Antara Syareat dan Tarekat Telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa yang dituju dalam syareat adalah kolektivitas atau kebersamaan. Sedangkan yang dituju dalam tarekat adalah keunikan. Meskipun demikian antara syareat dan tarekat tidak bertentangan. Justru yang dibangun adalah keseimbangan antara hidup secara kolektif dengan ekspresi individual. Karena kodrat dan iradat Tuhan terhadap makhluk tidak sama. Maka kebutuhan bersama dan kebutuhan pribadi harus dirajut bersama. Syareat berfungsi untuk mengikat suatu komunitas dalam jalan hidup bersama. Syahadat, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan haji adalah jalan umum yang dilalui secara bersama-sama oleh komunitas yang beragama Islam. Unsur kebersamaan dalam kelompok lebih ditekankan. Formalitas lebih menonjol daripada tujuannya. Jika dium-pamakan anak sekolah, mengisi daftar hadir dan duduk di kelas lebih menonjol daripada keinginan untuk menjadi murid yang pandai dan trampil. Dalam shalat pun begitu, rasa untuk memenuhi kewajiban lebih menonjol daripada mencapai “tujuan” shalat. Bahkan kalau saya amati, saya katakan dengan jujur bahwa sebagian besar orang yang mela-kukan shalat tidak ingat [atau bahkan tidak tahu] akan tujuan shalatnya. Mereka hanya merasa “berdosa” bila tidak melakukannya. Dan, merasa telah bebas dari dosa jikalau telah menunaikannya. Tentu saja hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang membelenggu pikiran. Sama dengan jenis-jenis kebiasaan yang lain. Dari segi syareat seseorang yang shalat dianggap sah bila ia telah bersih dari hadas [yang kecil dengan wudhu, dan yang besar dengan mandi], dan mencari tempat yang bersih untuk shalat, lalu dilakukan sesuai dengan syarat dan tertib rukunnya. Bereess! Upacara telah dikerjakan. Lho, kok dianggap upacara, itukan perintah Tuhan? Shalat hanyalah sebuah upacara jika yang dipenuhi formalitas lahiriahnya. Yang di-tuntut dalam kehidupan beragama tentu bukan sekadar upacaranya. Tetapi, tujuan dari shalat! Apa tujuan shalat? Apa tujuan puasa, zakat dan haji? Marilah kita periksa satu persatu. Pertama, Surat Thaha:14. 20:14 Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali Aku. Beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk berzikir kepada-Ku. 29:45 Telaahlah Al Kitab yang diwahyukan kepada engkau, dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar. Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu (semua) kerjakan. Dari kedua ayat tersebut dapat diketahui dengan pasti tujuan shalat. Tujuan utama shalat adalah “berzikir” kepada Tuhan. Dan, efek berikutnya adalah terjauhkan dari perbuatan fahsya’ dan mungkar. Karena efek dari zikir itu menjauhkan pelakunya dari perbuatan fahsya’ dan mungkar, maka nilai zikir itu lebih besar dari ibadah lainnya. Apalagi zikir tersebut dilakukan dalam shalat. Fahsya’ adalah segala jenis perbuatan yang tidak normal, yang dibenci masyarakat, kekejaman, dan yang menjijikkan. Sedang perbuatan mungkar adalah perbuatan yang ditolak atau dilarang oleh masyarakat. Jadi, tujuan akhir shalat adalah mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar bagi penegaknya. Shalat bukan untuk membebaskan diri dari kewajiban. Masih ingatkan ayat tentang perintah puasa Ramadhan? Yaitu, Surat Al Baqarah ayat 183. Di situ jelas, bahwa tujuan puasa bukan untuk melatih diri supaya tahan lapar atau sakti, tetapi untuk menjadi orang yang bertakwa, yaitu orang yang senantiasa menjaga dirinya di jalan yang benar [life in the righteous way]. Sedekah atau zakat juga dimaksudkan untuk membersihkan dirinya dari kedengkian masyarakat di sekitar-nya, dan juga untuk membersihkan batin dari sifat loba dan kikir [QS 9:103, sedekah itu untuk “tuthahhiru” dan “tuzakki”]. Bahkan dengan haji, orang dididik dan dilatih untuk hidup damai (QS 2:191, 3:97), higienis (22:29), menjauhkan diri dari pertikaian, percabulan dan kelakuan jahat (2:197), dan hidup sosialis (22:28). Nah, sekarang marilah kita melihat fakta di sekeliling kita. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Secara lahiriah masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya dipenuhi orang. Dari segi lahiriah seolah-olah orang-orang yang memenuhi tempat ibadah ini adalah orang-orang yang saleh, atau orang-orang yang bertakwa. Kuota untuk jemaah haji pun cepat sekali dipenuhi. Namun demikian, negeri ini penuh koruptor, tukang kolusi, dan banyak penjahat kelas berdasi. Kebodohan tak kunjung usai. Kemiskinan malah beraksi sehingga kita merasa tak bisa melepaskan diri dari hutang internasional. Apa gerangan penyebabnya? Penyebabnya, kita lebih suka formalisme. Kita lebih senang mengandalkan “kepercayaan” daripada pengetahuan. Kita lebih suka kebenaran “visual” daripada kebenaran yang bersemi di dalam hati yang suci. Kita lebih mempercayai “dongengan” abad III Hijrah daripada mengkaji Al Quran dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Sekarang, marilah kita bandingkan dengan etika kehidupan bermasyarakat dari orang-orang Barat. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup individualistik. Hak pribadi betul-betul dinomorsatukan. Namun, di jalan mereka tidak melakukan saling serobot. Fasilitas-fasilitas milik umum (fasum) dijaga dan dihormati. Makna hidup itu untuk melayani orang lain mereka coba tegakkan. Mereka betul-betul berusaha menjaga “fairness” dalam bermasyarakat. Padahal, secara lahiriah mereka tampak tak bergairah menjalankan agama. Mengapa bisa demikian? Karena mereka telah melangkah ke tahap kehidupan tarekat. Lho, mereka kan tidak hidup beragama Islam sedangkan tarekat itu ajaran Islam? Tarekat adalah perjalanan spiritual kehidupan manusia. Ia ada di dalam setiap agama. Namanya saja yang berbeda!
Sembah Kalbu Orang tak akan mengerti arti sebuah kekayaan bila ia tak pernah menghayati arti sebuah kemiskinan. Tidak perlu harus jatuh miskin dulu! Tetapi menghayati dalam batin kita bahwa sesungguhnya kita ini miskin. Wong ketika kita lahir tak ada yang membawa perhiasan. Orang tak akan mengerti makna kepandaian bagi kesejahteraan bila ia tak pernah menghayati makna kebodohan. Seandainya generasi Jepang sekarang tidak menghayati rasanya suatu bangsa yang dibom atom, tentu mereka akan tetap melakukan penindasan dan penghancuran negara-negara sekelilingnya yang dipandang lemah. Jika makna-makna yang negatif [seperti jahat, miskin, bodoh, dan lemah] itu telah hilang dari mereka, maka mereka pun akan mengalami hal yang sama seperti yang melanda negeri kita ini. Nah, tarekat adalah cara untuk melihat diri kita sendiri. Karena itu tarekat disebut sebagai meniti jalan ke dalam diri. Tanpa mengenal diri kita sendiri, niscaya kita tak akan pernah bisa mengerti orang lain. Malah orang lain kita paksa seperti diri kita! Kita nyinyir bila melihat orang lain tidak melakukan ibadah seperti yang kita lakukan. Kita memandang orang lain tidak mengikuti sunah Rasul, bila mereka tidak segolongan dengan kita. Bahkan orang lain yang sudah mendalami Al Quran dan Hadis, dipandang belum berilmu bila tidak belajar seperguruan dengan kita. Kepicikan timbul karena tak pernah mau melihat kepada dirinya sendiri. Pada bagian yang lalu telah dijelaskan bahwa tahap awal dalam tarekat adalah dekondisioning, atau “takhalli”, yaitu tahap pembersihan batin. Kepercayaan yang telah membelenggu, harus dirantas. Lho, bagaimana ini, hidup beragama kan harus ditopang dengan kepercayaan? Ha, jangan salah mengerti! Yang harus dirantas adalah keperca-yaan yang membelenggu. Kepercayaan semacam ini beretengger di dalam diri kita dari hasil meniru, yaa... meniru seperti anak kecil. Mungkin meniru dari lingkungannya, atau meniru dari teman yang mengajaknya. Lain halnya dengan pembersihan batin. Dengan tobat dan wara’ kita telah melangkah pada kehidupan yang bersih lahir dan batin. Dengan kondisi batin yang bersih, tumbuhlah kepercayaan asli yang tumbuh dari dalam. Bukan kepercayaan hasil meniru. Hal ini penting sekali untuk dipahami! Iman (kepercayaan) yang benar adalah yang tumbuh dari dalam hati. Bukan iman yang tumbuh karena diyakinkan oleh orang lain. Jadi, peran guru-guru agama, ustadz-ustadz, dan ulama adalah memberikan jalan bagi sang pengembara. Mereka menjadi pemandu jalan, pembawa obor bagi orang-orang yang ingin kembali kepada Ilahi. Tugas guru dan ulama bukanlah membuat mereka menjadi robot hidup. Guru dan ulama adalah orang yang menunjukkan jalan dan memberikan keteladanan. Mereka bukan untuk ditiru [to be imitated] tetapi untuk diikuti [to be followed]. Dengan pemahaman ini bukan orang lain yang mengantarkan kita ke tujuan hidup, tetapi kita sendiri yang berusaha ke sana. Mari kita perhatikan ayat berikut ini. 35:18 Sesungguhnya yang bisa engkau berikan ajaran [peringatan] adalah orang-orang yang awas kepada Tuhannya meskipun tanpa melihat-Nya, dan mereka mendirikan shalat. Barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya penyucian itu untuk dirinya sendiri. Dan Allah itu tempat kembali. Jadi, jelas sekali bahwa Rasul saja tugas mulianya adalah untuk menyampaikan ajaran keselamatan. Apalagi ustadz atau ulama! Fungsi Rasul bukan untuk menyelamat-kan tetapi memberikan petunjuk ke arah keselamatan. Karena itu yang bisa diberi ajaran adalah mereka yang awas terhadap kehadiran Tuhannya, tanpa melihat Wujud-Nya. Bila tidak awas, ya sulit untuk dapat menerima kebenaran ajaran beliau. Itulah sebabnya saya berkali-kali menekankan kata “mengikuti Rasul” dan “bukan meniru Rasul”. Mengikuti memerlukan keawasan, sedangkan meniru cuma mencontoh, atau dalam bahasa sekarang mencontek Rasul. Apa unggulnya mencontek? Dan dalam ayat itu diringi pula dengan kalimat “mendirikan shalat” dan bukan mengerjakan shalat. Memang sekarang ini jadi kabur antara “mendirikan” dan “mengerjakan”. Karena kepentingan guru-guru agama sebatas formalitas, yaitu mengerjakan. Mendirikan shalat berarti membangun shalat, suatu bangunan yang di dalamnya terletak zikir kepada Tuhan. Suatu syareat yang di dalamnya terkandung tarekat! Kemudian lanjutan ayat menyebutkan bahwa upaya penyucian diri itu sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Jadi, betul-betul melewati lorong yang pas bagi dirinya sendiri. Kita masuk ke dalam sel hati yang terdalam. Di situlah Tuhan bersemayam. Bukankah di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Langit dan bumi tak dapat menampung-Ku, tetapi hati seorang mukmin mampu menjangkau-Ku.” Jadi, hati terdalam manusia adalah tempat bersemayam-Nya pada tahap tarekat. Sedangkan Ka’bah di Mekah merupakan Rumah Tuhan di tahap syareat. Dengan meniti ke dalam diri, berarti kita kembali kepada Allah, seperti penutup ayat tersebut. Nah, upaya untuk memasuki wilayah hati (kalbu) dalam pemahaman tasawuf Jawa disebut sebagai “Sembah Kalbu”. Bila dalam langkah tobat dan wara’ ada sam-bungan syareat dan tarekat, maka langkah berikutnya, sabar, adalah tindakan hati. Makin memasuki wilayah tarekat. Bersucinya tidak lagi dengan material yang dapat dilihat dengan mata, seperti air dan harta-benda, tetapi mampu mengendalikan hasrat hati yang selalu menggoda kehidupan ini. Sabar. Lebih dari lima puluh kata ‘sabar’ dalam berbagai bentuknya terdapat di dalam Al Quran. Dan kata ini tidak bermakna tunggal seperti kata ‘sabar’ dalam bahasa Indonesia. Jika kita lihat kamus Indonesia, kata sabar berarti tidak pemarah, tahan menderita, menerima saja, dan tidak tergopoh-gopoh dalam bekerja. Hal ini lain dengan yang diungkap dalam Al Quran. Kalau kita cermati QS 6:34, sabar mempunyai arti ‘tetap berjuang meskipun datang berbagai cobaan dan ancaman’. Jadi, di dalam “sabar” terkandung daya tahan terhadap berbagai macam cobaan, ancaman dan gangguan. Dalam sabar, juga termuat sikap tidak mudah lupa diri, seperti lekas bangga bila terlepas dari kesulitan. Sedangkan dalam QS 37:102 disebutkan bahwa Ismail bersedia untuk disembelih ayahnya. Dia katakan kepada ayahandanya, Ibrahim: hai bapakku kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu dapati diriku termasuk orang-orang yang sabar. Dan salah satu fondamen Islam adalah saling berwasiat tentang hidup sabar. Jadi, kita tak perlu meringkas dan menyimpulkan kata sabar yang banyak di dalam Al Quran itu. Tetapi, yang jelas sabar merupakan tindakan hati. Dan, tindakan hati ini tidak terlihat oleh orang lain. Efek dari tidak sabar yang bisa dilihat oleh orang lain, seperti mudah emosional, gampang marah, mudah ketakutan, panik, tergesa-gesa, dan tak tahan menderita. Untuk bisa hidup sabar, kita harus senantisa introspeksi, awas, berhati-hati, cermat, tekun dan rajin. Dan, yang sangat penting bagi pijakan sabar adalah “hati yang tenang”. Mengapa hati yang tenang diperlukan untuk membangun kesabaran? Karena dengan hati yang tenang manusia bisa mengontrol perbuatan dan tindakannya. Dan, agar hati bisa menjadi tenang, kita harus berzikir [Jawa, semedi]. Kata semedi sendiri berasal dari kata Sanskerta “Samadhi” yaitu sam + Adhi yang terjemahannya dengan + Tuhan. Jadi, bersemedi artinya menyatukan diri dengan Tuhan. Tentu saja bukan persatuan fisik karena fisik alam semesta ini ada di dalam Tuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu [wa kana llahu bi kulli syai-in muh?tha, 4:126]. Dan pada ayat 41:54 disebutkan sebagai berikut. Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka [orang-orang kafir] berada dalam keraguan tentang pertemuan mereka dengan Tuhan. Ingatlah bahwa sesung-guhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Pertama, Tuhan meliputi segala sesuatu. Dia adalah Cahaya di atas cahaya, seperti dinyatakan dalam Surat An Nur/24:35. Cahaya-Nya menembus segala sesuatu dari sesuatu yang paling kecil hingga yang paling besar. Dengan kata lain, Tuhan meliputi alam semesta. Karena itu di pangkal ayat yang sama Allah dinyatakan sebagai Cahaya [yang meliputi] langit dan bumi. Jadi, secara fisik makhluk dan Tuhan tidak dapat dipisahkan. Karena Dia juga disebut tidak di dalam atau di luar sesuatu. Dia meliputi yang lahir dan yang batin [QS 57:3]. Lalu apanya yang dikatakan bersatu dalam zikir itu? Iradatnya! Orang yang berzikir mempersatukan iradatnya dengan iradat Tuhannya. Diinformasikan dalam QS 2:152, “Berzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku berzikir kepdamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku.” Kedua, bila kita menyimak beberapa ayat sebelumnya, yaitu ayat 49 ? 51, di situ disebutkan bahwa orang-orang kafir itu senantiasa terombang-ambing oleh kegalauan pikirannya. Akibatnya jiwanya rapuh terhadap berbagai tekanan dalam hidupnya. Dan, sumber utama kegalauan pikiran itu adalah “ragu-ragu tentang pertemuan dengan Tuhan”. Padahal, zikir adalah landasan bagi pertemuan dengan Tuhan. Ujung ayat tentang zikir tersebut berbunyi “bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku”. Artinya ciptakan nilai tambah dalam hidup ini karena Dia, bukan karena ego kita. Bila kita berbuat dan bekerja demi ego [mementingkan diri sendiri], kita akan mengalami distorsi dalam hidup ini. Karena itu ayat di atas ditutup dengan penguatan “jangan mengingkari Aku”. Seperti pada kesempatan lain, telah saya uraikan makna “zikir”. Namun, untuk mengingatkan kita semua saya sampaikan lagi pada kesempatan ini. Zikir berasal dari kata dza-ka-ra yang artinya mengingat atau menuangi. Jadi, orang yang berzikir berarti menuangi ke dalam jiwanya, pikirannya dan hatinya dengan sesuatu yang di-ingatnya. Berzikir kepada Allah berarti menuangi diri kita [lahir dan batin] dengan kata-kata yang baik tentang Allah, seperti menyebut nama-Nya, mengucapkan nama-nama baik-Nya, menyebut subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar, la ilaha illallah dan lain-lainnya. Dengan menyebut kata yang baik kita berusaha melakukan proses dekondisioning dengan cara menuangi kata “thayyibat”. Islam tidak mengajarkan pengosongan pikiran dengan metode konsentrasi atau berusaha melenyapkan segala keramaian pikiran. Tetapi, dengan cara mengisi pikiran dan hati dengan nama-Nya. Dalam perjalanannya sang pezikir akan semakin cerah. Bak gentong yang berisi air kotor, pezikir tidak menggulingkan gentong itu sehingga airnya tumpah dan gentong ditegakkan kembali. Cara demikian bisa memecahkan gentongnya jika gentongnya tidak kuat. Tetapi dengan cara menuangi dengan air yang bersih, lama-lama air yang kotor itu habis dengan sendirinya. Nah, itulah resp zikir! Dengan cara ini lama-lama hati menjadi tenang. Hati yang kerjanya berubah-ubah, bergerak kesana-kemari tak tentu tujuan ini, secara perlahan-lahan dimuati dengan nama-Nya. Pelan-pelan keberingasan hati menjadi reda dan akhirnya berhenti, dan muncullah ketenangan. Hal inilah yang ditegaskan dalam Surat Ar Ra’ad/13: 27 ? 29.
:27 Orang-orang kafir [yang meningkari kebenaran] berkata: “Mengapa Tuhannya tidak menurunkan mukjizat kepadanya?” Katakanlah: “ Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan dan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-Nya.” 28 Yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karena berzikir kepada Allah. Perhatikanlah, hanya dengan kepada Allah hati menjadi tentram. 29 Orang-orang yang beriman dan beramal saleh layak mendapatkan kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. Pada ayat 27 kata “man yasya-u” biasa diatributkan kepada Tuhan sehingga artinya, “Tuhan menyesatkan kepada siapa yang Dia kehendaki”.
Namun, terjemahan yang saya gunakan adalah “Tuhan menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan”. Karena ujung ayat itu menegaskan : Tuhan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-Nya. Inilah sifat ‘Ar Rahim’ dari Tuhan. Siapa yang kembali kepada-Nya itu? Yaitu, orang-orang yang beriman [selalu awas, eling dan waspada] dan beramal saleh [melakukan tindakan yang berguna, baik bagi orang lain, lingkungan dan dirinya sendiri]. Jadi, kata kembali kepada Tuhan jangan ditunggu setelah mati. Kita sadari kehadiran kiamat, dan segera kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Untuk bisa beriman dan beramal saleh, salah satu langkah yang harus ditempuh adalah “hidup sabar”. Itulah sebabnya di beberapa ayat disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Sabar yang dimaksud di sini adalah maqam, stasiun, atau tingkatan pencapaian spiritual. Bukan sabar dalam pengertian “sifat sabar” seperti ‘sabar, dong!’ atau yang sabar ya Pak.., Bu..., dan lain-lain. Budaya antri, tidak saling menyerobot, menghargai hak orang lain, rela berjuang bersama dalam membangun bangsa, saling mengerti, hidup gotong royong adalah bukti tercapainya maqam kesabaran. Nah, untuk mencapai maqam kesabaran ini mari terus kita lakukan zikir lahir yang diterangkan di bagian yang lalu.