirinya dengan tangannya sendiri kepada keputus-asaan dari rahmat Allah. Dan dalam maslah ini ada perbedaan pendapat.
Diriwayatkan dari Chudzayfah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Ayat:

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

turun berkenaan dengan infaq (di jalan Allah).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir.
Dan diriwayatkan dari Aslam bin ‘Imroon – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – ia berkata: “Suatu kali kami sedang berada di kota Rum maka keluarlah sebuah barisan tentara yang sangat besar yaitu tentara Rum (yakni Romawi, yang dimaksud adalah Romawi Timur yaitu kawaan negeri Syam, atau Palestina dan sekitarnya) maka keluarlah tentara dari kaum muslimin yang jumlahnya sama banyak atau lebih banyak, dan yang memimpin barisan kaum muslimin dari Mesir adalah ‘Uqbah bin ‘Aamir dan yang memimpin satu kelompok lagi adalah Fadhoolah bin ‘Ubaid. Maka seorang dari kaum muslimin tiba-tiba melesat ke arah pasukan Rum sehingga masuk ke tengah-tengah mereka, maka orang-orang muslim pun berterika: “Subachaanalloh, ia melemparkan dirinya sendiri kepada kebinasaan.” Lalu bangkitlah Abu Ayyuub Al-Anshooriy dan ia berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian menta’wilkan ayat ini seperti itu, padahal ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshoor. Ketika Allah memuliakan Islam dan telah banyak penolong (pembelanya), maka kami pun saling berkata satu sama lain tanpa didengar oleh Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – kami berkata: “Sesungguhnya harta kita telah hilang (habis, yakni untuk berjihad) dan sesungguhnya Allah telah memenangkan Islam dan telah menjadi banyak para pembelanya. Seandainya saja kita kembali kepada harta kita dan memperbaiki apa yang telah hilang darinya. Lalu Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur menurunkan atas Nabi-Nya untuk menjawab apa yang telah kami katakan itu:

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,…..”

Yang dimaksud dengan tahlukah (kebinasaan) adalah kami mengurusi harta kami serta memperbaikinya dan meninggalkan jihad.

Maka senantiasa Abu Ayyub tegak (berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain) untuk berjihad di jalan Allah sehingga (ia wafat dan) dimakamkan di negeri Rum (yakni di kota Istambul, Turki, hingga sekarang makam beliau di sana, semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya).
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daawuud dalam bab jihad, At-Turmudziy dalam bab tafsir, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo, Ibnu Chibbaan dalam Al-Mawaarid, dan juga oleh Al-Chaakim; di hasankan dan disahihkan oleh At-Turmudziy serta disahihkan pula oleh Al-Chaakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabiy.
Hadits ini, seperti pendahulunya, juga menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat yang mulia ini adalah meninggalkan infak dan jihad di jalan Allah dan bahwasanya itulah yangb di maksud dengan mereka melemparkan tangan (yakni diri) mereka sendiri kepada kebinasaan. Sebab meninggalkan yang tersebut, menyebabkan menyerangnya musuh kepada kaum muslimin, dan kemenangan mereka atas kaum muslimin serta kalahnya kaum muslimin di hadapan mereka, sebagaimana yang terjadi dalam era-era (masa) belakangan ini. Dan sebagian ulama mengambil dari hadits Abu Ayyuub di atas dasar hukum tentang operasi kesyahidan (bom syahid, dan semacamnya) untuk melawan para musuh Islam, dan hal itu didukung dengan banyak dalil baik sunnah (hadits) maupun atsar sahabat.
@Manasik Hajji (tatacara pelaksanaan ibadah hajji) 2: 196 - 203

[2.196] Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya

وَأَتِمُّوا الحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِن الهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي المَسْجِدِ الحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ العِقَابِ (196)

فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ

Kalian dicegah dan diboikot dari pekerjaan umroh atau hajji dan disegah dari masuk ke Baitulloh yang mulia. (kata uchshirtum terambil dari kata ichshoor) Makna ichshoor dalam perkataan orang-orang Arab: mencegah penyebab dari suatu penyakit atau semacamnya.

فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الهَدْيِ

Binatang sembelihan. Yakni antara kambing hingga unta. Kata hadyu adalah bentuk jama’ sedangkan mufrodnya adalah hadyah, yaitu apa-apa yang dipersembahkan (atau dikurbankan) karena Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung seperti hadiah yang diberikan oleh seseorang kepada temannya untuk menambah keakraban dengan itu kepadanya.

مَحِلَّهُ

Sehingga binatang sembelihannya sampai ditempat untuk memakannya, dan untuk diambil manfaatnya ditempat penyembelihannya (yakni di tanah haram).

أَوْ بِهِ أَذًى

Segala apa yang mengganggunya dikepalanya berupa serangga atau semacamnya. (yang dimaksud di sni adalah kutu atau sebangsanya)

مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

فَإِذَا أَمِنتُمْ

(jika kalian merasa aman) dari ketakutan atau kalian bebas dari penyakit



فَمَن تَمَتَّعَ

Tamattu’ di sini adalah seseorang berihram hajji lalu ia terkepung oleh musuh, atau terhalang oleh penyait atau sesuatu perkara lain sehingga ia kehilangan kesempata hari-hari untuk melakukan ibadah hajji (sedang ia sudah berihram) maka ia jadikan iharamnya itu sebagai ihram umroh lalu (setela ia sempurnakan ihram umrahnya itu dan ia bertachallul maka) ia boleh menikmati kehalalannya (yakni ia lepas dari hal-hal yang dilarang dalam ihram) hingga tahun depan kemudian ia berhajji dan mempersembahkan hadyu maka inilah yang dimaksud dengan bertamattu’ (bersenang-senang dengan status halalnya ia dari ihram hajjinya) hingga menunaikan hajji pada tahun berikutnya.
Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – bahwasanya Rasululloh masuk kepada – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – Dhobaa’ah binti Az-Zubair bin Abdil Muththolib lalu ia berkata: “Ya Rasululloh, sesungguhnya aku ingin berhajji namun aku sakit.” Lalu Rasul bersabda: “Berhajjilah engkau dan syaratkanlah: “(Ya Allah) Sesungguhnya tempat halalku adalah dimana Engkau menahanku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab nikah, Muslim dalam bab hajji, dan hadits yang senada juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas oleh Ahmad dan Muslim.
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – terkepung (yakni tertahan dari melanjutkan amal umrohnya ketika tahun terjadinya perjanjian Chudaibiah) maka beliau mencukur rambut beliau dan mengumpuli isteri beliau dan menyembelih hewan sembelihan beliau hingga beliau berumroh pada tahun berikutnya.”
Hadits ini diriwayatka oleh Al-Bukhooriy dalam masalah ichshoor (terkepung) dalam bab hajji.
Dan diriwayatkan dari Al-Miswar – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – bahwasanya Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – menyembelih (hewan kurban hajji beliau) sebelum mencukur rambut dan memerintahkan para sahabat untuk melakukan hal itu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab hajji.
Umunya para ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun dalam masa ‘Umroh Chudaibiyyah yang mana orang-orang kafir Quraisy mencegah Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – untuk masuk ke Makkah maka beliau menyembelih hewan kurbannya dan mencukur (rambut) kepalanya lalu beliau menyuruh para sahabatnya dengan hal itu. Lalu terjadilah perdamaian antara beliau dan kaum musyrikin. Maka sepakat para ulama, bahwsanya siapa saja yang terkepung (terhalang dari menyempurnakan ihrom hajji atau umrohnya) maka ia hendaklah bertahallul, menyembelih hewan kurban dan mencukur rambutnya. Dan sebagian kelompok para ulama mengelompokkan pula segala halanga yang dapat menghalangi seseorang untuk menyempurnakan amal hajjinya seperti sakit, banjir, api (kebakaran), dan gangguan hewan, ke dalam hukum terhalangnya seseorang karena musuh. Terutama apabila sejak pertama ia mensyaratkannya seperti pada hadits Dhobaa’ah yang telah terse but di atas.
Diriwayatkan dari Abdillah bin Ma’qil – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – ia berkata: “Aku duduk di dekat Ka’b bin ‘Ujroh – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – di masjid ini – yakni masjid Kufah – maka aku menanyainya tentang pembayaran fidyah (pada ibadah hajji sebagai ganti) dari puasa. Maka ia berkata: “Aku dibawa menghadap kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – sedangkan kutu berjatuhan di wajahku. Lalu beliau bersabda: “Aku tidak menduga bahwasanya kesulitan telah sampai padamu dalam batas seperti ini. Apakah engkau tidak mendapati (memiliki) seekor kambing?” Aku berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Berpuasalah tiga hari, atau berilah makan kepada enam orang fakir miskin, untuk setiap satu orang miskin setengah shoo’ (setengah gantang, yaitu sekitar 1 ¼ atau satu setengah kilogram) dari makanan pokok, dan cukurlah rambutmu.” Maka turunlah ayat itu untukku secara khusus dan ia juga berlaku bagi kalian secara umum.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bukhooriy dalam bab hajji dan bab tafsir serta di ebberapa tempat lain, juga oleh Muslim dalam bab hajji, At-Turmudziy dalam bab tafsir, Abu Daawuud, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Mujtabaa dan Al-Kubroo, dan juga oleh Ibnu Maajah.
Hadits tersebut dating sebagai penjelas bagi ayat yang turun karena sebab Ka’b. itu menunjukkan bahwa seorang yangs edang berihrom (hajji atau umroh) jika ia sanngat memerlukan (terpaksa) untuk menggunting rambutnya atau padanya terdapat penyakit, atau terdapat keperluan mendesak maka boleh baginya untuk mengerjakan apa yang dilarang dalam ihrom, kemudian ia harus membayar denda (fidyah) baik itu berpuasa tiga hari atau memberi makan enam orang fakir miskin atau menyembelih seekor kambing yang mana ia sedekahkan dagingnya. Dan pembicaraan tentang masalah ini telah sangat lengkap dalam bab hajji.
Diriwayatkan dari ‘Imroon bin Chushoin – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Turun ayat tentang mut’ah (yakni hajji tamattu’) dalam kitab Allah Yang Maha Luhur (yaitu Al-Qur’an) lalu kami mengerjakannya bersama dengan Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – dan tidak turun satu ayat Al-Qur’an pun yang mengharamkannya dan melaranganya sehingga wafatlah Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – barulah seorang ada yang berpendapat dengan pendapatnya (atahu ijtihadnya, yakni Umar bin Al-Khoththoob).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir dan selainnya, Muslim dalam bab Hajji, dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo.
Yang dimaksud mut’ah di sini adalah hajji tamattu’ yaitu mendahulukan ‘umroh dan bertahallul dari umroh kemudian berhajji pada tahun itu juga, dan Allah Yang Maha Luhur telah mengabarkannya dalam ayat ini sebagai pensyari’atan bagi para hamba-Nya, dan Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – memerintahkan untuk melakukannya kepada setiap orang yang tidak membawa hewan sembelihan dari kalangan para sahaba beliau, dan beliau sendiri berkeinginan untuk melaksanakannya. Dan hadits kesyari;atan hajji tamattu’ ini adalah mutawatir maka hendaknya untu mendapat kesimpulan dalam masalah ini para pembaca merujuk kepada kitab Itmaamul Minnah karya penulis. Dan barangsiapa berihram dengan hajji tamattu’ maka wajib baginya menyembelih hewan kurban, maka bagi siapa saja yang tidak mampu karena tidak mendapatkan hewan kurban atau tidak memiliki harganya, maka hendaknya ia berpuasa tiga hari sebelum ‘Arofah dan tujuh hari setelah ia pulang kembali ke tanah airnya.
[2.197] (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ (197)

فَمَن فَرَضَ

Mewajibkan dirinya untuk melaksanakan ibadah haji

فَلاَ رَفَثَ

Berbuat keji. Kata rofats dalam tempat ini bermakna: berhubugan suami isteri atau menyebut-nyebut tentang perkata ima’ di dapan iateri apalagi wanita lain.

وَلاَ فُسُوقَ

Fusuuq adalah maksiat-maksiat

وَلاَ جِدَالَ

Seseorang yang berdebat sehingga membuat marah saudaranya


Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Tidak boleh berihrom hajji kecuali pada bulan-bulannya, sebab termasuk sunnah (yakni aturan) hajji adalah berihram hajji pada bulan-bulan hajji.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Chuzaymah dengan sanad yang sahih, dan perkataan Sahabat: “Termasuk sunnah adalah ini dan itu” termsuk dalam hukum hadits marfuu’ menurut kebanyakan para ahli hadits.
Dan diriwayatkan dari Jaabir – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bahwasanya beliau bersabda: “Tidak patut bagi seseorang untuk berihrom dengan ihrom hajji kecuali dalam bulan-bulan hajji.”
Ibnu Katsiir menisbatkannya kepada Ibnu Mardawaih, dan ia berkata: “Sanadnya baik.” Akan tetapi Asy-Syaafi’iy dan Al-Bayhaqiy meriwayatkannya dari beberapa jalur dari Ibnu Juraij dari Ibnuz Zubair bahwasanya ia mendengar Jaabir bin Abdillah pernah ditanya: “Apakah seseorang boleh berihram hajji sebelum bulan-bulan hajji?” ia berkata: “Tidak.” Berkata Ibnu Katsiir: “Hadits mawquuf ini lebih sahih dan lebih kuat daripada hadits marfuu’. Maka ketika itu madzhab Sahabat dapat menjadi kuat dengan perkataan Ibnu ‘Abbaas: “Termasuk sunnah adalah tidak boleh berihram hajji kecuali pada bulan-bulannya.”
Para ulama telah bersepakata bahwa bulan-bulan hajji dan waktu-waktunya adlaah bulan Syawwal, Dzul Qa’dah dan Dzul Chijjah yakni sepuluh hari dari bulan Dzul Chijjah. Dan itu telah dikeyahui di sisi seluruh manusia (sejak jama jahialiah) oleh karena itu Allah Yang Maha Luhur berfirman: asyhurum ma’luumaat (bulan-bulan yang telah diketahui). Dan hadits Ibnu ‘Abbaas dan Jaabir menunjukkan bahwa tidak sah ihram hajji sebelum waktunya. Dan telah terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang sahih adalah tidak sah, karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits).
Diriwayatkan dari Abul ‘Aaliyah – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – ia berkata: “Dahuku saya berjalan bersama Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – sedang ia dalam keadaan berihram, dan ia melantunkan sebuah sya’ir di atas unta yang di antaranya berbunyi: “Dan mereka (para wanita) berjalan bersama kami tanpa bersuara” maka aku berkata: “Apakah engkau berbuat rofats (berkata-kata yang tidak layak) sedangkan engkau muhrim (tengah berihram)?” maka berkatalah Ibnu ‘Abbaas: “Rofats itu hanyalah yang merujuk kepada wanita (yakni berkumpulnya antara suami isteri).”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jariir, dan Al-Chaakim serta disahihkan olehnya dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy.


Dan diriwayatkan dari Abu Huroiroh – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Barangsiapa berhajji lalu ia tidak berbuat rofats dan tidak berbuat fasiq (kemasiatan) maka ia akan keluar dari dosanya seperti hari di mana ia dilahirkan oleh ibunya (yakni bersih) dalam riwayat lain: “Ia kembali seperti hari…..”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dan Muslim dan lainnya.
Yang dimaksud rofats dalam ayat dan hadits tersebut adalah jima’ (berkumpul suami-isteri) dan pembukaannya: baik itu pembicaraa, berpegangan / bersentuhan, ciuman, atau berpelukan dsb. Dan itu semua haram ketika dalam keadaan ihram menurut ijma’ (kesepakatan ulama) dan ayat tersebut dating dengan lafazh nafiy (berarti: tidak) namun bermakna nahiy (larangan, artinya: jangan) adapun perb uatan fasiq adalah perlakukan kemaksiatan di antaranya adalah: pencelaan, sebagaimana dating pada hadits sahih dari beliau – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – yaitu: “mencela orang mu’min adalah perbuata fasiq dan pembunuhannya (jika diikuti dengan anggapan bahwa itu halal) adalah sebuah kekafiran. Termasuk makna fasiq ini adalah berdebat dan berbantah-bantahan dengan kawan perjalanan dan yang lainnya.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – tentang firman Allah Yang Maha Luhur: “Dan berbekallah sebab sebaik-baiaknya bekal adalah ketaqwaan” ia berkata: “Dahulu ada sekelompok orang berhajji tanpa membawa bekal maka turunlah ayat tersebut.” Menurut riwayat lain: “Dahlu sebagian penduduk Yaman berhajji namun tidak membawa bekal, dan mereka berkata: “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal (berserah diri)” lalu ketika mereka telah sampai di Madinah mereka meminta-minta kepada orang.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab hajji, dan An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Kubroo, Ibnu jariir dan yang selian mereka.
Parab pakar ulama berpendapat bahwa tawakkal tidaklah sah jika dibarengi dengan meminta-minta, dan bahwsanya berbekal tidaklah meniadakan sifat tawakkal secara mutlak seperti sebab-sebab lain. Ini yang berhubungan dengan bekal materi, adapun bekal ruhani atau ukhrawi maka haruslah ia bawa yaitu ketaqwaan. Oleh karenya Dia berfirman: “Sebab sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketaqwaan” dan itulah sebab masuknya seorang ke dalam surge. Maka bertawakkal (berserah diri) dalam memasuki surga tanpa amal maka itu merupakan angan-angan bahkan termasuk kebodohan dan kedunguan.
[2.198] Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ المَشْعَرِ الحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ (198)

جُنَاحٌ

dosa


أَفَضْتُمْ

Kalian kembali ketempat dimana kalian memulai

المَشْعَرِ

Tempat yang telah ditentukan. Dalam masalah penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.


Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Dahulu ‘Ukaazh (pasar di antara Thoif dan Nakhlah), Majannah (pasar di Marrozh Zhohroon), dan Dzul Majaaz (pasar di dekat ‘Arofah) adalah pasar-pasar pada masa jahiliah (di sekitar Makkah), maka (setelah datang Islam) kaum muslimin merasa berdosa jika mereka berdagang pada saat musim hajji, mak turunlah: “Tidak ada dosa bagai kalian untuk mencari karunia……” di musim-misim hajji.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab hajji dan bab tafsir, juga oleh Ibnu Jariir dan Al-Chaakim, sedangkan Ibnu Katsiir menisbatkan hadits ini kepada riwayat Abdurrozzaaq dan Sa’iid bin Manshuur.
Dan diriwayatkan pula dari Abu Umaamah At-Taymiy, ia berkata: “Aku berkata kepada Ibnu Umar: “Sesungguhnya kami adlaah sekelompok orang yang berdagang (yakni ketika musim hajji), maka apakah kami nedapatkan hajji juga?” Ibnu Umar: “Tidakkah kalian bertawaf di Baitulloh, kalian mendatangi ‘Arofah (untuk wukuf), kalian melempar jumroh, dan kalian mencukur rambut kalian?” Kami berkata: “Ya.” Ibnu Umar berkata: “Telah datang seorang lelaki kepada Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – sedangkan ia bertanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku itu maka beliau tidak tahu apa yang harus beliua katakana kepadanya hingga Jibril – semoga salam tetap atasnya – turun membawa ayat ini: “Tidaklah berdosa atas kalian, jika kalian mencari karunia dari Tuhan kalian…..” maka Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Kalian adalah orang-orang yang berhajji (yakni sah hajjinya walaupun mereka berdagang).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daawud dalam bab hajji, juga oleh Ibnu Jariir, Al-Chaakim, Al-Bayhaqiy dalam Al-Kubroo dengan sanad yang shaih, dan disahihkan oleh Al-Chaakim serta disetujui oleh Adz-Dzahabiy. Dahulu orang-orang jahiliah bedagang di pasar-pasar ini pada musim hajji, dan mereka meminum khomr dan berbuat maksiat serta saling berbangga-bangga, dan terkadang mereka menghabiskan waktu demikian beberapa bulan sebelum musim hajji. Lalu ketika Islam datang dan memberi tahu tentang buruknya apa yang mereka lakukan di pasar-pasar tersebut, maka mereka takut jikalau terjerumus kepada dosa apabila mereka berdagang pada pasar-pasar tadi selama musim hajji. Maka Allah Yang maha Mulia dan Maha Agung pun mengangkat kesulitan itu dari mereka dan Dia memperbolehkan mereka untuk mencari keuntungan dan karunia (rezqi) dengan berdagang selama mereka menunaikan manasik hajjinya dengan sempurna menurut tatacara yang lengkap. Oleh karena itu beliau mengatakan kepada orang yang bertanya tentang jual-beli dalam ibadah hajji: “kalian benar-benar jama’ah hajji.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ya’mur Ad-Diiliy – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Hajji itu ‘Arofah – tiga kali – oleh karenanya barangsiapa yang mendapati (wukuf) ‘Arofah sebelum terbit fajar maka ia telah mendapati (hajji)…..” hadits ini akan dating secara lengkap.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daawuud, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy, dan Ibnu Maajah, dengan sanad yang sahih.
Dan diriwayatkan dari ‘Urwah bin Mudhorris – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya –ia berkata: “Aku datang kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – di Muzdalifah yang mana beliau keluar hendak sholat, lalu aku berkata: “Wahai Rasululloh, sesungguhnya aklu datang dari Gunung Thoyy, aku telah menjemukan hewan tunggangan dan memayahkan diriku, demi Allah tidaklah aku meninggalkan satu gunung pun kecuali aku berhenti di situ, maka apakah sah hajjiku?” lalu Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Barangsiapa yang menyaksikan sholat kami ini lalu wukuf bersama kami sehingga kami bertolak, dan ia telah wukuf sebelum itu di ‘Arofah baik malam atau siang harinya maka ia telah sempurna hajjinya dan mtelah menyelesaikan manasiknya (ibadahnya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daawuud, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy, dan Ibnu Maajah, dengan sanad yang sahih.
Dan diriwayatkan dari Jubair bin mUth’im – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – beliau bersabda: “Setiap tempat di ‘Arofah adalah tempat (yang sah) untuk wukuf, dan menjauhlah dari lembah ‘Arofah (atau, dalam riwayat lain, lembah ‘Uronah, sebab ia bukan tempat wukuf). Dan semua area muzdalifah adalah tempat wukuf (yakni mabiit atau bermalam), dan menjauhlah dari lembah Muchassir (sebab ia bukan tempat untuk mabiit), dan semua jalan-jalan atau area (atanah haram) Makkah adalah tempat menyembelih kurban.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan tidaklah mengapa keterputusan hadits rantai periwayatan hadits ini sebagaimana yang dikatakan. Sebab hadits ini sahih karena terdapat hadits-hadits lain yang mendukungnya.
Sedangakan dalam hadits Jaabir yang panjang tentang penjelasan ibadah hajji dari Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bahwasanya beliau bersabda: “Aku berwukuf di sini (di tempatku ini) sedangkan padang ‘Arofah semuanya adalah tempat wukuf, dan aku bermalam di sini sedangkan Jam’ (yakni Muzdalifah) semuanya adalah tempat wukuf.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam bab hajji.
Wukuf di ‘Arofah merupakan rukun yang paling terbesar di antara rukun-rukun hajji. Oleh karena itu, barangsiapa yang luput dari ‘Arofah maka hajjinya batal (tidak sah) secara kesepakatan ulama. Dan sah wukuf di sana baik siang ataupun malam sebagaimana hadits ‘Urwah yang tersebut di atas. Namun sunnahnya adalah mengumpulkan antara siang dan sedikit bagian dari malam sebagaimana dilakukan oleh Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – sebab beliau tetap di ‘Arofah hingga terbenam matahari. Kemudian beliau bertolka menuju ke Muzdalifah atau disebut juga Jam’ atau Al-Masy’aril Charoom, dan beliau sholat di sana maghrib dan isya’ secara jama’ dan qodhor dengan satu adzaan dan dua iqoomah. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar lalu beliau sholat subuh. Kemudian menghadap qiblat, lalu beliau terus berdoa hingga (matahari) agak terang kemudian beliau bertolak meninggalkan muzdalifah sebelum matahari terbit. Sebagaimana dating keterangannya pada sifat hajji beliau dalam sahih Muslim.
Dan mengingat Allah di Al-Masy’aril Charoom termasuk sholat maghrib dan isya’ serta sholat subuh dan doa setelahnya. Para ulama salaf berbeda tentang mabit di Muzdalifah, sebagian mengatakan bahwa itu rukun Hajji, sebagian lain berpendapat: itu termasuk wajib hajji yang dapat ditambal dengan pembayaran dam (denda), sebagian lain mengatakan bahwa itu sunnah, sedangkan menurunkan perbekalan di sana (yakni beristirahat sebentar di sana) adalah wajib. Dan yang kami pilih adalah pendapat yang pertama karena kuatnya dalilnya. Walloohu a’lam.
[2.199] Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (199)


Diriwayatkan dari ‘Aa-isyah – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Adalah Quraisy dan orang yang mengikuti agama mereka, mereka semua berwukuf di Muzdalifah (bukan di ‘Arofah) dan mereka disebut chumus, sedangkan orang-orang Arab lainnya berwukuf di ‘Arofah. Kemudian setelah datang Islam Allah memerintahkan Nabi-Nya – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – untuk mendatangi ‘Arofah kemudian wukuf di sana, kemudian bertolak (ke Muzdalifah) dari sana. Oleh karena itu Allah Yang Maha Luhur berfirman:

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ

Artinya: Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak…..(Q.S Al-Baqoroh: 199)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, Muslim, Abu Daawuud, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Mujtabaa, Ibnu Chibbaan dalam Al-Mawaarid semuanya dalam bab hajji, dan juga diriwayatkan An-Nasaa-iy dalam Al-Kubroo.
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ia berkata: “Laki-laki thowaf di Baitulloh selama ia halal (belum ichrom) sehingga ia ichrom hajji. Lalu apabila ia pergi ke ‘Arofah, maka siapa yang mampu untuk menyembelih hewan sembelihan daripada unta, atau sapi, atau kambing, maka hendaklah ia mengorbankan yang ia mampu dari hewan-hewan itu, yang mana yang ia mau. Hanya saja jika ia tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa tiga hari sebelum hari ‘Arofah, lalu jika hari yang terakhir dari tiga hari puasa itu adalah (jatuh pada) hari ‘Arofah maka tidak mengapa. Kemudian bertolaklah hingga wukuf di ‘Arofah dari sholat Ashar hingga (hari) menjadi gelap. Kemudian hendaklah ia bertolak dari ‘Arofah ke Jam’ ketika orang-orang bertolak, kemudian hendaklah ia mengingat Allah sebanyak-banyaknya atau memeprbanyak takbir dan tahlil sebelum datang waktu pagi (sebelum terbit matahari) kemudian bertolaklah, maka orang-orang ketika itu bertolak, dan Allah Yang Maha Luhur berfirman:

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (199)

Artinya: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Baqoroh: 199)

Sehingga kalian melempar jumroh.


Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, dan ini termasuk hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy sendiri.
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwasanya wuquf adalah di ‘Arofah, kemudian dari sana bertolak ke Muzdalifah bersama orang-orang sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Arab sebelum Islam dalam rangka mengikuti Kholiilur Rochmaan (Nabi Ibrahim). Adalah Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – wukuf bersama mereka (sebelum turun ayat ini) berdasarkan ilham dari Allah, berbeda dengan yang dilakukan Quraisy dan orang-orang yang mengikuti agama mereka, yang mana mereka wukuf di Muzdalifah karena mereka tidak mau keluar dari batas tanah haram (sedangkan muzdalifah masih masuk kawasan tanah haram, adapun Arofah dekat dengan Muzdalifah namun sudah keluar dari kawasan haram Makkah). Maka ketika datang Islam, Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – tidak menyamai Quraisy, yaitu beliau wukuf di ‘Arofah dan bertolak dari sana sebagai pelaksanaan perintah Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Kemudian beliau menyalahi mereka juga untuk kedua kalinya yaitu dengann singgahnya beliau di Mina setelah dari Muzdalifah sebelum terbit matahari dari hari raya kurban.
@Kehidupan akhirat 2: 200 - 202

[2.200] Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat

فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (200)

مَّنَاسِكَكُمْ

Kata manasik adalah bentuk jama’ dari mansak atau mansik dan ia adalah isim seperti halnya masyriq dan maghrib. Nasaka ar-rojulu yansiku naskan semakna dengan dzabacha (yadzbachu dzabchan) artiya menyembelih, yang dimaksdu di sini adalah menumpakan darah hewan kurban (sebagai dam / denda tamattu’ tadi)

مِنْ خَلاقٍ



Kholaaq di sini semakna dengan nashiib artinya: bagian.
[2.201] Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (201)

آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً

(kebaikan di dunia ini maksudnya adalah) kesehatan atau keselamatan.

قِنَا

Jauhkanlah dari kami


Diriwayatkan dari Qotadah – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – bahwasanya ia bertanya kepada Anas – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – yaitu: “Doa apa yang sering dibaca oleh Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau? Anas berkata: “Doa yang sering dibaca oleh Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – adalah:

اَللًّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “Ya Allah, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan lindungilah kami dari siksa api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy dalam bab tafsir dan dalam bab doa, Muslim dalam bab zikir dan doa, dan selain keduanya.
Ibnu Katsiir – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – berkata dalam tafsirnya: “Doa ini mengumpulkan segala kebaikan di dunia dan memalingkan segala keburukan, sebab sesungguhnya kebaikan di dunia meliputi segala tuntutan duniawi, seperti: kesehatan, rumah yang luas, isteri yang cantik, rezqi yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal yang salih, kendaraan yang nyaman, pujian yang baik. Adapun kebaikan akhirat maka yang paling tinggi adalah masuk surge, dan segala yang mengikutinya yaitu keamanan dari ketakutan yang dahsyat pada padang mahsyar, kemudahan hisab, dan seliannya berupa hal-hal akhirat yang baik, adapun keselamatan dari api neraka maka itu menuntut (penjagaan) di dunia daripada segala sebab-sebab yang memudahkannya berupa melakukan hal-hal yang diharamkan dan dosa, serta meninggalkan hala-hal yang syubhat dan haram.”
[2.202] Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya

أُوْلَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الحِسَابِ (202)

نَصِيبٌ

bagian


Yüklə 2,05 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   ...   16




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin