Di bawah ini ada dua ayat yang bersambungan, yaitu yang tertera dalam Surat Ath Thalaq/65: 2-3.3) Sebenarnya jika ayat ini dibaca dari awal kalimatnya, maka kita mengetahui bahwa dalam kehidupan bersama, bila terjadi perselisihan, mereka yang posisi tawarnya lebih kuat harus memberikan jalan keluar yang lebih baik. Inilah watak orang yang bertakwa, yang maqamnya pada tingkat tawakal.
Jelas bahwa orang yang bertawakal itu orang yang tidak mau menang sendiri. Meskipun dia berada di atas angin, dia dalam kedudukan yang
lebih kuat, dia tidak mau mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Justru dia menawarkan jalan keluar yang lebih baik bagi sekutunya atau pihak-pihak yang berkaitan dengannya tetapi posisi-nya lebih lemah. Dia yakin bahwa kebaikan yang diberikan itu tak akan merugikan dirinya. Bahkan dia akan mendapatkan anugerah dengan cara memberi. Bukan menda-patkan keuntungan dengan cara meminta, melainkan dengan cara membari! Orang-orang yang bertawakal yakin, haqqul yakin, bahwa alam ini bekerja dengan jujur. Yang dalam bahasa tauhid dinyatakan “Allah melaksanakan urusan-Nya”. Kalau dia menanam benih yang baik dan merawatnya, niscaya akan memanen hasilnya yang berlimpah. Karena itu dia tak pernah ragu dengan kebaikan yang diberikannya. Tuhan pasti memenuhinya. Mungkin saja tidak dalam bentuk materi, tetapi dalam bentuk ke-kayaan batin. Atau, dalam bentuk kekayaan lahir dan batin. Orang bertawakal tak pernah berdagang dengan Tuhan. Dia tak pernah hitung-hitungan untung rugi dengan Tuhan. Apa yang diamalkan tak terkait dengan angan-angan surga. Ia berjalan bukan untuk menemui sosok Tuhan. Justru ia yakin bahwa dalam perjalanan hidupnya ia senantiasa disertai Tuhan. Bukankah insan kamil adalah manusia yang mampu meneladani budi pekerti Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Hadis? Bukankah hati orang yang bertawakal itu bait Allah, rumah Tuhan? Karena itu, barangsiapa yang bertawakal kepada Tuhan, niscaya Dia mencukupinya! Tawakal adalah landasan pokok dalam kehidupan para nabi. Karena itu seorang nabi siap menempuh hidupnya, meskipun seorang diri. Seorang nabi membangun umat dengan dimulai dari dirinya sendiri. Ia tidak menampilkan diri dengan mengikuti status quo, sistem yang ada. Ia justru bangkit dan membangkitkan sistem yang baru. Tentu saja tidak baru sama sekali. Tetapi memperbarui, merenovasi sistem yang ada. Nabi, yang berasal dari kata “naba”, berita, adalah orang yang menerima berita. Ia menerima berita dari dunia ketuhanan. Pada saat dia mengemban amanat yang diterimanya itu dan menyampaikannya kepada masyarakat sekelilingnya, dia disebut rasul. Setiap umat ada rasulnya.4) Dan, setiap rasul hadir di tengah-tengah umat untuk menyeru kehidupan yang hanya berorientasi kepada Tuhan Yang Maha Esa.5) Hidup yang menjauhi “thaghut”, segala jenis tindakan yang melampaui batas. Masih ingatkan, bahwa semua yang tercipta di dunia ini, termasuk diri kita, ada batas-batasnya, ada mizannya, ada ketetapan-ketetapannya, ada kadarnya. Untuk mempertahankan hidup didunia ini, manusia perlu makan. Ternyata pada sejumlah tertentu makanan yang masuk perut, akan terasa kenyang. Timbulnya rasa kenyang menandakan apa yang dimakan itu telah menyentuh batasnya. Kalau perut terus diisi, padahal rasa kenyang sudah timbul, maka perut akan terasa sakit. Jika diteruskan, rusaklah perut itu. Dalam kehidupan sosial pun ada batas-batasnya. Jika dilanggar akan rusaklah tatanan sosialnya. Nah, rasul diutus sebenarnya untuk mengingatkan kembali batas-batas itu. Agar tatanan sosial tidak rusak! Keberanian yang ditempuh oleh seorang rasul dalam memperingatkan masyarakat, adalah keberanian yang timbul dari maqam tawakal. Karena dengan tawakal itu sese-orang telah percaya penuh dan pasrah secara total kepada-Nya. Ya, kata tawakal, atau tawakkul, berasal dari kata “wa-ka-la”, yang artinya mewakilkan. Orang bertawakal sebenarnya adalah orang yang mewakilkan dirinya kepada Tuhan. Ingat kita sudah ada di maqam tawakal! Mewakilkan diri kepada Tuhan tidak berarti kita pasif total. Kita bukan jabbariyah [lihat bag. ke-22]. Tawakal itu bagaikan burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya dengan tembolok kosong, dan kembali pada sore hari ke sarangnya dengan tembolok penuh. Nah, yang perlu dicermati adalah keberanian untuk meninggalkan sarang dan keyakinan bahwa dengan cara itu kita akan dapat mempertahankan hidup. Dalam bahasa Siti Jenar, kita makan dan minum ini bukan untuk mempertahankan hidup. Tak ada gunanya kerja keras untuk mempertahan-kan hidup, karena hidup manusia di bumi ini tak bisa dipertahankan. Dengan makanan kita seperti sekarang ini manusia tak akan dapat mempertahankan hidup. Manusia pasti mengalami kematian. Menurut Siti Jenar, berbuat bajik di dunia, bertawakal, adalah untuk melakukan deposit sehingga kita bisa menemukan jalan hidup yang sejati. Karena itu, orang yang beratawakal adalah orang yang sudah naik tangga puncak dan akhirnya menyerahkan diri secara total kepada Tuhannya. Ia yang hidup dan terperangkap raga yang dapat mati ini, ternyata tidak mampu menemukan kunci kekekalan hidup. Ia harus pasrah total seperti seorang bayi. Seorang bayi yang memiliki kharisma, sehingga orang yang melahirkan dan yang ada di sekelilingnya jatuh cinta untuk merawatnya. Wah, ternyata tawakal itu gampang diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Memang, karena tasawuf itu bukan teori. Tasawuf adalah cara hidup. Ada tangga-tangga kehi-dupan yang harus dipraktikkan. Begitu kita berada di tahap ridha, rasanya goyah jiwa kita. Kita mulai mempertanyakan diri ini, bagaimana kita bisa rela dalam menjalani hidup ini. Bagaimana kita bisa ikhlas dalam berkehidupan ini? Lha wong orang lain saja sering pamrih dalam berhubungan dengan kita, apa ya bisa kita hidup tanpa pamrih kepada orang lain? Begitulah pertanyaan yang mencuat di dalam hati. Lebih-lebih pada tahap tawakal. Bukan saja ikhlas menjalani hidup, tetapi harus pasrah, harus percaya bahwa Tuhan mengurus diri kita. Secara teoritis memang sulit kita membayangkan kehidupan tawakal. Tetapi, dalam praktik kita telah menyaksikan. Kita menyaksikan binatang di sekitar kita yang mencari karunia Tuhan. Kita mendengar para nabi dan rasul berjuang dari dirinya sendiri. Bukan membangun jaringan lebih dulu seperti orang-orang yang membangun partai untuk merebut kekuasaan. Tetapi, diemban lebih dulu amanatnya. Diingatkannya masyarakat agar menempuh hidup yang benar. Diajaknya keluarga, saudara, dan teman-temannya untuk komit menegakkan kebenaran dalam hidup ini. Bukan untuk keuntungan dirinya, tetapi untuk kesejahteraan bersama. Dengan cara demikian umat terbentuk. Seperti telah diterangkan di depan. Kebenaran tidak ada artinya, jika hanya di-tegakkan seorang diri. Tak ada implikasi sosialnya. Karena itu kebenaran harus dipikul bersama-sama agar terwujud kehidupan sosial yang harmonis. Agar masyarakat tidak bodoh, maka harus didirikan sekolahan-sekolahan. Biayanya harus dipikul bersama. Nah, negara sebenarnya adalah alat untuk mengorganisasikan kehidupan bersama. Pajak atau zakat dipungut untuk kesejahteraan bersama. Bukan untuk menjalankan kekuasaan. Karena kekuasaan yang sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Setiap manusia adalah khalifah-Nya, wakil-Nya untuk mengurus bumi ini. Lalu, orang-orang yang merasa mengemban perwakilan-Nya ini harus bertawakal kepada-Nya, pasrah total kepada-Nya. Tak ada manipulasi di antara sesamanya. Yang kuat bersedia memberikan atau berbagi keuntungan kepada yang lemah. Bagaikan musik, yang bunyinya keras tidak mendominasi semua bunyi. Sehingga akhirnya timbul alunan bunyi yang selaras dan seimbang. Dunia pun terwujud karena keseimbangan, bukan karena dominasi oleh sesuatu pihak. Negara maju pun menyadari hal ini. Karena itu, mereka membangun perusahaan dengan sistem kerjasama karyawan, majikan, dan manajemen dengan baik. Yang di tingkat manajemen sejahtera, yang di tingkat buruh dan staf sejahtera, pemilik pun hidup sejahtera. Tak ada pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan [stakeholders] dirugikan. Semua mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang dibangunnya. Itulah sebenarnya konsep tawakal! Jadi, intinya dalam kehidupan tawakal, semua pihak saling percaya, dan secara total mempercayakan eksistensinya. Manusia yang bertawakal percaya dan pasrah secara total kepada Tuhan. Dia pun percaya sepenuhnya kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Karena itu, Dia menjamin bahwa manusia yang benar-benar tawakal akan mendapat rezeki dari arah yang tak terduga. Demikianlah akhir dari pelajaran tawakal. Yang sekaligus mengakhiri pelajaran tasawuf kita. Tetapi tidak untuk mengakhiri upaya menaiki tangga-tangga tasawuf. Manusia harus terus mencari jalan-Nya selama hayat di kandung badan. Hingga akhirnya bisa ditemukan ‘subul’, jalan-jalan Tuhan yang digelar di alam raya ini. Bukan hanya untuk pencerahan dirinya, tetapi turut serta mencerahkan orang lain. Seorang sufi bukanlah orang yang mencari teman untuk membangun golongan atau mendirikan sistem kepercayaan bersama. Seorang sufi sejati adalah orang yang sungguh-sungguh mencari air minum sejati, ma-ul hayyat, air kehidupan, tirta prawitasari.6) Setelah menemukannya dan meminum-nya, maka ia pun memberikan air minum itu kepada orang lain. Sehingga orang lain pun bisa hidup, turut tercerahkan. Itulah sebabnya, dalam beribadah dan memohon pertolongan kepada Tuhan, dinyatakan dalam bentuk kebersamaam: “Iyya ka na ‘budu wa iyya ka nasta-‘in”, hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan dalam hidup ini. Sekian, wa billahit taufiq wal hidayah. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.