Aspek-aspek musyawarah menurut perspektif al-qur'an oleh: Dr. H. Baharuddin Husin, ma disampaikan dalam: Seminar Nasional Islam dan Demokrasi: Pengembangan Model Demokrasi Berketuhanan Yang Maha Esa Selasa-Rabu



Yüklə 339,77 Kb.
səhifə3/4
tarix09.03.2018
ölçüsü339,77 Kb.
#45252
1   2   3   4

Sistem Musyawarah

Kalau kita telusuri ayat-ayat tentang musyawarah, baik ayat-ayat makiyah maupun madaniyah kita akan mendapati bahwa perintah musyawarah itu bersifat global.136 Dalam Al-Qur'an ayat yang berisi perintah dan bersifat global banyak sekali diantaranya perintah shalat, Allah SWT berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ



"dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat" (QS. Al-Baqarah/2: 43)
Perintah shalat dalam ayat ini sifatnya global kemudian Rasulullah Saw jelaskan bagaimana pelaksanaannya dengan ucapan dan perbuatan beliau sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw bersabda:
حدثنا مالك أتينا إلى النبي صلى الله عليه و سلم ... قال ... صلوا كما رأيتموني أصلى (رواه البخاري)

"Diceritakan oleh Malik bahwasanya ia telah datang kepada Rasulullah Saw … beliau bersabda: … Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" (HR. Bukhari)137
Contoh lain perintah Allah SWT yang bersifat global adalah perintah haji,138 sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ



"dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh" (QS. Al-Hajj/22: 27)
Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan bagaimana pelaksanaan haji dan beliau bersabda:
"Dari Jureij … berkata Jabir: saya telah melihat Rasulullah Saw melempar jumrah di atas kendarannya pada hari nahar dan beliau bersabda: ambillah manasik kalian dariku karena sesungguhnya aku tidak tahu apa bisa haji setelah tahun ini. (HR. Ahmad)139

Demikian pula dengan perintah musyawarah sebagaimana firman Allah SWT:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ

"dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (QS. Ali Imran/3: 159)

Dalam ayat di atas perintah musyawarah bersifat global, dan kalau kita telusuri tidak terdapat nash dalam kitab Allah SWT atau sunnah Rasulullah yang menerangkan bagaimana cara melaksanakan musyawarah. Begitu pula tidak terdapat nash yang menjelaskan rincian jumlah anggota majlis al-syûrâ dan cara menghadirkan jumlah ini.

Sebenarnya yang demikian adalah salah satu cirri khas agama ini yang tidak mewajibkan umatnya adanya ketentuan cara tertentu yang mungkin cocok pada masa tertentu tetapi tidak cocok pada yang lainnya sehingga akan memberatkan umat.140

Allah SWT telah menyingkirkan kesulitan dari agama, sebagaimana firman-Nya

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" (QS. Al-Hajj/22: 78)
Ini yang dimaksud fleksibilitas Islam, karena ia meletakan kaidah-kaidah tetapi membiarkan bidang yang sangat luas bagi sarana-sarana yang dapat mewujudkan kaidah-kaidah ini untuk menyingkirkan kesulitan dari umat. Allah SWT menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan.141

Allah SWT berfirman:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Konsep bagaimana seharusnya musyawarah itu dilaksanakan, adalah disesuaikan dengan sosio budaya masyarakat yang senantiasa berkembang, bukan dalam bentuk yang statis dan kaku. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أنتم أعلم يأمر دنياكم (رواه مسلم)



"Jika hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia, maka kalian lebih mengerti" (HR. Muslim)142
Namun demikian ia harus merupakan nilai yang tumbuh dari keimanan yang tertancap dalam hati sanubari, Sayyid Quthub143 memberi komentar bahwa sebagai bentuk peraturan Islam tanpa memperhatikan hakikat iman yang berada di belakangnya tidak akan membawa kepada kebaikan.144

Yang penting menurut pandangan Islam adalah bahwa hakikat musyawarah itu secara substansial ditegakkan di tengah masyarakat dan terwujud dalam kehidupan tanpa dibatasi dengan cara atau teknik. Oleh sebab itu Rasulullah Saw tidak mengharuskan satu cara tertentu untuk melaksanakan musyawarah, melainkan melakukannya dengan cara-cara yang berbeda. Kadang-kadang ia mengajak bermusyawarah satu orang, lalu beliau menerima pandangannya dan melakukan apa yang disarankan kepada beliau itu meskipun tidak sependapat sebagaimana yang terjadi dengan khabab bin Mundzir dalam memilih tempat bagi pasukan Islam di Badar. Begitu pula pendapat Salman al-Farisi,145 diterima oleh Rasulullah Saw untuk menggali parit di sekitar Madinah pada perang Khandak.146

Kadang-kadang beliau meminta pendapat dua atau tiga orang dan biasanya beliau meminta pendapat dari Abu Bakar dan Umar bin Khathab r.a. seperti yang dilakukan pada perang Ahzab, beliau meminta pendapat Saad bin Muadz dan Saad bin Ubadah. Seperti yang beliau lakukan dengan meminta pandangan Usamah bin Zaid dan Ali bin Abi Thalib mengenai perceraian beliau dengan isterinya.147

Kadang-kadang beliau meminta pandangan khalayak masyarakat melalui utusan dan perwakilan mereka untuk menyuarakan masyarakat yang mereka wakili, sebagaimana yang terjadi setelah perang Hunain, ketika kaum muslimin mendapat bagian harta rampasan, para wanita dan anak-anak, kemudian utusan Hawazin datang meminta kemurahan Rasulullah Saw lalu beliau bersabda: "Amma ba'du, sesungguhnya saudara-saudara kamu itu datang dengan bertobat dan aku telah memikirkan untuk mengembalikan para tawanan kaum wanita dan anak-anak mereka. Barang siapa yang hendak berbaik hati di antara kalian, maka lakukanlah. Barang siapa diantara kalian tetap pada pendiriannya memegang bagiaanya hingga kami memberinya dari awwal fa'i yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita maka lakukanlah". Kemudian bersabda lagi, "Apa yang menjadi bagianku dari bani Abdul Muthalib adalah milik kalian." Kaum Muhajirin berkata, "bagian kami adalah untuk Rasulullah Saw," Kaum Anshar berkata: "Bagian kami juga untuk Rasulullah Saw." al-Aqra'bin habis berkata: "Aku dan Bani Tamim tidak," Uyainah148 berkata: "Aku dan bani Fujarah tidak," Abbas bin Mardas al-Sulami berkata: "aku dan bani Sulaim tidak," Bani Sulaim berkata, "Bagian kami untuk Rasulullah Saw".149

Kemudian Rasulullah Saw bersabda:

قال رسو الله صلى الله عليه وسلم انا لا تدري من اذن منكم فى ذلك ممن لم يأذن فارجعوا حتى يرفعوا الينا عرفاؤكم أمركم



"Aku tidak tahu siapa diantara kalian yang merelakan itu dan siapa yang tidak merelakan. Maka pulanglah kalian agar para tetua kalian menyampaikan masalah kalian kepada kami" (HR. Bukhari)150
Mereka lalu pulang untuk berbicara dengan para tetua mereka. Kemudian setelah itu mereka kembali menemui Rasulullah Saw dan memberitahukan bahwa mereka telah berbaik hati dan merelakan semuanya.151 Dari sini dapat dimengerti bahwa kaum muslimin tidak terikat dengan cara bagaimana pelaksanaan musyawarah itu atau berapa jumlah ahli al-syûrâ. Dengan demikian terbuka bagi akal manusia untuk menggunakan sarana-sarana modern dalam pelaksanaan musyawarah dan anggota majlis al-syûrâ. Boleh menggunakan jalan pemberian suara secara rahasia yang melibatkan semua umat Islam yang telah dewasa dan sehat mental, dengan berbagai sarana yang belum ada di masa lalu.

Pemberian saran dapat melalui dua majlis:



  1. Majlis terpilih melalui pemilihan langsung dari masyarakat

  2. Majlis lain yang ditentukan dari penguasa, mencakup ulama, teknokrat dan kaum professional. Majlis ini berperan memberi saran teknis kepada majlis al-syûrâ tanpa memaksakan atau campur tangan dalam urusan Negara. Sebab para anggota majlis rakyat banyak dihadapkan pada masalah-masalah teknis operasional yang tidak menjadi bidang keahlian mereka, seperti menyetujui perjanjian hukum atau pembangunan proyek nuklir, atau masalah operasional apapun, atau proyek yang membutuhkan adanya pandangan yang bersifat masukan teknis khusus atau tidak.

Karena ilmuan atau pakar di bidang tertentu tidak memiliki waktu cukup untuk menggeluti politik atau berkomunikasi dengan masa agar mereka memiliki basis rakyat yang dapat menyambungkan mereka dengan majlis al-syûrâ yang terdiri dari majlis rakyat terpilih dan majlis teknik operasional yang dengan demikian menggabungkan antara basis masa rakyat dengan keahlian ilmiah dalam satu waktu, tidak merugikan salah satu dari keduanya dengan mengorbankan yang lain.152

Konsep pemilihan langsung ini diangkat dari peristiwa Bai'atu al-Aqabah kedua, Nabi Saw telah meminta kepada orang-orang yang memberi baiat kepada beliau dalam peristiwa itu agar memilih diantara mereka dua belas orang utusan. Lalu mereka memilih Sembilan dari golongan khazraj dan tiga dari golongan Aus dengan mempertimbangkan dalam pemilihan mereka perbandingan jumlah para pemberi baiat. Dari golongan Khazraj enam puluh tiga orang memberi baiat sedangkan dari golongan Aus dua belas orang yang memberi baiat.153

Perlu diingatkan di sini bahwa bisa jadi dalam proses musyawarah terjadi "Tanazu" (perbedaan pandangan) antara ahli al-syûrâ. Dalam hal ini Al-Qur'an memberikan arahan:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا



"kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa/4: 59)
Kembalikan kepada nash-nash yang substansinya sesuai dengan persoalan yang dihadapi, jika tidak terdapat, maka kembalikan kepada prinsip umum dalam manhaj dan syariah.154

Inilah diantara keistimewaan manhaj Allah SWT, di satu sisi membimbing dan melindungi manusia dan di sisi lainnya ia memuliakan dan menghargai manusia serta menjadikan akalnya pada kedudukan untuk bekerja dalam manhaj, kedudukan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh (berijtihad) dalam memahami nash-nash (dalil-dalil) yang ada dan berijtihad untuk mengembalikan hal-hal yang tidak ada dalilnya kepada dalil dan prinsip umum dalam agama.155

Penulis melihat salah satu hikmah perintah mengembalikan persoalan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya disaat terjadi perbedaan pandangan adalah agar para ahli al-syûrâ dapat terhindar dari hawa nafsu yang mendorong untuk mencari menang sendiri dan bukan solusi yang terbaik. Oleh karena itu dalam penutup ayat tersebut iman menjadi persyaratannya.


  1. Keputusan Majlis al-syûrâ

Keputusan majlis al-syûrâ mengikat atau wajib ditaati dan dilaksanakan. Firman Allah SWT

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا



"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa/4: 59)156
Ketika Allah SWT memerintahkan kepada pemimpin untuk berlaku adil terhadap rakyat, Allah SWT juga memerintahkan kepada rakyat untuk mentaati pemimpin. Oleh karena itu Ali bin Abi Thalib berkata: Kewajiban pemimpin adalah menegakkan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT dan melaksanakan amanah. Bila hal itu sudah ditegakkan maka kewajiban rakyat adalah mendengar dan mentaati pemimpin.157

Tentu saja kewajiban mentaati pemimpin tersebut selama kebijakan, keputusan ataupun tuntutannya tidak bersebrangan dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena ituu lafadz "Athi'u" disebutkan pada lafadz Allah SWT dan Rasul Saw tapi tidak disebut pada uli al-Amri, mengandung makna, kepatuhan kepada uli al-amri kepatuhan bersyarat yaitu selama uli al amri tetap dalam koridor hukum Allah SWT dan Rasul-Nya.158

Rasulullah Saw bersabda:

عن على رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم: انما الطاعة فى المعروف (رواه البخاري)



"Dari Ali ra. Telah bersabda Nabi Saw: "Sesungguhnya ketaatan itu hanya berlaku pada kebaikan (HR. Bukhari).159



  1. Kesimpulan

  1. Musyawarah merupakan salah satu perintah Allah SWT yang sangat mendasar dalam berbagai skala (dalam keluarga, masyarakat, dan negara)

  2. Lingkup musyawarah adalah semua urusan yang terkait dengan kehidupan manusia yang belum ada nash Qathie

  3. Hasil musyawarah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi

  4. Ahli al-Syura/Ahlu al Halhi wa al-Aqli/Ahlu al-Ikhtiyar adalah para pakar dibidangnya para politisi, para komandan militer, yang beriman dan takwa kepada Allah SWT.

  5. Musyawarah merupakan urung rembug para ulama, para pemimpin dan para pakar membahas suatu atau berbagai masalah secara serius dengan tujuan memperoleh jasa

1 Rasyid Ridha, al Wahyu al-Muhammad, Cairo: Maktabah al-Qahirah. 1960M/1380H, h, 126-268

2 Ibnu Taimiyah, al-siyasah al-Syar’iyah, (Saudi Arabia: Departemen Urusan ke Islaman dan Wakaf, 1419), h. 126

3 Taufiq sl-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. Ke-1, h. 18

4 (Maksudnya bahwa umat mempunyai kewajiban mengeluarkan pendapat dalam masalah-masalah umum dan mempublikasikannya, kendati tidak diminta oleh pihak penguasa. Lihat Abd al-Qadir Audah, al-Islam wa audhaun al-Siasiah, h. 120. dan hal itu dianggap menjalankan amar mar’ruf nahi anil munkar

5 Taufiq al-Syawi, Musyawarah Bukan Demokrasi, op. cit. h. 67-69

6 Lihat footnote no. 2, h.15

7 Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini al-Aludi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’i al-Ma’ani, (Mauqi’u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid. 17, h. 200

8 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad as-Anshari al-Qurtubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, (Dar al-Kitab al-‘Araby, t.th), jilid. 15, h. 103, lihat juga al-Syaukani Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, op. cit. , jilid 4 h. 404

9 Surat ini merupakan surat Makiyah yang diturunkan setelah surat al-Syu’ara, lihat al-Qur’an dan terjemahnya, (Majma’ Malik Fahd, t.t.), h. 591

10 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, op. cit., jilid. 13, h. 194

11 Muhammad Abd al-Qadir Abi Fariz, Sistem Politi Islam, op. cit., h. 55

12 al-Qur’an dan Terjemahnya, (Majma’ Malik Fadh. t.th), h. 7

13 al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, op. cit., jilid 3, h. 172

14 Abu Ja’far al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Muasasah al-Risalah, 1420H/2000M/ www.qurancomplex.com) cet. Ke-1, jilid 5, h.70

15 Abu Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith,(Mauqi’u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid 2 h. 430

16 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Jami’ liahkam al-Qur’an,op. ct., jilid 4, h. 1

17 Ahmad Musthafa al-Maraghi, ahli tafsir, pendidikan beliau: Dar al-Ulum th 1909 M kemudian diangkat guru syari’ah ditempatnya belajar, diantara karangannya, Tafsir al-Maraghi, al-Hisbah fi al-islam, beliau meninggal dunia di Kairo th 1952, liha Zarekli, al-A’lam, op.cit., jilid. 1, h. 258

18 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), jilid. 4. h. 193, lihat juga Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1400H/1980M), Cet. Ke-9, j.1, h.500

19 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op. cit., j.4, h.195

20 Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zad al Ma’ad Fi Khair al-‘Ibad, (Beirut: Muasasah al-Risalah, 1987M/1407H ), cet. Ke-15, jilid.3, h. 193

21 Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, op. cit,. jilid.1, h. 461

22 Karena perintah itu artinya wajib, selagi tidak ada yang memalingkannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu ushul. dalam hal ini memang tidak ada yang memalingkannya

23Taufiq al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, op.cit., h. 69-70

24 Ibnu Mandzur, lisan al-‘Arab,op.cit., jilid. 5, h. 227

25 Ibid, lihat juga Munawir Warson Ahmad, al-Munawir(Karapyak Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku ilmiyah keagamaan pondok pesantren al-Munawir)h. 802.

26 Ibnu Mandzur, lisan al-‘Arab, (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2003), jilid. 5, h. 225

27 al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407

28 Ibnu Zakaria Abu al-Husen Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughat, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1972), jilid. 3, h. 542.

29 Syihabuddin Mahmud bin Abdillah al-Husaini, beliau lahir di Baghdad 1217 H, ahli fikih, tafsir, hadits, meninggal dunia di Baghdad 1270H. (Global Arsbic Encyclopedia. http://www.mawsoah.net

30 Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, loc.cit., jilid.1, h.20

31 Ibnu Zakaria Abu al-Husein Ibnu Faris, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazweni al-Razi, abu al-Husen. Lahir tahun 329 H dan meninggal th 395 H, beliau adalah termasuk salah seorang ulama bahasa dan adab di jamannya. Likat Zakerli, al-‘Alam, op.cit., jilid. 1, h. 193. Mu’jam al-Lughat, op.cit., jilid. 3, h. 227

32 al-Munjid Fi al-Lughah,(Beirut Libanon: Dar al-Masyriq), cet. Ke-17, h. 407

33 Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Indonesia: Balai Pustaka, 1995), edisi.2, cet.Ke-4, h. 477

34 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qutrhubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, op.cit., jilid. 3, h. 172

35 Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa’i, beliau berasal dari baqa’I, Suriyah, lahir th 809 H, meninggal th 885 H di Damaskus, lihat Zarekli, al-A’lam, op.cit., j.1, h. 56

36 Ibrahim bin Umar bin Hasan al-Ribath bin Ali bin Abi Bakar al-Baqa’i, Nudzum al-durur fi Tanasubi Ayat wa al-Suwar, (Mauqi’u al-Tafasir: Maktabah Syamilah), jilid.1 h. 360-361

37 Muhammad Abd al-Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, op.cit. h. 54

38 Abd al-Rahman Abd al-Khaliq, al-Syura Fi Zhili Nizham al-Hukum al-Islami, (Kuwait: al-Dar al-Salafiyah, 1975), h. 14.

39 Muhammad bin Abdillah bin Muhammad al-Ma’arifi, Abu Bakar bin al-‘Arabi, beliau salah seorang ulama Malikiyah, ahli fikih, hadits, tafsir, ushul. Lahir di Isbelia th 462 H, meninggal dunia di Maraqis pas th 543 H. Global Arabic encyclopedia. http://www.mawsoah.net

40 Mahmud Muhammad Babali, al-Syura Suluk wa-Iltizam, (Makkah: Maktabah al-Tsaqafah, 1986), h. 19

41 Isma’il al-Badawi, Mabda’ al-Syura Fi Syariat al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi), jilid. 1, h. 7

42 Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Kitab Ahkam bab Ma Jaa Fi al-Qadli Yushibu wa Yukhitu no. 1248 (dalam Mausu’ah), lihat juga Imam Malik, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha’ no. 1261

43 Imam Ahmad, Musnad Imam Ahmad, no 17157

44 Lihat halaman 2

45 Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, op.cit., jilid. 4, h. 197

46 Sa’id bin Ali al-Qathani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), cet. Ke-1, h. 407, dilain pihak disyariatkan berjama’ah pada sholat, karena sholat berjama’ah lebih utama dapi pada sholat sendirian dengan 27 derajat(Dja’far Amir, Ilmu Fiqih, (Solo: Cv. Ramadhani, 1991), cet. Ke-2. H. 64

47 Ibnu al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Mauqiu al-Islam: Maktabah Syamilah), jilid 7. H. 86

48 Hasan al-Bashri, nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibnu Abi al-Hasan Yassar al-Bashri. Ia dilahirkan pada tahun 21 H/ 642M di Madinah, ayahnya bernama Yassar, Maula Zaid bin Tsabit, ibunya bernama Khairah Maulat Ummu al-Mu’minin Ummu Salamah. Ia meninggal dinia di Bashrah pada tahun 110H/ 729M. Ia bertemu dengan 70 ahli Badar dan 300 orang sahabat Rasulullah saw,dan belajar ilmu kepada mereka, Hasan Bashri adalah orang yang selalu takut dan berduka sepanjang hari, hidup zuhud dan wara. Lihat Ahmad Barmawi, 118 Tokoh Muslim Genius Dunia,(Jakarta: Restu Agung, 2006), h. 99

49 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, op.cit., jilid.4, h. 250

50 Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam bin Abdillah bin Abd al-Qasim al-Dimasyqi al-Hambali, Abu al-Abbas Taqiuddin ibnu taimiyah, lahir di Huran, wafat di Damaskus th 728 H, lihat Zarekli, al-A’lam, op.cit., jilid. 1, h. 44

51 Ibnu Taimiyah, al-Kalim al-Thayyib(Al-Maktabah al-Islami, 1399 H), cet. 4, h. 71

52 Dia bernama ‘abdu al-Haq bin Ghalib bin Abd al-Rahman bin Abd al-Ra’uf bin Tamam bin Athiyyah, dia dipanggil Abu Muhammad, dia berasal dari keturunan Zaid bin Muharrib. Dikenal sebagai sosok yang fakih dan alim, sangat mengerti tafsir, hukum-hukum fikin, hadits, nahwi, bahasa, dia meninggal pada tahun 546. Lihat Ibnu Farhun, al-Dibaj al-Mudzhib Lima’rifati Ulama al-Madzahib, (Mauqi al-Warraq: Maktabah Syamilah), jilid. 1, h. 103

53 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi,

Yüklə 339,77 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin