Al-aqa'ID


MAZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADITS SIFAT



Yüklə 139,33 Kb.
səhifə9/9
tarix26.07.2018
ölçüsü139,33 Kb.
#58386
1   2   3   4   5   6   7   8   9

MAZHAB ULAMA KHALAF DALAM MEMAHAMI AYAT DAN HADITS SIFAT


Telah saya jelaskan di muka bahwa para ulama salaf -semoga Allah meridhai mereka- beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sifat sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan maksudnya kepada Allah swt. dengan keyakinan untuk menyucikan Allah swt. dari penyamaan dengan makhluk-Nya.

Adapun ulama khalaf, mereka berkata, "Kami menetapkan bahwa makna-makna kata dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ini tidak dikehendaki lahirnya. Atas dasar itu, ia boleh-boleh saja dita'wil, dan tidak ada larangan. Mereka pun menta'wil 'wajah' dengan dzat, 'tangan' dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan memalingkannya dari tasybih. Berikut adalah contoh-contohnya:

1. Berkata Abu Farj bin Al-jauzi A]-Hanbali dalam bukunya Daf'u Syu'batit Tasybih, Allah berfirman, "Dan tetaplah wajah Tuhanmu." (Ar-Rahman: 27) Berkata para ahli tafsir, "Yakni tetaplah Tuhanmu." Mereka juga berkata tentang firman Allah, "Mereka menginginkan wajah-Nya," (Al-An'am: 52) sebagai "Menginginkan-Nya". Berkata Adh-Dhahhak dan Abu Ubaidah tentang ayat, "Segala sesuatu itu hancur kecuali wajah-Nya," (Al-Qashash: 88) bahwa ia berarti: "Segala sesuatu hancur, kecuali Dia".

Di awal buku dinukilkan keterangan tambahan tentang penolakan atas orang yang berkata bahwa pengambilan makna secara tekstual bagi ayat dan hadits adalah mazhab ulama salaf Ringkasan dari apa yang dikatakan adalah, "Pengambilan makna ayat secara tekstual adalah sikap, tajsim dan tasybih, karena pengertian tekstual ayat itulah pengertian dasar yang dimaksud. Tidak ada makna hakiki atas kata 'tangan' kecuali anggota tubuh yang berupa tangan. Demikian seterusnya.

Adapun ulama salaf, mereka sebenarnya tidak mengambil makna ayat secara tekstual, namun mereka hanya diam tanpa komentar terhadapnya. Ia juga berpendapat bahwa penamaan ayat danhadits ini dengan 'ayat-ayat sifat dan hadits-hadits sifat' adalah penamaan yang bid'ah, tidak ada dalam Kitab dan Sunah. Tentu saja penamaan itu bukan dengan pengertian hakiki, namun hanya penyandaran semata. Banyak sekali dalil yang diungkapkan untuk mendukung ini, namun tidak mungkin dipaparkan di sini.

2. Berkata Fakhruddin Ar-Razi dalam bukunya Asasut Taqdis, "Ketahuilah bahwa teks-teks Al-Qur'an tidak mungkin dipahami secara tekstual karena beberapa hal:



Pertama, seperti firman Allah swt., "Dan supaya kamu diasuh di mata (di bawah pengawasan)-Ku," (Thaha: 39) jika dipahami secara tekstual mengandung makna bahwa Musa berada dan menempel di mata Allah itu dan bahkan mengungguli-Nya. Tentu saja pengertian ini tidak dipahami oleh seorang pun yang berakal sehat.

Kedua, firman-Nya, "Dan buatlah bahtera itu dengan banyak mata (pengawasan) dan petunjuk Kami," (Hud: 37) mengandung pengertian bahwa alat untuk menciptakan bahtera itu adalah mata itu sendiri.

Ketiga, bahwa penetapan kata "a'yun" (banyak mata) untuk satu wajah adalah buruk sekali. oleh karenanya harus dita'wil, yakni dengan mencari kemungkinan -bagi kata ini- dengan kata yang lain, secara sangat hati-hati.

3. Berkata Imam Ghazali di juz pertama dari bukunya Ihya' Ulumuddin, tatkala berbicara tentang penisbatan ilmu zhahir kepada ilmu bathin dan pembagian apa-apa yang diakibatkan olehnya, juga tentang ta'wil dan bukan ta'wil. Pembagian yang ketiga adalah sesuatu yang jika disebut secara apa adanya, dapat dipahami dan tidak ada bahayanya. Namun demikian, ia dikiaskan untuk menimbulkan kesan makna lebih nyata dan agar kejadiannya dapat ditangkap oleh benak pendengar secara. lebih transparan. Misalnya sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya masjid itu mengkerut karena dahak, sebagaimana mengkerutnya kulit karena api. "35) Artinya, masjid yang dimensi ruhnya demikian agung akan terkotori dengan dahak. Makna kesucian masjid yang dikotori oleh dahak diibaratkan sebagai kulit yang terbakar api. Sementara engkau melihat bahwa lantai masjid tetaplah utuh dengan adanya dahak itu. juga sebagaimana sabdanya yang lain, "Tidakkah takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, bahwa Allah akan mengubah kepalanya dengan kepala keledai. "36) Tentu, dari dimensi bentuk ia tidaklah berubah sama sekali, namun dari dimensi makna bisa saja terjadi. Karena kepala keledai di sini tidaklah yang sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah karakternya; yakni pandir dan bodoh. jadi, barangsiapa mengangkat kepalanya sebelum imam, kepalanya seperti kepala keledai dalam pengertian karakter bodoh dan pandirnya. Yang dimaksud di sini adalah kandungan, bukan bentuknya. Kita memahami Iahiriyah makna kata dengan pemahaman lain harus dengan dahi syar'i dan dalil logika. Secara logika, sering kita memahami kandungan lahirnya suatu kata yang tidak mungkin, sebagaimana sabda Rasul saw., "Hati seorang mukmin itu ada di antara dua jari dari jari-jari (Allah) yang Rahman. '37) Karena jika kita periksa hati orang mukmin, jelas tidak ada di sana jari Allah itu. Dengan begitu kita tahu bahwa ia adalah kiasan dari qudrah (kekuasaan), yang ia adalah rahasia dan ruh jari yang tersembunyi. Dikiaskannya kekuasaan dengan jari karena yang demikian adalah realitas yang paling mudah untuk dipahami tentang totalitas kekuasaan.

Kami juga sudah banyak menukilkan pendapat serupa ini di tempat lain dan apa yang saya sebutkan ini agaknya telah cukup.

Sampai di sini jelaslah di hadapanmu pandangan salaf dari khalaf. Dahulu, dua pandangan ini menjadi obyek pembahasan dan penyebab perselisihan yang sangat serius di kalangan para ulama ilmu kalam. Masing-masing pendukung menyodorkan dalil dan argumentasinya. Sebenarnya, jika engkau membahasnya dengan teliti, jarak perbedaan antara dua pandangan ini tidaklah demikian lebarnya, jika saja masing-masing pihak melepaskan sikapnya yang berlebihan. Pembahasan bidang ini, kalaupun diperbincangkan dengan panjang lebar, tidak pernah sampai kecuali kepada satu kesimpulan: tafwidh (penyerahan) kepada Allah swt. Inilah yang akan kami terangkan, insya Allah.



Antara salaf dan Khalaf


Engkau telah mengetahui bahwa mazhab salaf mengenai ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah swt. adalah mengikuti saja apa yang disebutkan tentangnya, tanpa tafsir dan ta'wil. Sedangkan mazhab khalaf, mereka menta'wilnya dengan sesuatu yang tidak menodai kesucian Allah, seperti menyamakan-Nya dengan makhluk. Engkau tahu bahwa perbeclaan pendapat dalam hal ini sangat keras antara dua kubu, sehingga menyebabkan lontaran berbagai julukan satu sama lain kepada lawannya dengan julukan yang mengandung fanatisme buta.

Berikut ini penjelasannya dari berbagai sudut:



Pertama, kedua kelompok ini sepakat dalam hal menyucikan Allah dari penyamaan dengan makhluk-Nya.

Kedua, semua sepakat bahwa maksud dari kata-kata dalam teks Al-Qur'an maupun hadits Nabi tentang hak-hak Allah bukanlah apa yang tersurat di lahirnya, sebagaimana jika dinisbatkan kepada makhluk. Hal ini berpengaruh kepada sikap sepakat mereka untuk menafikan tasybih.



Ketiga, semua pihak mengetahui bahwa lafal itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang membersit dalam benak dari hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa. Bahasa -betapa pun luasnya- tidak dapat menjangkau sesuatu yang tidak bisa dipahami hakekatnya oleh pemilik bahasa, Hakekat lafal yang berhubungan dengan dzat Allah termasuk dalam pengertian ini. Bahasa memiliki kelemahan untuk menjelaskan kandungan hakekat ini dengan lafal-lafalnya. Penetapan dan pembatasan makna untuk lafal serupa ini adalah sesuatu yang membahayakan.

Jika sudah ditetapkan yang demikian ini, maka antara salaf dan khalaf sebenarnya sepakat -secara prinsip- atas keharusan ta'wil, Perbedaan di antara keduanya hanya bahwa khalaf menambahkan pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga kesucian Allah dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari keterjerumusan dalam tasybih. Perbedaan semacam ini sebenarnya tidak sampai melahirkan guncangan.



Tarjih Madzhab Salaf


Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf -yakni diam dan menyerahkan kandungan makna kepada Allah- itu lebih utama, dengan memotong habis ta'wil dan ta'thil (penafian). Jika engkau adalah salah satu dari orang yang Allah bahagiakan hatinya dengan ketenangan iman dan yang Allah sejukkan dadanya dengan embun keyakinan, janganlah mencari ganti selainnya, Bersamaan dengan itu, kami juga meyakini bahwa ta'wil-ta'wil kaum khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka dan tidak pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut antara mereka dan selainnya, dahulu maupun sekarang. 'Dada' lslam sesungguhnya lebih lapang dari pada ini semua. Orang yang paling tegar berpegang kepada pendapat salaf, yakni imam Ahmad bin Hanbal, pernah pula kembali kepada ta'wil dalam sejumlah tempat. Antara lain ta'wil hadits, "Hajar aswad adalah 'tangan kanan'Allah di muka bumi, " hadits, "Hati seorang mukmin itu ada di dua jari dari jari-jari (Allah) yang Rahman, ' dan hadits, "Sesungguhnya saya mendapatkan dzat Rahman dari arah Yaman. "

Saya mendapatkan pada diri Imam Nawawi -semoga Allah meridhainya- ada pandangan yang dapat mendekatkan jarak perbedaan antara dua pendapat yang ticlak seharusnya menimbulkan pertikaian, apalagi khalaf sudah membatasi dirinya dalam menta'wil dengan bingkai syariat dan logika, sehingga tidak bertabrakan dengan salah satu ushul agama ini.

Berkata Ar-Razi dalam bukunya Asasut Taqdis, "Kemudian, Jika kami membolehkan ta'wil, niscaya kita akan disibukkan untuk membuat ta'wil-ta'wil tersebut secara detail. Jika kita tidak membolehkannya, kita serahkan kepada Allah swt. Inilah aturan global yang dapat dijadikan sandaran dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat."

Ringkasnya, ulama khalaf dan salaf telah sepakat bahwa kandungan maksud itu bukan lahirnya lafal sebagaimana yang dikenal untuk disandarkan kepada makhluk. Ia adalah ta'wil secara global. Mereka juga sepakat bahwa semua bentuk ta'wil, jika bertentangan dengan ushul syari'ah itu tidak boleh. Perbedaan hanya terbatas pada perbedaan lafal yang masih dibenarkan oleh syara'; dan itu sederhana saja sebagaimana engkau lihat, juga hal yang para salaf sendiri sering merujuk kepadanya,

Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum muslimin sekarang adalah tauhidush shufuf (penyatuan barisan) dan jam'ul kalimah (menghimpun kata) sedapat yang bisa kita lakukan.

Cukuplah Allah bagi kami, dan ia adalah sebaik-baik pelindung.




9) Dia adalah Abu Bakar Dalf Bin Jahdar Asy-Syubli. Abul Qasim Al-Qusyairi berkata, -Beliau lahir dan tumbuh di Baghdad, bersahabat dengan Junaid (seorang ulama sufi terkenal, pent.) dan ulama lain sezamannya."

10) Berkenaan dengan sabda Rasulullah "seratus kurang satu", Al-Hafidz nona Hajar A]-Asqalani dalam kitabnya Syarhul Bukhari berkata. "Sekelompok ulama hikmah berkata terkait dengan sabda Rasul 'seratus kurang satu setelah sembilan puluh sembiian, 'bahwa hal itu untuk lebih meyakinkan setiap orang yang mendengar, antara dua sisi global dan rinci, atau upaya untuk mencegah kesalahan, baik salah tulisan maupun salah dengar,"

11) Sabda Rasulullah "dan Allah itu witr " artinya bahwa Allah swt. itu Mahatunggal, tidak ada tandingan dan tidak pula keragaman dalam dzat-Nya. Sementara itu Sabda Rasulullah "(Dia) mencintai yang witr", Imam Al-Qurthubi berkata, "Makna yang tampak, witr di sini untuk menunjukkan jenis, karena fidak ada makna lain yang membawa ke sana. Maka artinya di sini adalah bahwa Allah itu mencintai setiap witr yang disyariatkan-Nya. Dan makna kecintaan Allah kepada witr adalah bahwa Dia memerintahkan untuk berbuat witr dan memberi pahala. Makna tadi boleh untuk diterapkan kepada semua yang witr dari makhluk-makhiuk-Nya. Atau makna dari kecintaan Allah kepada yang witr adalah bahwa Dia menspesifikasikan witr tadi untuk sebuah hikmah yang hanya Dia yang Labu. Dan ada kemungkinan yang dimaksudkan adalah shalat witr itu sendiri, meskipun tidak disebut secara khusus, Setelah itu beliau berkata lagi, "Namun menurut saya ada pendapat lain, yakni bahwa witr di sini berarti tauhid Maka arti hadits tadi bahwa Allah swt. dalam dan, kesempurnaan, dan af'al-Nya itu tunggal dan mencintai yang tunggal. Artinya bahwa hendaklah Allah itu diesakan dan diyakini keesaan-Nya dalam uluhiyyah, tanpa campur tangan makhluk-Nya." Dengan begitu, mulai awal sampai akhir hadits telah dijelaskan. Wallahu a'lam.

12) An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, "Artinya jangan mencela yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Jika kalian mencela yang menyebabkan terjadinya peristiwa, maka sama saja celaan itu tertuju pada Allah. Karena Allahlah yang menyebabkan dan menurunkan peristiwa tadi. Sedangkan masa atau zaman, mereka sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanyalah salah satu dari sekian makhluk Allah.


13) "Sungguh, orang itu lelah berdoa kepada Allah dengan asma-Nya yang agung. Ath-Thayyibi berkata, "Hadits ini merupakan argumentasi bahwa Allah itu memiliki asma yang a'zham, yang jika kita berdoa dengannya Allah akan mengabulkan dan jika kita memohon dengannya, Allah akan memberi. Asmaasma itu tertera dalam hadits ini. Ini sekaligus merupakan bantahan bagiorang yang mengatakan bahwa setiap asma yang disebut dengan keikhlasan penuh dan berpaling dari selain-Nya adalah asma Allah yang a'zham, karena tidak ada kemuliaan bagi huruf-huruf itu. Disebutkan pula dalam hadist-hadits lain yang senada dengan hadits tadi, di mana di sana terdapat asma-asma yang tidak terdapat dalarn hadits ini, hanya saja lafadz Allah terdapat pada sernuanya. Maka dengan begitu bisa diambil dalil bahwa itu adalah asma Allah yang a'zham,

14) "Nabi Muhammad saw. masuk masjid, sementara ia mendapati seseorang telah melakukan shalat," An-Nawawi berkata, "Al-Khathib berkata, 'Orang itu adalah Abu 'Ayyasy Zaid bin Ibn Ash-Shamit Al-Anshari Az-Zauqi.'"

15) "Dalam tiga kegelapan", yakni kegelapan malam, kegelapan perut ikan, dan kegelapan dalam samudera.

16) Imam Nawawi berkata, "Makna hadits secara zhahir (tekstual) adalah bahwa Rasulullah saw. memerintahkan untuk menangkal bersitan-bersitan yang ada dalam benak (tentang siapa pencipta Allah) dengan cara berpaling dan menolaknya tanpa argumentasi atau analisa dalam membuktikan kesalahannya. Dia berkata, 'Terkait dengan makna ini, maka bersitan-bersitan itu dibagi dua, ada-pun bersitan yang tidak mapan (yang datang begitu saja) dan tidak dikarenakan adanya syubhat yang terjadi, maka bersitan ini harus ditangkal dengan cara berpaling begitu saja (tanpa pembuktian). Bersitan semacam inilah yang disebutkan dalam hadits di atas. Bersitan semacam ini atau yang sejenisnya dinamakarn was-was. Jadi, ketika bersitan itu datang begitu saja secara tiba-tiba dan tanpa sebab yang mendasarinya, maka itu harus ditangkal tanpa analisa dan argumentasi, karena tidak ada yang bisa dianalisa. Sedangkan bersitan-bersitan yang mapan, yang terjadi karena syubhat, maka itu tidak mungkin ditangkal kecuali dengan argumentasi atau analisa dalam pembuktian kesalahannya.

17) Maksudnya adalah dzat-Nya. Berkata Zamakhsyari, "Kata 'wajah' itu mengungkapkan maksud keseluruhan dan eksistensi. Orang-orang miskin Makkah berkata, 'Manakah wajah-wajah Arab yang dermawan itu, yang akan menyelamatkan diriku dari kematian?'"

18) Maksudnya, ia terdidik di bawah asuhan dan penjagaan-Ku.

19) Maksudnya "dengan pengawasan-Ku. " Berkata Rabi' bin Anas, "Dengan pengawasan dari-Kami, pengawasan dzat yang Maha Melihat." Berkata Ibnu Abbas, "Dengan penjagaan Kami."

20) Maksudnya, Allah mengawasi bai'at mereka lalu membalasnya dengan pahala-Nya.

21) Tangan terbelenggu dan terbuka, sebuah kiasan akan sifat kikir dan dermawan.

22) Maksudnya, Allah mencipta semua itu sendirian, tanpa sekutu dan penolong.

23) Artinya, Allah memperingatkan kalian akan adanya siksa yang datang dari sisi-Nya.

24) Maksudnya, apa-apa yang ada pada lingkup pengetahuan-Nya yang Mahaluas.

25) 'Arsy itu singgasana Allah. Terming bersemayam (istiwa'), berkata Abu Hasan AI-Asy'ari dan yang lain, "Bersemayam di 'Arsy tanpa batasan cam dan sifatnya sebagaimana bersemayamnya makhluk."

26) "Di atas" di sini lebih pada konteks kekuasaan dan kemenangan, yakni mereka di bawah dominasi-Nya, bukan "di atas" dalam konteks tempat. Persis sebagaimana dikatakan bahwa raja ada di atas rakyatnya, yakni lantaran kekuasaan dan dominasinya.

27) "Yang di langit", maksudnya adalah kekuasaan-Nya. Berkata Qurthubi, "Disebutkan dengan kata 'langit' meskipun yang dimaksud adalah kekuasaan secara menyeluruh, sebagai peringatan bahwa Tuhan, yang terjelmalah kekuasaan-Nya di langit, Dia juga yang diagung-agungkan di bumi.

28) Maksudnya, diketahui oleh Allah swt

29) Orang-orang kafir yang menyifati Allah dengan sifat-silat yang tidak layak dinisbatkan kepada Allah; misalnya tentang sekutu, serta tentang beranak dan diperanakkan, di samping itu juga mendustakan-Nya.

30) Yakni ruh yang dimiliki dan dicipta oleh Allah; yaitu ruh Isa as.

31) Maksudnya adalah perintah dan keputusan-Nya.

32) Yakni dengan bentuk Adam as. Berkata Hafidz Al-Asqalani, "Maknanya, bahwa Allah swt. menciptakannya pertama kali sudah dalam bentuknya yang sempurna tanpa harus melalui tahapan pertumbuhan dan tidak pula tahapan kandungan dalam rahim sebagaimana anak cucunya. Dengan kata lain, Allah menciptakan Adam semenjak ruh ditiupkan sudah dalam keadaan sebagai lelaki yang sempurna dan sehat."

33) Berkata Az-Zamakhsyari, "Meletakkan telapak kaki pada sesuatu seperti untuk menekan dan mencegah. Sepertinya Dia berkata, 'Datanglah perintah Allah untuk mencegahnya dari meminta tambahan, maka ia pun terhalangi."

34) Berkata An-Nawawi, "Berkata Al-Mazari, 'Gembira itu mendatangkan keridhaan. Yang dimaksud di sini bahwa Allah swt. ridha terhadap taubat hambaNya lebih dalam daripada orang yang menemukan hartanya yang hilang. Hadits itu menyebut keridhaan dengan kata 'gembira' untuk menegaskan makna ridha itu di telinga pendengamya, juga untuk menunjukkan makna superlatifnya.'"


35) Tentang hadits, "Sesungguhnya masjid itu mengkerut.., ., " berkata Az-Zabidi di Syarah Ihya' bahwa Al-Iraqi berkata. "Saya tidak menjumpai adanya ketersambungan hadits ini dengan Rasulullah. Ia hanya kata-kata Abu Hurairah dan riwayat lbnu Abi Syaibah dalam bukunya." Saya katakan, "Diriwayatkan juga oleh Abdurrazzaq dengan sanad sampai Rasulullah dengan riwayat Abu Hurairah. Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. melihat dahak di masjid di arah kiblat, lalu beliau bersabda, 'Siapa di antara kalian yang tengah menghadap Tuhannya berdahak di hadapannya? Apakah ia mau didahaki mukanya ketika sedang bertatap muka?"'

36) HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah

37) HR. Muslim dari Abdullah bin Umar

Yüklə 139,33 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin