Hukum Musyawarah
Bermusyawarahlah terjemahan dari kata “Syawirhum” (QS. Ali Imran/3: 159) bentuknya perintah dimana hukum asal dari perintah menunjukan hukum wajib. Jadi hukum musyawarah? Dari istimbat ayat di atas hukumnya wajib. Hukum ini akan tetap pada asalnya selama tidak ada dalil yang merobahnya menjadi sunah. Dan tidak ada satu dalilpun yang mengubahnya menjadi sunah. Bahkan sebaliknya, ada nash-nash lain dari kitab dan sunah yang menguatkan wajibnya musyawarah ini56.
Imam Fakhrurrazi57 berkata : Zhahir perintah itu mengarah pada hukum wajib, maka firman-Nya “Syaawirhum” itu menunjukan pada wajib58
Al-Jashash al-Hanafi59 berkata mengenai hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an saat memberi komentar pada firman Allah swt :(Q.S al-Syura 42:38)
Ini menunjukan pada keagungan posisi musyawarah karena dia disebutkan bersamaan dengan iman dan penegakkan shalat. Ini juga menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk itu60.
Al-Thahir bin Asyur61 Iman Nawawi62 berkata, “Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat apakah musyawarah itu wajib atau sunnah atas Rasulullah saw sebagaimana bagi kita juga?
Namun yang shahih dalam pandangan mereka adalah wajib. Dan inlah pendapat yang menjadi pilihan.
Yang menjadi pilihan para fuqaha dan kalangan ahli ushul adalah, bentuk amr (perintah: Syawirhum,penj) yang ada dalam ayat itu menunjukan pada wajib63
Syeikh Abdul Wahab Khalaf64 berkata, “Siapapun yang memperhatikanal-Qur’an dengan seksama dan sunnah yang shahih akan tampak padanya bahwa pemerintahan Islam itu berdasarkan pada undang-undang, dan bahwa masalah ini tidak hanya khusus milik orang tertentu.
Pemerintahan itu untuk umat yang terpresentasikan melalui ahlu al-Hilli wa al-Aqdi. Sebab Allah swt telah menetapkan bahwa urusan kaum muslimin hendaknya dilakukan dengan cara musyawarah diantara mereka. Dan Allah swt menyifatinya sebagai sesuatu yang tetap dan sifat yang lazim sebagai masalah umat dan sebagai keharusannya.
Jika kaum muslimin telah melalaikan sistem musyawarah ini hingga lenyap dan sirna semangatnya, bahkan yang lain telah berani mengatakan bahwa itu hanyalah sebuah pilihan (sunnah) dan bukan suatu kewajiban, dan mereka talah melalaikan tanggung jawab (amr ma’ruf nahi munkar) hingga pemimpin mereka bertindak berdasarkan pendapatnya sendiri. Mulut-mulut sudah mulai bungkam untuk memberi nasehat, telinga-telinga sudah mulai tuli mendengar nasehat, dan mereka telah mengabaikan bai’at dan menghapusnya hingga menganggapnya sebagai sesuatu yang simbolis belaka, maka sesungguhnya mereka tidak akan mampu mencapai tujuan dan tidak akan bisa menyerap aspirasi umat65.
Pembahasan musyawarah terkait dengan masalah kebajikan yang berdampak langsung terhadap mashlahat umat maka wajib hukumnya memusyawarahkan.
Adapun urusan-urusan yang skalanya lebih kecil, urusan sehari-hari yang tidak berdampak langsung terhadap mashlahat umat seperti urusan menyapih anak, urusan bepergian, urusan menyekolahkan anak dan lain-lainnya maka sunnah hukumnya (Q.S al-Baqarah/2: 233).
Jika diperhatikan ayat diatas lafadz tasyawur tidak menunjukan perintah, dengan demikian tidak ada alasan mewajibkan musyawarah untuk menyapih anak. Disamping itu batas waktu dua tahun masa menyusui bukanlah ketetapan wajib, tetapi menyempurnakan penyusunan hingga dua tahun atau menyapih sebelumnya dikembalikan kepada kemauan orang tua.
Namun demikian musyawarah dalam hal seperti ini tentu sangat dianjurkan karena menjadikan orangtua berfikir dengan sungguh-sungguh dan mempertimbangkan berbagai aspek demi kemaslahatan si kecil. Bisa jadi inilah salah satu bimbingan Allah swt untuk menjalin komunikasi dan kasih sayang antara suami-istri yang diamanahi oleh Allah swt berupa anak, yaitu menghidupkan sunnah musyawarah dalam kehidupan rumah tangga demi kebaikan anak-anak dan keberkahan dari Allah swt.
-
Khitab Musyawarah
Perintah musyawarah bukan hanya ditujukan kepada Rasulullah saw tetapi juga ditujukan kepada umat Islam karena pada hakekatnya al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia (2:185), disamping itu seluruh perintah dalam al-Qur’an berlaku umum kecuali bila ada dalil yang menunjukan bahwa perintah tersebut khusus untuk Rasulullah saw. Dalam hal ini tidak terdapat satupun dalil yang menunjukan bahwa perintah musyawarah hanya diwajibkan kepada Rasulullah saw bahkan berdasarkan dalil-dalil yang ada justru menunjukkan sebaliknya66.
Khitab ayat diatas tertuju kepada pemimpin. Jadi sesungguhnya musyawarah itu wajib bagi hakim/pemimpin dalam syariat Islam. Banyak ulama dan fuqaha yang berpendapat demikian maka tidak boleh lagi bagi seorang pemimpin untuk meninggalkannya atau mengambil keputusan sendiri sesuai pendapatnya, tanpa meminta pendapat kaum muslimin dari ahli al-Syura. Sebagaimana tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk diam mengenai hal ini dan membiarkan pemimpin untuk berjalan sesuai pendapatnya saja, kemudian memaksa kehendak tanpa mengikutsertakan orang lain. Jika dia tetap maju melaksanakan itu, maka dia telah melakukan sebuah kemungkaran yang harus diingkari dan ditolak67, sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan imam Muslim, dimana Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya, dan jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu juga maka ubahlah dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)68
Dan diantara yang menunjukan bahwa pemimpin negara wajib bermusyawarah, sesungguhnya Nabi saw dengan segala kemuliaan dan kedudukan beliau yang tinggi beliau banyak bermusyawarah dengan para sahabat, belaiu bermusyawarah dengan para sahabat dalam perang Badar dalam memerangi kaum kafir, beliau bermusyawarah dalam perang Uhud apakah dia tinggal di Madinah atau keluar menghadapi musuh, dan bermusyawarah pada Sa’daen: Sa’ad bin Muadz69dan Sa’ad bin Ubadah70 pada perang Khandak maka keduanya berisyarat padanya untuk meninggalkan untuk musuh atas sebagian buah-buahan Madinah sebagai imbalan dari perginya mereka dari memerangi Rasulullah saw kemudian Rasulullah saw menerima pendapatnya71.
Dan begitulah nabi banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya sampai para ulama berkata: Tidak ada seorangpun yang banyak bermusyawarah dari Nabi saw72.
Ibnu ‘Athiyyah73 berkata, “musyawarah merupakan asas syariat dan pilar hukum. Maka para pemimpin yang tidak meminta pendapat dari orang yang berilmu dan ahli agama, dia wajib dicopot. Ini sesuatau tang tidak ada perbedaan pendapat74.
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah75 berkata, “Para pemimpin pasti membutuhkan musyawarah76. Karena sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan Nabi-Nya untuk bermusyawarah. Allah swt berfirman (Q.S Ali-Imran 3:159)
Ibnu Khuwaizimandad77 berkata: Wajib bagi para wali (penguasa) mengajak musyawarah dengan para ulama dalam hal-hal yang mereka tidak ketahui, dan hal-hal yang tidak jelas bagi mereka menyangkut urusan agama; kepada ahli militer mengenai urusan perang; tokoh-tokoh masyarakat mengenai masalah-masalah kemaslahatan bersama, para pejabat, menteri dan kalangan profesional mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan negeri dan pembangunan78. Hasan al-Banna79 mengatakan: “ Merupakan hak umat Islam untuk menyoroti para pemimpin dengan sebaik-baiknya dan hendaknya ia memberikan nasehat padanya dalam hal yang ia anggap baik. Sang pemimpin juga hendaknya meminta nasehat dan ide dari mereka dan menghormati aspirasinya dan mengambil pendapat yang baik dari pendapatnya. Allah swt telah memerintahkan penguasa dalm hal ini dengan firman-Nya (Q.S al-Syura 42:38). Dan Allah swt memuji orang-orang mukmin dengan baik (Q.S Ali-Imran 3:159)
Sunnah Rasulullah saw juga menyebutkan hal itu80. Imam al-Maududi81 berkata, “Wajib bagi imam untuk memimpin negara dengan bermusyawarah bersama ahlu al-Hilli wa al-Aqdi, anggota majelis al-Syura, dan dia tetap dianggap sebagai pemimpin sepanjang dia masih mendapat kepercayaan dari umat.” Dia juga berkata, “Asas penting kelima dari pemerintahan Islam adalah kewajiban musyawarah bagi para pemimpin dan petinggi negara bersama dengan kaum muslimin, meminta kerelaan mereka dan pendapat mereka dengan menetapkan sistem musyawarah82.
Abdul Karim Zaidan83 berkata, “Sesungguhnya keterwakilan kepala negara dari imat ini adalah keterwakilan yang terikat. Diantara ikatannya adalah hendaknya ia senantiasa bermusyawarah dengan umat ini. Musyawarah itu disebutkan dalam nash syariat, dengan demikian maka umat tidak mungkin menyerahkan secara total kekuasaannya itu kecuali dengan adanya ikatan ini, yakni ikatan musyawarah. Baik itu dikatakan saat dia dipilih atau tidak84.
-
Lingkup Musyawarah
Yang dimusyawarahkan berlaku umum tidak hanya berlaku dalam urusan perang dengan alasan:
Pertama: Kalimat “fil amr” yang artinya “dalam urusan itu” menunjukan urusan yang sifatnya umum, al-Sa’di menafsirkan “fil amr” dengan mengatakan segala urusan yang butuh dimusyawarahkan85.
Kedua : kaedah mengatakan : “Pelajaran itu berdasarkan keumuman lafadznya bukan kekhususan sebabnya”86. Contoh ayat tentang dzihar87 (Q.S al-Mujadilah 58:2)
Meskipun ayat tersebut diturunkan terkait peristiwa yang dilakukan oleh Aus bin Shamit88 tetapi hukum tersebut bukan hanya berlaku pada dia tetapi berlaku umum. Artinya siapapun yang melakukan perbuatan (dzihar) seperti yang pernah dilakukan Aus bin Shamit dia terkena hukum yang sama89.
Namun demikian,meskipun makna urusan itu bersifat umum, tetapi tetap ada batas-batas yang tidak boleh dilampaui yaitu urusan yang qath’i (sudah ditetapkan hukumnya oleh Allah swt dan Rasul-Nya) tidak boleh lagi dimusyawarahkan. Artinya akal manusia tidak boleh meribah ketetapan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, betapapun dilakukan dengan musyawarah. Dengan ungkapan lain akal tidak boleh mendahului wahyu.
Musthafa al-Maraghi mengatakan : Rasulullah saw selalu bermusyawarah dalam berbagai urusan, kecuali dalam hukum karena hukum itu diturunkan oleh Allah swt dengan wahyu-Nya90.
Islam memberi wilayah musyawarah sangat luas. Manusia bermusyawarah dalam masalah-masalah dan urusan mereka selama tidak berbenturan dengan teks-teks al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw atau menolak yang telah disepakati oleh umat. Musyawarah adalah masalah ijtihad dan sebagaimana diketahui tidak ada ijtihad dalam masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh nash. Demikian pemahaman sahabat tentang wilayah musyawarah. Bahkan mereka selalu menanyakan kepada Rasulullah saw apakah masalah yang dihadapi merupakan wahyu atau bukan, jika bukan merupakan wahyu melainkan pendapat Rasulullah saw mereka kemudian mengemukakan pendapat91.
Pada peristiwa perang badar92 umpamanya ketika Rasulullah saw turun menempati tempat air yang terdekat, Khabab bin Mundzir93 lalu bertanya: “Wahai Rasulullah sar, apakah timpay ini dipilih oleh Allah swt untuk engkau – malalui wahyu – yang tidak boleh bagi kami berada lebih depan atau belakang, ataukah ini pendapat, perang atau taktik? Beliau menjawab: “Tidak, melainkan ini pendapat, perang dan taktik tipu daya.” Khabab berkata lagi: “Wahai Rasulullah saw, ini bukan tempat yang tepat. Maka sebaiknya engkau mengajak orang-orang ketempat air terdekat kaum Quraisy, lalu kita bertempat disana, kemudian kita menyelinap di belakangnya dari tengah dan kita buat kolam air diisi air, lalu setelah itu kita perangi mereka. Kita dapat minum sementara mereka tidak.” Mendengar saran ini Rasulullah saw lalu bersabda: “Kamu telah mencuri saran yang tepat”94.
Mengenai kasus musyawarah yang lainnya, adalah terjadi pada perang khandaq95, yaitu Rasulullah saw hendak memberi bani Ghathafan sepertiga hasil kurma Madinah dengan syarat mereka tidak memerangi kaum muslimin kembali ke negeri mereka. Rasulullah saw kemudian menemui Sa’ad bin Muadz danSa’ad bin Ubadah untuk meminta pendapat mereka berdua. Mereka menjawab “Wahai Rasulullah saw, apakah ini masalah yang kau sukai lalu agar kami perbuat, ataukah ini sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt yang harus kita laksanakan ataukah sesuatu yang engkau perbuat untuk kami?” Beliau menjawab: “Melainkan ini sesuatu yang aku perbuat untuk kamu. Demi Allah swt aku tidak berbuat demikian selain karena aku melihat orang-orang arab musyrik telah memanah kalian dari satu busur dan mereka mengepung kalian dari segala arah. Maka aku ingin menghancurkan persekongkolan mereka terhadap kalian hingga batas-batas tertentu”. Mereka memberi pandangan lain, tidak sependapat dengan Rasulullah saw, lalu beliau meminta pendapat mereka96.
Berbeda dengan peristiwa perjanjian hudaibiyah97 dimana beliau tidak meminta pendapat para sahabat dan tidak pula mengambil pendapat mayoritas. Beliau tidak mengajak seorang sahabat pun untuk memberi pendapat mengenai perjanjian ini baik mengenai isinya maupunperlu atau tidaknya perjanjian ini ditandatangani. Mayoritas sahabat tidak sependapat dengan Nabi saw. Mereka menentang – karena mengira ini masalah ijtihad dipimpin oleh Umar Bin Khatthab ra98
Ketika masalah ini diketahui secara luas dikalangan sahabat sementara mereka belum mengetahui bahwa itu perintah Allah swt, Umar mendatangi Abu Bakar99 dan berbicara dengannya. Kemudian mendatangu Rasulullah saw dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw bukankah engkau utusan Allah swt? Beliau menjawab: “Benar”. Bukankah kami kaum muslimin? Beliau menjawab: “Benar”. Mengapakah kita memberi kehinaan pada agama kita? Beliau menjawab: “Aku hamba Allah swt dan Rasul-Nya tidak akan menentang perintah-Nya dan Dian tidak akan menyia-nyiakan aku”100.
Disini jelas bahwa perjanjian hudaibiyah adalah ketetapan Allah swt dan berdasarkan itu, Nabi saw tidak pernah meminta pertimbangan kepada para sahabat.
Berangkat dari pijakan ini pila dapat dipahami bahwa tekad Abu Bakar memerangi kaum murtad yang menolak membayar zakat karena masalah ini ditamukan nashnya sehinggan ia memahami bahwa ini bukan masalah ijtihad, sebagaimana firman Allah swt (Q.S al-Taubah 9:5)
Oleh sebab itu Umar ra, segera menerima sikap Abu Bakar ra, ini ketika ayat ini disebutkan. Sebab Shalat adalah salah satu rukun Islam, begitu pula zakat101.
Dengan demikian wiliayah musyawarah itu luas tetapi terbatas, terbatas tapi luas, artinya ada masalah atau urusan yang dapat ditentukan dengan musyawarah, ada masalah yang tidak dibenarkan dimusyawarahkan lagi dimana manusia harus menerima ketetapan tersebut yaitu masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumya oleh agama.
-
Syarat-syarat al-Syûrâ
Dalam kajian ushul fiqh syarat berarti: sesuatu yang menentukan adanya hukum, tidak adanya sesuatu itu berarti tidak adanya hukum, tetapi adanya sesuatu itu tidak otomatis adanya hukum.102
Contoh wudlu merupakan syarat sahnya shalat, tidak adanya wudhu otomatis tidak sah shalatnya, tetapi adanya wudhu tidak secara otomatis harus melakukan shalat. Demikian juga saksi dalam akad nikah. Tidak adanya saksi otomatis tidak sah nikahnya tetapi adanya saksi tidak secara otomatis harus melakukan nikah.
Terkait dengan ahlu al-syûrâ syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
-
Baligh
Baligh artinya sampai.103 Dalam istilah fiqh adalah cukup umur untuk menerima kewajiban agama (mukallaf) yang ditandai dengan mimpi basah untuk laki-laki dan haid untuk perempuan.
Baligh merupakan salah satu syarat orang itu menjadi mukallaf, karena ketika seseorang belum baligh maka ia belum menjadi mukallaf atau bebas kewajiban. Sebagaimana dalam hadits disebutkan :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ و عن التائم حتى يستثيقظ و عن المعثوه حتى يبرا (رواه أبو داود)
"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: anak kecil sampai baligh, orang yang tidur sampai bangun, dan orang gila hingga sembuh" (HR. Abu Daud)104
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيفظ و عن الصئبي حتى يحتلم وعن المجنون ختى يعقل (رواه احمد واصحاب السنن والحاكم)
"Rasulullah Saw bersabda: diangkat pena dari tiga orang: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gola hingga sadar. (HR. Ahmad, Ashhabu Sunan dan Hakim)105
Anak belum dewasa tidak sah menjadi anggota majlis al-syûrâ baik mumayiz maupun yang tidak, karena anak-anak tidak berwenang atas hartanya, atau menentukan jalan hidupnya. Maka bagaimana mungkin dapat menentukan jalan hidup umatnya atau menangani harta, jiwa, kehormatan mereka? Di samping itu juga anak-anak tidak mampu mempertimbangkan persoalan dengan baik dan tidak mampu membedakan antara yang mendesak dan tidak mendesak, yang bermanfaat bagi umat dan tidak, yang harus dilakukan dan yang harus dijauhkan. Anak kecil tidak dibebani hukum syari'ah dan tidak dituntut tanggung jawab atau perbuatannya di dunia dan akhirat. Dengan demikian naluri keagamaannya lemah.106
-
Sehat Akal
Orang gila tidak berhak menjadi anggota majlis al-syûrâ, karena akal adalah prasyarat bagi beban syariah. Maka keutuhan yang dikaruniakan oleh Allah SWT apabila tidak ada seseorang berarti menjatuhkan apa yang menjadikan kewajiban. Di sisi lain mengurusi dan menangani masalah-masalah kepentingan umum membutuhkan daya nalar yang kuat. Untuk menjadi anggota majlis al-syûrâ tidak hanya dituntut adanya akal yang diperlukan sebagai prasyarat beban agama, melainkan lebih dari itu, juga dituntut akal yang melebihi rata-rat, jauh dari kelengahan dan keterlenaan, cerdas dan mencapai tingkat prima.107
Di samping itu pula akal sehat akan memudahkan seseorang untuk menelaah dan meneliti dan menyampaikan pemikirannya, Ibnu Khaldun108 dalam bukunya mengatakan bahwa Rasulullah Saw dalam berdakwah untuk meyakinkan pengikutnya yang masih baru dia menempuh jalan pemikiran, dia mengubah cara berpikir tradisional.109
-
Beragama Islam
Tidak dibenarkan non muslim menjadi anggota majlis al-syûrâ. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu" (QS. An-Nisa/4: 59)
Ayat ini berbicara kepada orang-orang yang beriman, maka pemerintahan bergantung kepada mereka. Tidak dibenarkan keluar dari batasan ini, yakni non muslim. Dalam firman-Nya: Uli al amri diantara kamu, yang dimaksud ialah dari penganut agama kamu. Allah SWT juga berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."
Sementara bagi non muslim dalam majlis al-syûrâ seandainya memegang urusan kaum muslimin, menangani masalah harta, potensi jiwa mereka, adalah salah satu jalan (kekuasaan) paling besar. Jadi pada ayat ini Allah SWT secara tegas menafikan kewenangan dan kekuasaan orang-orang kafir atas orang-orang mukmin, pengakuan atas keanggotaan mereka dalam majlis al-syûrâ dengan demikian juga bertentangan dengan ayat ini.110
Perlu dikemukakan di sini bahwa non muslim seperti ahli dzimmah (warga non muslim di bawah pemerintahan Islam) tidak boleh menjadi ahli al-syûrâ. Bukti paling kuat yang mendukung penegasan ini adalah bahwa tidak ditemukan pada masa Nabi Saw maupun Khulafa al-Rasyidin, umpamanya, satu bukti yang menunjukkan adanya seseorang dari ahli dzimmah yang dipilih menjadi anggota majlis al-syûrâ, atau gubernur, atau penguasa di wilayah tertentu Negara Islam, atau qadli (jaksa), atau menteri yang memimpin salah satu departemen pemerintahan, atau panglima perang, atau diizinkan memberikan suara bagi pemilihan khalifah. Namun demikian hingga pada masa Rasulullah Saw pun tidak pernah kosong dari warga dzimmi. Bahkan pada masa khilafah rasyidah jumlah warga dzimmi diperkirakan mencapai tiga juta orang. Seandainya peran serta dalam masalah-masalah ini ada hak mereka tentu Rasulullah Saw tidak akan pernah mengabaikan hak mereka.111
Zaman sekarang atau di Negara yang tidak mayoritas Islam maka mengajak bermusyawarah kaum non muslim dan mengakomodir pendapat mereka adalah tidak dilarang. Bahkan, ia bisa menjadi keharusan jika terdapat kemaslahatan bagi umat. Karena kemashlahatan adalah dasar bagi seluruh hukum dunia. Hingga sebagian ulama ada yang berkata, "kamaslahatan harus didahulukan dari teks jika bertentangan dengannya112
-
Merdeka
Hamba sahaya (abd) tidak dibenarkan menjadi anggota majlis al-Syura, baik hamba yang akan dibebaskan bersyarat (mukatab) ataupun hamba yang dibebaskan apabila tuannya meninggal dunia (mudabbar). Sebab hamba sahaya terikat dengan hak-hak tuannya, tidak memiliki kebebasan atas dirinya sendiri. Dengan demikian tidak memiliki kebebasan atas orang lain. Mukatab juga terikat oleh hak-hak tuannya, apabila ia tidak mampu melaksanakan prasyarat atas pembebasan dirinya maka ia kembali dalam status budah, mudabbar juga demikian, tetap berstatus hamba selama tuannya masih hidup dan diperlakukan sebagai budak selama hayat tuannya itu.113
-
Berpengetahuan atau berilmu
Ilmu menurut bahasa berarti pengetahuan. Para ulama mendefinisikannya sebagai pengetahuan akan kebenaran berdasarkan dalil, atau penemuan terhadap sesuatu secara hakiki.
Dengan definisi ini jelaslah perbedaan antara ilmu dengan tsaqafah. Tsaqafah adalah pemahaman global terhadap berbagai ilmu, sedangkan ilmu adalah pemahaman khusus lagi mendalam terhadap salah satu cabang ilmu dari berbagai jenis ilmu lainnya. Karena ilmu merupakan kebutuhan primer bagi manusia seperti kebutuhan makan dan minum, maka Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadapnya. Tingkat perhatian yang tidak dijumpai dalam agama sebelumnya maupun dalam system buatan manusia manapun, baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Dengan melihat kitab Allah dan sunnah Rasulullah Saw anda akan mendapatkan contoh dalam nash-nashnya dengan sangat jelas.114
Al-Qur'an telah menyejajarkan antara ikrar dan persaksian orang-orang yang berilmu dengan persaksian Allah SWT dan malaikan dalam firman-Nya:
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali-Imran: 18)
Dijelaskan pula bahwa orang-orang mukmin yang berpengetahuan lebih utama dan lebih tinggi kedudukannya pada hari kiamat daripada orang-orang mukmin yang tidak berpengetahuan.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah/58: 11)
Dijelaskan pula bahwa tidak ada persamaan maupun perbandingan antara orang yang berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan. Allah SWT berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Al-Zumar/39: 9)
Dijelaskan pula bahwa ketaqwaan dan rasa takut kepada Allah SWT yang sebenarnya hanya dicapai oleh para ulama. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama" (QS. Fathir/35: 28)
Dijelaskan pula bahwa ahli ilmulah yang menjadi saksi atas orang-orang yang berbuat durhaka. Sebagaimana firman Allah SWT
قُلْ كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِنْدَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ
"Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab"
Ilmu juga merupakan sumber kekuatan, sebagaimana firman Allah SWT
قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ
"berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip".(QS. An-Naml/27: 40)
Dengan ilmu orang bisa mengetahui hakikat-hakikat sesuatu, sebagaimana firman Allah SWT
وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ
"dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (QS. Al-Ankabut/29: 43)
Dalam hadits disebutkan juga tentang ilmu diantaranya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم (رواه ابن ماجة)
"Mencari ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap muslim (HR. Ibnu Majah)115
Dalam hadits lain disebutkan:
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثنا ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب قال حميد بن عبد الرحمن سمعت معاوية خطيبا يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين (رواه البخارى)
"Barang siapa yang Allah SWT kehendaki kebaikan pada dirinya, ia akan memahamkannya dalam urusan agama." (HR. Bukhari)116
Yusuf al-Qardhawi117 mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam bidang politik maupun administrasi, sebagaimana yang dilakukan Yusuf as. ketika berkata kepada raja Mesir dalam firman Allah SWT:
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (٥٤) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (٥٥)
"dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami"; berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (QS. Yusuf/12: 54-55)
Yusuf as. menunjukan keahliannya dalam pekerjaan besar yang ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan, ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistic pada waktu itu.118
Orang yang menjadi ahli al-syûrâ disyaratkan memiliki pengetahuan tentang syariat Islam, pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar melakukan ijtihad ia tidak bertentangan dengan aturan syariah yang ditetapkan oleh al-Kitab dan Sunnah atau ijma', Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama" (QS. Fathir/35: 28)
Sebagian ulama berkata: pengetahuan yang menjadi prasyarat bagi ahli al-syûrâ tidak harus mencapai tingkat ijtihad.119
-
Kelayakan Moral, yakni
Seseorang yang menunaikan kewajiban, dan menjauhi berbagai maksiat. Tidak dikuasai oleh hawa nafsu, dan bertakwa, amanah, menjadi teladan, bertutur kata baik.
-
Laki-laki
Laki-laki menjadi syarat, sementara perempuan tidak dibenarkan menjadi anggota majlis al-syûrâ. Terkait perempuan tidak boleh menjadi anggota majlis al-syûrâ, para ulama berbeda pendapat dalam hal itu.
Pihak yang melarang
Alasan pihak yang mensyaratkan laki-laki dan melarang perempuan menjadi anggota majlis al-syûrâ adalah:
-
Karena laki-laki pada umumnya lebih kompeten daripada kaum hawa dan kepemimpinannya ada di pihak laki-laki.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
"kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita" (QS. An-Nisa/4: 34)
Dengan demikian perempuan tidak didahulukan atas laki-laki dan tidak pula dijadikan pemimpin. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan kepemimpinan keluarga atau tanggungjawab rumah tangga, bukan kepemimpinan umum. Hujah (dalil) ini tetap berlaku demikian. Jika perempuan tidak mampu mengurus kepemimpinan keluarga yang tidak lebih dari bilangan jari maka lebih tidak mampu menangani urusan masyarakat manusia.120 rasulullah Saw bersabda:
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امراة (رواه البخاري)
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang memberikan urusan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan" (HR. Bukhari).121
Hadits ini merupakan penegasan statemen dari Nabi Saw mengenai ketidak beruntungan bagi suatu kaum yang mengandalkan perempuan untuk memimpin urusan umum dan penting seperti keanggotaan majlis al-syûrâ. Kaum Muslimin diperintahkan melakukan upaya yang mengantarkan pada keberuntungan dan dilarang melakukan perbuatan yang mengantarkan kepada kerugian.122
-
Wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan yang penting
Allah SWT berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" (QS. Al-Ahzab/33: 33)
Dengan begitu, seorang wanita tidak boleh keluar rumah kecuali untuk suatu keperluan yang penting.
-
Kendala-kendala kodrati bagi wanita
Karena wanita harus menghadapi kendala-kendala kodrati, seperti datang bulan, hamil dan kesulitannya, melahirkan dengan rasa sakitnya, menyusui dengan kesulitannya, keibuan dengan bebannya. Semua ini membuat fisik, psikis dan pemikirannya tidak mampu mengemban tugasnya sebagai anggota dewan yang harus menetapkan undang-undang dan mengawasi pemerintah.
-
Tindakan Preventif
Ketika wanita dicalonkan atau duduk di parlemen atau Dewan Perwakilan, maka dia dituntut untuk bercampur dengan kaum laki-laki dan bahkan kadang-kadang berkhalwat123 dengan seorang laki-laki. Tentu saja hal ini haram. Sebab sesuatu yang bisa menjurus kepada perbuatan haram, hukumnya juga haram.
Pihak yang membolehkan
Adapun alasan yang membolehkan wanita menjadi anggota majlis al-syûrâ, antara lain:
-
Wanita juga manusia, sama seperti kaum laki-laki, dituntut untuk beribadah kepada Allah SWT, menegakkan agama-Nya, melaksanakan kewajiban-Nya, menjauhi apa yang dilarang-Nya, berdiri pada batasan-batasan hukum-Nya, berdakwah dan melaksanakan amar ma'ruf nahi al munkar, terkait amar ma'ruf nahi al munkar perintah ini bersifat umum, jadi baik laki-laki maupun wanita mempunyai kewajiban untuk menegakkannya.124
Setiap seruan Allah SWT yang menetapkan syariat juga meliputi diri wanita, kecuali jika ada dalil tertentu yang khusus bagi kaum laki-laki. Jika Allah SWT berfirman, "Wahai manusia" atau "Wahai orang-orang mukmin" maka wanita juga termasuk dalam seruan ini, dan tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Oleh karena itu tatkala Ummu Salamah r.a.125 mendengar seruan Rasulullah Saw, "wahai manusia…" maka seketika itu diapun tergopoh-gopoh dan masygul sendiri, siap untuk melaksanakan isi seruan tersebut, sehingga semua orang merasa heran terhadap reaksinya yang begitu cepat. Karenanya ia menjawab, 'Aku juga termasuk manusia'.
Dalam hal ini Al-Qur'an mengajak umatnya (laki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Allah SWT kepada mereka yang selalu melakukannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
"sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat" (QS. Al-Syura/42: 38)
-
Perintah dalam ayat ini bersifat umum, ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Musyawarah merupakan salah satu prinsipi pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Qur'an, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut.126
-
Dasar hukum secara umum, wanita sama seperti laki-laki dalam melaksanakan pembebanan, kecuali ada pengecualian. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT
بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ
"sebagian dengan sebagian yang lain" (QS. At-Taubah/9: 67)
-
Al-Qur'an membebankan kepada dua jenis, laki-laki dan wanita, tanggungjawab menegakkan masyarakat dan membenahinya, yang dalam Islam lazim disebut amar ma'ruf nahi an al munkar. Allah SWT berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah/9: 71)
Dalam kesempatan ini Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang yang beriman, setelah menyebutkan beberapa ciri orang-orang munafik, sebagai berikut:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
"orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf ". (QS. At-Taubah/9: 67)
Jika wanita-wanita munafik berdiri di samping kaum laki-laki munafik memainkan peran untuk merusak masyarakat, maka wanita-wanita mukminah harus memainkan peranan untuk membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki mukmin.
-
Para wanita juga mempunyai peranannya pada masa Nabi Saw. bahkan suara pertama yang membenarkan dan mendukung beliau adalah suara wanita, yaitu Khadijah r.a.127. bahkan orang yang pertama kali mati syahid di jalan Islam juga seorang wanita, yaitu Sumayyah, ibu Ammar, bahkan di antara mereka ada yang ikut berperang bersama Nabi Saw pada waktu perang Uhud, Hunain dan lain-lainnya, hingga dalam biografi al-Bukhari disebutkan "bab peperangan dan pertempuran para wanita"
Siapa yang memperhatikan dalil-dalil Al-Qur'an dan sunnah tentu akan mendapatkan hukum-hukum di dalamnya yang disebutkan secara umum bagi dua jenis, kecuali jika ada tuntutan fitrah yang harus membedakan laki-laki dan wanita, atau yang memang dipersiapkan untuk masing-masing pihak. Kaum wanita mempunyai hukum-hukum tersendiri yang bekaitan dengan haid, nifas, istihadhah, hamil, persalinan, penyusuan, pengasuhan dan lain-lainnya. Kaum laki-laki memegang kendali kepemimpinan dan tanggungjawab terhadap rumah tangga, dia berkewajiban memberi nafkah dan melindungi seluruh anggota keluarganya128
-
Bila kita melihat hukum dasar dalam segala sesuatu dan urusan keduniaan adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Berangkat dari dasar-dasar inilah kita perlu melihat topic masuknya kaum wanita ke dalam Dewan Perwakilan atau musyawarah dan penetapan pencalonannya serta kelayakannya untuk berperan berdasarkan dalil-dalil syariat.
Jawaban :
Pihak yang membolehkan, memberikan jawaban terhadap alasan yang diajukan oleh pihak yang melarang, ringkasnya sebagaimana berikut:
-
Terkait dengan ayat yang menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas wanita berdasarkan firman Allah SWT:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS. An-Nisa/4: 34)
Ayat ini dalam dalam kaitannya dengan kehidupan rumah tangga. Seorang laki-laki merupakan pemimpin rumah tangga dan bertanggungjawab atas kelangsungannya sesuai dengan QS. An-Nisa/4: 34 tersebut.
Hal ini menunjukan bahwa maksud kepemimpinan di sini adalah kepemimpinan atas rumah tangga. Derajat inilah yang diberikan kepada kaum laki-laki, seperti Firman Allah SWT:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Baqarah/2: 228)
Sekalipun seorang laki-laki mempunyai hak sebagai pemimpin atas rumah tangga, toh istri juga bisa berperan, dia bisa dimintai pendapat yang memang dibutuhkan untuk kepentingan rumah tangga, seperti yang diisyaratkan Al-Qur'an tentang menyapih anak yang disusui.
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
"apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya" (QS. Al-Baqarah/2: 233)129
-
Terkait dengan wanita tidak boleh keluar rumah melainkan untuk urusan penting berdasarkan firman Allah SWT: artinya: "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian" (QS. Al-Ahzab/33: 33)
Ayat ini secara khusus tertuju kepada isteri-isteri Nabi Saw, seperti yang dipahami dari susunan bahasanya. Sebagaimana yang sudah diketahui, mereka mempunyai kehormatan dan perlu penekanan tersendiri dari pada wanita-wanita lain. Oleh karena itu balasan untuk mereka menjadi berlipat jika mereka berbuat buruk.
Sekalipun sudah ada ayat ini, 'Aisyah ra tetap keluar dan ikut bergabung dalam perang al-Jamal, sebagai reaksinya untuk memenuhi kewajiban agama, yaitu menuntut balas atas terbunuhnya Utsman bin Affan ra. Tapi ketetapan takdir meletakannya di tempat yang salah, karena apa yang dilakukannya itu.
Bagaimana pun juga wanita harus keluar rumahnya, pergi ke sekolah, perguruan tinggi, andil dalam berbagai medan kehidupan sebagai dokter, guru, pengawas dan lain-lainnya, sebagai tuntutan kerja di luar rumah, yang tentu saja dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Para wanita muslimat yang komitmen dituntut untuk terjun dalam kancah pemilihan umum, dalam rangka menghadapi wanita-wanita permisivis dan sekuler yang berambisi memegang kendali peranan wanita secara umum. Terkadang kebutuhan sosial dan politik lebih besar daripada kebutuhan individu, yang kemudian memperbolehkan wanita untuk ambil bagian dalam kehidupan secara umum.
Menahan wanita di dalam rumah tidak dikenal kecuali hanya dalam jangka waktu tertentu, sebagai hukuman atas kekejian yang dilakukannya dan sebelum ada ketetapan hukum tentang dirinya, sebagaimana firman Allah SWT:
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا
"dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya." (QS. An-Nisa/4: 15)
-
Terkait dengan tindakan preventif, tidak dapat diragukan, tindakan preventif memang sangat diperlukan. Tetapi para ulama menetapkan bahwa preventifitas yang berlebih-lebihan atau terlalu longgar, bisa menghilangkan sekian banyak kemaslahatan, lalu membuka kerusakan yang justru lebih besar dan banyak, yang tadinya dikhawatirkan akan terjadi.
Misalnya wanita dilarang memberikan suara dalam pemilihan umum, karena dikhawatirkan akan menimbulkan cobaan dan kerusakan. Lalu berapa banyak suara yang seharusnya dimiliki kalangan muslim yang hilang karenanya? Padahal pengumpulan suara ini sangat penting untuk menghadapi kalangan sekuler. Terlebih lagi mereka lebih banyak memanfaatkan suara para wanita yang tidak komitmen terhadap agama.
Dahulu ada seorang ulama yang menolak untuk mengajari para wanita dan tidak setuju jika mereka masuk ke sekolah dan perguruan tinggi, dengan alasan sebagai tindakan preventif. Sebagian ulama ada yang memperbolehkan para wanita belajar membaca dan melarang mereka belajar menulis, agar mereka tidak menulis surat-surat cinta atau sejenisnya. Tetapi arus kehidupan pada masa sekarang memperlihatkan bahwa belajar itu bukan merupakan keburukan, bahkan membawa kepada kebaikan yang amat banyak.
Dari sini dapat kami katakana bahwa wanita muslimah yang komitmen, harus pandai-pandai menjaga diri saat berhadapan dengan kaum laki-laki, jika dia dicalonkan atau dipilih dalam dewan perwakilan, harus menghindari hal-hal yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, seperti berkata genit, berpakaian mencolok mata, bersolek, berkhalwat dengan seorang laki-laki. Ini perbuatan yang harus dihindari.130
Mereka yang melarang wanita dicalonkan dan duduk di dewan perwakilan beralasan bahwa kedudukan ini merupakan kepemimpinan terhadap kaum laki-laki, yang berarti dilarang. Sebab ditetapkan di dalam Al-Qur'an, kaum laki-laki harus menjadi pemimpin bagi wanita. Lalu bagaimana mungkin kita membalik ketetapan ini, dengan mengangkat wanita menjadi pemimpin bagi kaum laki-laki?
Di sini kami perlu menjelaskan dua hal:
-
Para wanita yang dipilih dewan perwakilan jumlahnya sangat terbatas, sehingga mayoritas anggota dewan tetap di tangan laki-laki. Jumlah mayoritas inilah yang berhak membuat ketetapan, membuat ikatan dan memecahkan masalah. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa keberadaan wanita di dewan perwakilan akan mengangkat wanita sebagai pemimpin atas kaum laki-laki.
Tentang pendapat yang mengatakan bahwa majlis al-syûrâ atau apa pun istilahnya yang kedudukannya lebih tinggi dari daulah dan bahkan pemimpin daulah, karena dewan al-syûrâ itu mempunyai kewenangan untuk mengawasi, merupakan pendapat yang tidak bisa diterima begitu saja. Sebab tidak semua pengawas lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang diawasi. Yang lebih penting adalah hak untuk mengadakan pengawasan, sekalipun mungkin kedudukannya lebih rendah.
Yang tidak dapat diragukan, bahwa Amir al-Mukminin atau pemimpin daulah merupakan kedudukan dan kekuasaan yang paling tinggi dalam daulah, sekalipun begitu siapapun mempunyai hak untuk memberinya nasihat, mengawasi, memerintah dan melarangnya, sekalipun dia berasal dari kalangan rakyat yang paling bawah, sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar rad an Umar ra dalam pidato pertamanya setelah diangkat sebagai khalifah.
Tak seorangpun mengingkari bahwa isteri berhak mengawasi suami, yang merupakan pemimpinnya dalam urusan rumah tangga dan nafkah. Istri bisa bertanya kepada suami," mengapa engkau membeli barang ini? Mengapa engkau membelinya sebanyak itu? Mengapa engkau tidak memperhatikan anak-anakmu? Mengapa engkau tidak menyambung tali kekerabatan? Dan masih banyak masalah lain yang berkaitan dengan amar ma'ruf nahi an al-munkar.
Kalaupun majlis al-syûrâ mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada daulah, mengingat dewan al-syûrâ lah yang berhak menetapkan hukum dan mengawasi, hal itu lebih disebabkan karena bentuk kumpulannya dan bukan karena pertimbangan individu-individunya. Sementara kelompok mayoritas dalam dewan al-syûrâ adalah kaum laki-laki.131
Dapat kami katakan, ini semua benar dan memang tidak setiap wanita layak mengemban tugas sebagai anggota dewan perwakilan. Wanita yang sibuk sebagai ibu dan segala tuntutannya tidak mungkin menerjunkan diri ke kancah politik. Andaikata dia ngotot untuk terjun ke sana, semua orang laki-laki akan berkata, "jangan, karena anak-anakmu lebih layak mendapat perhatianmu."
Tetapi para wanita yang tidak mempunyai anak, sementara mereka memiliki kelebihan kekuatan, kecerdasan dan juga mempunyai banyak waktu luang, atau mereka yang usianya sudah mencapai lima puluh tahun atau sekitar itu, sehingga tidak lagi disebutkan kendala-kendala kodrati di atas, anak-anaknya pun sudah menikah, dengan usianya itu dia menjadi orang yang matang dan waktunya juga banyak luang, lalu apakah yang menghalanginya untuk duduk di dewan perwakilan, terlebih lagi jika mereka mempunyai kelebihan-kelebihan lain dan memenuhi syarat untuk duduk di dewan perwakilan?132
SEBUAH PANDANGAN
Mencermati diskusi di atas, Penulis menilai kedua belah fihak bermaksud untuk menjaga kesucian agama dan menjaga kemuliaan wanita. Keduanya memiliki dasar ayat dan hadits serta penjelasan yang cukup logis. Sudut pandang mereka yang berbeda dan selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihadiyah dan bukan masalah qath'iyah, wajar saja terjadi sebuah sudut pandang yang berbeda dan menghasilkan solusi ijtihadi yang berbeda pula. Disinilah dibutuhkan sebuah kearifan dan kedalaman ilmiah dalam mensikapi perbedaan seperti ini sehingga ruh musyawarah yang menjadi ciri kehidupan orang beriman tidak sirna karena perbedaan pandangan dalam syarat menjadi ahli al-syûrâ.
Penulis sendiri sependapat dengan pihak yang membolehkan wanita menjadi anggota majlis al-syûrâ, atau sekarang disebut dengan anggota parlemen, tetapi dengan beberapa catatan:
-
Memiliki latar belakang pendidikan yang dapat mendukung tugasnya di parlemen
-
Memiliki keberanian dan kecakapan menyampaikan pendapatnya
-
Menghiasi diri dengan adab dan akhlak islami
-
Menjaga diri dari pergaulan yang dapat menodai kepribadian seorang muslimah
-
Tidak menyebabkan mudharat di rumah tangganya
-
Tidak merekomendasikan diri
Seseorang yang merekomendasikan diri dengan pengakuan tertentu bahwa dirinya layak menjadi anggota majlis al-syûrâ sebenarnya membuat dirinya diletakkan tidak layak untuk menduduki jabatan yang penting ini. Sebab Al-Qur'an melarang rekomendasi diri (mengaku suci) dengan firman Nya:
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa" (QS. An-Najm/53: 32)
Bahkan jika seseorang berambisi pada kepemimpinan ia diharamkan dari kepemimpinan itu. Dari Abu Musa al-Asari r.a. berkata: Aku masuk menemui Nabi Saw bersama dua orang dari kaumku, lalu salah seorang di antara mereka berkata: Berilah kami kepemimpinan, wahai Rasulullah Saw." yang satu lagi juga berkata sama. Kemudian beliau bersabda:
عن أبي موسى قال دخلت على النبي صلى الله عليه وسلم أنا ورجلان من بني عمي فقال احد الرجلين يا رسو الله أمرنا على بعض ما ولاك الله عز وجل وقال الآخر متل ذلك فقال إنا و الله نولى على هذا العمل أحدا ساله ولا أحدا حرص عليه (رواه مسلم)
"Kami tidak memberi jabatan kepada orang-orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang-orang yang berambisi padanya" (HR. Muslim)133
Agama Islam secara umum melarang meminta kepemimpinan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Abd al-Rahman.134
حدثنا عبد الرحمن بن سمرة قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم يا عبد الرحمن لا تسأل الامارة فإنك إن أعطيتها عن مسألة وكلت إليها وإن أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها (رواه مسلم)
"Hai Abdurrahman, janganlah meminta kepemimpinan. Sebab apabila kamu diberi karena meminta maka kamu dibebani dan jika kamu diberi bukan karena meminta maka kamu akan dibantu" (HR. Muslim)135
-
Dostları ilə paylaş: |