B. Kerangka pikir
Untuk lebih menspesifikasikan maksud dari tujuan penelitian ini maka dapat dilihat pada bagan berikut:
Sastra
Prosa
Cerpen
Majas
Perbandingan
Sindiran
Penegasan
Pertentangan
Metafora
Analisis
Temuan
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
Dengan memperhatikan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka pada bagian ini diuraikan hal yang dijadikan peneliti untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini
Keberhasilan sebuah karya sastra pada hakikatnya dapat dilihat pada apresiasi pembaca terhadap karya sastra tersebut. Apresiasi yang dimaksud disini adalah bagaimana nilai-nilai dalam karya sastra tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pemahaman secara optimal terhadap esensi dan substansi adalah titik awal dari proses apresiasi itu sendiri. Sebab apresiasi terhadap membaca betul isi dan substansi dari cerpen yang dibacanya, untuk itu keberadaan kajian-kajian sastra adalah suatu yang sentral keberadaannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Desain Penelitian
Berdasarkan judul penelitian yakni “Penggunaan Majas Metafora dalam Cerpen Warisan Karya Wawan Mattaliu”, maka dalam penelitian ini yang menjadi variabelnya adalah analisis majas metafora dan bentuk variabel adalah variabel tunggal.
B. Definisi Operasional Variabel
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang variabel, serta untuk menghindari salah penafsiran dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan definisi operasional variabel penelitian:
-
Cerpen adalah jenis fiksi yang melukiskan sebagian kecil dari kehidupan pelakunya.
-
Majas adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa, sekelompok penulis sastra, dan cara khas dalam penyampaian pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.
-
Metafora adalah majas pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti, layaknya, bagaikan, antara dua hal yang berbeda.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pendokumentasian. Teknik tersebut digunakan untuk mengumpulkan data melalui sumber tertulis atau buku yang relevan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian penelitian ini berbentuk penelitian pustaka.
Dengan teknik tersebut, data demikian yang dikumpulkan melalui tahapan-tahapan yaitu:
-
Membaca cerpen yang menjadi populasi untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang cerpen “warisan” karya Wawan Mattaliu.
-
Membaca dan mengamati data yang diperoleh.
-
Data diidentifikasi berdasarkan penggunaan majas perbandingan metafora yang terdapat dalam cerpen.
D. Teknik analisis data
-
Bagian cerpen yang menjadi data prima dianalisis, bagian demi bagian dengan mengacu pada penggunaan majas perbandingan dalam cerpen yakni majas metafora. Teknik tersebut dilakukan dengan menggunakan metode evaluasi bagian-bagian majas metafora.
-
Hasil penelitian tersebut didokumentasikan sehingga bagian cerpen yang berisikan gambaran dan penggunaan majas perbandingan metafora menjadi fokus penelitian dapat tertera dengan jelas.
-
Setiap kutipan/bagian cerpen diberikan gambaran penggunaan majas perbandingan metafora dalam cerpen yang menjadi fokus penelitian senantiasa dikutip dengan disertai dengan penjabaran.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
-
Hasil Penelitian
Pada tinjauan pustaka telah diuraikan bahwa majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Untuk itu, maka berikut ini penulis akan menganalisa majas perbandingan yang dipakai pengarang dalam cerpen “warisan”. Majas yang akan dianalisis dalam cerpen tersebut yaitu majas metafora. Metafora merupakan bahasa kias tidak yang mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, laksana, seperti, dan sebagainya.
Agar sistematis dan kongkrit, maka dalam penyajian hasil analisis ini, penulis menguraikan indikator penelitian yaitu majas metafora yang digunakan pengarang dalam cerpen “warisan”.
Di dalam menguraikan hasil penelitian, penulis menguraikan secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah yaitu mendeskripsikan tentang penggunaan majas perbandingan metafora yang digunakan pengarang dalam cerpen “warisan” karya Wawan Mattaliu.
Dari hasil kajian penulis dari cerpen yang berjudul “warisan” karya Wawan Mattaliu ditemukan beberapa ungkapan yang menunjukkan wajah metafora, penggunaan majas metafora ini dikemukakan oleh pengarang di awal sebagai kalimat pembuka cerita.
“Sebuah bangunan besar dengan aksentuasi mediteranian”. Disampingnya ada sebuah kolam yang dirindangi sebatang cemara. Di sisi utara ada sepetak garasi yang cukup luas, dengan deretan kendaraan, sebuah porche biru metalik, satu lamborghini warna putih dan sebuah Dodge abu-abu tipe off road.” (hal.49)
Penggunaan majas metafora pada kutipan di atas terdapat pada kata “aksentuasi mediteranian” yang memberi makna bahwa bentuk gaya bangunan besar tersebut seperti bergaya bangunan mediteranian yang simpel tapi indah dan terkesan mewah. Pada kalimat ini pengarang menggunakan majas metafora dengan memakai kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan dan tidak dinyatakan secara implisit dengan menggunakan kata-kata: seperti, serupa, ibarat, umpama dan laksana. Sebagaimana yang sering digunakan dalam majas simile, pengarang bisa saja menggunakan kata seperti dalam kalimat sebuah bangunan besar seperti aksentuasi mediteranian, tetapi pengarang cenderung memakai majas metafora.
Majas metafora di atas mempunyai dua gagasan yang pertama “sebuah bangunan besar” merupakan suatu yang dipikirkan yang menjadi objek sedangkan yang satunya “aksentuasi mediteranian” merupakan perbandingan dari pertanyaan pertama, hal ini senada dengan pengertian majas metafora yang dikemukakan oleh Tarigan: (1985). Majas metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi objek dan yang satu lagi merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi, dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi yang terdahulu tadi.
Majas metafora yang lain ditemukan pada kutipan:
“Cemara yang seharusnya hijau, menawarkan bayang perih daunnya telah tuntas dilahap api” (hal 50)
Majas metafora pada kutipan di atas terdapat pada kalimat “bayang perih” kalimat ini melukiskan persamaan makna dengan kondisi yang mengenaskan, ungkapan “bayang perih” memberikan makna terhadap pohon cemara yang seharusnya hijau berubah menjadi hitam dengan daun-daunnya yang telah hangus di lahap api, yang tidak memiliki kekuatan untuk hidup, ungkapan ini diperkuat dengan kalimat selanjutnya yaitu daunnya telah tuntas di lahap api, kalimat ini semakin menegaskan kondisi dari pohon cemara.
Penggunaan majas metafora yang lain dalam cerpen “warisan” terdapat pada kalimat
“Gemeretak bangunan yang ambruk itu terdengar perih”. (hal 50)
Kata “terdengar perih” menunjukkan keadaan bangunan yang mengalami retak-retak, terlepas satu-persatu dari bangunan tersebut yang menimbulkan suara gemeretak, suara gemeretak inilah yang dilukiskan seperti suara rintihan yang menimbulkan rasa perih. Sedangkan pada kalimat
“Malam menjadi panas dari dalam gumpalan asap yang padat, ada aroma daging terbakar yang sangat menyengat. Di luar, tepat pada bekas pagar, sekerumunan orang-orang menatap ke dalam dengan nanar. Ia menanti pembakaran sate selesai”. (hal 50)
Ditemukan majas metafora pada kutipan “pembakaran sate selesai” melukiskan persamaan makna selesainya peristiwa kebakaran tersebut.
Majas metafora digunakan juga pada ungkapan
“orang-orang dengan wajah penuh dendam itu baru saja akan beranjak, tiba-tiba saja terdengar suara, “tunggu!”. (hal 50)
Pada kutipan di atas terdapat kalimat “wajah penuh dendam” yang bermakna orang yang memiliki kebencian yang sangat siap untuk ditumpahkan kapan saja.
“Orang-orang dengan wajah penuh dendam”
Penggunaan majas metafora pada kutipan di atas terdapat pada kalimat “penuh dendam” yang maknanya menggambarkan wajah orang-orang yang penuh dengan kebencian yang teramat dalam yang ingin membalas kejahatan orang yang pernah menjahatinya.
Majas metafora sering digunakan pengarang dalam cerpen ini untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup, pada kalimatnya, sehingga menimbulkan kesan yang mendalam pada pembacanya dan merasakan kekuatan yang hidup pada kalimat-kalimatnya. Seperti pada kutipan
“Suara orang itu terdengar berapi-api” (hal 51)
Kata “berapi-api” digunakan oleh pengarang untuk melukiskan semangat yang membara yang ditunjukkan dengan suara-suara lantang, yang disuarakan oleh orang-orang. Sama halnya dengan kutipan
“Apalagi oleh orang yang telah mati tiga tahun yang lalu tapi meninggalkan pendaman lahar dendam”. (hal 52)
Kata “pendaman lahar dendam” yang dalam kutipan ini merupakan majas metafora yang digunakan oleh pengarang untuk memberikan kekuatan pada kalimatnya yang bermakna dendam yang membara yang berusaha untuk dipadamkan yang sewaktu-waktu dapat muncul dengan tiba-tiba. Sedangkan pada kutipan selanjutnya:
“Oleh sebagian orang yang pernah di hisap keringatnya” (hal 52)
Memiliki makna mempekerjakan orang lain dengan upah yang tidak sesuai dengan pekerjaannya atau hasil keringat (pekerjaan) seseorang dinilai rendah.
Kata “dihisap keringatnya” kutipan ini mengandung arti mengambil segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang secara paksa baik berupa harta benda maupun jiwanya. Hal ini dengan indah dilukiskan oleh pengarang dengan menggunakan kalimat yang bergaya metafora yang dituliskan dengan “dia hisap keringatnya”. Kutipan ini diperkuat dengan kalimat sesudahnya “bahkan yang lebih keji, dia telah membunuh secara perlahan dengan merampas sumber-sumber hidupnya dengan kekuasaan semu yang pernah dia miliki”.
Penggunaan gaya bahasa metafora seringkali digunakan penulis untuk memberikan kesan yang mendalam sehingga memberi kekuatan pada kalimatnya dengan menciptakan kesan mental yang menghidupkan kalimat-kalimatnya. Hal ini sejalan dengan pengertian majas metafora yang dikemukakan oleh (Dale 1971 dalam tarigan 1985). Majas atau gaya bahasa kerapkali menambah kekuatan pada suatu kalimat. Metafora, misalnya, dapat menolong seorang pembicara atau penulis melukiskan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi atau kontras. Metafora berasal dari bahasa Yunani Metaphora yang berarti “memindahkan”, dari meta di atas; melebihi + phercin membara. Metafora membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa seperti pada perumpamaan.
Kutipan lain dengan penggunaan majas metafora dalam cerpen “warisan” ditemui pada kalimat
“Dihadapannya kini, orang-orang meruah dengan berbagai senjata di tangan” (hal 52)
Pada kutipan di atas terdapat kalimat “orang-orang meruah” yang merupakan majas metafora yang maknanya sama dengan orang-orang banyak berkumpul memenuhi suatu tempat.
Kutipan dengan penggunaan majas metafora yang lain terdapat pada
“Malam tampaknya cukup berpihak, bulan di atas sana seharusnya purnama tertutup awan”(hal 52)
Kutipan di atas terdapat kalimat “tertutup awan”, kalimat ini melukiskan persamaan makna dengan “gelap” tidak menampakkan cahayanya. Hal ini senada dengan ungkapan “malam masih saja pekat” dengan makna yang sama.
Penggunaan majas metafora dalam cerpen ini terdapat pada kutipan
“Sampai kokok ayam terdengar mengingatkan pagi sebentar lagi datang”
Kalimat ini menunjukkan penggunaan majas metafora terdapat pada “mengingatkan pagi”, yang bermakna sebagai pertanda pagi menjelang yang biasanya ditandai dengan terdengarnya suara kokok ayam.
Ungkapan lain dengan penggunaan majas metafora dalam cerpen “warisan” ditemui pula pada kalimat
“Mereka telah kau hisap darahnya” (hal 55)
Makna dari kata “kau hisap darahnya” merupakan analogi dari mengambil seluruh jiwa, harta benda dan raga dari seseorang sampai tidak ada yang tersisa.
Pengarang cerpen ini sangat jeli dalam penggunaan majas metafora dalam kalimatnya selain berfungsi untuk menguatkan kalimatnya, majas metafora digunakan juga sebagai analogi yang membandingkan dua hal secara langsung seperti terdapat pada ungkapan
“Tuan sudah menjadikan mereka serigala” (hal 55)
Makna “menjadikan mereka serigala”, kata serigala diartikan buas dan galak seperti halnya yang dilakukan orang pada saat harta bendanya dirampas dan mempunyai kesempatan untuk menuntutnya sebagaimana yang terdapat dalam cerpen ini.
Gaya bahasa dengan menggunakan metafora yang dilukiskan semacam analogi oleh pengarangnya digunakan untuk membandingkan dua hal secara langsung maupun tidak langsung, hal ini sangat lumrah dilakukan untuk menolong pengarang dalam melukiskan suatu gambaran jelas komparasi atau kontras. Sebagaimana yang diungkapkan (Suharso, 2009) metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat : bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata : seperti, bak, bagai, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua, juga diungkapkan oleh (Poerwadarminta 1976 dalam Tarigan 1985) “Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan.
-
Pembahasan
Teori yang dijadikan acuan di dalam penelitian ini adalah teori pembagian majas menurut Binar Agni. Menurut Agni, majas dibagi atas empat kelompok, yaitu: 1) Majas perbandingan, 2) Majas sindiran, 3) Majas penegasan, 4) Majas pertentangan. Namun dalam penelitian ini, dari keempat majas tersebut lebih dispesifikasikan ke majas perbandingan yaitu metafora.
Dari hasil penelitian penulis terhadap cerpen “warisan” karya Wawan Mattaliu, penulis menemukan beberapa ungkapan yang menggunakan majas metafora yang berfungsi untuk menambahkan kekuatan pada kalimat dan menciptakan suatu kesan mental yang hidup pada kalimatnya.
Sebagai gambaran data sistematis dapatlah digambarkan keberadaan majas metafora dalam cerpen tersebut, yaitu:
-
“Sebuah bangunan besar dengan aksentuasi mediterania” (hal 49)
-
“Cemara yang seharusnya hijau, menawarka bayang perih, daunnya telah tuntas di lahap api (hal 50)
-
“Gemeretak bangunan yang ambruk itu terdengar perih” (hal 50)
-
“Ia menanti pembakaran sate selesai” (hal 50)
-
“Orang-orang dengan wajah penuh dendam itu baru saja akan beranjak, tiba-tiba terdengar suara,” tunggu!” (hal 50)
-
“Suara orang itu terdengar berapi-api” (hal 51)
-
Apalagi oleh orang yang telah mati tiga tahun yang lalu tapi meninggalkan pendaman lahar dendam (hal 52)
-
“Oleh sebagian orang yang pernah dia hisap keringatnya” (hal 52)
-
“Dihadapannya kini, orang-orang meruah dengan berbagai senjata di tangan” (hal 52)
-
“Malam tampaknya cukup berpihak, bulan di atas sana seharusnya purnama tertutup awan” (hal 52)
-
“Sampai kokok ayam terdengar mengingatkan pagi sebentar lagi datang” (hal 54)
-
“Mereka telah kau hisap darahnya” (hal 55)
-
“Tuan sudah menjadikan mereka serigala” (hal 55)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
-
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan, yaitu:
-
Penggunaan majas metafora dalam cerpen terdapat pada kutipan “tuan sudah menjadikan mereka serigala” (hal.55) dimana kata “menjadikan mereka serigala” diartikan buas dan galak seperti halnya yang dilakukan oleh orang pada saat harta bendanya dirampas dan mempunyai kesempatan untuk menuntutnya sebagaimana yang terdapat dalam cerpen. Cerpen “warisan” merupakan sebuah pernik yang diangkat dari fenomena hidup keseharian masyarakat dimana pengarang hidup dalam menginterpretasi alam dan lingkungan dimana ia berada. Hal tersebut dapat dilihat dari majas atau gaya bahasa yang disajikan dalam karyanya.
-
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora sebagai pembanding langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan pada pokok kedua. Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan
-
Keberadaan majas metafora dalam sebuah karya sastra sesungguhnya bukanlah menjadi syarat sahnya sebuah karya sastra, tetapi paling tidak menjadi penanda hidupnya cerita. Penggunaan majas perbandingan metafora dalam cerpen “warisan” karya Wawan Mattaliu telah memberi warna baru baik terhadap khasanah sastra Indonesia maupun dalam hal terbantunya masyarakat atau pembaca dalam memahami dan melihat sebuah karya sastra.
-
Saran
Adapun saran penulis dalam penelitian pustaka ini adalah :
-
Seorang peneliti sastra harus membekali dirinya dengan pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar sastra agar kajian sastra yang dihasilkan lebih bermutu.
-
Hendaknya penelitian terhadap karya-karya sastra khususnya dalam penggunaan majas lebih ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun kualitas.
-
Kiranya para pemerhati sastra dan masyarakat penikmat sastra dapat meluangkan waktunya untuk membaca cerpen sebagai wujud apresiasi terhadap karya sastra khususnya sastra yang lahir dalam daerahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agni Bingar. 2008. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta:H-Fet
Efendi, Haris Thahar. 1999. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung: Angkasa
Fachruddin. 1994. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Ujung Pandang: IKIP
Jabrohim, dkk. 2009. Cara Menulis Kreatif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Junus Umar. 1985. Resepsi Sastra. Jakarta: PT. Gramedia
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mattaliu, Wawan. 2004. Warisan. Jakarta: To Manurung
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada. University Press
Pradopo Djoko, Rahmat. 2009. Pengkajian Puisi. Gadjamada University Press. Yogyakarta.
Suryanto, Alex dan Agus Hariyanto. 2007. Panduan Belajar Bahasa dalam Sastra Indonesia. Tangerang: ESIS
Suharso dan Ana Retnoningsih. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya
Syamsuddin dan Visman. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sumardjo, Jakob. 1994. Menulis Cerpen. Bandung: Pustaka Pelajar.
Rampan, Korrie Layun. 1995. Jenis Cerita Pendek. NTT: Nusa Indah
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
_____________________, 1998. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa
WARISAN
Sebuah bangunan besar dengan aksentuasi mediteranian. Disampingnya ada sebuah kolam yang dirindangi sebatang cemara. Di sisi utara ada sepetak garasi yang cukup luas, dengan deretan kendaraan, sebuah Porche biru metalik, satu Lamborghini warna putih dan sebuah Dodge abu-abu tipe off road.
Memasuki ruangan, sederet meja tamu dengan variasi ukiran Jepara, agak ke sudut, ada tatanan benda-benda antik dari kaca yang disanggah oleh dua batang gading gajah, yang mengapiki semuanya adalah lukisan ekspresionis dari seorang pelukis terkenal menempel anggun di dinding yang dilapisi marmer. Sunyi! Hanya ada sepasang ikan arwana dalam akuarium yang mengisyaratkan adanya kehidupan disitu. Sangat mewah! Luks!.
Tapi itu tiga jam yang lalu. Sesuatu berubah begitu cepat.
Yang kini terhidang, sebuah pilar yang melintang di atas kolam dan asap yang belum juga reda. Cemara yang seharusnya hijau, menawarkan bayang perih, daunnya telah tuntas dilahap api.
Istana itu roboh. Gemeretak bangunan yang ambruk itu terdengar perih. Malam menjadi panas. Dari dalam gumpalan asap yang padat, ada aroma daging terbakar yang sangat menyengat. Di luar, tepat pada bekas pagar, sekerumuan orang menatap ke dalam dengan nanar. Ia seakan menanti pembakaran sate selesai
***
Asap akhirnya berhenti setelah hari berganti. Serombongan orang itu mash saja disitu, mereka menyisiri puing-puing gedung itu, memeriksa dengan sangat teliti. Agak lama akhirnya mereka menemukan tiga tubuh yang hangus sempurna.
“Ada yang lolos satu !”
“Siapa ?”
“Mungkin anak laki-lakinya !”
“Bukan mungkin, tapi pasti ! Yang ada disini hanya perempuan.”
“Kalau begitu kita harus mencarinya !”
Suara-suara itu terus bersahutan, ada beberapa yang saling berbisik.
“Kita cari dia sekarang !” Terdengar suara yang lebih lantang.
Orang-orang dengan wajah penuh dendam itu baru saja beranjak, tiba-tiba saja terdengar suara, “Tunggu!”
Seorang lelaki tanpa baju dengan tubuh yang legam mengangsur ke depan rombongan.
“Saudara-saudara sekalian. Kita jangan bergerak gegabah, kita mesti mempelajari situasi. Dia bukan orang bodoh ! Buktinya sekian lama keluarga mereka menipu kita, dia merampas tanah yang kita tempati hidup dan mengharapkan kehidupan lebih baik dari tanah itu. Betul ! Kita mesti menuntaskan semuanya tanpa membuang waktu terlalu banyak ! Tapi kita perlu strategi. Kita bagi kelompok, kita sisiri semua daerah “!, suara orang itu terdengar berapi-api. Orang-orang di depannya mendengar dengan serius.
“Kita bagi sekarang,” tambahnya lagi.
Kerumunan orang-orang itu langsung serempak bergerak menjadi empat kelompok. Lalu bergerak ke empat arah yang berbeda.
Dan betul! Ketika malam pembakaran itu, seorang lelaki terbangu oleh kerumunan asap. Ia cuma mendengar jerit perih perempuan yang melahirkannya dari kamar sebelah. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Aroma bensin dan jalaran api terlalu cepat. Di langsung menerobos jendela kamar, lalu terpelanting di samping garasi. Dia pasti kesakitan, tapi ada kekuatan yang melahirkan kemampuan lari yang sedemikian cepat. Tetesan darah dari ubunnya yang terbentur dinding garasi tak menghalangi terjangnya melintasi pagar, dia terus berlari dengan napas yang terengah dan wajah yang pias.
Ini adalah malam pertama setelah pembakaran itu, lelaki muda itu kini terpuruk di kolong jembatan, di antar sampah yang tersangkut ketika banjir dulu. Dia duduk, lututnya ditekuk sambil merangkulinya dengan dua tangan sangat erat. Ada kecamuk tak setuju yang bermain di benaknya. Dia merasa tak pernah terlibat pada permainan ini. Dia tak punya hak untuk meminta ke Tuhan untuk dilahirkan oleh orang yang sesuai dengan keinginannya sekarang. Apalagi oleh orang yang telah mati tiga tahun lalu tapi meninggalkan pendaman lahar dendam oleh sebagian orang yang pernah dia hisap keringatnya, bahkan yang lebih keji, dia telah membunuh secara perlahan dengan merampas sumber-sumber hidupnya dengan kekuasaan semu yang pernah dia miliki.
Lelaki itu terus berserapah di antara gigitan nyamuk. Semua itu nyaris mengantarnya tidur, tapo kelonteng kentongan dan hiruk pikuk banyak orang menyadarkannya segera. Sebuah sinar senter dari pinggiran jembatan sebelah telah memfokusinya.
“Itu dia!”
“Ayo tangkap!”
“Bunuh! Ayo kita bunuh!”
Malam menjadi ramai, orang-orang berkoar.
Di hadapannya kini, orang-orang meruah dengan berbagai senjata di tangan. Ada parang, kapak, linggis, dan apa saja yang bisa menamatkan riwayatnya.
Ketakutan tetaplah sebuah kekuatan. Lelaki muda itu seketika menjadi gesit. Dia baru saja meloncati pembatas jembatan lalu dengan cepat menghilang pada kegelapan. Malam tampaknya cukup berpihak, bulan di atas sana yang seharusnya purnama tertutup awan. Dia terus berlari, tapi sekerumunan kelompok lain menadahnya dengan lontaran beberapa lembing bambu. Ada satu yang menancap tepat pada pangkal pahanya, tersungkur lalu bangkit sambil sekali mengibaskan tangan, lembing itu terlepas meninggalkan luka dan kucuran darah. Ia kembali berlari seperti sama sekali tak ada luka ditubuhnya. Orang-orang di belakangnya pun bergerak menyusul. Kini dia hanya pasrah pada kehendak kakinya, kemana arah yang mesti ia tuju.
Tak ada yang berubah, lelaki muda itu terus berlari. Di belakangnya orang-orang semakin ramai. Hanya ada satu hal yang lain, benaknya tiba-tiba refleks memandu kakinya kearah taman makam pahlawan di pinggiran kota. Malam masih saja pekat, tapi dia terus berlari dengan darah yang mengucur di pahanya. Agak jauh di belakangnya suara-suara berseliweran.
“Tangkap !”
“Bunuh !”
“Dia harus membayar semuanya !”
Suara-suara itu terus saja terdengar dan menghentikan nyanyian serangga malam. Di atas sana, bulan mulai menampakkan diri. Cahayanya merekam perburuan itu seakan-akan dia harus ikut memikul penyelesaian cerita.
Lelaki itu kini berada di ambang taman makam pahlawan. Larinya semakin deras. Sangat cepat lalu tersungkur pada sisi sebuah nisan kayu berukir. Sebuah benda memori yang berperan tahun yang lalu di angkutnya ke tempat ini dengan sebuah upacara kebesaran bersama ratusan orang berseragam dan serentetan salvo. Dia merangkak mendekat lalu menggenggamnya dengan sangat kuat. Orang-orang yang tadi memburunya kini pun telah sampai, tapi tak ada yang mendekat. Mereka hanya berdiri pada batas pandang dengan mata yang sangat nanar. Mereka membentuk jejeran yang teratur tanpa suara, seakan menanti selesainya sebuah permainan sulap.
Lelaki muda itu sesekali menahan napas. Hanya tatapannya yang sangat tajam menghuman nama yang terukir rapi pada nisan yang masih saja digenggamnya.
“Tuan besar,” terdengar suara lelaki muda itu. Serak.
“Kau telah meninggalkan sebuah permainan besar, tuan. Hari ini semua orang menuntut pertanggungjawabanmu. Aku memang ikut menikmati apa yang kau peroleh, tapi aku sama sekali tidak pernah terlibat. Lihat! Apa yang pernah kamu banggakan telah habis! Bahkan istrimu sekalipun!”
Lelaki muda itu terus bicara, nadanya semakin tinggi. tiba-tiba saja tangannya menyentak dengan sangat keras. Nisa ditangannya tercabut.
“Tuan! Aku tidak pernah meminta apa-apa. Tapi memang kau terlalu serakah! Lihat! Mereka ikut menuntutku! Sebentar lagi mereka akan membunuhku! Padahal aku tidak pernah meminta menjadi anakmu! Tidak pernah!”
Suara itu sangat perih dan semakin parau. Orang-orang di sekitarnya diam tak beranjak.
“Tuan! Kamu harus melihat apa hasil dari yang kamu perbuat!”
Suara lelaki muda itu melengking tinggi, lalu tangannya mengayunkan nisan itu sangat kuat ke gundukan pekuburan beberapa kali. Dia menggali!
“Kamu harus melihatnya!” ujarnya berulang kali. Tangannya masih saja sibuk mengayunkan nisan, remah-remah tanah berserabutan. Orang-orang mulai bergerak mendekat beberapa langkah, tapi tetap tak ada yang bersuara. Mereka akan setia menanti terjadinya sebuah keajaiban. Seekor kelelawar terbang menyilang bulan yang sempurna menjadi purnama.
Sampai kokok ayam terdengar mengingatkan pagi sebentar lagi datang, lelaki muda itu belum juga lelah. Yang terlihat kini tinggal punggungnya dijedahi oleh ujung nisan yang terus diayunnya. Orang-orang terus mendekat tanpa suara.
Dan kemudian, orang-orang terhenyak!
Lelaki itu baru saja menghentikan penggaliannya, lalu dia terlihat menyentak sesuatu di ikuti oleh suara gemeretak.
Orang-orang tersentak.
Mulut mereka setengah terbuka. Dengan cahaya purnama yang tersisa, orang-orang melihat di tangan anak muda itu sebuah benda agak putih dibungkusi oleh tanah. Tengkorak! Anak muda bergerak naik. Orang-orang mundur beberapa langkah.
“Tuan besar, lihat mereka yang kini menuntutmu. Lihat! Ayo lihat! Mereka yang telah kau hisap darahnya dan kini ikut memburuku seperti seekor babi hutan!”
Orang-orang tak beranjak, tapi ada siratan tak percaya pada matanya dengan jelas.
“Kau sudah puas sekarang? Tuan sudah menjadikan mereka serigala. Tuan harus bertanggung jawab! Tuan harus membayar semuanya! Harus!” ujarnya dengan suara tinggi, lalu dengan keras membanting benda itu tepat menghantam nisan yang berukir tinta emas, di susul suara benda pecah. Lelaki mudah itu menekur badannya ke tanah.
Hening!
Beberapa menit sama sekali tidak ada suara. Tapi hanya beberapa menit, karena selanjutnya terdengar orang-orang di sekeliling lelaki muda itu bertepuk tangan dengan keras. Semakin lama bahkan semakin keras.
Dostları ilə paylaş: |