Ketiga : Rusaknya kepengecutan
Berlawanan dengan keterangan sebelumnya,(tentang istisyhad) anda menjumpai bahwa penyakit pengecut dan wahn (cinta dunia dan takut mati) adalah penyakit parah yang menyebabkan umat Islam dikeroyok oleh umat-umat lain laksana hidangan diatas piring besar yang dikerumuni oleh orang-orang yang bernafsu terhadapnuya, sebagaimana yang tertera dalam Hadits Tsauban.
Terapi penyakit hati ini adalah dengan membuang gaya hidup mewah. Terapi itu dijadikan fondasi dengan cara melekatkan aqidah (iman terhadap takdir Allah), yaitu agar seorang muslim mengetahui bahwa musibah yang menimpa dirinya itu bukan berarti menyalahkannya. Dan kesalahan-kesalahan yang ia perbuat bukan berarti sumber musibah yang menimpanya.
Ajal sesuatu itu telah ada batasnya, sejak dahulu, Rizkipun demikian, dan musibah apapun yang menimpa seorang hamba telah ada ketentuannya disisi Allah. Allah SWT berfirman.
“ Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidakpula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya kepadamu. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong lagi membanggakan diri”. ( Al Hadid 22-23).
“ Dan tidaklah suatu jiwa itu mati kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. (Ali Imran 145).
“ Maka apabila ajal telah tiba, mereka tidak dapat mengakhirkan atau menyegerakannya sedikitpun”. (Al A’raf 34).
Dari Ibnu Masud bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“ Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa Nuftah (Air Mani) kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian sekerat daging selama itu juga. Kemudian diutuslah kepadanya malaikat lalu ia meniupkan kedalam sekerat daging itu ruh dan diperintahkan dengan empat kalimat, yaitu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagia. (Muttafaq alaih).
Dari Ibnu Masud, Nabi SAW bersabda,
“ Sesungguhnya Ruhul Qudus (jibril ) memberikanb ilham pad hatiku bahwa nyawa itu tidak akan mati hingga rizki dan ajalanya sempurna. Takutlah kalian kepada Allah dan perbaguslah usaha kalian dalam mencari (rizki). (HR Abu Nua’im di dalam Kitab Al Hilyah, dengan sanad shahih dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Jadi rizki dan ajal itu telah ditakdirkan, tidak bisa dihindari karena itu banyak kalangan salaf yang tidak suka berdoa agar panjang umur.
Adapun tentang hadits Nabi SAW,
“ Barangsiapa ingin agar rizkinya dibentangkan untuknya, dan agar tertunda kematiannya (panjang umur) maka hendaklah ia menyambung silaturahmi”. (Muttafaq alaih).
Ibnu Hajar telah memberikan tarjih dan selain beliaupun telah memastikan bahwa maksud dari berkah di dalam rizki dan umur itu bukanloah sesuatu yang lebih dari apa yang telah ditaqdirkan. Beliau menyebutkan sebagian atsar yang menguatkan tarjih ini (fathul Bari 10/ 415 – 416).
Jadi yang mesti diketahui bahwa jihad itu tidak mendekatkan kepaa ajal atau menghalangi rizki ! Namun demikian tarjih ini tidak mematikan usaha untuk mengambil sebab-sebab yang disyariatkan. Seperti, berusaha mencari rizki (maisyah), mengenakan baju besi disaat perang, menggali parit, dan lain-lain dalam rangka menghadapi musuh, seperti yang telah disyariatkan oleh Nabi SAW.
Maka tidak ada pemisahan antara Iman dengan takdir dan atanra melaksanakan sesuatu yang diperitahkan.
Keempat : kerusakan ihjam (mundur dari pertempuran karena takut terbunuh dan tidak dapat melihat hari kemenangan)
Yang saya maksud dengan ihjam adalah bahwa rasa senang terhadap kemenangan itu telah tertanam di dalam jiwa.
“ dan adalagi karunia yang lain, yang kamu sukai yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat”.(Ash Shof 13).
Rasa senang kepada kemenangan itu terkadang dapat berubah menjadi kebinasaan yang membuat seorang muslim menahan diri/mengundurkan diri dari turut serta dalam pertempuran pertama atau kedua, karena takut terbunuh dan tidak dapat hidup lagi guna menyaksikan hari kemenangan yang pasti. Ini terjadi karena kebodohannya terhadap hakekat kewajibannya.
Orang islam itu diperintahkan untuk berjihad menurut dasar syari, bukan diperintahkan untuk mewujudkan kemenangan yang pasti.
Baginya sama saja, apakah kemenangan itu diperoleh melalui tangannya atau tangan saudaranya atau anak-anaknya yang penting ia telah menunaikan kewajibannya. Dan ia akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
Allah berfirman, “ barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasulnya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai kepada tempat yang dituju, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”. (An Nisa : 100).
Inilah orang yang berusaha melaksanakan hijrah yang wajib, namun ia belum sampai kepada tempat yang ia tuju, bahkan ia telah menjumpai maut sebelum sampai di tempat hijrah sungguhpun demikian telah tetap pahalanya di sisi Allah SWT.
Lebih jelas lagi keterangan tentang maksud firman Allah, “ yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa amrah orang-orang kafir dan tidak menimpakan bencana kepada musuh melainkan ditulislah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal solih. Sesungguhn ya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik”. Dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah melainkan dituliskan bagi mereka amal shalih pula, karena Allah akan memberi balasan kepada mereka dengan balasan yang lebih bai dari apa yang telah mereka kerjakan”. (At Taubah 120-121).
Ayat ini tidak dapat meninggalkan sedikitpun susah payah yang dilakukan oleh seorang muslim di dalam jihadya melawan musuh Allah melainkan ia telah menetapkan bahwa amal itu adalah amal shalih yang dengannya pelakunya akan mendapat balasan kebaikan, tanpa ada syarat (“harus mencapai tujuan atu memperoleh kemenangan)”.
Sebagai tambahannya adalah patut diketahui bahwa barangsiapa berjihad dan belum pernah mendapatkan ghanimah atau kemenangan, maka yang demikian itu justru lebih besar pahalanya disisi Allah dibandingkan orang yang berjihad dan telah mendapatkan ghanimah dan kemenangan. Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
“ Tidak ada sepasukan hozwah atau sariyyah yang berperang lalu mendapat ghanimah dan selamat melainkan mereka telah mengambil persekot dua pertiga pahala mereka. Dan tidak ada sepasukan ghozwah atau sariyyah yang gagal dan celaka melainkan pahala mereka telah sempurna”. (HR Muslim).
Semisal dengan itu adalah hadits Khabab bin Al Aratsts beliau berkata, “ kami hijrah bersama Rasulullah SAW untuk mencari wajah Allah SWT, maka sungguh telah tetap pahala kami disisi Allah. Diantara kami ada yang mati sedangkan ia belum pernah makan pahalanya (hasil-hasil perang) sedikitpun, diantara mereka adalah Mas’ab bin Umair RA. Beliau terbunuh pada perang Uhud dan meninggalkan sehelai kain wol (selimut badan). Maka jika kami tutupkan kain itu dikepalanya pasti kedua kakinya kelihatan dan bila kakinya yang ditutup kepalanya kelihatan. Maka Rasulullah SAW memerintahkan kami agar menutup bagian kepala dan menutup kedua kakinya dengan sesuatu dari pohon idzkhir. Dan diantara kami ada yang telah memetik buah yang telah matang (menikmati hasil-hasil perang)”. (Muttafaq alaih)
Inilah akhir tentang Masalah Istisyhad yang saya ketahui.
Dostları ilə paylaş: |