Janda 2: 234
[2.234] Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْروفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (234)
Diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, aku berkata kepada ‘Utsman – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم...... (البقرة:240)
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,……” (Q.S Al-Baqoroh: 240)
Az-Zubair berkata: “Ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat lain (yakni oleh ayat di atas Al-Baqoroh: 234) mengapa engkau masih menulisnya atau membiarkannya.” ‘Utsmaan berkata: “Wahai putera saudaraku, aku tidak akan merubah sesuatu pun (daripada ayat Al-Qur’an) dari tempatnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dan Al-Ismaa’iliy sebagaimana tersebut di Fatchul Baariy.
Apa yang terjadi antara Ibnuz Zubair dan ‘Utsman – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi mereka semua – itu adalah yang disepakati antara para ulama bahkan semua ummat ini. Maka ayat:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعاً إِلَى الحَوْلِ...... (240)
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya…..(Q.S Al-Baqoroh: 240)
Ayat tersebut di nasakh dengan ayat 234 diatas meskipun letak ayat yang menasakh lebih dahulu daripada yang dinasakh menurut urutan mush-chaf yang mulia. Sebab demikianlah tertulis pada zaman Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – oleh karenanya Sayyidina ‘Utsmaan menetapkannya demikian ketika ia menulis mush-chaf. Itu menunjukkan bahwa urutan mush-cahf dengan ayat-ayatnya dan surat-suratnya adalah tawqiifiy (petunjuk dari Allah melalui Jibril kepada Nabi) tidak ada ikut campur tangan seorang pun dalam memilih urutannya. Dan hal ini telah dinukil secara kesepakatan oleh banyak para ulama dan mereka berkata: “Sesungguhnya urutan Al-Qur’an yang ada ditengah-tengah kita saat ini adalah turun secara demikian dari Lauchul Machfuuzh oleh karenanya Sayyiduna ‘Utsmaan berkata kepada Ibnuz Zubair: “Wahai putera saudaraku, aku tidak akan merubah sesuatupun dari tempatnya”, semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya. Maka seluruh ummat ini berhutang budi pada karya Sayyidina ‘Utsmaan dalam (penulisan ulang) Al-Qur’an, seperti juga kepada dua saudara (seiman) pendahulunya, yaitu: Abubakar dan Umar dan seluruh orang yang terlibat dalam mengumpulkannya serta menulisnya. Maka semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi mereka dan membalas mereka atas pelayanan mereka terhadap Al-Qur’an dan (jasa mereka) terhadap kami dengan balasan yang terbaik.
Diriwayatkan dari Zaynab binti Ka’b bin ‘Ujroh – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi mereka berdua – bahwasanya Al-Furoy’ah binti Maalik bin Sinaan, yaitu saudari Abu Sa’iid Al-Khudriy – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi mereka – mengabarkan kepadanya bahwasanya ia datang kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – ia bertanya kepada Rasululloh bahwa ia ingin pulang kepada keluarganya di Bani Khudroh dan bahwasanya suaminya sedang keluar untuk mencari beberapa hamba sahayanya yang melarikan diri, sehingga suaminya itu sampai di ujung Al-Qoduum ia berhasil menemukan mereka, namun mereka membunuhnya. Al-Furoy’ah berkata: “Lalu aku bertanya kepada Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bagaimana jika aku kembali (pulang) ke keluargaku, sebab suamiku tidak meninggalkan untukku sebuah tempat tinggal yang ia miliki dan tidak pula nafkah.” Ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Ya.” Ia berkata: “Aku pun setelah itu pergi, sehingga ku sampai di dekat Rumah beliau atau di Masjid Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – memanggilku atau menyuruh seseorang kepadaku dan aku dipanggil kepadanya, lalu beliau bersabda: “Bagaimana yang engkau katakana tadi?” Ia berkata: “Aku pun menceritakan kembali kisah yang telah aku sebutkan dan juga urusan suamiku tersebut. Beliau bersabda: “Diamlah dirumahmu sehingga ‘iddahmu selesai waktunya.” Ia berkata: “Maka aku pun ber’iddah di rumahku empat bulan dan sepuluh hari. Lalu ketika ‘Utsmaan mengutus seseorang kepadaku lalu orang itu bertanya kepadaku tentang hal itu (yakni tentang ‘iddah seorang isteri ketika ditinggal mati suaminya) maka aku pun menceritakannya lalu ia mengikutinya dan menghukum dengannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daawuud, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy dalam kitab Al-Mujtabaa dan dalam Al-Kubroo, Ibnu Maajah, Ad-Daarimiy, Ibnu Chibbaan, Al-Chaakim dan selain mereka, dihasankan oleh At-Turmudziy dan disahihkan olehnya serta disahihkan oleh Al-Chaakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabiy.
Ayat yang mulia serta hadits Al-Furoy’ah menunjukkan atas wajibnya ‘iddah wafat (bagi seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya) dan bahwasanya sang isteri menunggu selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak ada perbedaan dalam masalah ini di antara para ulama hanya saja ini selain isteri yang dalam keadaan hamil (ketika ditinggal mati suaminya). Adapun wanita hamil maka ‘iddahnya hingga melahirkan, baik masanya sebentar ataupun lama, karena ijma’ (kesepakatan ulama) atas hal itu. Dan karena firman Allah Yang Maha Luhur:
وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ......(الطلاق: 4)
Artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil maka batas waktu (‘iddah) mereka adalah ketika merek telah melahirkan……” (Q.S Ath-Tholaq: 4) dalam hadits tersebut terdapat keterangan wajib (bagi isteri) menghabiskan masa ‘iddah Karen mati (suaminya) di rumah yang mana suaminya meninggal dunia, walaupun ia tidak mempunyai kepemilikan atas rumah itu dan bahwasanya ia tidak boleh keluar dari sana (kecuali setelah selesai masa ‘iddahnya). Dengan inilah para ulama berpendapat. Karena nash hadits Nabi: “Tinggallah di rumahmu…..”
Dan diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah – smeoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – bahwasanya Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung (melewati masa berduka) melebihi tiga hari kecuali atas suaminya empat bulan sepuluh hari. Maka ia tidak boleh bercelak, dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup (yang diwarnai) kecuali pakaian sekedar untuk menutup auratnya (yakni sederahan dan bukan pakaian yang mencolok warnanya) dan hendaknya ia tidak menyentuh minyak wangi kecuali apabila ia suci dari haidhnya sedikit dari pada qisthi adzfar (jenis wewangian).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy, Muslim, Abu Daawuud, An-Nasaa-iy, Ibnu Maajah, dan dalam masalah ini terdapat pula hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Zaynab binti Ummu Salamah dan ‘Aa-isyah serta dari selain keduanya, dan semuanya tercatat dalam sahih Al-Bukhooriy.
Hadits tersebut menunjukkan atas pelarangan terhadap isteri pada masa-masa ‘iddah untuk memakai pakaian yang dicelup (pewarna) atau memakai celak atau memakai wewangian atau berhiasa dengan emas dan perak atau semacamnya sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits lain. Hanyasaja ia diberi keringanan ketika ia suci dari haidhnya untuk menggunakan pedupaan yang dibakar padanya sesuatu yang memiliki bau harum (seperti kayu gahru). Ini semua khusus untuk isteri bagi suaminya yang telah wafat. Adapun yang lain maka tidak boleh berkabung di atas tiga hari. Sebagaimana dinashkan (ditetapkan) dalam hadits.
@Sindiran yang berisi keinginan untuk menikah yang ditujukan kepada janda yang beluam selesai masa tunggu (‘iddah)-nya
[2.235] Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun
وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِراًّ إِلاَّ أَن تَقُولُوا قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ (235)
أَكْنَنتُمْ
Kalian rahasiakan dan sembunyikan
لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِراًّ
Perjanjian yang mana mereka tidak akan menikah selain dengan kalian
وَلاَ تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ
Jangan melakukan akad nikah sampai sempurnanya ‘iddah (masa tunggu)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwasnya ia berkata tentang firman Allah Yang Maha Luhur: “tentang apa-apa yang engkau ungkapkan daripada sindiran untuk melamar wanita” yaitu ia berkata: “Aku ingin menikah, atau wanita (atau seorang isteri) termasuk kebutuhan, dan aku sangat senang jika mudah bagiku untuk memperoleh seorang wanita yang solichah.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab nikah, dan Ibnu Jariir dalam tafsir, juga Ibnu Abi Syaibah dan Sa’iid bin Manshuur dan sebagainya.
Itulah yang disepakati oleh para ahli tafsir baik dari ulama salaf maupun yhang lain. Maka tidak boleh berterusterang meminang seorang wanita sedang ia masih berada dalam masa ‘iddah (masa tunggu)-nya akan tetapi boleh dengan sindiran sebagaimana tersebut di atas. Juga sebagaimana ada keterangan dalam hadits Fathimah binti Qois ketika ia dicerai oleh suaminya dengan talak tiga, maka Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda kepadanya: “Jika engkau telah halal (yakni selesai dari ‘iddah) maka beritahukanlah aku.” Atau dalam riwayat lain: “hendaknya dirimu tidak luput dariku.” Maka ini termasuk dalam sindiran. Dan harus diketahui bahwa sindiran ini hanya berlaku bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dan yang dicerai dengan talak tiga. Adapun yang selain itu maka tidak boleh sama sekali dengan kesepakatan para ulama. Dan para ulama telah bersepakata atas pengharaman pinangan secara terang-terangan ini dan juga akad nikah ketika masih dalam amsa ‘iddah. Dan ulama mazhab Maliki sangat keras dalam hal ini sehingga mereka mengatakan: “Wanita tersebut haram atas diri seorang lelaki selamanya jika ia melakukan akad dengannya dalam masa ‘iddah.”
@Perceraian dalam pernikahan sebelum bercampur dengan isteri 2: 236 – 237
[2.236] Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى المُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقاًّ عَلَى المُحْسِنِينَ (236)
فَرِيضَةً
Mahar wajib
وَمَتِّعُوهُنَّ
Berikanlah kepada mereka
المُوسِعِ
Orang luas rezkinya. Terambil dari kata sa’ati dzatil yad (luas atau leluasa untuk memberikan apa yang ada di tangannya)
المُقْتِرِ
Orang yang memiliki sedikit harta (atau miskin)
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d dan Abu Usaid – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – mereka berdua berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – menikahi Umaymah binti Syarochiil. Lalu ketika ia masuk kepada Rasululloh, beliau mengulurkan tangan beliau kepadanya maka seolah-olah ia tidak menyukai hal itu. Maka beliau menyuruh Abu Usaid untuk mempersiapkan kepulangan wanita tersebut dan beliau memberikan kepada wanita itu dua baju yang bagus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dalam bab talak, dan dalam riwayat lain bahwasanya beliau – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda kepadanya: “Berikanlah dirimu untukku.” Maka ia berkata: “Apakah pantas seorang ratu memberikan dirinya kepada orang biasa.” Maka beliau meletakkan tangan beliau pada dirinya agar ia tenang, lalu ia berucap: “A’uudzu billaahi minka (artinya: Aku berlindung kepada Allah darimu).” Maka beliau bersabda: “Engkau sungguh telah berlindung dengan perlindungan (yang agung).” Maka beliau bersabda (kepada Abu Usaid): “Wahai Abu Usaid berilah ia dua pakaian yang bagus dan kembalikanlah ia kepada keluarganya.” Riwayat semacam ini juga diriwayatkan dari (melalui) ‘Aa-isyah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhooriy pula.
Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bolehnya seseorang mencerai isterinya sebelum ia mengumpulinya, yakni menggaulinya, dan sebelum menentukan maharnya. Dan bahwasanya wajib atas suami untuk memberi mut’ah (pemberian) yakni memberikan kepada isterinya yang dicerai itu sesuatu yang tidak ditentukan (jumlah atau ukurannya dalam syari’at) baik berupa baju atau perhiasan atau harta atau semacam itu yang sekiranya bermanfaat baginya.
Dan hadits tersebut juga menunjukkan sebagian yang ditunjukkan oleh ayat diatas yaitu perceraian sebelum berkumpul dan pemberian mut’ah. Para ulama berbeda pendapat tentang pemberian kepada wnaita yang dicerai tersebut apakah wajib bagi suami secara mutlak ataukah khusus bagi isteri yang dicerai sebelum dikumpuli saja, baik ia telah menentukan maharnya atau belum, dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Menurut makna lahiriahnya adalah bahwa pemberian itu wajib bagi wanita yang belum ditentukan maharnya dan dicerai sebelum berkumpul (atau digauli), sedangkan pada selain kasus tersebut maka hukumnya hjan ya sunnah saja. Ini juga selain kasus isteri yang ditinggal mati suaminya dan belum dikumpuli, maka isteri tersebut berhak mendapat mahar yang layak, ‘iddah (empat bulan sepuluh hari) dan warisan sebagaimana nanti akan datang pada tempatnya.
[2.237] Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُا الفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (237)
وَلاَ تَنسَوُا الفَضْلَ بَيْنَكُمْ
kebaikan
@Sholat 2: 238 – 239
[2.238] Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (238)
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ
(jagalah salat lima waktu) yakni hendaklah kalian solat tepat pada waktunya.
وَالصَّلاةِ الوُسْطَى
(sholat yang pertengahan) yakni Sholat asar. Dan dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan: sholat zhuhur. Ada yang mengatakan: sholat maghrib. Dan ada pula yang mengatakan: sholat fajr (subuh). Dan ada yang mengatakan: yaitu salah satu dari sholat yang llima waktu itu. Dan Allah menyuruh kita untuk menjaganya seluruhnya.
قَانِتِينَ
Dalam keadaan taat atau patuh. (qoonitiin berasal dari kata al-qunuut) al-qunuut maknanya ketaatan. Ada pula yang mengatakan bahwa qoonitiin maknanya dalam keadaan diam (tak boleh berbicara dalam sholat).
Diriwayatkan dari Ali – semoga salam tetap atasnya – ia berkata: “Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – bersabda pada saat terjadi perang Achzaab (yakni perang Khondaaq): “Mereka (yakni kaum musyrikin) telah membuta kita sibuk dari sholat wusthoo (sholat yang pertengahan) yakni sholat Ashar, semoga Allah memenuhi rumah dan kubur mereka dengan api.” Kemudian belia melakukan sholat ashar itu antara maghrib dan ‘isyaa’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy dalam bab tafsir, Muslim dalam bab masjid-masjid, Abu Daawuud, An-Nasaa-iy dalam Al-Kubroo, At-Turmudziy, dan Ibnu Maajah.
Hadits tersebut menunjukkan secara jelas tentang sholat wushthoo dan bahwasanya itu adalah sholat Ashar, dan itu merupakan pendapat sebagian besar para ulama.
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoinya – ia berkata: “Dahulu kami berbicara dalam sholat, salah seorang kami mengajak saudaranya berbicara tentang keperluannya, sehingga turun ayat ini:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ (البقرة: 238)
Artinya: “Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk” (Q.S Al-Baqoroh: 238)
Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhooriy, Muslim, Abu Daawuud, At-Turmudziy, An-Nasaa-iy dalam Al-Mujtabaa dan Al-Kubroo, dan yang selain mereka.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa ayat di atas turun tentang pengharaman berbicara dalam sholat, dan bahwasanya makna al-qunuut di sini adalah as-sukuut (diam), yakni berdirilah kalian karena-Nya dalam keadaan diam. Dan ini salah satu makna qunuut, dan ia memiliki makna lain yang melewati sepuluh makna.
[2.239] Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَاناً فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (239)
Diriwayatkan dari Naafi’ – semoga Allah Yang Maha Luhur merahmatinya – bahwasanya Abdulloh bin Umar – semoga Allah Yang Maha Luhur meridhoi keduanya – ketika ia ditanya tentang sholat khouf ia berkata: “Imam maju bersama sekelompok orang lalu imam sholat bersama mereka itu satu rakaat, dan hendaknya satu kelompok yang lain berada antara mereka dengan musuh yakni mereka tidak sholat (untuk berjaga). Apabila mereka yang bersama imam tadi telah sholat satu rakaat mereka mundur dan menggantikan tempat orang-orang yang belum sholat tadi dan mereka jangan salam terlebih dahulu, lalu kelompok yang belum sholat tadi maju untuk sholat satu rakaat bersama imam, kemudian imam selesai dari sholatnya dan sudah sempurna baginya dua rakaat, sedangkan setiap orang dari dua kelompok tadi sholat sendiri-sendiri satu rokaat setelah imam selesai, maka jadilah setiap dari dua kelompok tadi sholat dua rakaat. Jika keadaan takut lebih parah dari itu maka hendalah mereka semua sholat dalam keadaan berjalan kaki dan berdiri di atas telapak kaki mereka atau menaiki kendaraan, baik menghadap kiblat atau tidak mengahadap kiblat. Malik berkata: “Naafi’ berkata: “Saya tidak meyakini bahwa Abdulloh bin Umar menyebutkan hal itu kecuali ia mendapatkannya dari Rasululloh – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau.”
Al-Bukhooriy meriwayatkan dengan konteks demikian dalam bab tafsir, Muslim dalam bab sholat khouf, dan juga yang selain keduanya, adapun Muslim menambah dalam riwayatnya: “Jika keadaan takut lebih gawat dari itu maka hendaknya mereka sholat baik dalam keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan cara memberi isyarat.”
Sholat Khouf telah diterangkan dalam beberapa cara dan dasarnya ada enam cara, dan yang disebut di sini adalah salah satunya, dan Nabi – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atas beliau dan keluarga beliau – telah melakukannya dalam beberapa peperangan.
Sedangkan ayat yang mulia menunjukkan atas keringanan untuk melakukan sholat khouf dalam keadaan berdiri atau dudu, baik berjalan kaki atau berkendaraan. Ini termasuk rahmat Allah Yang Maha Luhur dan kelembutannya terhadap hambanya ketika ketakutan bertambah parah. Dan akan datang pembahasana tentang tema ini dalam surat An-Nisaa’.
@Nafkah untuk janda (mantan isteri) 2: 240
[2.240] Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً وَصِيَّةً لأَزْوَاجِهِم مَّتَاعاً إِلَى الحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (240)
@Bercerai dengan baik 2: 241
[2.241] Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقاًّ عَلَى المُتَّقِينَ (241)
[2.242] Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (242)
@Allah menghidupkan kembali satu kabilah dari orang-orang yahudi setelah Dia mematikan mereka 2: 243
[2.243] Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ المَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَشْكُرُونَ (243)
وَهُمْ أُلُوفٌ
Beribu-ribu
(243)
مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ
Seorang hamba menghutangi Tuhannya dengan menyedekahkan hartanya menurut apa yang diperintahkan oleh Allah dan mempergunakannya di jalan Allah.
فَيُضَاعِفَهُ
Allah akan melipatgandakan (harta yang diinafkkan)itu.
لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً
Di dunia dan di akhirat
وَاللَّهُ يَقْبِضُ
Allah menahan membatasi (rezqi)
وَيَبْسُطُ
Allah melapangkan(nya)
(245)
المَلأِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ
pemuka-pemuka bani Israil dan orang-orang mulia di antara mereka.
هَلْ عَسَيْتُمْ
Maknanya: bisa jadi kalian tidak akan pernah menepati apa yang telah kalian janjikan yaitu untuk berperang dan berjihad.
إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ القِتَالُ
Jika kalian diwajibkan untuk berperang
(246)
زَادَهُ بَسْطَةً فِي العِلْمِ وَالْجِسْمِ
Menambah keluasan untuknya (dalam hal ilmu dan badan)
(247)
إِنَّ آيَةَ
tanda
التَّابُوتُ
Peti
Yang mana bani Israil meletakkan didepan mereka ketika perang hingga tidak ada satupun yang bisa menyerang atau mengalahkan mereka
سَكِينَةٌ
Dikatakan bahwa: (sakiinah adalah) angin yang memiliki wajah bagaikan wajah manusia. Dan terdapat perbedaan pendapat tentang masalah ini.
وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى
Tongkatnya nabi Musa – semoga salam tetap atasnya – dan pecahan loh (atau papan) batu bertulis (yakni sepuluh perintah yang Allah turunkan di gunung Thursina kepada Nabi Musa)
(248)
يَظُنُّونَ
Mereka meyakini dan mengetahui
فِئَةٍ
Sekelompok manusia. Fi-ah adalah lafazh yang bermakna jama’ namun tidak memiliki bentuk mufrod (tunggalnya) seperti lafazh rohth dan nafar.
(249)
أَفْرِغْ
turunkanlah
ثَبِّتْ
(kokohkanlah) Agar kita tidak terkalahkan
(250)
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ
Yang selalu melaksanakan atas segala sesuatu yang dijaga-Nya
سِنَةٌ
Rasa kantuk
كُرْسِيُّهُ
Allah yang Paling mengetahui maksudnya. Banyak perbedaan pendapat tentang penyebutan dan penafsirannya. Dan Allah-lah Yang Maha mengetahuinya.
يَئُودُهُ
Berat baginya
وَهُوَ العَلِيُّ
(Maha Tinggi atau Luhur)dari tandingan dan penyerupaan
(255)
الرُّشْدُ مِنَ الغَيِّ
Telah jelas hal yang benar dari yang batil
بِالطَّاغُوتِ
Setan dan segala hal yang setan mengajak pada hal itu
بِالْعُرْوَةِ الوُثْقَى
Al-‘urwah (asal maknanya adalah buhul / simpul tali) maknanya disini adalah keimanan yang dipegang teguh oleh orang mukmin
لاَ انفِصَامَ
(Infishoom terambil dari kata) fashm artinya pecah atau putus.
(256)
فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ
Terdiam dan kalah dalam berhujjah
(258)
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ
Ada yang mengatakan orang yang dimaksud itu ialah Nabi Uzair (semoga salam tetap atasnya). Dan adapula yang mengatakan Nabi Armiya’ – semoga Allah senantiasa melimpahkan salawat dan salam atasnya –sedangkan yang dimaksud dengan desa di situ adalah Baitul Maqdis.
خَاوِيَةٌ
sepi
عُرُوشِهَا
Rumah dan bangunan-bangunannya
أَنَّى
Bagaimana?
لَمْ يَتَسَنَّهْ
berubah
نُنشِزُهَا
Kami menghidupkannya. (Asal kata nunsyizu dari) insyaaz maknanya: menyusun dan menghidupkan.
(259)
فَصُرْهُنَّ
Sebagina mengatakan maknanya: kumpulkanlah mereka. Sebagian lain mengatakan maknanya: potong-potong dan pisahkanlah mereka.
سَعْياً
(berjalan atau berlarii) di atas kaki-kaki mereka.
(260)
[2.244] Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (244)
@
Dostları ilə paylaş: |