Hal Yang Terkandung Dalam Tasawuf Positif
Secara terperinci, ada delapan doktrin yang bisa dipahami dalam tasawuf positif ini, yaitu :
-
Allah sebagai perwujudan jalal dan jamal
Doktrin ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa Allah memiliki dua sifat agung yang saling melingkupi, yakni jalal yang berarti keagungan, kehebatan, dan kedahsyatan yang membuat kita takut dan taat kepada Allah, dan jamal yang berarti indah, cantik dan mempesona, sehingga menimbulkan cinta kepada Allah.
-
insan kamil sebagai wujud manusia multidimensi
Tasawuf menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah, tetapi aktif pula dalam berbagai kegiatan duniawi.
-
Dunia dalam eskatologi islam
Banyak orang yang cenderung memandang dunia dan akhirat secara dikotomis. Bagi mereka, jalan yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat adalah dengan menjauhkan diri (bahkan menyangkal) kehidupan dunia.
Tasawuf positif percaya bahwa kehidupan dunia merupakan bagian dari fitrah eksistensi manusia. Disisi lain, ia justru merupakan sarana menuju kebahagiaan akhirat. Cara manusia hidup didunia akan menentukan kehidupannya di akhirat. Tasawuf percaya bahwa dunia adalah bagian penting eksistensi manusia sebagai hamba Allah.
-
Hikmah sebagai alternatif terhadap sufisme anti-intelektual
Tasawuf percaya bahwa rasionalitas dan intelektualitas adalah sendi pencarian kebenaran, termasuk didalamnya kebenaran spiritual.
Pribadi Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW adalah pribadi yang mengutamakan kedekatan dan hubungan cinta antara manusia dengan Allah. Namun, pada saat yang sama, ia melakukan transformasi dalam masyarakat dalam bidiang sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
-
Syariat sebagi unsur integral tasawuf
Tasawuf dan syariat tidaklah saling menolak, tetapi memperkuat satu sama lain, sehingga tidak ada tasawuf tanpa syariat dan tidak ada syariat tanpa tasawuf.
-
Alam semesta sebagai tanda-tanda Allah
Tasawuf yang harus diberdayakan dalam kehidupan sosial justru harus memahami bahwa alam dipenuhi tanda-tand atau ayat-ayat Allah. Sains merupakan alat untuk memahami tanda-tanda alam dan juga merupakan upaya mencapai kebenaran hakiki.
-
Akhlak sebagai sasaran tasawuf
Seorang sufi dalam tasawuf sosial adalah orang yang bisa mengandalikan diri, tasawuf adalah jalan yang akan mentransformasikan diri sang sufi dari modus eksistensi manusia kebanyakan menjadi manusia yang dihiasi oleh akhlak islam yang mulia. Inilah titik tolak bagi individu sufi untuk menjalankan fungsi profetisnya.
-
Amal saleh sebagai fungsi profetis tasawuf
Amal saleh bisa didefenisikan sebagai setiap perbuatan dalam memperbaiki lingkungan hidup kita. Melakukan amal saleh adalah sama dengan melakukan islah atau reformasi. Tasawuf dalam kehidupan sosial melihat amal saleh sebagai satu-satunya tolak ukur bagi keberhasilan seseorang dalam menjalani tasawuf.
-
Pengertian Tasawuf.
-
Pengertian Tasawuf Secara Bahasa Dan Istilah
Tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu: “at-Tashawwufu” (اَلتَّصَوُّفُ) yang artinya berbulu yang banyak; yakni menjadi sufi itu ciri khas pakaiannya adalah selalu terbuat dari bulu domba (wol).
Menurut keyakinan Jurji Zaidan, bahwa ada hubungan kata arab ”shuufi” dengan kata Yunani ”Shopia”, yang berarti ”kebijaksanaan”.
Dari segi Linguistik (kebahasan) tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana, Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat tergantung kepada sudut pandang yang digunakanya masing-masing.
1. Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang terbatas, maka Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2. Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang harus berjuang, maka Tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan akhlaq yang bersumber dari ajaran Islam dalam rangka mendekatkan dirti kepada Allah SWT.
3. Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang bertuhan maka Tasawuf adalah Kesadaran Fitrah (Ke Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian Tasawuf pada intinya adalah; Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Dan atau Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
-
-
Muhammad Amin Al-Kurdy: Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridaan Allah dan meninggalkan laranganNya menuju kepada perintahNya.
-
Imam Al Ghozali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al Kattany: Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam Tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlaq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.
-
Mahmud Amin Al Nawawy mengemukakan pendapat Al Junaid Al Baghdady: Tasawuf adalah memelihara (meggunakan) waktu (lalu), ia berkata: Seorang hamba tidak akan menekuni (amalan Tasawuf) tanpa aturan tertentu, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhannya dan merasa tidak berhubungan (dengan TuhanNya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepadaNya).
-
Al Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma’ruf Al Karakhy: Tasawuf adalah mencari hakikat dan meniggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk (kesenangan duniawi)
-
Al-Junaid Al-Baghdadi (W. 279H/910M), Sebagai Bapak Tasawuf Moderat; Tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya penghalang
-
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (W. 465h/1073m): Tasawuf adalah ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan sahwat, dan menggindari sikap meringankan ibadah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tasawuf adalah cara mensucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Jadi unsur utama tasawuf adalah penyucian diri, dan targetnya adalah keselamatan dan kebahagiaan.
-
Asal-Usul Tasawuf
Asal usul tasawuf dapat dipahami dari uraian berikut:
1. Shafa (suci). Karena kesucian batin dan kebersihan tindakannya.
2. Shaff (barisan). Karena para Sufi memiliki iman kuat, jiwa yang bersih dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaah.
3. Shaufanah, yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu dan banyak tumbuh dipadang pasir jazirah Arabia. Nama ini digunakan karena banyak sufi yang memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.
4. Shuffah (serambi tempat duduk). Yakni shuffah Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tuna wisma dari kalangan muhajirin dimasa Rasulullah S.A.W. para tuna wisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi), karena mereka bernaung di serambi masjid.
5. Shafwah (yang terpilih atau terbaik); sufi adalah orang yang terpilih diantara hamba-hamba Allah SWT. Karena ketulusan amal mereka kepadaNya.
6. Theosophi (Yunani: theo :tuhan; shopos: hikmah) yang berarti hikmah atau kearifan ketuhanan.
7. Shuf (bulu domba); karena para shufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di Masjid Madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di Zawiyah dah Ribath. Mereka tidak bergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rasulullah sendiri menolong orang banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.
Menurut Harun Nasution, ada lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: alsuffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain wol).
-
Istilah-Istilah Dalam Tasawuf
-
Al-Maqamat
Al-Maqamat secara bahasa atau etimologi dari bahasa Arab ”maqam” yang berarti “tempat orang berdiri atau pangkal mulia atau kedudukan spiritual”, dan dalam terminologi sufistik al-maqamat berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. kemudian al-maqamat digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT. Dalam Bahasa Inggris al-maqamat dikenal dengan istilah ”stages” yang berarti ”tangga”.
Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.
Menurut Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) al-maqamat adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
-
Tingkatan Al-Maqamat
Sedikitnya ada tujuh al-maqamat yang harus ditempuh oleh seorang Sufi agar dapat berdekatan dengan Allah. dikalangan para Sufi tidak sama pendapatnya tentang jumlah al-maqamat dalam tasawuf.
Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (dzauq), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.
Menurut Muhammad Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arufi mazab ahl al Tasawwuf, bahwa al-maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqir, al-Tawadlu’,al-Taqwa, al-Tawakal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.
Menurut Abu Nasr al-Sirraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah al-maqamat hanya tujuh, yaitu: al-Taubah. al-Wara’, al-Zuhud, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakkal dan al-Ridla.
Dan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mangatakan bahwa al-maqamat itu ada delapan yaitu al-Taubah. al-Wara’, al-Shabr, al- Zuhud, al-Tawakkal, al- Mahabbah, al-Ma’rifah, dan al-Ridla.
Walaupun ada perbedaan pendapat dalam jumlah maqamat, namun jumlah al-maqamat yang mereka sepakati, adalah: al-Taubah, al-Zuhud, al-Wara’, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakal, al-Ridha. Sedangkan al-Tawadlu’, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat.
-
Al-Taubat: memohon ampun kepada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi.
-
Al-Wara’: meninggalkan segala keraguan antara yang halal dan haram (Syubhat).
-
Al-Zuhud: pola hidup yang menghindari dan meninggalkan keduniawian karena ibadah kepada Allah SWT, serta lebih mencintai kehidupan akhirat.
-
Al-Faqr: tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan Allah SWT.
-
Al-Shabr: dalam menjalankan perintah Allah, dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat, dan ketika menerima cobaan dari Allah SWT.
-
Al-Tawakkal: bersandar atau mempercayakan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi segala rintangan.
-
Al-Ridha: rela menerima segala apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan, dan rela berjuang dijalanNya, rela membawa kebenaran, dan berkorban dengan harta, pikiran dan jiwa. Dengan melihat al-maqamat yang harus dilalui oleh seorang Sufi untuk mencapai tujuannya, yakni berada sedekat-dekatnya dengan Allah SWT, maka dapat dipahami bahwa al-maqamat tersebut akan mengantarkan seorang Sufi mempunyai Akhlaqul Karimah yang tinggi.
Al-Ghozali menjelaskan bahwa untuk mencapai akhlaq yang baik, seorang harus dapat mengupayakannya melalui jiwa dan kebiasaannya, terutama dengan menghilangkan hawa nafsu. Hal ini terkait dengan konsep Al-Ghozali tentang kabahagiaan yang dicapai melalui dua hal yaitu perbautan (amali) yakni membersihkan jiwa menghilangkan hawa nafsu yang dapat menimbulkan kesenangan dalam dunia (hub dunya) dan pengetahuan (‘ilmi). Yakni untuk menghasilkan kesempurnaan amal itu sendiri.
-
Al-Ahwal
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih, jika maqam di proleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.
-
Tingkatan Al-Ahwal
-
al-muroqobah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.
-
al-khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
-
Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
-
Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
-
Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
-
ar-raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
-
Cinta kepada apa yang diharapkannya.
-
Takut bila harapannya hilang.
-
Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orangyang berharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa tahut akan siksaan Tuhan.
-
ath-thuma’minah
Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telahmencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih ingatanya.
Thuma’minah dibagi menajadi tingkatan. Pertama, ketenagan bagi kaum awan. Kedua ketenangan bagi orang yang khusus. Ketiga ketenangan bagi orang-orang yang paling khsuus.
-
Al Usn
Dalam pandangan sufi Usn adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
-
al musyahada
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.
-
Karakteristik Tasawuf
Menurut Analisa Ilmuan Barat (Orientalis), Sebagian peneliti telah berusaha mandefinisikan karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme.
Menurut William James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :
-
Merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakekat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.
-
Merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apa pun.
-
Merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Yakni tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.
-
Merupakan suatu kondisi pasif (passivity). Yakni seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.
-
Menurut R.M.Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu ; Pancaran diri subyektif (subyective light).
-
Peningkatan moral (moral elevation).
-
Kecerlangan intelektual (intelektual illumination).
-
Perasaan hidup kekal (sence of immotality)
-
Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death)
-
Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).
-
Ketiba-tibaan (suddynness).
Karakteristik umum tasawuf atau mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisisme. Namun, karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri-ciri lainya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup disana. Misalnya perasaan tentram, keiklasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan waktu, dan lain-lain.
Menurut Bertrand Russell, setelah menganalisa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisme, telah berusaha ubtuk membatasi ciri-ciri flosofis tasawuf atau mistisisme kedalam empat karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisisme dari filsafat-filafat lainya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai berikut ;
-
Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.
-
Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.
-
Pengingkaran atas realitas zaman.
-
Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.
-
Pentingnya Tasawuf Dalam Kehidupan Modern
Masyarakat modern adalah himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Menurut Deliar Noer, ciri-ciri masyarakat modern adalah:
-
Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi.
-
Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.
-
menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
-
Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik kriktik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.
-
Berpikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.
Kehidupan modern timbul dan berkembang pesat di Negara-negara Barat (Amerika Utara dan banyak Negara Eropa). Kehidupan modern disana ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tegnologi, sedangkan dalam bidang keagamaan ditandai dengan gejala-gejala semakin menjauhnya anggota masyarakat dari ajaran akhlaq ilahi.
Menurut Prof. Komaruddin Hidayat, Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan yang didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan tegnologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk terhadap kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalita (akal pikiran). Realitas alam raya kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannnya dengan Tuhan. Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, selanjutnya Tuhan “pensiun” dan tak ada lagi urusannya dengan kehidupan di dunia ini.
Dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah sehinggga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin otonom dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Hasilnya ialah masyarakat modern sangat agresif terhadap kemajuan. Modernisme yang berporos pada rasionalitas, harus diakui, telah mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan materi yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia.
Budaya modern tersebut, dewasa ini, telah tampak pengaruhnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya di masyarakat perkotaan. budaya modern yang kita ambil kulitnya saja dapat megikis budaya kebersamaan sehingga menjadi budaya individualistik yang satu sama lain hanya berkonsentrasi pada pemberdayaan diri tanpa memperdulikan nasib dan kondisi orang lain. Diperparah lagi dengan dominasi rasionalitas manusia modern yang segala sesuatunya hanya diukur dari hal-hal yang bersifat empiris, sehingga tak sedikit manusia modern yang menganut pemahaman bahwa seolah-olah Tuhan itu telah tiada, dalam arti manusia lebih memperturutkan hawa nafsu syetan dari pada memperhatikan bisikan hati yang bersumber dari tuhan.
Cirikhas modern adalah perubahan, dan perubahan itu merupakan gejala harian yang begitu cepat. Karena itu, siapapun harus beradaptasi dengan percepatan perubahan tersebut. Sebagai umat Islam, disamping kita dituntut untuk istiqomah dalam menjalani ajaran Islam, kita juga harus kreatif untuk menagkap setiap makna perubahan tersebut. Iman kita harus stabil tapi didukung oleh pemikiran dan pemahaman yang dinamis, sehingga kita bisa maju besama perkembangan zaman tanpa mengorbankan keImanan, inilah gambaran tentang peran dan fungsi tasawuf yakni penyeimbang dan pengendali dari setiap adanya perubahan.
Kehidupan masyarakat modern yang serba cepat dan cendrung materialistis ini sebenarnya sudah berada pada titik kejenuhan. Pada kendisi yang demikian itulah tasawuf sangat diperlukan dengan banyaknya fenomena kerinduan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual, banyaknya bermunculan majlis dzikir dan kajian-kajian keislaman yang dikelola secara baik oleh para da’i atau tokoh-tokoh Agama Islam.
Bahkan tidak sedikit kelompok-kelompok tertentu dan umat Islam yang mendirikan lembaga-lebaga ke Islaman yang kental dengan nilai da’wah. Ini menunjukkan bahwa geraka tasawuf kembali dirindukan oleh manusia-manusia modern.
-
Dostları ilə paylaş: |