BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Islam. Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Quran dan tafsir Al-Quran tidaklah sama. Perbedaan daya nalar adalah setiap orang, ilmuan dan Mufassir suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat maenyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik.
Ilmu tafsir sudah ada sejak nabi Muhammad SAW masih hidup. Tipologi tafsir berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman. Dasar tipologi atau pengelompokkan terhadap tafsir pun berbeda-beda. Al-Quran secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsirannya selalu cenderung berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya, Al-Quran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode penafsiran diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Quran itu. Sehingga Al-Quran seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Akademisi islam dan intelektualis muda perlu memahami atau memilih metode penafsiran yang hasil penafsirannya dapat dipandang memuaskan, dengan tujuan berusaha memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt. Dari hasil penafsiran Al-Quran bukanlah semuanya merupakan “kata pasti” yang harus diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami maksud suatu ayat Al-Quran. Yang jelas untuk mengambil hasil penafsiran seorang mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima begitu saja atau disalahkan/dikritik begitu saja, tanpa mengetahui dan meneliti metode tafsir yang digunakan oleh mufassir.
Secara umum dan dalam berbagai literatur yang telah mudah ditemukan, para ulama tafsir menyebutkan bahwa terdapat empat metode dalam menafsirkan Al-Quran. Empat metode tersebut adalah:
-
Metode Tahlili
-
Metode Ijmali
-
Metode Perbandingan
-
Metode Tematik.
Keempat metode penafsiran Al-Quran di atas kesemuanya dipakai oleh para mufassir sesuai dengan kecenderungan yang mereka punyai masing-masing terhadap metode tersebut. Dalam makalah ini metode penafsiran yang dibahas hanya Metode Tematik saja, karena pada pertemuan dan pemakalah sebelumnya telah membahas metode penafsiran sebelum Metode Tematik ini.
Untuk tidak terlalu luas dalam pembahasannya, pemakalah membatasi pembahasan makalah ini pada materi metodologi, tokoh dan contoh yang menggunakan metode tafsir maudhu’iy secara umum. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan makalah ini, dapat diperhatikan dan dibahas pada bab selanjunya dalam makalah ini.
BAB II
PENDEKATAN TAFSIR MAUDU`IY (TEMATIK) METODOLOGI DAN TOKOHNYA
Benar bahwa ada sekelompok ayat-ayat Al-Quran yang menarik perhatian para mufassir, karena dalam ayat-ayat Al-Quran terdapat bagian-bagian tertentu yang menyebabkan ayat-ayat tersebut saling berkaitan. Seperti ayat-ayat tentang hukum, kisah-kisah tentang Al-Quran, Nasikh dan Mansukh, tentang manusia dan kehidupan sosialnya, tentang pendidikan, dan lain-lain. Tetapi belum dipelajari seperti subjek mandiri, tetapi dianggap karena adanya faktor kesamaan dan kekhususan bersama.
Pada dekade terakhir sejarah ilmu tafsir, ilmu tafsir berkembang dengan satu metodologi baru dalam penafsiran dan pembahasan-pembahasan Al-Quran, yang berlandaskan kepada usaha untuk mengetahui setiap pandangan Al-Quran dalam segala bidang, apakah itu akidah, pemikiran, pengetaguan, syari’at maupun akhlak yang dilakukan dengan memaparkan ayat-ayat tersebut pada tempatnya, yang letaknya berbeda dalam Al-Quran. Metodologi inilah yang kemudian yang dikenal dengan metode tematik.
-
Konsep Dan Makna Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik)
Dalam buku Baqir Hakim, Allamah Baqir Shadr mengemukakan bahwa ada tiga arti dari kata Maudhu’iy:
-
Objektivitas, adalah sikap amanah dan konsistensi serta sikap berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas peristiwa dalam membahas setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian peribadinya, serta tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang diperoleh dari pembahasannya.
-
Memiliki makna memulai pembahasan dari tema yang merupakan peristiwa nyata yang dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran, untuk mengetahui pendirian (Mawqif) dari peristiwa nyata tersebut. Karena itulah, seorang mufassir yang menggunakan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) harus memusatkan perhatiannya pada tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan, akidah, sosial dan fenomena-fenomena alam, di samping ia juga harus menguasai permasalahan-permaslahan seputar tema-tema tersebut yang di dapatkan melalui pemikiran manusia, mengetahui solusi permasalahan tersebut yang disambungkan oleh pemikiran manusia, serta mengetahui apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai pertanyaan dan poin-poin yang belum dijabarkan. Setelah itu barulah seorang mufassir memulai Tanya jawabnya dengan Al-Quran, saat mufassir bertanya dan Al-Quran menjawab. Dengan demikian diharapkan mufassir dapat mengetahui sikap Al-Quran terhadap tema yang ditanyakan.
-
Terkadang istilah Maudhu’iy dimaksudkan untuk menyebutkan apa-apa yang dinisbatkan kepada suatu tema. Saat seorang mufassir memilih tema tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta berusaha menyimpulkan pandangan Al-Quran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.1
Jika dilihat dari sejarahnya, Tafsir Maudhu’iy bukanlah merupakan fenomena baru. Menurut Al-Farmawy, benih penafsiran seperti ini sudah ada sejak zaman Nabi saw. sebab penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran menurutnya merupakan embrio bagi munculnya tafsir maudhu’iy selain merupakan tafsir bi al-ma’tsur.2
Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) merupakan salah satu cara menafsirkan Al-Quran dengan mengggunakan metode mengumpulkan atau menyusun ayat-ayat Al-Quran menjadi sebuah tema atau judul. Pencetus metode tafsir ini adalah Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960, beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.3 Kemudian pada tahun 1977, untuk mendalami Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) ini Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy menulis buku Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i.
Selain itu, Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, juga merupakan pencetus metode, ketika metode tafsir ini ditetapkan sebagai mata kuliah di jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin di Jami’ah al-Azhar pada tahun 1981. Beliau mencetuskan ide metode tafsir dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat yang berbicara tentang suatu topik, untuk dikaitkan satu dengan lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran.
Sebagaimana yang difahami, mulai dari Metode Ijmali (Global), Metode Tahlili (Analitis), Metode Muqarin (Perbandingan/Komparatif) sampai pada Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) bahwa setiap metode penafsiran Al-Quran itu mempunyai ciri khas masing-masing dan target tertentu yang akan dicapai oleh mufassirnya. Oleh karenanya tidak ada metode yang “kadaluarsa” dalam menafsirkan Al-Quran.4 Dalam penggunaannya Nashruddin Baidan membuat bagan yang membedakan penggunaan metode-metode tersebut seperti di bawah ini:
No
|
Metode
|
Figur
|
Figur
|
1.
|
Metode Ijmali (Global)
|
|
|
2.
|
Metode Tahlili (Analitis)
|
|
|
3.
|
Metode Muqarin (Perbandingan/Komparatif)
|
|
|
4.
|
Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik)
|
|
|
Tanpa berpikir panjang tampak denga jelas dalam bagan di atas bentuk dan alur penalaran masing-masing metode tersebut. Metode Global dan analitis, misalnya, mempunyai bentuk yang sama terutama dari sudut bentuk penalaran dan proses berpikir, perbedaannya terletak pada wacana. Pada metode global wacananya amat sedikit dan ruang lingkupnya sedikit sekali.
Sebaliknya metode analitis wacananya sangat banyak dan ruang lingkupnya luas sekali, karena itulah maka metode global digambarkan dengan sebuah garis lurus kecil. Sementara metode analitis dengan garis lurus yang besar. Kecuali itu, narasi atau alur berpikirnya berkesinambungan tanpa harus merujuk kepada ayat-ayat atau hadis-hadis ataupun pendapat-pendapat yang pernah dikemukakan berkenaan dengan pebafsiran ayat yang sedang dibahas. Artinya melakukan konsultasi kepada ayat-ayat, hadis-hadis atau pendapat-pandapat para ulama dalam penafsiran suatu ayat bukan merupakan cirri khas metode Tahlili. Karena semua metode pada umumnya menerapkan hal yang sama. Dengan perkataan lain seorang yang menerapkan metode analitis apalagi metode global tidak diwajibkan (dituntut) untuk melakukan konsultasi semacam itu. Namun bila dilakukannya, jelas penafsirannya akan lebih baik dan lebih kredibel karena di dukung oleh berbagai argument dan falta yang tak mustahil, argument dan fakta tersebut lebih meyakinkan. Penerapan pola pikir seperti ini ditemukan pada hampir semua tafsir tahlili baik yang berbentuk riwayat maupun pemikiran.5
Adapun pola narasi pemikiran dalam menerapkan metode Komparatif (Muqarrin) digambarkan dalam bentuk areal yang bundar melingkar sehingga membentuk tataran horizontal yang lebih luas. Hal itu dimungkinkan karena yang menjadi cirri uta metode ini ialah perbandingan, baik perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, ataupun perbandingan pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat. Perbandingan semacam ini menjadi amat luas secara horizontal, sehingga seakan-akan membentuk suatu lingkaran. Digambarkan pola piker narasinya dalam bentuk lingkaran agar menimbulkan image bahwa agar apa yang dibandingkan itu berada pada dataran yang sama tidak ada kelebihan yang satu dari yang lain. Kecuali itu gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa wacana yang dikembangkan dalam tafsir komparatif lebih mengacu pada upaya memberikan informasi sebanyak mungkin kepada pembaca atau pendengar, kemudian membiarkan membiarkan mereka mengambil kesimpulan sendiri secara bebas tanpa perlu di giring pada konklusi tertentu. Itulah sebabnya pembahasan berbentuk meluas, dan horizontal, tidak vertikal sebagaimana tafsir tematik, seperti terlihat pada bagan di atas.6
Metode tematik sebagaiaman digambarkan di atas terlihat ruang lingkup yang relatif sempit, yakni membahas satu judul tertentu secara mendalam dan tuntas. Karena itulah gambarannya tegak lurus dan menukik ke dalam. Makin ke dalam semakin lancip dan bertemu pada satu titik simpul. Gambaran itu memberikan isyarat bahwa tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan. Baik bagi mufassir sendiri maupun pembaca serta pendengar bahkan oleh ummat ummat keseluruhan. Karena tujuan tafsir tematik ini untuk dapat menyelesaikan permaslahan ummat, maka di abad modern ini para ulama lebih menggandrungi metode tematik daripada metode-metode yang lain.
Al-Farmawi di dalam kitab al-Bidayah fi al-Tafsir al-maudhu’iy secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan Metode Maudhu’iy (Tematik). Antara lain adalah sebagai berikut:
-
Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara maudhu’iy (tematik)
-
Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyyah dan Madaniyyah
-
Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul
-
Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya
-
Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline)
-
Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas
-
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat
-
Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.7
Abdul Djalal menyebutkan makna Metode Tafsir Mudhu’iy ini yaitu:
-
Akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-Quran dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya
-
Akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Al-Quran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap
-
Menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadap Al-Quran, seperti dikatakan bahwa ajara Al-Quran bertentangan dengan ilmu pengetahuan
-
Lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Al-Quran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan
-
Mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Al-Quran
-
Akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan Al-Quran tanpa susah payah
-
Akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Al-Quran, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Al-Quran dengan pranata kehidupan mereka
-
Silabus pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional.8
-
Bentuk kajian Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik)
Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) mempunyai dua bentuk, yaitu:
-
Tafsir yang membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Tafsir maudhu’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr al-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius.
-
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan Al-Quran. Mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan Al-Quran mengenai hal tersebut.9
-
Kelebihan dan kekurangan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik)
Kelebihan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) antara lain Adalah:
-
Hasil tafsir maudhu’iy memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa Al-Quran hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata
-
Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap Al-Quran
-
Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahat dan balaghah Al-Quran
-
Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka
-
Tafsir maudhu’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
Menurut pemakalah kekurangan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) adalah sebagai berikut:
-
Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam
-
Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja
-
Tokoh Dan Metodologi Tafsir Maudu`iy (Tematik)
Banyak para mufassir yang memiliki karya tulis atau berpartisipasi dalam pengembangan Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) ini, namun pemakalah tidak dapat menemukan semua mufassir tersebut dan metodologi yang mereka gunakan. Pada pembahasan ini pemakalah memaparkan beberapa tokoh Metode Tafsir Maudhu’iy (Tematik) seperti di bawah ini:
-
Di samping tafsir-tafsir dengan pola umum, pada masa tadwin, tafsir yang mengkaji masalah-masalah khusus secara tematik berjalan. Ibnul Qaayim menulis kitan At-Tibyan Fi Aksamil Quran, Abu Ubaidah menulis sebuah kitab tentang majas Al-Quran, Ar-Raghib Al-Ashfahani melahirkan mufrodat Al-Quran, Abu Ja’far An-Nahas An-Nasikh Wal Mansukh, Abul Hasan Alwahidi menulis Asbab An-Nuzul dan Al-Jasshash menulis Ahkam Al-Quran. Dalam konteks modern, studi Al-Quran semakin meluas dan kompleks sehingga tak satupun ayat-ayat Al-Quran yang terlepas dari penafsiran dengan pola tematiknya.10
-
Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960, beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut
-
Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy menulis buku Al-Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i
-
Al-Futuhat Al-Rabbaniyah Fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i Li Al-Ayat Al-Quraniyah karya Dr. Al-Husaini Abu Farhah
-
Al-‘Aqad yang berjudul Al-Insan Fi Al-Quran dan Al-Mar’at Fi Al-Quran, begitu pula Al-Riba Fi Al-Quran tulisan Al-Maudhudi
-
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA yang menulis kitab Al-Hayah Fi Al-Quran Al-Karim: Dirasah Maudhu’iyah Penerbit Dar At-Thuwaiq pada Thaun 1997, atau dalam terbitan dan terjemahan indonesianya Menjelajah Kehidupan Dalam Al-Quran: Tafsir Maudhu’iy Atas Tema-Tema Kehidupan Dalam Al-Quran, yang diterjemahkan Oleh Tim Penerbit Wahdah di Jakarta pada tahun 2005 dan diterbitkan oleh Al-‘Itishom Cahaya Umat.
-
Prof. M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi dan Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Ummat
-
Contoh Tafsir Maudu`iy (Tematik)
Contoh tafsir tematik yang diuraikan pemakalah dalam menjelaskan dan memperkaya pemahaman pembaca dalam memahami tafsir tematik ada dua macam, yaitu contoh yang berkenaan dengan objek dan subjek. Contoh yang berkaitan dengan subjek maksudnya adalah contoh yang berkenaan dengan manusia serta perbuatannya, atau yang lebih dikenal dengan istilah hukum privat. Contoh yang berkaitan dengan objek misalnya adalah contoh yang langsung disandarkan pada suatu benda, yang dapat langsung kita lihat zahir dari contoh itu sendiri.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dipaparkan contoh dari tafsir tematik tersebut baik secara objektif maupun secara subjektif.
-
Contoh Berdasarkan Subjek
Misalnya adalah sikap perbutan manusia yang berkaitan dengan Istiqamah (teguh pendirian). Dalam Al-Quran pemakalah mengambil ayat-ayat seperti di bawah ini:
-
Surat Yunus Ayat 89
Artinya: AlIah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang Lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak Mengetahui".
-
Surat Hud ayat 112
Artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
-
Fusshilat ayat 6
Artinya: Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya.
-
Surat Al-Ahqaf Ayat 13
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Berdasarkan kontekstual beberapa ayat di atas, dengan mudah dapat dipahami satu akhlak yang baik yang menjadi isyarat perintah bagi manusia agar selalu memiliki sifat Istiqomah, apa lagi dalam hal memeluk agama. Pemakalah mendefinisikan istiqamah sebagai satu sifat teguh pendirian, dalam ranah tauhid istiqomah berarti tetap beramal yang saleh kepada Allah.
-
Contoh berdasarkan objek
Misalnya adalah pengharaman memakan daging babi. Dalam Al-Quran, dan berkaitan, pemakalah menemukan ada empat ayat dalam Al-Quran dan pada surat berbeda yaitu:
-
Q.S. Al-Baqarah ayat 173
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
-
Q.S. Al-Maidah ayat 3
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
-
Q.S. Al-An’am ayat 145
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
-
Q.S. An-Nahl ayat 115
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari ayat-ayat Al-Quran di atas, pemakalah memahami bahwa secara kontekstual ayat Allah telah begitu jelas mengharamkan daging Babi, namun menurut pemakalah hal ini masih dipandang perlu untuk ditafsirkan lagi, khususnya secara tematis. Sehingga masyarakat muslim (baik dari kalangan cendikiawan maupun masyarakat awam) lebih memahami secara harfiah apa yang menyebabkan keharaman hewan ini dikonsumsi.
Lemak punggung babi tebal, babi memiliki back fat (lemak punggung) yang lumayan tebal. Konsumen babi sering memilih daging babi yg lemak punggungnya tipis, karena semakin tipis lemak punggungnya, dianggap semakin baik kualitasnya. Sifat lemak punggung babi adalah mudah mengalami oxidative rancidity, sehingga secara struktur kimia sudah tidak layak dikonsumsi. Daging babi adalah daging yang sangat sulit dicerna
karena banyak mengandung lemak. Meskipun empuk dan terlihat begitu enak dan lezat, namun daging babi sulit dicerna.
Ibaratnya racun, seperti halnya kholesterol! Selain itu, daging babi menyebabkan
banyak penyakit : pengerasan pada urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam (anginapectoris), dan radang pada sendi-sendi. Babi adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain. Ia makan semua makanan yang ada di depannya. Jika perutnya telah penuh atau makanannya telah habis, ia akan memuntahkan isi perutnya dan memakannya lagi, untuk memuaskan kerakusannya. Ia tidak akan berhenti makan, bahkan memakan muntahannya. Ia memakan semua yang bisa dimakan di hadapannya. Memakan kotoran apa pun di depannya, entah kotoran manusia, hewan atau tumbuhan, bahkan memakan kotorannya sendiri, hingga tidak ada lagi yang bisa dimakan di hadapannya. Kadang ia mengencingi kotorannya dan memakannya jika berada dihadapannya, kemudian memakannya kembali. Ia memakan sampah busuk dan kotoran hewan.
Babi adalah hewan mamalia satu-satunya yang memakan tanah, memakannya dalam jumlah besar dan dalam waktu lama jika dibiarkan. Kulit orang yang memakan babi akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Penelitian ilmiah modern di dua negara Timur & Barat, yaitu Cina dan Swedia. Cina (mayoritas penduduknya penyembah berhala) & Swedia (mayoritas penduduknya sekuler) menyatakan: “Daging babi merupakan penyebab utama kanker anus & kolon”. Persentase penderita penyakit ini di negara negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis, terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000.
Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo. Babi banyak mengandung parasit, bakteri, bahkan virus yang berbahaya, sehingga dikatakan sebagai Reservoir Penyakit. Gara-gara babi, virus Avian Influenza jadi ganas. Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus AI mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus AI dapat melakukan mutasi & tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Sekitar tahun 2001 pernah terjadi para dokter Amerika berhasil mengeluarkan cacing yang berkembang di otak seorang perempuan, setelah beberapa waktu mengalami gangguan kesehatan yang ia rasakan setelah mengkonsumsi makanan khas meksiko yang terkenal berupa daging babi, hamburger (ham berarti babi, sebab aslinya, hamburger adalah dari daging babi). Sang perempuan menegaskan bahwa dirinya merasa capek-capek (letih) selama 3 pekan setelah makan daging babi. Telur cacing tersebut menempel di dinding usus pada tubuh sang perempuan tersebut, kemudian bergerak bersamaan dengan peredaran darah sampai ke ujungnya, yaitu otak. Dan ketika cacing itu sampai di otak, maka ia menyebabkan sakit yang ringan pada awalnya, hingga akhirnya mati dan tidak bisa keluar darinya.
Hal ini menyebabkan dis-fungsi yang sangat keras pada susunan organ di daerah
yang mengelilingi cacing itu di otak. Penyakit-penyakit “cacing pita” merupakan penyakit yang sangat berbahaya yang terjadi melalui konsumsi daging babi. Ia berkembang di bagian usus 12 jari di tubuh manusia, dan beberapa bulan cacing itu akan menjadi dewasa. Jumlah cacing pita bisa mencapai sekitar “1000 ekor dengan panjang antara 4 – 10 meter”, dan terus hidup di tubuh manusia dan mengeluarkan telurnya melalui BAB (buang air besar). Islam telah melarang segala macam darah, analisis kimia dari darah menunjukkan adanya kandungan yang tinggi dari uric acid (asam urat ), suatu senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, bersifat racun.11
Dengan kata lain uric acid sampah dalam darah yang terbentuk akibat metabolisme tubuh yang tidak sempurna yang diakibatkan oleh kandungan purine dalam makanan. Dalam tubuh manusia, senyawa ini dikeluarkan sebagai kotoran, dan 98% dari uric acid dalam tubuh, dikeluarkan dari dalam darah oleh ginjal, dan dibuang keluar tubuh melalui
air seni. Dalam Islam dikenal prosedur khusus dalam penyembelihan hewan, yaitu menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa dan membuat irisan memotong urat nadi leher hewan, sembari membiarkan urat-urat dan organ-organ lainnya utuh.
Dengan cara ini menyebabkan kematian hewan karena kehabisan darah dari tubuh, bukannya karena cedera pada organ vitalnya, sebab jika organ-organ misalnya jantung, hati, atau otak dirusak, hewan tersebut dapat meninggal seketika dan darahnya akan menggumpal dalam urat-uratnya dan akhirnya mencemari daging, mengakibatkan daging hewan akan tercemar oleh uric acid, sehingga menjadikannya beracun, dan pada masa-masa kini lah para ahli makanan baru menyadari akan hal ini, subhanallah. Apakah kita tahu kalau babi tidak dapat disembelih di leher? karena mereka tidak memiliki leher, sesuai dengan anatomi alamiahnya? Bagi orang muslim beranggapan kalau babi memang harus disembelih dan layak bagi konsumsi manusia, tentu Sang Pencipta akan merancang hewan ini dengan memiliki leher.
Ilmu kedokteran mengetahui bahwa babi sebagai inang dari banyak macam parasit dan penyakit berbahaya, sistem biochemistry babi mengeluarkan hanya 2% dari seluruh kandungan uric acidnya, sedangkan 98% sisanya tersimpan dalam tubuhnya. Saya pernah membaca sebuah artikel yang mengatakan : ”Bahwa seseorang itu berkelakuan sesuai dengan apa yang dimakannya.” Melihat tayangan di salah satu TV swasta, seorang profesor dari IPB telah meneliti struktur DNA babi. Sesuatu yang mengejutkan ternyata, struktur gen babi itu mirip dengan struktur gen manusia. Jadi dapat dikatakan gen babi = gen manusia, jadi sama dengan kita memakan daging manusia (kanibal), na’udzubillah.
Jadi ada betulnya kalau kita memakan babi bukan tidak mungkin karakter babi menempel pada kita, tidak pada kita, bisa jadi pada keturunan kita.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa metode penafsiran perlu dipelajari dengan seksama oleh mereka yang ingin beertindak menafsirkan Al-Quran. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak salah memilih jalan yang akan di tempuh. Dengan demikian, mereka akan dapat mencapai tujuan denganselamat dan memperoleh dengan hasil yang benar dan memuaskan. Sebaliknya, jika mereka tidak menguasai metodologi penafsiran lalu dengan keberanian berspekulatif Al-Quran ditafsirkan, maka tidak mustahil mereka tersesat di tengah jalan. Sehingga jangankan akan mendapatkan cita-cita yang di inginkan, malah membuat dirinya kecpaian tanpa hasil.
Jadi penguasaan metodologi penafsiran merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran agar penafsiran yang disampaikan sesuai dan tepat mengenai sasaran. Mereka yang tidak menguasai metodologi tafsir maka akan kesulitan dalam mencocokkan penafsirannya dengan audiens yang akan menerima penafsiran tersebut, di isinilah terletak, antara lain, urgensi pemakaian metode penafsiran secara proporsional dan propesional. Hal itu tidak akan mengekang pemikirannya untuk berkreasi. Silahkan berfikir sedalam-dalamnya dan seradikal mungkin, kemudian tumpahkan pemikiran yang brilian itu ke dalam wadah-wadah metode penafsiran yang tersedia sesuai sasaran yang di tuju sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Mufassir pada hakikatnya adalah komunikator (juru bicara) bagi Al-Quran. Sebagai seorang komunikator, dia harus berusaha sebaik mungkin agar pesan Al-Quran mencapai sasaran (komunikan) secara tepat dan jitu. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali penguasaan metodologi tafsir secara baik dan memadai sehingga hasil penafsiran yang diberikan terhadap suatu ayat tidak melenceng dari tujuan atau target yang di ingini. Apakah sekedar pemahaman kosa kata, atau pembahasan yang luas maupun perbandingan penafsiran dan penyelesaian kasus perkasus sesuai tema yang di angkat. Semua itu tergantung keinginan mufassir atau kebutuhan ummat. Yang penting dan harus diperhatikan ialah kecocokan metode yang dipakai dengan tujuan yang akan di raih. Tanpa cara seperti itu sulit sekali bagi mufassir akan dapat menyampaikan pesan-pesan Al-Quran kepada ummat atau komunikan dalam bahasa yang lugas dan akurat.
Tafsir Maudhu’iy (tematik) adalah metode penafsiran dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Alquran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat dan diurut sesuai dengan masa turunnya dengan memperhatikan sebab turunnya dan munasabah antar ayat. Selanjutnya menganalisisnya lewat ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas dan kemudian melahirkan kesimpulan dari masalah yang dibahas sebagai konsep yang utuh dari Alquran dengan langkah-langkah operasional yang jelas.
Saat ini metode Maudhu’iy dipandang sangat relevan dalam menemukan petunjuk-petunjuk Ilahiyyah (Al-Hidayah Al-Ilahiyyah) diantara teks-teks Al-Quran tentang berbagai problematika kontemporer, apalagi metode Maudhu’iy ditopang dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip penelitian ilmiah modern yang tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip Qur’aniyyah dan Risalah Al-Nabawiyyah.
Siapapun yang hendak menemukan berbagai jawaban atas problematika yang dihadapinya dari teks-teks Al-Quran seyogyanya dapat memahami dan menjalankan secara amanah dan ilmiah metode Maudhu’iy sebab metode ini tidak hanya dapat dijalankan oleh para peneliti tafsir yang mendedikasikan dirinya pada studi Al-Quran secara akademis, tetapi juga dapat dijalankan dengan mudah oleh para peneliti muslim yang berkecimpung dalam bidang studi lainnya.
Semoga isi makalah ini bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam diri semua pembaca, dan semoga kita bisa menyampaikan isi Al-Quran kepada seluruh ummat, agar apa yang menjadi ajaran dalam Al-Quran benar-benar bisa diamalkan dan diajarkan. Sebagaiman hadis Rasulullah SAW bahwa orang yang baik adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008.Hakim, M. Baqir, Ulumul Quran, Jakarta, Al-Huda, 2006.
Ari, Farida, Metode Tafsir Al-Quran, http://munfarida.blogspot.com/2010/03/metode-tafsir-al-quran.html, Ditelusuri, 20 November 2011
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yoyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Makalah, Surga, Metode Maudhu’iy, http://www.surgamakalah.com/2011/08/material-makalah-metode-maudhui.html, Ditelusuri, 20 November 2011.
Maragustan, Metode Tafsir Mudhu’i (Tematik), http://maragustamsiregar.wordpress.com /2011/01/10/metode-tafsir-maudhui-tematik-oleh-h-maragustam-siregar-prof-dr-m-a/, Ditelusuri, 20 November 2011.
Nizhan, Abu, Buku Pintar Al-Quran, Cianjur, Qultum Media, 2008.
Suryadilaga, Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Teras, 2005.
Wijaya, Yoga Permana, Fakta Ilmiah Tentang Haramnya Babi, http://yogapw.wordpress. com, Ditelusuri, 11 Agustus 2010.
Dostları ilə paylaş: |