Amanat al-Insan dalam Krisis Lingkungan: Kajian Ekofeminisme Islam
Dewi Candraningrum
(Universitas Muhammadiyah Surakarta & Jurnal Perempuan)
dewi.candraningrum@jurnalperempuan.com
Abstract:
Islam has long been putting women equally before men under the umbrella concept of al-Insan (human being). al-Insan does not refer exclusively to man but to all universal human being. The equal existence of all human being has equal responsibility in tackling ecological crises, global warming, extreme weather, and disaster-risks. Islamic ecofeminism specifically propagates the protection of biological diversity and gender-based perspective in tackling disaster-prone regions. Quran and Hadits have provided basic and seminal paradigm for Muslim to live under the so-called modern terminology, sustainable development.
Keywords:
al-Insan, Islam, Ecological Crisis, Ecofeminism.
Pengantar: Ekofeminisme sebagai Filsafat dan Gerakan Sosial
Kehadiran ekofeminisme secara etimologis dimulai pada tahun 1970-an dan 1980-an sebagai akibat dari irisan dan gesekan dari teori-teori dalam feminisme dan environmentalisme. Secara terminologis, ekofeminisme diperkenalkan oleh Francoise d’Eaubonne dalam bukunya Le Feminisme ou la Mort (Feminism atau Kematian) yang diterbitkan pada tahun 1974. Dalam buku ini perempuan dan persoalan ekologis dikaitkan secara multidimensional (Morgan, 1992: 4). Para pencetus teori di bidang ini antara lain adalah Rosemary Radford Ruether, Ivone Gebara, Vandana Shiva, Susan Griffin, Alice Walker, Starhawk, Sallie McFague, Luisah Teish, Sun Ai Lee-Park, Paula Gunn Allen, Monica Sjöö, Greta Gaard, Karen Warren dan Andy Smith. Ekofeminisme tidak hanya mengkaitkan perempuan dan lingkungan, tetapi juga spiritualitas Krisis dan kehancuran bumi merupakan swara dari devaluasi bumi sekaligus devaluasi perempuan (Spretnak, 1990: 5-6). Perempuan mulai melihat hubungan antara konstruksi kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan paralel dengan eksploitasi tanpa henti terhadap bumi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang masih dalam kontrol sistem besar patriarki. Dalam patriarki, perempuan dan bumi adalah objek dan properti yang layak dieksploitasi (King, 1990). Ekofeminisme merupakan “gerakan sosial” yang unik dan memiliki ideologi kuat dalam menantang pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekosistem (Eisler, 1990: 23; Quinby, 1990: 127; Plant, 1990: 155; Van Gelder, 1989; Clausen, 1991; Nash, 1989; Warren, 1990; Lahar, 1991; Cuomo, 1992; Salleh, 1992). Bahkan dalam Ms. Magazine, ada kolom yang didedikasikan untuk persoalan ekofeminisme. Ekofeminisme, disamping sebagai sebuah filsafat dan ideologi, dia juga, dus, melahirkan gerakan-gerakan sosial dan semakin banyak tumbuh sehubungan dengan semakin buruknya kondisi lingkungan.
Di Antara Ketiak (t)uhan Langit dan (t)uhan Bumi
Ekofeminisme mencurigai perkawinan maha berbahaya dari klasisme, rasisme, seksisme, heteroseksisme, dan naturisme yang telah membawa kekuasaan dan kontrol eksploitasi terhadap alam dan perempuan sebagai objek belaka. Maka dia memaksa gerakan sosial ini untuk menghadapi eksploitasi yang sistemik dan terstruktur itu secara total, dan tidak parsial hanya pada dimensi-dimensi tertentu. Interseksionalitas merupakan pisau analisis yang wajib disandingkan dengan kajian gender dan teori feminisme secara umum. Dalam buku New Woman/New Earth Ruether menulis berikut ini:
Women must see that there can be no liberation for them and no solution to the ecological crisis within a society whose fundamental model of relationships continues to be one of domination. They must unite the demands of the women’s movement with those of the ecological movement to envision a radical reshaping of the basic socioeconomic relations and the underlying values of this modern industrial society.
(Ruether, 1975: 204).
Ekofeminisme mewajahkan dirinya dalam multi-dimensi, dalam multi-lokasi, dengan menantang struktur utuhnya, pengalaman manusia global, juga tirani manusia global terhadap gurita kapital yang menjadikan bumi sekadar objek. Perspektif ekologis-dalam digunakan untuk menganalisis dampak-dampak ikutan dari sebuah eksploitasi. Menurut ekofeminisme, patriarki telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi, yaitu langit/bumi, pikiran/tubuh, lelaki/perempuan, manusia/binatang, ruh/barang, budaya/alam, putih/berwarna, dan lain-lain—dimana yang berada dalam posisi akhir merupakan objek yang boleh dengan arbiter dan semena-mena dieksploitasi, diatur dan ditarik profit darinya. Produk dari kategori tersebut kemudian melahirkan kapitalisasi tubuh perempuan, kapitalisasi bumi—bahwasanya alam dan seisinya bukan dilihat sebagai makhluk hidup tetapi sebagai sumber kapital dan fundamen investasi. Dualisme inilah yang selama ini melayani patriarki dengan setianya. Dualisme dan posisi biner, seharusnya, dipecahkan dan dibuang agar kemanusiaan manusia bukan sebagai kemanusiaan yang “terbelah” dan “saling berseberangan atau bermusuhan” (meminjam istilah Griffin, 1978, “devided against”). Dominasi manusia atas alam, dalam feminisme, adalah salah satu isu penting dalam feminisme karena dia paralel dengan dominasi kemanusiaan atas tubuh perempuan. Politik seksualisasi perempuan dan politik daging untuk konsumsi manusia merupakan dua hal yang dalam sistem ekonomi kapitalisme merupakan sumber keuntungan yang luar biasa. Sementara dia menegasikan resiko lingkungan yang dilahirkan dari budaya konsumsi yang tanpa batas itu.
.
Dalam menghadapi dualisme eksploitasi kategori tersebut, ekofeminisme memperkenalkan kekuatan diversifikasi biologis dan menekankan keunikan dan perbedaan pada setiap makhluk. Dan darinya penghargaan disemaikan sebagai wujud dari mengobati luka Bumi yang semakin panas dan kerontang. Luka Bumi ini tidak lepas dari sistem kultural dan sosial yang dibangun atas dasar mengibliskan dan menegasikan watak hewan dan watak perempuan. Pada masa pra-patriarki, perempuan dan hewan merupakan simbol-simbol bagi kesuburan dan keseimbangan. Dengan kelahiran agama-agama Semit, kemudian, representasi simbol-simbol itu tidak lagi meruang, terpinggir dan tersingkir menjadi penanda kapital dan profit belaka. (t)uhan-tuhan yang dilahirkan dari langit kemudian menggeser (t)uhan-tuhan yang dilahirkan di bumi. Simbol-simbol kuno ini kemudian dilahirkan kembali dalam bentuk setan dan iblis bagi tuhan langit. Kemudian diciptakan surga, di langit, dan neraka, di bumi. Proyeksi hirarkis dan sistemik ini kemudian melahirkan struktur keilmuan modern yang, lagi-lagi, memandang bumi sebagai ladang eksploitasi. Hal ini paralel dalam kesejarahan transisi masyarakat agraris menuju masyarakat industri, kemudian masyarakat teknologi. Carolyn Merchant mengartikulasikan resiko dan kerusakan lingkungan dalam transisi tersebut sebagai kematian alam dalam bukunya The Death of Nature (1980).
Vandana Shiva menulis dalam Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India (1988) bagaimana kematian atas prinsip-prinsip feminin telah mengakibatkan maldevelopment (pertumbuhan yang cacat) atas lingkungan. Shiva menggambarkan bagaimana kedatangan pertanian super-intensif dari barat telah merusak kondisi ekologis bumi pada umumnya. Secara lengkap dia mengartikulasikan berikut:
Maldevelopment militates against this equality in diversity, and superimposes the ideologically constructed category of western technological man as a uniform measure of the worth of classes, cultures, and genders. Diversity, and unity and harmony in diversity, become epistemologically unattainable in the context of maldevelopment, which then becomes synonymous with women’s underdevelopment (increasing sexist domination), and nature’s depletion (deepening ecological crises).
(Shiva, 1988)
Menceraikan Maskulinitas dari Eksploitasi
Dalam menghadapi kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam yang tidak terkendali, filsafat perlu menceraikan imajinasi-diri, metafisika, kebijakan, dan struktur dalam patriarki yang merujuk maskulinitas sebagai sumber dan pusat kekuasaan. Karena kekuasaan ini merupakan pusat dari kelahiran seluruh resiko kerusakan alam, ketika kekuasaan diartikan sebagai penguasaan atas tubuh Liyan, yaitu perempuan dan minoritas seksual; dan penguasaan atas hewan, tumbuhan dan alam. Kekuasaan ini menjadi tidak terkendali, ketika yang dikuasai kemudian bersikap pasif dan menyerah pada totalitas sistem kapitalisme, yang membarang-uangkan segala yang ada. Resiko-resiko bencana alam yang diciptakan manusia (man-made natural disaster) merupakan cerminan dari eksploitasi yang tidak terkendali. Kemahakuasaan lelaki ini menjadi semakin kuat dalam sistem kenegaraan modern dengan diciptakannya militerisme, korporasi, dan birokrasi yang mendukung kooptasi dan penguasaan sumber daya alam. Profit merupakan jaminan dari melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan merupakan afrodisiak yang paling menawan dan menggoda dalam sejarah manusia. Dia telah memotivasi manusia dalam kehidupan nyata untuk mengakumulasi kapital dengan mengesampingkan kerusakan ekologis. Kekuasaan ini perlu didekonstruksi dan diceraikan dari nilai-nilai maskulinitas supaya, siapapun lelaki, yang tidak berkuasa, tetap merasa gagah dan aman. Demistifikasi kegagahan yang bersumber dari menguasai Liyan ini tercermin kuat dalam hirarki dan struktur militerisme yang didominasi oleh laki-laki. Struktur masyarakat yang menyediakan bumi, tanpa batas, sebagai bangkai dalam piring lelaki, yang dikonsumsi dengan tamak, perlu diceraikan dari sifat-sifat kegagahan yang membanggakan. Patriarki perlu mengenal bagaimana menumbuhkan kembali luka-luka bumi yang habis dimakan dalam piring tambang eksploitatif tadi. Kekuasaan yang merusak ini sama sekali tidak seksi dan perlu dilucuti dari glorifikasi-glorifikasi dalam konsep-konsep filsafat humanisme. Ego yang ekstrem, kompetisi, reduksionisme, hirarki, kemajuan, pertumbuhan, kontrol dalam teknokrasi telah menyisihkan Bumi sebagai makhluk hidup—yang perlu dirawat. Bumi dalam teknokrasi hanyalah barang, yang boleh habis untuk digali dan diakumulasi.
Hewan dan perempuan, dalam konsepsi patriarki, dicap sebagai liar dan buas. Maka perlu ditundukkan, diatur, dan dieksploitasi sesuai dengan kebutuhan peradaban. Dalam perhewanan, kata-kata buas dan predator, bahkan disematkan sebagai bentuk reduksi dan negativitas atas fungsi penting mereka terhadap keseimbangan alam. Bahasa manusia dibentuk berdasarkan pola-pola kekuasaan yang top-down dan hirarkis, dimana mekanisme, fantasi, dan subjektivitas manusia dibangun atas “bahaya”. Dus hewan yang liar dan berbahaya, dalam hal ini adalah juga perempuan (melalui sunat), perlu dijinakkan, atau jika perlu diberangus supaya tidak membahayakan peradaban. Konsepsi reduksionis ini telah membawa ikutan-ikutan dan resiko ketidakseimbangan alam yang justru membawa ancaman dan kerusakan ekologis. Sifat-sifat keberbahayaan hewan telah menjustifikasi manusia untuk melakukan eksploitasi masif demi perikehidupan dan kemakmuran peradaban. Ini jelas bukan pandangan ekologis yang holistik dan menyelamatkan keseimbangan. Ketergantungan manusia sebagai bagian dari ekosistem alam perlu dilahirkan dan direkonsepsi kembali nilai-nilai urgensinya, supaya akumulasi sumber daya alam dapat direduksi dan dapat ditemani dengan pemulihan-pemulihan ekologis. “Sensitivitas linguistik” perlu ditumbuhkan dalam memandang alam dan manusia-manusia Liyan dalam rumah besar patriarki. Dengan ini pula penghargaan dan pengharapan terhadap keberagaman Liyan tersebut merupakan manifestasi dari keberagaman lingkungan seperti yang diungkapkan oleh Catherine Keller berikut:
At any moment we meet an infinite plurality, most of which we do indeed screen out, bundle and reduce into manageable perceptual and cognitive categories. To attune ourselves to this plurality means to live with the untold, indeed unspeakable, complexity it poses for us. For as we take in the many, we ourselves are many.
Konstruksi diskursif yang meliyankan hewan dan tubuh perempuan ini yang kemudian melahirkan Liyan dalam konsepsi rasional, sehingga menghalalkan cara untuk eksploitasi dan akumulasi sumber daya alam. Varietas padi di pulau Jawa, yang dahulu tercatat, jumlahnya ratusan, sekarang tinggal beberapa belas saja. Hilangnya pluralitas dan diversifikasi padi ini merupakan hasil dari kelahiran diskursus reduksionisme yang berdasarkan pada profit dan kapital. Ketika mereka berubah bentuk dari “makhluk” menjadi “produk” unggul dan tidak susah diurus, atau gampang diatur. Padahal resiko yang dilahirkan dari “rasionalisasi agraria” ini adalah jatuhnya ekosistem pada titik nadir. Perut buncit manusia harus mengorbankan perut tiris dan perut kerontang bumi yang kehilangan beberapa ratus varietas padinya. Padi hanyalah salah satu contoh. Contoh lain, secara masif, seperti proses penghilangan paksa manusia dari panggung politik yang korup dan tiran. Dalam industri dan reformasi agraria, terbukti, bahwa kemaslahatan manusia merupakan atas nama dari kehancuran ekologis. Dengan ini, tempelan sifat: buas, liar dan berbahaya atas hewan, seperti ular misalnya, sebenarnya menempel pada si pencipta bahasa, yaitu manusia. Yang dengan liar dan buas memangsa bumi tanpa ampun.
Demokratisasi & Feminisasi Sains
Lebih jauh, ekofeminisme mensyaratkan demokratisasi sains dan ilmu alam, yang selama ini menempatkan alam secara hirarkis dalam cengkeraman manusia. Dia mensyaratkan keterbatasan pengetahuan dalam mengungkap misteri bumi sebagai subjek mandiri dan makhluk hidup. Dan karenanya manusia harus hidup berdampingan secara inklusif, saling tergantung, dan menempatkan hewan, pohon, sungai dan alam umumnya sebagai bukan Liyan. Alam dalam sains, bukan lagi obyek di laboratorium, tetapi memberikan kembali hak hidup mereka di bumi ini. Bukan dengan pendekatan, bahwa jika mencelakai dan buas, maka perlu direduksi. Bukan dengan pendekatan, bahwa, jika menghasilkan buah banyak, maka tanaman ini perlu dikembang-biakkan lebih banyak dari spesies lain. Dan lain-lain. Sains baru dalam pendekatan ini didekati secara sensitif dan etis. Para ilmuwan perlu menjadi pendengar yang inklusif, bahkan kepada alam, rujuk Donna Haraway. Haraway mensyaratkan sebuah konstruksi keilmuan yang dibangun berdasarkan totalitas dan entitas yang memiliki hubungan ekosistem yang saling mendukung dan saling menghargai. Bukan relasi subjek-objek yang selama ini menjadi fundamen struktur sains modern. Ekofeminisme dibangun berdasarkan akta mengasuh, memelihara dan membangun keberlanjutan planet bumi. Ideologi demokratis dibangun dalam kaitannya dengan relasi antara manusia dan lingkungan.
Dalam revolusi sains Bumi diberi kelamin sebagai perempuan. Dan dia adalah entitas yang mudah dikontrol, baik dengan perkembangan teknologi maupun manajemen rasional yang mekanistik untuk menciptakan kepatuhan. Eksploitasi sumber daya alam, seperti tambang, logam mulia, dan lainnya merupakan representasi dari ketidakberdayaan alam di hadapan rasionalitas yang hiperaktif dan eksploitatif. Pada 8 Mei 2013, salah satu Koran di Perancis, Le Monde Diplomatique menulis tentang “Imperial Gigantism and the Decline of Planet Earth”, yang menyindir hasrat korporasi manusia yang tamak untuk menghabiskan SDA sehingga planet bumi mengalami kemerosotan lingkungan yang sangat mengerikan. Manusia lupa, bagaimana alam memberikan kebahagiaan, karena kebahagiaan telah tergantikan dengan kapital, dengan uang. Padahal pada satu titik tertentu, nantinya, manusia tidak akan pergi begitu saja dari resiko kerusakan lingkungan yang dia buat, betapa kayanya dia, dia tetap terkena imbasnya. Setumpuk uang tak mampu menggantikan kerusakan masif lingkungan. Dalam format sains modern, “teknologi” merupakan metafora hegemonik terhadap makhluk dan organisme-organisme. Dan dalam konteks pertumbuhan ekonomi kapitalisme, kematian alam merupakan kabar paling buruk bagi peradaban manusia.
Karena alam dipandang sebagai sistem yang mati dan objek yang dieksploitasi, maka secara inheren, struktur modernitas melegitimasi kekuasaan dan manipulasi atas alam. Kerangka konseptual inilah yang kemudian melahirkan alam sebagai produk-produk dalam sistem kapitalisme yang komersil (Shiva, 1990). Lebih jauh, sistem reproduksi perempuan dan hewan juga tumbuhan—masuk dalam sistem kapitalisme industri demi keuntungan-keuntungan tertentu. Dengan banyak atau sedikit anak, semua diarahkan pada manipulasi kapital—berlaku tidak hanya hewan dan tumbuhan, tetapi juga fungsi reproduksi perempuan! Destruksi biosfer dan penggundulan hutan merupakan manifestasi dari reproduksi kekuasaan manusia atas bumi sebagai Liyan. Bumi adalah teks yang dipandang tak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi sebagai sesuatu yang pasif dan submisif atas kebutuhan akumulasi kapital manusia. Ada campur tangan kapital dalam fungsi reproduksi manusia dan apa saja yang sengaja dikembang-biakkan oleh manusia. Di sini, tak cukup lagi, ekofeminisme berteriak menantang patriarki, karena sejatinya yang bekerja masif dan mematikan adalah kapitalisme itu sendiri—yang selama ini berfungsi sebagai sendok makan atas perut-perut serakah manusia. Kapitalisme merupakan sistem opresi yang mengeksploitasi perempuan dan alam atas nama kesejahteraan.
Pengetahuan primitif atas tumbuhan dan rahasia-rahasia pengobatan, yang selama ini terpinggirkan dalam kedokteran modern, jika tidak diselamatkan atau dipelajari kembali, akan menghilang seiring dengan tumbuh serakahnya produktivitas kapitalisme atas nama obat dan zat-zat kimia. Kedekatan perempuan, perdukunan, dengan pengobatan tradisional merupakan simbol dari semakin tersingkirnya bumi dalam “vision du monde” manusia sendiri. Dengannya manusia membangun kembali kesuburan tanah, konservasi air, kesehatan manusia, keberlanjutan dan diversifikasi ekologis.
Amanat Al-Insan
Krisis ekologis termanifestasi dalam polusi air, radiasi, kontaminasi udara, jejak karbon di atmosfer, reduksi spesies hewan dan diversifikasi fauna. Foucault (1978), jauh-jauh hari, sudah mengingatkan bahwa manusia dan peradabannya tidak hidup dalam ekologi, tetapi hidup dalam budaya yang mempengaruhi kondisi ekologi. Ekofeminisme lahir dari episteme tersebut. Budaya yang melahirkan dan dilahirkan dalam Islam merupakan pemicu krisis ekologis. Ada beberapa aliran pemikiran mengenai pencabangan ekofeminisme di dalam Islam. Pertama, yang berargumen pesimis, bahwa Islam sendiri telah memicu kerusakan dan ketidakstabilan ekologis tersebut. Kedua, yang berargumen optimis, bahwasanya, dalam Islam telah ada semangat penyelamatan dan keseimbangan ekologis. Yang terakhir ini banyak dilahirkan oleh feminis Muslim seperti Ahmed, Badran, Barlas, Keddie, Mernissi, Stowasser, dan Wadud.
Status perempuan dalam dunia Islam dapat dipaparkan sebagai berikut. Setengah milyar perempuan menghuni 40-45 negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, dan di 30 negara lain sebagai minoritas. Ada stereotype monolitik tentang perempuan dalam dunia Islam, yaitu, bahwa mereka terdiskriminasi oleh ketidakadilan gender dan sistem patriarkal yang kuat. Hal ini benar bagi sebagian negara di Timur Tengah dan Afrika, tetapi tidak di negara-negara Barat (sebagai minoritas) dan di Asia Tengah, Selatan, Tenggara, dan Timur Jauh, seperti Indonesia. Poligami, pernikahan dini, sunat perempuan, pelarangan pemimpin perempuan, hampir-hampir mewarnai seluruh media tentang status perempuan Muslim di dunia. Yang luput dari pengamatan adalah, bahwa banyak perempuan Muslim yang tidak bisa dideskripsikan menggunakan stereotype tersebut. Banyak profesor, pemikir, filsuf, politisi, sastrawan, aktivis perempuan Muslim yang dapat digambarkan dengan cara yang berbeda dari stereotype tersebut. Tulisan ini akan berangkat dari semangat yang terakhir ini—dengan tanpa melupakan bahwa masih banyak perempuan di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim mengalami diskriminasi gender.
Ahmed, Badran, Barlas, Keddie, Mernissi, Stowasser, dan Wadud merupakan sedikit dari feminis ekologis yang menolak ide bahwa Islam tidak kompatibel dengan penyelamatan lingkungan. Quran dan Hadits merupakan sumber yang abadi dan tak ada habisnya untuk dapat digali dalam melindungi, dalam konsep adaptasi dan mitigasi lingkungan. Menurut mereka, kedua (T)eks tersebut jika didekati dengan pembacaan patriarkis, tentu tak akan tampak; tetapi jika didekati, dibaca, dan ditafsir dalam kerangka pemikiran ekofeminisme, maka akan banyak ditemukan hikmah dan pelajaran penting dalam menjaga kestabilan ekologis. Islam merupakan manifestasi dari salah satu agama monotheistik yang menolak konsep bahwa perempuan merupakan sumber godaan setan. Dan Islam juga menolak anggapan bahwa perempuan adalah sumber dari segala dosa manusia. Dalam Islam, termaktub di Quran dan Hadits, Allah telah menjamin kesetaraan antar makhluknya, baik dalam eksistensi, peran, tugas dan tanggung-jawab:
And Allah has given you mates of your own nature, and has given you from your mates, children and grandchildren, and has made provision of good things for you. Is it then in vanity that they believe and in the grace of God that they disbelieve?
Qur’an (16:72)
The Creator of heavens and earth: He has made for you pairs from among yourselves …
(Qur’an 42:11).
O humankind! Verily We have created your from a single (pair) of a male and a female, and made you into nations and tribes that you may know each other….
(Qur’an, 49:13; cf. 4:1).
And their Lord has accepted (their prayers) and answered them (saying): “Never will I
cause to be lost the work of any of you, be he male or female; you are members, one of
another…”
(Quran, 3:195; cf 9:71;33:35-36;66:19-21).
“And when the female (infant) buried alive – is questioned, for what crime she was
killed.”
(Qur’an 81:8-9).
When news is brought to one of them, of (the Birth of) a female (child), his face darkens and he is filled with inward grief! With shame does he hide himself from his people because of the bad news he has had! Shall he retain her on (sufferance) and contempt, or bury her in the dust? Ah! What an evil (choice) they decide on?
(Qur’an 16: 58-59).
“And when the female (infant) buried alive – is questioned, for what crime she was killed”.
(Qur’an 81:8-9).
When news is brought to one of them, of (the Birth of) a female (child), his face darkens and he is filled with inward grief! With shame does he hide himself from his people because of the bad news he has had! Shall he retain her on (sufferance) and contempt, or bury her in the dust? Ah! What an evil (choice) they decide on?
(Qur’an 16: 58-59).
Whosoever has a daughter and he does not bury her alive, does not insult her, and does not favor his son over her, God will enter him into Paradise.
(HR Ibn Hanbal, No. 1957).
Persoalan perempuan dan ekologi terletak dalam jantung pemikiran rahim Islam, bagaimana Allah dan nabinya menempatkannya sebagai bukti kesetaraan eksistensi antara manusia dan bumi. Perikehidupan anak perempuan yang bahkan disia-siakan sampai sekarang, di tempat Islam dilahirkan, merupakan bukti bahwa Islam telah maju dalam menimbang diskriminasi, properti dan eksploitasi yang tidak adil atas nama apapun. Kekayaan alam dan perikehidupan fauna dan flora yang sekarang terancam dan menjadi perlahan punah, merupakan persoalan yang menjadi pemikiran para tokoh dalam dunia Islam. Bagaimana semangat pembangunan yang berkelanjutan yang menyokong kontinuitas, kesetaraan akses dan perlindungan lingkungan merupakan isu yang menjadi pemikiran bersama. Sumber dari kesucian bumi merupakan kesatuan dari manifestasi cinta Allah kepada makhluknya. Dan Allah telah mengabarkan bahwa manusia sebagai Khalifah (al insan), tak layak, jika tak melindungi lingkungan. Khalifah (dalam feminisme Islam, adalah setiap insan, setiap manusia—tidak terbatas “hanya laki-laki”) mengemban amanat di dalam dirinya, tanggung jawab terhadap sesama manusia, apapun kelas sosial-ekonominya dan terhadap lingkungan. Dan perempuan merupakan manifestasi dari Bumi. Yang tersiakan dalam sejarah, dan tak boleh disiakan dalam ekofeminisme Islam.
“Verily, this world is sweet and appealing, and Allah placed you as vice regents therein; He will see what you will do. So, be careful of [what you do in] this world and [what you do to/with] women, for the first test of the children of Israel was in women!”
(HR Sahih Bukhari).
Referensi:
Keller, Catherine. “Women against Wasting the World: Notes on Eschatology and Ecology,” in
Reweaving the World, ed. Diamond and Orenstein. 258.
Clausen, J. (1991, September 23). Rethinking the world. The Nation, pp. 344-347.
Cuomo, C. J. (1992). Unraveling the problems of ecofeminism. Environmental Ethics, 14, 351-
363.
Eisler, R. (1990). The Gaia tradition and the partnership future: An ecofeminist manifesto. In I.
Diamond & G. F. Orenstein (Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism
(pp. 23-34). San Francisco: Sierra Club Books.
Griffin, S. (1978). Woman and nature: The roaring inside her. New York: Harper and Row.
King, Y. (1990). Healing the wounds: Feminism, ecology, and the nature/culture dualism. In I.
Diamond & G. F. Orenstein (Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism
(pp. 106-121). San Francisco: Sierra Club Books.
Lahar, S. (1991). Ecofeminist theory. Hypatia, 6, 29-43.
Merchant, C. (1990). Ecofeminism and feminist theory. In I. Diamond & G. F. Orenstein (Eds.),
Reweaving the world: The emergence of ecofeminism (pp. 100-105). San Francisco:
Sierra Club Books.
Morgan, J. (1992). Ecofeminism an emerging social movement. Unpublished Plan B paper,
Anthropology Department, University of Minnesota, Minneapolis, MN.
Nash, R. F. (1989). The rights of nature: A history of environmental ethics. Madison: University
of Wisconsin Press.
Plant, J. (1990). Searching for common ground: Ecofeminism and bioregionalism. In I. Diamond
& G. F. Orenstein (Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism (pp. 155-
164). San Francisco: Sierra Club Books.
Quinby, L. (1990). Ecofeminism and the politics of resistance. In I. Diamond & G. F. Orenstein
(Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism (pp. 122-127). San Francisco: Sierra Club Books.
Ruether, Rosemary Radford. New Woman/New Earth: Sexist Ideologies and Human Liberation.
New York: Seabury, 1975.
Ruether, Rosemary Radford, ed. Women Healing Earth: Third World Women on Ecology,
Feminism, and Religion. Maryknoll: Orbis Books, 1996.
Salleh, A. (1992). The ecofeminism/deep ecology debate: A reply to patriarchal reason.
Environmental Ethics, 14, 195-216.
Shiva, Vandana. (1990). Development as a new project of Western patriarchy. In I. Diamond &
G. F. Orenstein (Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism (pp. 189-
200). San Francisco: Sierra Club Books.
Spretnak, C. (1990). Ecofeminism: Our roots and flowering. In I. Diamond & G. F. Orenstein
(Eds.), Reweaving the world: The emergence of ecofeminism (pp. 3-14). San Francisco:
Sierra Club Books.
Van Gelder, L. (1989, January/February). It's not nice to mess with Mother Nature. MS., pp. 60-
63.
Warren, K. J. (1990). The power and promise of ecological feminism. Environmental Ethics, 12,
125-146.
Dostları ilə paylaş: |