Analisis struktural dan nilai pendidikan dalam novel cinta suci zahrana karya habiburahman el shirazy serta implikasinyanya dalam pembelajaran sastra di sekolah



Yüklə 329,56 Kb.
səhifə2/6
tarix12.09.2018
ölçüsü329,56 Kb.
#81382
1   2   3   4   5   6

Kajian Teori

  1. Novel

Sugiono (2008:969) mengartikan novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilinngnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel layaknya karya sastra yang lain juga memiliki unsur intrinsik yang membangun cerita di dalamnya serta nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya.

Macam-macam novel menurut Muchtar Lubis (dalam Sulhan, 2011:30) antara lain: roman avontur, roman psikologi, roman detektif, roman sosial, roman politik, dan roman kolektif. Lebih lanjut Muchtar Lubis mengemukakan bahwa novel memiliki ciri-ciri yang khas yaitu sifat dan perubahan para pelakunya tidak diceritakan panjang lebar, kejadiannya berakhir dengan lancar sebab berpusat dalam kehidupan suatu saat dan hanya diceritakan sebagian dari kehidupan manusia yang dianggap penting.

Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut :


  1. Menceritakan sebagian kehidupan yang luar biasa;

  2. Terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib;

  3. Terdapat beberapa alur atau jalan cerita;

  4. Terdapat beberapa insiden yang mempengaruhi jalan cerita; dan

  5. Perwatakan atau penokohan dilukiskan secara mendalam.

Menurut Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2010:16) pengertian novel adalah suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode

Selanjutnya pendapat Altenberd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010:2) mengatakan bahwa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramitisasikan hubungan-hubungan antar manusia.

Jadi, novel adalah sebuah karya sastra yang menceritakan tentang sebuah kehidupan yang bersifat imajinanatif, yang di dalamnya terjadi konflik yang dapat menyebabkan perubahan nasib bagi pelakunya yang digambarkan sangat mendalam oleh penulisnya tanpa meninggallkan nilai estetikanya.


      1. Analisis Struktural

Poerdaminta (dalam Sulhan, 2011:10) menyatakan bahwa analisis berarti menyelidiki suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya. Menurut Sujiman (dalam Emiliawati, 2010:7) analisis berarti penguraian (karya sastra) atas unsur-unsurnya, dengan tujuan memahami pertalian antar unsur-unsur tersebut.

Berdasarkan definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa analisis merupakan uraian unsur-unsur pembangun karya sastra yang memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian yang dimaksud analisis dalam penelitian ini adalah kegiatan menguraikan bagian unsur-unsur karya sastra yang bulat dan utuh, serta menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai totalitas yang berstruktur dan bermakna.

Strukturalisme merupakan sebuah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sebuah struktur yang terbangun dari unsur-unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya secara totalitas dan otonom. Struktur berarti tata hubung antara bagian-bagian suatu karya sastra atau kebulatan karya itu sendiri. Karya sastra bersifat otonom, artinya karya sastra terbangun atas unsur-unsur di dalam karya sastra itu sendiri tanpa pengaruh dari unsur-unsur luarnya.Totalitas berarti unsur-unsur yang saling berkaitan menjadi sebuah kesatuan dan tunduk pada kaidah sistem karya sastra (Nurgiantoro, 2010:36).

Hawkes (dalam Nurgiantoro, 2010:37) mengatakan bahwa strukturalisme pada dasarnya juga dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur ini baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsure-unsur yang terkandung di dalamnya.

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula identifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Setelah dicoba jelaskan bagaimana fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkain fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis sruktrural tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan bagaiman hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal ini perlu dilakukan mengingat karya sastra merupakan sebuah struktur yapng kompleks dan unik, disamping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal inilah yang membedakan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain (Nurgiayantoro, 2010:37).

Berdasarkan teori-teori strukturalisme tersebut dapat dinyatakan bahwa struktur adalah cara sesuatu yang disusun atau dibangun dan struktural adalah hal-hal yang berkenaan dengan struktur tersebut sehingga teori strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra dan yang berkenaan dengan itu. Unsur-unsur tersebut meliputi tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.



  1. Tema

Tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah: makna khusus yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-sub tema atau tema-tema tambahan, makna yang manakah dan bagaimanakah yang dapat dianggap sebagai makna pokok sekaligus tema pokok novel yang bersangkutan. (Staton dan Kenny dalam Nurgiyantoro, 2010:67).

Menurut Stanton (2007:36) mengatakan bahwa tema merupakan cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan manusia terhadap diri sendiri, bahkan usia lebih tua.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 2010:68) mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur perbedaan.Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang merupakan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat ”mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa atau konflik pada situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan dasar cerita, gagasan sentral, atau ide pokok yang mendasari karya sastra dan menghubungkan unsur-unsur lain dalam keseluruhan cerita dan pola pikiran yang mendasari suatu pembahasan. Bagi seorang pengarang, rangkaian cerita merupakan sarana untuk mengungkapkan pandangan hidupnya tentang kehidupan dan kemudian menjadikannya tema dari cerita yang diciptakannya.



  1. Tokoh dan Penokohan

Dalam karya sastra, terdapat nama-nama pelaku yang mendukung cerita. Nama-nama pelaku itu merupakan tokoh yang berbeda-beda. Ada yang sengaja ditampilkan sehingga jelas sekali, dan ada juga yang ditampilkan secara sekilas atau sepintas. Cara menggambarkan tokohnya pun bemacam-macam, sehingga kesan imajinasi yang timbul pun berbeda-beda. Tiap pelaku juga diberi watak dan kepribadian yang sesuai.

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam cerita fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang yang hidup di alam nyata. Sama halnya dengan manusia di alam nyata, maka tokoh dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis,dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, organisasi, hobi,bangsa suku, dan keturunan. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, juga intelekrualitas.

Tokoh cerita menurut Abraham (dalam Nurgiyantoro, 2010:165) adalah oarang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti dalam mengekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Peristiwa dalam suatu cerita fiksi sama halnya dengan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita yang disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2009:79).

Boulton (dalam Aminuddin, 2009:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu berbagai macam. Pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupannya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lain Dalam pembicaraan sebuah fiksi sering dipergunakan tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya tidak menyarankan pada pengertian yang persis sama, atau paling tidak dalam tulisan ini akan dipergunakan dalam pengertian yang berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya mengrah pada tokoh cerita, dan pada ”teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita.

Nurgiyantoro (2010:195-196) menjelaskan bahwa teknik penggambaran karakter atau perwatakan tokoh dalam cerita terbagi menjadi dua, yaitu teknik analitik (teknik langsung) dan teknik dramatik (teknik tidak langsung). Tokoh analitik adalah teknik pennggambaran watak tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung tentang tokoh yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku dan juga ciri fisiknya. Sedangkan teknik dramatik adalah teknik pelukisan tokoh yang dilakukan secara tidak langsung artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh melainkan membiarkan tokoh cerita menunjuk dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukannya, baik secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan alur atau plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian atau konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan alur atau plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit. Tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2010:176-178).

Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan dengan tokoh utama dan tokoh tambahan, sedangkan jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh antagonis dan protagonis. Membaca sebuah novel, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh tertentu., memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara emosional, terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut tokoh protagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi atau yang disebut ”hero” dengan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi pembaca suatu cerita. Tokoh protagonis menampilakan suatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, pembaca. Maka kita sering mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan kita, sebagaimana halnya dengan menyikapinya. Segala apa yang dirasa, dipikir, dan dilakukan tokoh itu sekaligus mewakili kita (Nurgiyantoro, 2010:178-179). Jadi, dapat disimpulkan antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis adalah tokoh yang bertentangan antara keduanya dan biasanya akan menimbulkan suatu konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis yang disebabkan oleh tokoh antagonis.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sedangkan penokohan adalah cara pengarang menampilkan atau memunculkan suatu tokoh dengan karakter yang berbeda-beda sehingga dalam suatu cerita terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan yang dapat dilihat dari pemunculan para tokoh-tokoh cerita.


  1. Latar / Setting

Latar atau setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 2009:80). Lebih lanjut Leo Hamalin frederick R. Karel (dalam Aminuddin, 2009:68) menjelaskan bahwa setting dalam karya sastra berfungsi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu.

Abram menjelaskan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010:216). Lebih lanjut dijelaskan oleh Stanton yang mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) karena dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi (dalam Nurgiyantoro, 2010:216).

Penggambaran setting atau tempat kejadian dalam suatu cerita fiksi harus jelas dan mampu membawa pembaca dalam mengikuti cerita. Penggambaran setting atau tempt kejadian secara jelas merupakan hal yang sangat penting karena setting atau tempat kejadian harus seolah-olah nyata.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar/setting adalah tempat ruang dan waktu terjadinya cerita yang dapat mendukung terbentuknya watak fisik seorang tokoh cerita.



  1. Alur / Plot

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara kausal saja (Staton, 2007:26). Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat. Jauh sebelumnya, seperti ditunjukkan di atas, Foster juga telah mengemukakan hal-hal yang senada.

Selanjutnya, Plot menurut Foster (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kualitas.

Dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku. Konflik tersebut terdiri beberapa tahap, yaitu pelukisan awal cerita, pertikaian awal, klimaks atau titik puncak cerita dan penyelesaian.


  1. Amanat

Setiap pengarang dalam menciptakarya sastra tentulah menyimpan pesan yang disamapaikan kepada pembaca. Pesan tersebut dapat berupa pesan yang tersirat maupun pesan yang tersurat. Pesan yang ingin disampaikan pengarang itu disebut amanat.

Menurut Nurlailah (dalam Sulhan, 2011:28) mengartikan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang dari sebuah karya sastra. Ada kalanya dapat diangkat suatu ajaran moral.

Jadi, Amanat cerita merupakan pesan pengarang kepada pembaca atau masyarakat.


      1. Nilai Pendidikan

  1. Hakikat Nilai

Nilai dalam bahasa Inggris berarti value yang berasal dari istilah latin valere yang berarti berguna, mampu, berdaya, berlaku dan kuat. Menurut tirtarahardja dan Sulo (2010:21) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.

Mulyana (2004:11) mendefinisikan nilai sebagai rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Sedangkan Kuparman (dalam Mulyana 2004:9) mengartikan nilai sebagai patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif.

Jadi secara umum nilai merupakan sesuatu yang dihargai, selalu dijunjung tinggi, serta dikejar manusia dalam memperoleh kebahagiaan hidup sehingga menjadi rujukan manusia dalam menentukan pilihannya.


  1. Hakikat Pendidikan

Pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lain. Seperti bayi lahir sudah berada di dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Di dalam lingkungan masyarakat di mana seorang bayi dilahirkan telah terdapat kebiasaan-kebiasaan tertentu, larangan-larangan dan anjuran, ajakan tertentu seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mengenai banyak hal seperti bahasa, cara menerima tamu, makanan, istirahat, bekerja, perkawinan, bercocok tanam, dan seterusnya (Tirtarahardja dan Sulo, 2010:3).

Pendidikan berasal dari bahasa Yunani ‘’Paedagogie’’yang terbentuk dari kata ‘’Pais’’ yang berarti anak dan ’’again’’ yang berarti membimbing. Dari arti kata itu maka dapat didefinisikan secara leksikal bahwa pendidikan adalah bimbingan/pertolongan yang diberikan kepada anak oleh orang dewasa kepada anak agar anak menjadi dewasa (Purwanto ,2008:19).

Menurut Tirtarahardja dan Sulo (2010:33-37) ada beberapa batasan pendidikan yang berbeda berdasarkan fungsinya: (1) Pendidikan sebagai proses transformasi budaya, (2) Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, (3) Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara, (4) Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, dan (5) Garis Besar Haluan Negara 1988, memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut; pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Definisi tersebut menggambarkan terbentuknya manusia yang utuh sebagi tujuan pendidikan. Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dan rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek sosial, aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta segi serba keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan sosial dan alamnya (horizontal), dan dengan Tuhannya (vertikal).

Berdasarkan beberapa pengertian pendidikan di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohanianak didik yang dilakukan secara sadar, sengaja, dan penuh tanggung jawab menuju ke taraf yang lebih maju, berkepribadian utama dan tercapainya kedewasaan yang pertumbuhannya menyesuaikan dengan lingkungan. Proses pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah atau lembaga pendidikan saja tetapi juga keluarga dan masyarakat. Sehingga pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja.

Nilai pendidikan dapat dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah nilai dan pendidikan. Saat kedua istilah tersebut disatukan, maka ditemukan definisi nilai pendidikan. Nilai pendidikan adalah ajaran-ajaran yang bernilai luhur meliputi segi kehidupan menurut ukuran pendidikan yang merupakan jembatan ke arah tercapainya tujuan pendidikan.



  1. Jenis-Jenis Nilai Pendidikan

Menurut Tirtarahardja dan Sulo (2010:21-23) dalam pemahaman dan pelaksanaan nilai membagi dua dimensi atau nilai pendidikan, yaitu ; (1) Nilai pendidikan kesusilaan, kesadaran, dan kesediaan melakukan kewajiban di samping menerima hak pada peserta didik. Pada masyarakat kita, pemahaman terhadap hak (secara obyektif rasional) masih perlu ditanamkam tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban; (2) Nilai pendidikan agama, merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah mahluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia.

Sedangkan menurut Hadikusumo (dalam Nispiani, 2011:20) membagi nilai pendidikan itu atas: (1) Pendidikan keindahan, menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan, (2) Pendidikan kesusilaan adalah pendidikan budi pekerti agar seorang taat mengerjakan segala sesuau yang baik dan meninggalkan yang buruk, (3) Pendidikan sosial, nilai tertinggi yang terdapat pada pendidikan social adalah kasih sayang antar manusia, (4) Pendidikan politik, menempatkan nilai tertingginya pada kekuasaan, (5) Pendidikan ekonomi, dijadikan sebagai ukuran perilaku kehidupan manusia yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan hidup secara material, (6) Pendidikan ketuhanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan (7) Pendidikan keterampilan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan terdiri atas :


  1. Nilai Pendidikan Sosial atau Kemasyarakatan

Istilah sosial dalam ilmu-ilmu sosial mempunyai arti yang berbeda dengan istilah sosialisme atau istilah sosial pada Departemen Sosial. Langeveld (dalam Tirtarahardja dan Sulo, 2010:19) mengungkapkan bahwa adanya dimensi sosial pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya.

Nilai tertinggi yang terdapat pada pendidikan sosial adalah kasih sayang antar manusia. Sosial adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat. Manusia merupakan bagian dari masyarakat. Maka dari itu, manusia sebagi mahluk sosial tidak dapat hidup sendirian, melainkan membutuhkan berhubungan dan bergaul dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan pendidikan sosial adalah pendidikan yang bertalian atau berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan usaha menjaga hidup bermasyarakat.


  1. Nilai Pendidikan Agama atau Ketuhanan

Pendidikan Ketuhanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia diciptakan supaya menjadi orang yang bertakwa kepada Tuhan. Adapun wujud dari nilai pendidikan ketuhanan dapat dapat berupa berdoa atau memohon sesuatu kepada Tuhan, ungkapan rasa syukur dan sikap kepasrahan.

  1. Nilai Pendidikan Kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah mahluk susila (Tirtarahardja dan Sulo, 2010:20-21).

Pendidikan kesusilaan adalah pendidikan budi pekerti agar seseorang taat mengerjakan segala sesuatu yang baik dan meniingglkan yang buruk atas kemauan sendiri dalam segala hal dan setiap waktu dengan tujuan menjadi orang yang berkepribadian dan berwatak baik. Kesusilaan berkaitan dengan adab dan sopan santun, susila dan berakhlak mulia.



  1. Nilai Pendidikan Moral

Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan yang mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan (Zuriah, 2007:22)

Pengertian dan pemahaman moral adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Pada dasarnya perasaan moral lebih kepada hal yan baik dan tidak baik., perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain merupakan ekspresi dari perasaan moral. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang seseorang berbuat baik. Oleh sebab itu, persaan moral perlu diajarkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan perasaan empati (Budiningsih, 2008:7).

Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu nilai-nilai dan kehidupan nyata, maka moral lebih banyak membahas masalah dilemma yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat (Zuriah, 2007:16).

Jadi, nilai pendidikan moral adalah nilai yang menunjukan peraturan-peraturan tingkah laku, dan adat istiadat dari seorang individu dan suatu kelompok yang meliputi prilaku untuk dapat menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.

Uraian tentang nilai-nilai pendidikan di atas akan dijadikan landasan atau pijakan dalam menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel “Cinta Suci Zahrana”.


      1. Yüklə 329,56 Kb.

        Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin