Aqidah Jihadiyah Umat Islam


PEMBAHASAN KEDELAPAN: Tadrib Askari hukumnya wajib bagi setiap muslim



Yüklə 0,94 Mb.
səhifə5/13
tarix26.07.2018
ölçüsü0,94 Mb.
#58417
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13

PEMBAHASAN KEDELAPAN:

Tadrib Askari hukumnya wajib bagi setiap muslim

Tema ini telah dijelaskan pada bab kedua dari risalah ini. Kewajiban tadrib askari bagi setiap muslim yang tidak berudzur syar'i didasarkan pada pemahaman bahwa jihad itu menjadi fardhu 'ain pada kondisi-kondisi yang telah saya sebutkan tadi. Dan jihad tidak mudah dilakukan (khususnya seiring dengan perkembangan berbagai jenis persenjataan) selain dengan berlatih dengan senjata-senjata itu. Dan suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.

Demikian juga tadrib (berlatih) askari adalah bagian dari I'dad yang hukumnya wajib, sebagaimana Al Anfal : 60. Dan Nabi SAW menafsirkan "kekuatan" pada ayat itu dengan sabda beliau:

ألا إن القوة الرمي



"Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu melempar, beliau mengucapkannya tiga kali."

Adalah tidak cukup, bila seseorang berlatih sekali seumur hidup lalu meninggalkannya. Bahkan wajib bagi orang muslim untuk selalu berlatih dengan tekun agar kemampuan lemparnya senantiasa terjaga.

Ketekunan untuk berlatih ini dapat dipahami dari sabda Nabi SAW:

من عَلِمَ الرمي ثم تركه فليس منا



"Barangsiapa belajar melempar lalu meninggalkannya maka ia bukan termasuk golongan kami."(HR.Muslim Dari Uqbah Bin Amir )

Hadits ini menjelaskan tentang kewajiban untuk selalu I'dad untuk berjihad. Diantara bab ini adalah Firman Allah SWT ,

وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً

"Orang – orang kafir menginginkan agar kalian lengah terhadap persenjataan dan perlengkapan (harta benda) kalian lalu mereka menyerang kalian dengan serentak." (QS. An Nisa 102)

Yang patut diperhatikan bahwa tadrib ini bukan sebagai syarat wajib jihad, khususnya bila musuh telah masuk di bumi muslimin dan perangpun menjadi fardhu 'ain. Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, "Adapun perang defensif (mempertahankan diri) adalah merupakan jenis penolakan terbesar terhadap serangan yang membahayakan kehormatan dan agama. Maka ia hukumnya wajib ijma. Musuh yang menyerang itu yang merusak agama dan dunia, maka tidak ada kewajiban setelah iman yang lebih wajib dari menolak musuh itu. Karena itu tidak ada satupun syarat yang mesti dipenuhi untuk melaksanakan kewajiban itu.



Bahkan musuh itu harus dilawan dengan perlawanan yang memungkinkan". (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah al .309)

Saya katakan, pernyataan di atas bermakna, bahwa apabila jihad telah memasuki hukum wajib maka setiap muslim yang tidak terkena udzur syar'i wajib turut serta memerangi musuh meskipun ia belum terlatih untuk itu. Dengan catatan agar ia jangan mempergunakan senjata atau alat – alat perang lainnya yang ia sendiri belum pernah mengenalnya, dengan begitu iapun tidak akan membahayakan dirinya sendiri maupun saudara – saudaranya.

Karena Nabi SAW bersabda:

لا ضرر ولا ضرار



'Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan bahaya."

Dan agar setiap muslim komitmen kepada tugas yang telah diberikan amir perang kepadanya dalam urusan jihad ini, yang mana tugas itu masih di dalam batas – batas kemampuannya.

PEMBAHASAN KESEMBILAN:

Umat Islam itu Umat Mujahid, maka kebijakan–kebijakan yang dibangun untuk mereka haruslah sesuai dengan sifat–sifat mujahid itu sendiri


Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya Anda mengetahui bahwa umat Islam mendapatkan beban kewajiban jihad, baik jihad ofensif maupun jihad defensif.

Dan bahwa jihad itu sendiri terkadang hukumannya fardu kifayah atau fardu 'ain atas mereka.

Tadrib Askaripun merupakan perkara yang diwajibkan bagi mereka yang harus dilaksanakan dengan penuh ketekunan.

Bila kita melihat kepada jihad ofensif, yaitu menyerang musuh yang masih berada di negerinya, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu diwajibkan bagi umat Islam sekali dalam setahun. Dan ini merupakan kewajiban yang minimal dilakukan. Tidak ada yang menghalangi kewajiban jihad ini selain disebabkan adanya ketidakmampuan/kelemahan pada diri umat Islam, atau karena ada perjanjian damai dengan musuh.

Ulama lain berpendapat bahwa jihad seperti ini wajib dilakukan setiap kali ada kemungkinan untuk itu tanpa ada batasan bilangan tertentu.

Hujjah jumhur yang mewajibkan jihad ofensif sekali dalam setahun adalah bahwa jizyah yang diwajibkan kepada non muslim yang tinggal di Daarul Islam sebagai pengganti perang jihad yang mereka bayarkan. Setiap setahun sekali itu sesuai dengan ijma'

Atas dasar itu hendaknya jihad ofensif (yang mereka ganti dengan jizyah itu) dilakukan sekali dalam setahun. (Al Mughi wa Asy Syarah Al Kabir 10/367, 368)

Menurut saya, hukum ini bisa disimpulkan dari firman Allah SWT ,

أَوَلا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لا يَتُوبُونَ وَلا هُمْ يَذَّكَّرُونَ

"Tidakkah mereka melihat bahwa mereka senantiasa diuji pada setiap tahunnya sekali atau dua kali, kemudian mereka tidak juga bertaubat dan tidak pula mengambil pelajaran." (QS. At Taubah : 126)

Ibnu Katsir menukil dari Qatadah (tentang tafsir ayat ini), yaitu bahwa mereka diuji dengan peperangan di setiap tahunnya, sebanyak sekali atau dua kali.

Al Qurtubi berkata, tentang jihad ofensif, "Kewajiban jihad yang kedua juga diwajibkan kepada imam yaitu mengirim pasukan tempur ke negeri musuh sekali tiap tahun. Dia sendiri yang keluar bersama pasukan itu atau orang yang dia percayai dalam rangka menyeru kepada Islam, memaksa mereka agar tunduk dan mencegah gangguan mereka serta memenangkan agama Allah atas mereka hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah dari tangan musuh.

Di antara jihad itu ada juga yang hukumnya nafilah (ibadah tambahan) yaitu imam mengirim pasukan dan mengutus pasukan-pasukan sariyah (untuk operasi tertentu) pada saat-saat musuh lengah dan kesempatan memungkinkan serta mengintai musuh dengan cara Ribath di tempat-tempat yang dikhawatirkan dan menampakkan kekuatan. (Tafsir Al Qurtubi 8/152)

Menurut saya, Al Qurtubi sebagaimana jumhur, mengklasifikasikan hukum jihad yang wajib seperti itu, sekali dalam setahun, dan yang lebih dari itu adalah nafilah.

Maka jika kita memandang kepada kewajiban ini dan kita juga mengambil pelajaran tentang kewajiban melaksanakan i'dad untuk seterusnya (berdasar Qs. Al Anfal : 60), kita sungguh mengetahui bahwa sejatinya umat Islam ini adalah umat mujahidah (umat yang senantiasa berjihad), yang berada pada maqam yang pertama.

Demi terlaksananya kewajiban-kewajiban ini maka sepatutnya agar mengarahkan kebijakan-kebijakannya (baik keluar maupun ke dalam) untuk mewujudkan kewajiban-kewajiban ini. Maka kebijakan dalam bidang pengajaran, produksi, pertanian, perdagangan dan kependudukan dan lain-lain agar diprogram dan diarahkan untuk membantu jihad. Nabi SAW bersabda:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا

"Orang mukmin satu bagi orang mukmin yang lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Seraya (Beliau SAW) menjalinkan antara jari-jari beliau." (Muttafaq alaih dari Abu Musa)

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

Perumpamaan orang-orang mukmin didalam saling mencintai, menyayangi dan mengasihi di antara mereka laksana satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka seluruh tubuhnya terasa demam dan tidak bisa tidur. (Muttafaq alaih)



PEMBAHASAN KESEPULUH :

Tidak ada sesuatu yang menghalangi kaum muslimin untuk berjihad selain kelemahan (ketidak mampuan) dan pada saat itu pula wajib melakukan jihad.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT ,

فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمْ الأَعْلَوْنَ

"Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas." (Qs. Muhammad : 35)

Selama kaum muslimin memiliki kekuatan dan unggul dari musuh mereka, maka tidak ada perdamaian atau perjanjian tetapi yang ada hanyalah perang hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah saja.

Karena ayat terakhir yang turun tentang jihad adalah firman Allah SWT ,

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ



"Maka bunuhlah semua kaum musyrikin dimanapun kalian mendapati mereka. Tangkaplah mereka, kepung mereka dan intailah mereka di tempat-tempat pengintaian, maka jika mereka bertaubat dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah itu maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. At Taubah : 5)

Ayat ini dan ayat jizyah yang sama-sama berada dalam satu surat adalah merupakan perintah berperang yang bersifat umum. Ayat-ayat ini tidak ada dalil penghapusnya.

Al Bukhari telah meriwayatkan dari Al Baro', beliau berkata, "Surat yang terakhir turun adalah surat Al Baroah (At Taubah). (Hadits no. 4654)

Demikian inilah yang diperbuat oleh Nabi SAW dan para khalifah setelah beliau, tentang memerangi kaum musyrikin dan ahli kitab sebagaimana penjelasan nanti di Faqrah (13).

Perang melawan mereka tidak ada yang menghalangi selain kelemahan/ketidakmampuan kaum muslimin. Karena itu anda mendapati bahwa kaum kafir sangat bersungguh-sungguh dalam menghalangi kaum muslimin yang lemah untuk mendapatkan perjanjian. Allah SWT berfirman,

وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً



"Orang-orang kafir menginginkan sekiranya kalian lengah dari persenjataan dan harta benda kalian sehingga mereka akan condong menyerang kalian dengan serentak." (Qs. An Nisa : 102)

Dalam risalah ini selalu saya ulang-ulang, bahwa bila kaum muslimin dalam keadaan lemah, tidak mampu melaksanakan jihad, maka kewajiban yang ada saat itu adalah i'dad sebagaimana ayat 60 surat Al Anfal. Demikianlah yang dituturkan oleh Imam Ibnu Taimiyah.

Dari keterangan tadi anda mengetahui bahwa, pada dasarnya hubungan antara kaum muslimin dan orang-orang kafir itu adalah peperangan itu sendiri. Dan pengecualian darinya adalah perdamaian dalam bentuk perdamaian sementara, atau perjanjian. Kaum muslimin tidak pernah kembali kepada pengecualian ini selain bila mereka dalam keadaan darurat karena kelemahan yang menimpa mereka dan sejenisnya. Ini didasarkan firman Allah,

فَلا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمْ الأَعْلَوْنَ



"Janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas." (Qs. Muhammad : 35)

Adapun ayat yang dijadikan hujjah bahwa Islam tidak membolehkan perjanjian damai sebenarnya ia bukan hujjah untuk itu, karena ayat itu dapat dipahami bahwa perjanjian damai itu dibolehkan, namun dengan syarat ada hajat umat Islam terhadapnya. Syarat inilah yang menjadi catatan penting ayat 35 surat Muhammad tersebut.

Ayat 61 Surat Al Anfal berlaku khusus untuk suatu keadaan dimana perjanjian damai itu mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin dan mereka membutuhkannya.

Sedangkan ayat 35 surat Muhammad berlaku khusus untuk keadaan lain, dimana perjanjian damai itu tidak mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Dan itu terjadi manakala mereka memiliki kekuatan yang dapat memaksa musuh mereka. Karenanya pada saat itu tidak boleh ada perjanjian damai berdasarkan ayat ini. Dan karena yang demikian ini bertentangan dengan dasar hukum yang dituntut oleh syar'i yaitu memenangkan agama Islam atas agama-agama selainnya. Sebagaimana firman Allah SWT ,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

"Dan perangilah mereka hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah." (Qs. Al Anfal : 39).

Juga firmanNya

لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

"Agar Rasul itu memenangkan agama Islam atas semua agama walaupun orang-orang musyrik itu membenci." (Qs. At Taubah : 33)

Inilah dasar yang dimaksud itu, yaitu memenangkan Islam dengan cara memerangi seluruh kaum musyrikin, sehingga mereka masuk Islam dan kembali kepada peribadatan kepada Allah Rabbul 'Alamin, atau mereka tetap berada di atas kekufurannya dengan tetap membayar jizyah, tunduk di bawah hukum Islam dan bagi mereka tetap berlaku kehinaan disebabkan mereka keluar dari peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Pemaksa. Allah berfirman,

حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُون

"Hingga mereka membayar jizyah dari tangan mereka sedangkan mereka dalam keadaan tunduk." (Qs. At Taubah : 29).

Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ فِي الأَذَلِّينَ

"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina." (Qs. Al Mujadalah : 20).

Dalam menafsirkan ayat Al Anfal itu (Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka condonglah kalian kepadanya," Qs. Al Anfal : 61) beliau berkata, "Ibnu Abbas, Mujahid, Zaid bin Aslam, Atho' Al Khurosani, Ikrimah, Al Hasan dan Qotadah berkata, "Sesungguhnya ayat ini dihapus oleh ayat pedang di dalam surat At Taubah : 29

قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ



(Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir)

Pendapat di atas perlu dikaji ulang, sebab ayat surat At Taubah itu mengandung perintah untuk memerangi mereka bila memungkinkan untuk itu. Maka adapun bila musuh berjumlah banyak dan kuat dibolehkan untuk berunding/berdamai dengan mereka sebagaimana nash-nash yang menunjukkannya. Dan sebagaimana tindakan Nabi SAW pada perjanjian Hudaibiyah. Karenanya sama sekali tidak ada penafi'an satu sama lain, tidak ada penghapusan hukum dan tidak ada takhshish/pengkhususan, Wallahu a'lam.

Tentang ayat 61 surat Al Anfal itu, Ibnu Hajar berkata, "Ayat ini menunjukkan masyruiyah (disyariatkannya) mengadakan perjanjian damai bersama kaum musyrikin." sampai pada kata beliau, "Dan syarat diperbolehkannya perjanjian pada ayat ini adalah bahwa perintah untuk melangsungkan perjanjian damai itu terikat dengan adanya keuntungan di pihak kaum muslimin. Adapun bila perjanjian damai itu memihak kekufuran dan tidak tampak kemaslahatannya bagi kaum muslimin maka perjanjian damai itu tidak boleh dilangsungkan." (Fathul Bari 6/275, 276)

Ayat yang dijadikan hujjah ini menunjukkan disyariatkannya melangsungkan perjanjian damai dengan musuh saat ia dibutuhkan, bukan menunjukkan kewajiban untuk melangsungkan perjanjian damai.

Saya katakan, keterangan tadi tidak patut dipahami bahwa Islam tidak menyerukan kedamaian. Bahkan Islam mengajak manusia kepada kedamaian itu, namun dengan sudut pandang yang khusus. Islam menghendaki kedamaian bagi seluruh makhluk di muka bumi. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ



"Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam." (Qs. Al Anbiya : 107).

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ



"Allah itu penolong bagi orang-orang yang beriman yang akan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya." (Qs. Al Baqarah : 257)

وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا



"Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah perbaikannya." (Qs. Al A'rof : 185 )

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ



"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk berbuat keadilan dan kebaikan, memberikan (pemberian) kepada karib kerabat, dan melarang untuk berbuat keji, munkar dan melampaui batas." (Qs. An Nahl : 90)
Inilah kedamaian dalam pemahaman Islam, yaitu rahmat (kasih sayang) terhadap seluruh makhluk, mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, anjuran untuk berhias diri dengan akhlak yang mulia dan membebaskan mereka dari peribadatan kepada manusia, Firman Allah,
وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

"Dan janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah." (Qs. Ali Imran : 64), serta larangan berbuat kerusakan di muka bumi.

Maka bila kedamaian dalam kontek itu belum terwujud niscaya jihad wajib dilaksanakan. Sebab Allah SWT berfirman,

حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّ

"Dan perangilah mereka hingga tidak terjadi fitnah di muka bumi dan agama itu hanya milik Allah semata." (Qs. Al Anfal : 39)

PEMBAHASAN KESEBELAS

Hijrah tidak pernah terhenti hingga matahari terbit dari arah barat

Nabi SAW bersabda,

وأنا آمركم بخمس، الله أمرني بهن، الجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد في سبيل الله

Dan aku menyuruh kalian dengan lima perkara yang Allah telah menyuruhku dengan lima perkara itu, yaitu berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dari Al Harits Al Asy'ari dan dishahihkan oleh Al Albani)

Beliau juga bersabda'


لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تطلع الشمس من مغربها

Hijrah tidak akan terhenti hingga terputusnya pintu taubat dan pintu taubat tidak pernah terputus hingga matahari terbit dari arah barat." (HR. Abu Dawud, dari Muawiyah, dishahihkan Al Albani)
Hijrah itu diwajibkan karena beberapa sebab, diantaranya:

1. Melarikan diri (dengan tetap taat kepada ajaran agama) dengan cara memisahkan diri dari kaum musyrikin karena takut terjadi fitnah terhadap agamanya. Inilah yang dimaksud hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam atau negeri yang aman, bagi yang mampu. Nabi SAW bersabda,

أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين لا تراءى نارهما

"Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal (bermukim) di tengah-tengah kaum musyrikin. Jangan sampai api keduanya saling terlihat satu sama lain." (HR. Abu Dawud)

Al Bukhari telah meriwayatkan dari Atho' bin Abi Robah, beliau berkata, "Aku pernah mengunjungi Aisyah bersama Ubaid bin Umair Al Laitsi, lalu kami bertanya kepada beliau tentang hijrah, maka beliaupun menjawab,

لا هجرة اليوم، كان المؤمنون يفر أحدهم بدينه إلى الله تعالى وإلى رسوله صلى الله عليه وسلم مخافة أن يفتن عليه، فأما اليوم فقد أظهر الله الإسلام، واليوم يَعْبُد ربه حيث شاء، ولكن جهاد ونية

"Tidak ada hijrah hari ini, dahulu orang-orang mukmin, salah satu dari mereka melarikan diri dengan agamanya menuju Allah dan RasulNya karena takut terjadi fitnah terhadap agamanya. Adapun hari ini Allah telah memenangkan Islam dan tiap-tiap orang dapat beribadah kepada Allah sekehendaknya. Tetapi yang ada sekarang adalah jihad dan niat." (no. 3900)

Menurut saya, hijrah yang dinafikan Aisyah ra. adalah hijrah dari darul Islam (dengan kata beliau "tidak ada hijrah hari ini") sedangkan mereka saat itu berada di darul Islam. Kemudian beliau menetapkan sebab hijrah yaitu melarikan diri dengan agamanya karena takut terjadi fitnah.


2. Hijrah itu sebagai muqaddimah jihad fi sabilillah

Sebagaimana hadits Al Harits Al Asy'ari tadi, (Dan Allah memerintahkan kalian dengan lima perkara sebagaimana Allah telah memerintahkan aku dengan lima perkaran itu, yaitu berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan jihad), beliau menjadikan hijrah sebagai muqaddimah (hal yang mendahului) dan berkaitan dengan jihad (yang ada pada urutan berikutnya).

Allah berfirman,

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

"Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu terhadap orang-orang yang hijrah setelah tertimpa fitnah (ujian) lalu mereka berjihad dan bersabar, maka sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (setelah itu)." (Qs. An Nahl : 110)

Hijrah setelah tertimpa fitnah atau ujian bukan merupakan tempat terakhir dari suatu pelarian, tetapi hijrah itu semata-mata menjadi muqaddimah bagi kelangsungan jihad dan bersabar, yang merupakan marhalah setelahnya.

Nabi SAW bersabda'

لا تنقطع الهجرة مادام العدو يُقَاتَل

"Hijrah tidak pernah terputus selama musuh masih diperangi." (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani di Irwaul Ghalil 5/33)

Di muka telah saya paparkan bahwa jihad fi sabilillah tetap berlangsung sampai kaum muslimin memerangi Al Masih Dajjal, bersama Isa bin Maryam. Inilah akhir jihad fi sabilillah sebagaimana dalil-dalil yang menetapkannya.


Hijrah sebagai muqaddimah jihad itu memiliki dua tujuan,

  1. Membantu kaum muslimin di negeri lain yang sedang melaksanakan jihad.

  2. Mengambil I'dad dan menghimpun bantuan (personal) di negeri lain agar dapat berjihad ketika pulang dari negerinya.

Tentang hukum hijrah Ibnu Qudamah berkata, "(Pasal tentang hijrah), hijrah adalah keluar dari darul kufri menuju darul Islam. Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا

"Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan mereka menzhalimi diri mereka sendiri, malaikat bertanya,"Dalam keadaan bagaimana kalian ini?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)". Para malaikat bertanya, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian bisa berhijrah di negeri itu?" (Qs. An Nisa : 97)

Nabi SAW bersabda,

»أنا بريء من مسلم بين مشركين لاتراءا ناراهما

Aku berlepas diri dari seorang muslim yang ada di antara orang-orang musyrik. Jangan sampai api keduanya saling terlihat satu sama lain." (HR. Abu Dawud)

Hadits ini bermakna, jangan sampai seorang muslim itu berada di suatu tempat yang ia dapat melihat api orang-orang musyrik dan mereka melihat apinya apabila api itu dinyalakan (karena kedekatan jarak keduanya). Hadits-hadits semisal ini banyak sekali.

Hukum hijrah tetap berlaku hingga hari kiamat sebagaimana pendapat umumnya ahli ilmu. Sebagian orang mengatakan hijrah telah terhenti dengan sabda Nabi SAW "Tidak ada hijrah setelah penaklukan ( ) Beliau juga bersabda,

قد انقطعت الهجرة ولكن جهاد ونية

"Hijrah telah terputus, tetapi yang tersisa adalah jihad dan niat."

Telah diriwayatkan bahwa Sofwan bin Umayah tatkala ia masuk Islam dikatakan kepada beliau,

"Tidak ada ketaatan bagi orang yang belum hijrah." maka beliau datang ke Madinah. Nabi SAW pun bersabda kepadanya, "Berita apa yang kamu bawa wahai Abu Wahab?" Ia menjawab, "Sesungguhnya tidak ada ketaatan bagi orang yang belum berhijrah." Nabi SAW berkata, "Wahai Abu Wahab kembalilah ke bumi Mekah dan tetap tinggallah kalian di rumah-rumah kalian. Hijrah telah terputus tetapi yang ada jihad dan niat."

Semua hadits-hadits tadi diriwayatkan oleh Sa'id.

Kami juga memiliki hadits yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah, beliau berkata, "Aku mendengar Nabi SAW bersabda, "Hijrah tidak pernah terputus sampai pintu taubat tertutup dan pintu taubat tidak tertutup hingga matahari terbit dari arah barat. (HR. Abu Dawud)

Dan beliau telah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,

»لا تنقطع الهجرة ما كان الجهاد

"Hijrah tidak pernah terhenti selama jihad masih ada."

Diriwayatkan oleh Sa'id dan selain beliau disertai penyebutan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkannya serta telah terbukti kesesuaiannya di sepanjang zaman.

Adapun maksud dari hadits yang pertama adalah tidak ada hijrah setelah penaklukan dari suatu negeri yang telah ditaklukkan oleh umat Islam.

Sabda beliau SAW kepada Sofwan bahwa hijrah telah terputus, yaitu hijrah dari Mekkah, karena hijrah itu artinya keluar dari negeri kafir, maka jika negeri itu akan ditaklukkan berarti negeri kafir telah hilang sehingga tidak perlu hijrah dari tempat itu.

Demikianlah bila setiap negeri telah ditaklukkan maka tidak ada hijrah dari tempat itu, namun justru berhijrah ke tempat itu telah dipastikan penaklukkannya.
Terkait dengan hijrah manusia terbagi menjadi tiga:

Pertama : Orang yang diwajibkan berhijrah yaitu orang-orang mampu melakukannya, tidak memungkinkannya untuk menampakkan agamanya, dan tidak memungkinkannya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya disertai keberadaannya di antara orang-orang kafir, maka orang ini wajib berhijrah.

Allah SWT berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمْ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُوْلَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

"Sesungguhnya orang-orang yang telah diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. Para malaikat berkata, "Dimanakah kalian berada?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang tertindas di muka bumi," Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalian bisa hijrah kepadanya!" Mereka itulah orang-orang yang tempat kembali mereka neraka jahannam. Dan neraka jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (Qs. An Nisa : 98 – 99)

Ini merupakan ancaman yang keras yang menunjukkan perintah wajib hijrah. Dan karena melaksanakan kewajiban agama itu hanya diwajibkan bagi orang yang mampu melaksanakannya.

Dan hijrah itu merupakan kewajiban yang sangat penting dan sebagai penyempurnanya. Maka kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna dengan sesuatu itu menjadi wajib.

Kedua : Orang yang tidak diwajibkan berhijrah, yaitu orang yang lemah, tidak mampu melakukannya baik karena sakit atau dipaksa untuk tetap menetap, atau karena fisiknya lemah seperti wanita, anak-anak dan orang-orang yang semisal dengan mereka. Orang-orang seperti ini tidak diwajibkan hijrah.

Allah SWT berfirman,

إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا فَأُوْلَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا

"Kecuali mereka yang tertindas baik laki – laki maupun wanita ataupun anak – anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk hijrah. Mereka itu, mudah – mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."(Qs. An Nisa 98 – 99)

Ayat ini tidak menerangkan hukun mustahab (sunah) untuk hijrah karena orang – orang yang disebutkan dalam ayat ini memang tidak mampu melakukannya.

Ketiga : Orang yang dianjurkan (disunahkan) berhijrah tetapi tidak diwajibkan. Yaitu orang – orang yang mampu melakukan hijrah tetapi dia bisa menampakkan agamanya dan melaksanakan kewajiban – kewajiban agamanya meski berada di negeri kafir. Maka orang – orang seperti ini dianjurkan untuk berhijrah agar dapat melakukan jihad dan memperbanyak jumlah kaum muslimin serta memberi bantuan kepada mereka. Selain itu ia juga dapat membebaskan diri dari ; memperbanyak jumlah orang – orang kafir, pergaulan dengan merka serta melihat kemungkaran yang terjadi diantara mereka. Dan tidak wajib atasnya untuk hijrah karena ia bisa masih melakukan kewajiban – kewajiban agamanya tanpa hijrah.

Dahulu, paman Nabi SAW, Abbas, bermukim di Mekah sementara beliau sudah masuk Islam. Dan kami telah meriwayatkan bahwa Nu'aim An Nuham tatkala hendak berhijrah ia didatangi kaum Bani Adi. Mereka berkata kepadanya, "Engkau harus tetap tinggal bersama kami dan engkau tetap bisa di atas agamamu. Kami akan melindungimu dari orang – orang yang hendak menyakitimu. Cukupilah kebutuhan kami sebagaimana dahulu engkau mencukupi kami."

Dahulu beliau mengurusi anak – anak yatim Bani Adi dan janda – janda mereka. Sehingga beliau tertinggal dari hijrah beberapa waktu kemudian beliau berhijrah.

Maka Nabi bersabda kepada beliau: "Kaummu itu lebih baik bagimu dari pada kaumku terhadapku. Kaumku telah mengusirku dan menolak membunuhku, sedangkan kaummu mereka telah menjagamu dan melindungimu."

Beliau berkata kepada Nabi SAW, "Ya Rosululloh, tetapi kaummu mengusirmu menuju ketaatan kepada Allah dan berjihad melawan musuh sedangkan kaumku melemahkan semangatku untuk hijrah dan taat kepada Allah. Atau semisal dengan ucapan itu."(Al Mughni wasy Syarh Al Kabir, 10/5 1- 515)

PEMBAHASAN KEDUA BELAS :

Umat Islam adalah umat yang satu, seorang muslim adalah saudara umat muslim lainnya sekalipun negara mereka berjauhan. Masing – masing wajib menolong satu sama lain.

Allah berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

"Sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al Hujurat : 10)

Nabi SAW bersabda,

"Orang muslim itu bersaudara bagi orang muslim (lainnya)." (Muttafaq alaih)

المسلم أخو المسلم

"Orang – orang mukmin itu seperti (satu tubuh) seseorang, apabila bagian kepala mengeluh sakit maka seluruh badannya (merasakan) tidak bisa tidur dan demam (panas)." (HR. Muslim)

Tidak ada seorangpun yang lebih utama daripada orang – orang muslim kecuali dengan takwa dan amal shalih. Allah berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ



"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah diantara kalian adalah orang yang paling bertakwa diantara kalian." (Qs. Al Hujurat:13)

Nabi bersabda,

لا فضل لعربي على عجمي ولا لعجمي على عربي ولا لأبيض على أسود ولا لأسود على أبيض إلا بالتقوى، الناس من آدم وآدم من تراب

"Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non Arab dan tidak pula bagi orang non Arab atas orang Arab. Tidak ada keutamaan bagi orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit putih kecuali dengan takwa. Manusia itu asalnya dari Adam sedangkan Adam itu dari tanah." (HR. Ahmad)

Pertolongan itu merupakan hak setiap muslim atas saudaranya muslim (yang lain) meskipun saudara negara mereka berjauhan.

Nabi bersabda,

»المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يُسْلِمه، ومن كان في حاجة أخيه كان الله في حاجته، ومن فرج عن مسلم كربة فرج الله عنه كربة من كربات يوم القيامة، ومن ستر مسلما ستره الله يوم القيامة



"Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya, ia tidak akan menganiaya saudaranya atau menyerahkannya (kepada musuh). Barang siapa memenuhi hajad saudaranya maka Allah pasti memenuhi hajatnya. Barang siapa membebaskan saudaranya dari kesulitan maka Allah pasti membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutup aib saudaranya muslim, Allah pasti menutup aibnya pada hari kiamat."(HR.Bukhori)

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah (marfu')



Yüklə 0,94 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   ...   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin