Buku pedoman kuliah


VII. MUAMMALAH (Tatap Muka XIV)



Yüklə 0,68 Mb.
səhifə10/11
tarix03.01.2019
ölçüsü0,68 Mb.
#89055
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11

VII. MUAMMALAH (Tatap Muka XIV)

Selain masalah ibadah yang mengatur bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, syariat Islam juga mengajarkan dan mangatur bagaimana hubungan antara manusia dengan sesama manusia yang termasuk di dalamnya mengenai hubungan manusia dengan alam semesta atau alam sekitarnya yang dikenal dengan istilah muammalah.

Pentingnya masalah ini telah ditegaskan di dalam Al-Qur’an S. Al-Imran (3) : 112

Mereka akan ditimpa kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah, dan tali (perjanjian dengan manusia.”


Pentingnya masalah hubungan manusia ini juga dinyatakan dalam Hadits Nabi:
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang lain yang mengandung makna yang senada, bahkan kalau kita renungkan lebih jauh sebagaimana banyak dinyatakan dalam kajian dan penelitian bahwa manusia itu menjadi manusia karena hidup bersama manusia.

Masalah muammalah merupakan masalah yang memiliki wilayah/ bidang yang amat luas, sehingga sumber Islam yang utama (Al-Qur’an dan Hadits) tidak mungkin mengajarkan secara terperinci dan ditel sampai yang sekecil-kecilnya tetapi Al-Qur’an cenderung menyampaikan secara garis besarnya saja dan manusia dengan akalnya akan mampu memecahkan sendiri persoalan hidupnya bersama manusia lainnya maupun persoalan yang berhubungan dengan dunianya. Rasulullah menyatakan :


Kamu semua lebih tahu dalam urusan duniamu.”
Sekalipun apa yang disampaikan oleh sumber ajaran Islam hanya garis besar dan pokok-pokoknya saja, namun semua itu telah cukup sebagai pedoman untuk memecahkan masalah terebut, dan berdasarkan pengkajian dan alisis yang rasional semua persoalan hidup manusia dapat dikembalikan pada sumber ajaran Islam maupun syariah Islam. Berdasarkan pandangan semacam itu maka jelaslah bahwa ra’yu (pengetahuan/ pikiran) manusia mempunyai peranan yang lebih besar dalam masalah muammalah dibanding dengan peranannya dalam masalah aqidah dan ibadah.

Secara garis besar masalah muammalah berkaitan dengan masalah hubungan perdata dan publik. Masalah hubungan perdata adalah hubungan individu dengan individu dan hubungan individu dengan benda, sedangkan hubungan publik adalah hubungan individu dengan masyarakat (umum) atau negara.

Dalam hukum Barat terdapat pemisahan yang tegas antara kedua masalah tersebut, sedangkan dalam hukum Islam hubungan perdata dengan publik tidak dapat dipisahkan meskipun dapat dibedakan. Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi-segi publik, dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdata.

Dalam hukum Islam masalah muammalah yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja, yakni : (1) munakahat, (2) wirasah, (3) muammalah dalam arti khusus, (4) jinaat atau ukubah, (5) al-ahkam al-sultaniyah (khilafah), (6) siyar, (7) mukhasamat.

Jika hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat, seperti juga di Indonesia menurut Mohammad Daud Ali sebagai berikut :
“Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya, (2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian warisan, (3) muammalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan dan sebagainya. Adapun hukum publik (Islam) adalam (4) Jinayah yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari had yang berarti batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancamannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir berarti ajaran atau pengajaran). (5) Al-Ahkam Al-Sultaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan baik pusat atau daerah, tentara, pajak, dan sebagainya, (6) Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain, (7) Mukhasamat, mengatur soal-soal peradaban, kehakiman dan hukum acara.”
Jika dibandingkan dengan hukum Barat maka butir (1) sama dengan hukum perkawinan, butir (2) sama dengan hukum kewarisan, butir (3) sama dengan hukum benda dan hukum perjanjian, perdata khusus, butir (4) sama dengan hukum pidana, butir (5) dengan hukum ketata negaraan, butir (6) dengan hukum internasional, dan butir (7) dengan hukum acara.

Oleh karena luasnya persoalan muammalah tersebut maka hanya beberapa hal penting yang akan dibahas dalam bab ini :




  1. Perkawinan dalam Islam

Masalah perkawinan mendapat perhatian yang besar dalam ajaran Islam. Banyak ketentuan-ketentuan berkaitan dengan masalah perkawinan baik menyangkut arti dan makna perkawinan, tujuan, syarat-rukun, yang boleh dan yang tidak boleh dnikahi, hukum-hukum perkawinan, talak dan rujuk dan sebagainya.

  1. Arti dan makna perkawinan

Perkawinan adalah suatu lembaga hukum yang mengatur dan mengesahkan hidup bersama antara pria dan wanita yang di ikat dengan akad nikah dan ijab qabul.

Perkawinan dalam Al-Qur’an disebut dengan kata nikah dan musaq (perjanjian). Kata nikah berarti ithifaq (kesepakatan) dan mukhallathat (percampuran). Jadi perkawinan adalah suatu perjanjian atau kesepakatan antara seorang pria (laki-laki) dengan seorang perempuan untuk bercampur atau bergaul sebaik-baiknya dengan status suami-istri.

Perkawinan dalam Islam sebagai perjanjian mempunyai segi-segi perdata dan berlaku beberapa azas diantaranya: “Azas kesukarelaan (suka sama suka). Azas persetujuan, azas kebebasan memilih pasangan, azas kemitraan suami-istri, dan azas untuk selama-lamanya, serta azas monogamik terbuka.


  1. Tujuan Perkawinan

Setiap muslim yang hendak menikah dan juga semua laki-laki dan perempuan yang sudah menikah perlu dan harus memahami maksud dan tujuan perkawinan/ pernikahan. Diantaranya disebutkan dalam Q.S An-Rum (30) : 21

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menjadikan untuk kamu dari diri-diri kamu sendiri jodoh-jodohnya supaya kamu dapat tenang dengan jodoh itu dan Dia telah menadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang.”


Selain untuk ketenangan jiwa, perkawinan juga dimaksudkan untuk menjaga atau memelihara diri (dari perzinaan). Untuk menyalurkan cinta kasih, untuk melanjutkan keturunan, dan untuk luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu.

Tujuan perkawinan tersebut tidak untuk sementara (waktu tertentu) tetapi untuk selama-lamanya. Oleh karena itu kawin mut’ah yang pada zaman awal Islam sampai perang pembebasan makhah oleh Rasulullah diperbolehkan, kemudian dilarang untuk dilaksanakan seperti sabda Nabi :


Sesungguhnya Allah telah melarang (mengharamkannya) sampai hari kiyamat” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadits tersebut kebanyakan para sahabat berpendapat bahwa haramnya kawin mut’ah itu berlaku selama-lamanyam, tidak ada sedikitpun ruhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan, tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain, ia berpendapat boleh ketika terpaksa, kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri bahwa banyak orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali.

Dalam hukum perkawinan Islam dijelaskan bahwa sebelum pelaksanaan perkawinan terlebih dahulu dilakukan peminangan atau khitbah, yaitu seorang lelaki meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. Anjuran ini dimaksudkan agar calon suami istri saling mengenal terlebih dahulu dan dapat menjadi dasar penilaian yang jelas sebelum melangsungkan pernikahan.

Peminangan tersebut dapat dilakukan secara langsung, tetapi dapat juga melalui perantara yang dapat dipercaya terhadap wanita yang masih gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya. Peminangan dalam Islam juga dilarang untuk wanita janda dalam pinangan orang lain, sampai dibatalkan atau ditolak peminangan tersebut oleh wanita yang dipinang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya permusuhan dan dapat terbinanya hubungan yang baik dan saling menghargai satu sama lain.


  1. Hukum Perkawinan

Berdasar kajian Al-Qur’an dan Hadits Nabi, ulama berbeda pendapat tentang hukum perkawinan. Menurut jumhur ulama nikah itu sunnah dan bisa menjadi wajib atau haram, sedangkan menurut ahli hadist, termasuk Ibnu Hazan nikah itu wajib. Perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan dalam mengartikan perintah ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi serta kemaslahatan dan situasi kondisi yang berbeda.

Perkawinan itu termasuk masalah muammalah, sedang kaidah dasar muammalah adalah ibahah atau boleh selama tidak ada larangan. Oleh karena itu hukum perkawinan itu dilihat dari kategori kaidah hukum Islam adalah :



  1. Jiwa atau ibahah, artinya boleh, akan tetapi bisa berubah atau atau beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram tergantung pada illatnya atau sebab dan situasi kondisi yang ada.

  2. Nikah itu sunnah kalau sudah ada kesiapan mental dan kemampuan memberi nafkah.

  3. Nikah itu wajib, kalau seseorang sudah sudah memenuhi syarat rukun serta untuk menghindari perzinaan (menjaga diri dari zina)

  4. Nikah itu makruh, jika dilakukan oleh orang yang belum siap jasmani rohani dan belum mampu memberi nafkah.

  5. Haram menikah bagi yang tidak memenuhi syarat rukun serta melanggar larangan nikah, begitu juga kalau di niatkan untuk menyakiti salah satu pihak serta tidak mampu memberi nafkah, tetapi menurut Al-Qurtubi kalau laki-laki sudah berterus terang belum mampu memberi nafkah dan si wanita (istri) bisa menerima keadaan itu maka tidaklah haram.

  1. Syarat rukun perkawinan

Suatu perkawinan syah dilaksanakan apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun syarat perkawinan adalah :

  1. Adanya persetujuan kedua belah pihak

  2. Adanya mahar (mas kawin)

  3. Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan

Larangan-larangan perkawinan tersebut antara lain :



  1. Larangan karena perbedaan agama

  • Laki-laki muslim dilarang mengawini wanita musyrik, dan wanita muslimah dilarang kawin dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman.

  • Wanita muslimah dilarang menikah dengan laki-laki non muslim (termasuk juga dengan laki-laki ahli kitab). Sedangkan laki-laki muslim boleh mengawini wanita ahli kitab, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa pemerintahan Islam bisa melarang berdasar pertimbangan tertentu.

  1. Larangan perkawinan karena hubungan darah.

Larangan ini terperinci dalam Q.S An-Nisa (4) : 23. Yang intinya diharamkan menikah dengan orang yang masih muhrim.

  1. Larangan karena adanya hubungan perkawinan.

Hak ini juga diperinci dalam Q.S. An-Nisa’ (4) : 23.

  1. Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan (Q.S. An-Nisa (4): 23

  2. Larangan bagi wanita bersuami lebih dari satu (paliandri), yang berarti bahwa laki-laki dilarang mengawini wanita yang sudah bersuami. Hal ini berdasar Q.S. An-Nisa (4): 24.

Adapun rukun perkawinan (nikah) menurut hukum Islam, adalah (1) calon suami, (2) calon istri, (3) wali, (4) saksi, dan (5) ijab-qabul.

Dalam upacara ijab-qabul, biasanya calon suami dan calon istri ada (hadir) dalam ijab-qabul, tetapi calon suami mungkin karena sesuatu hal dapat diwakili orang lain dalam menerima ijab-qabul.

Adapun wali dalam rukun nikah adalah wali nasab yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita, menurut peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1952 Jo. No. 4 tahun 1959 tentang wali, dalam keadaan luar biasa (darurat) wali nasab dapat diganti dengan wali hakim, termasuk juga apabila terjadi perselisihan antara calon pengantin wanita dengan wali nasab sehingga wali nasab tidak bersedia menjadi wali maka dapat diganti dengan wali hakim.

Suatu negara bisa saja (dimungkinkan) untuk membuat aturan perundang-undangan mengenai perkawinan. Seperti di Indonesia pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam kompelasi hukum Islam pasal 6 juga dijelaskan” setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Ditegaskan lebih lanjut pada pasal 7 ayat 1 :


Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Perkawinan tanpa akta nikah adalah perkawinan yang tidak syah dan karena itu tidak dilindungi hukum di Indonesia.”
Berdasar ketentuan tersebut maka kawin siri (kawin dibawah tangan) walaupun sah menurut hukum fikih, tidak diakui oleh negara.

  1. Putusnya Perkawinan (Talak).

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena (a) kematian (cerai mati, dan (b) perceraian hidup.

Cerai mati adalah perceraian yang terjadi karena salah seorang suami/istri meninggal dunia sedangkan perceraian hidup adalah perceraian yang terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Perceraian menurut Islam dimungkinkan terjadi, tetapi Islam tidak menghendaki terjadinya perceraian kecuali terpaksa (dalam keadaan darurat). Rasulullah menyatakan:
Sesungguhnya perbuatan yang boleh tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam hadits yang lain rasulullah bersabda: “Ada tiga perkara kalau dibuat sungguh-sungguh, kalau dibuat main-main tetap menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. Malik dan Syafi’i) Hadits tersebut sebagai peringatan agar umat Islam berhati-hati dalam hal nikah, talak dan rujuk.

Perceraian bisa terjadi atas (a) inisiatif suami, disebut (1) talak, yaitu hak suami untuk menceraikan istri dengan kata-kata tertentu. (2) khuluk, yaitu talak tebus dimana istri memberikan suatu benda atau uang kepada suami supaya dia dapat menceraikan. (3) Ta’lik-talak, yakni talak yang digantungkan pada terjadinya sesuatu yang disebutkan pada ikrar talak setelah ijab qobul dilangsungkan.

Bagi istri, jika terjadi perceraian ada masa idah (masa menunggu). Masa idah wanita karena cerai mati adalah empat bulan sepuluh hari (QS. Al Baqarah: (2): 234.

Idah bagi wanita yang haid tiga kali suci (minimal 90 hari). Bagi yang tidak haid idahnya tiga bulan (90 hari), dan bagi wanita yang hamil idahnya sampai melahirkan.

Tujuan ketentuan idah tersebut adalah untuk menentukan kepastian nasab seandainya si istri tu mengandung. Hal ini juga berakibat pada masalah pembagian warisan.


  1. Kewarisan Islam

Masalah keluarga mendapat perhatian besar dalam Islam, karena keluarga adalah kesatuan terkecil masyarakat yang anggota-anggotanya terikat secara batiniah karena pertalian darah dan pertalian perkawinan. Jika masing-masing keluarga itu baik insyaallah masyarakatnya pun menjadi baik.

Dalam masalah keluarga, selain masalah perkawinan, yang juga mendapat perhatian besar adalah masalah kewarisan, yaitu masalah/hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak atas harta seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Masalah kewarisan tidak hanya menyangkut siapa saja yang termasuk ahli waris dan bagaimana cara pembagian warisan, tetapi juga menyangkut azaz dan sumber hokum Islam, masalah wasiat dan sebaginya.

Adapun beberapa azaz hukum kewarisan adalah:



  1. Azaz ijbiri, yaitu peralihan harta dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang berlaku secara otomatis menurut kehendak/ketentuan Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal tidak harus merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal, sebab sudah otomatis beralih kepada ahli waris.

  2. Azaz bilateral, artinya seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak kerabat dari keturunan laki-laki dan dari pihak keturunan perempuan. QS. An Nisa (4): 7,11,12 dan 176.

  3. Azaz individual, bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing.

  4. Azaz keadilan dan berimbang, bahwa pembagian warisan harus senantiasa berasas keadilan dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.

  5. Azaz kewarisan, hanya terjadi setelah seseorang pewaris meninggal dunia. Jadi pewarisan hanya sebagai akibat adanya kematian. Oleh karena itu segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup atau yang akan dilaksanakan setelah ia meninggal tidak termasuk kategori kewarisan.

Hukum kewarisan Islam pada prinsipnya merubah secara bertahap hukum kewarisan arab sebelum Islam, antara lain:

  • hubungan darah yang dahulu hanya berlaku bagi laki-laki yang sanggup mengendarai kuda, berperang dan merebut rampasan perang. Setelah Islam, secara menyeluruh, wanita dan anak kecil juga sebagai pewaris.

  • Anak angkat yang dahulu berhak menjadi pewaris, setelah Islam tidak diakui lagi, dan bisa mendapat bagian berdasarkan wasiat. Maksimal 1/3 bagian.

  • Hubungan berdasarkan sumpah dan janji saling mewaris, setelah Islam dihapus dan dapat bagian bukan sebagai pewaris tetapi melalui wasiat (maksimal 1/3 bagian).

Dalam Islam sudah diperinci siapa saja yang termasuk ahli waris dan bagaimana cara pembagiannya, begitu juga kadar bagian masing-masing ahli waris. Hal ini telah dikaji dan dipelajari dalam ilmu faraid/mawaris. Oleh karena situasi kondisi yang berbeda, susunan ahli waris yang berbeda-beda pada setiap kasus, maka hal ini tidak akan dibahsa pada buku ini, yang perlu diperhatikan bahwa pembagian warisan baru dilaksanakan setelah dibayar semua hutang pewaris dan setelah dipenuhinya wasiat (maksimal 1/3 bagian).
C. Perdagangan (tijaroh) dalam Islam

Dalam kehidupan ini manusia dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhinya agar tetap hidup dan dapat melanjutkan perjalanan hidupnya.

Kebutuhan tersebut ada yang bersifat primer, sekunder, dan ada yang bersifat tertier. Selain itu ada kebutuhan pribadi, kebutuhan keluarga, dan ada kebutuhan social.

Semua kebutuhan itu menuntut untuk dapat dipenuhi oleh setiap orang, oleh karena itulah manusia dituntut untuk bekerja dan berusaha baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan orang lain, guna mendapatkan sarana dan prasarana hidup yang ia butuhkan.

Islam melalui Al-Qur’an dan Hadits Nabi memberikan perhatian yang sangat besar terhadap persoalan ini dan mendorong kepada manusia agar suka berusaha untuk mendapat rizki dan karunia Allah yang disediakan untuk hambanya.

Dalam usaha mencukupi kebutuhan yang bermacam-macam, sedangkan kemampuan setiap orang berbeda-beda, dan situasi kondisinyapun sering kali berbeda-beda pula, maka dalam urusan muamalah seperti itu Islam (Al-Qur’an dan Hadits Nabi) tidak mengajarkan secara terperinci dan detel, melainkan hanya garis besarnya saja, bahkan Nabi bersabda:


Dan kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.”

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa manusia dapat memikirkan dan memecahkan sendiri dengan akal pikiran serta potensi lain yang telah diberikan Allah kepadanya, guna mengatasi persoalan hidupnya dengan menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai rambu-rambu dan pangkal tolak yang harus dipahami dan dijabarkan lebih lanjut.

Jika umat Islam mampu memahami dan menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi mengenai masalah tersebut, akan menghasilkan ilmu ekonomi Islam maupun system perekonomian Islam.

Penghargaan Islam terhadap orang yang suka bekerja atau usaha tercermin di dalam Q.S. Al-Isra’ (17): 29



Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu dikudukmu dan jangan pula engkau lepaskan selepas-lepasnya, agar kamu tidak tercela dan menyesal”


Himbauan senada juga terlihat di dalam Hadits Nabi:
Sungguh seseorang membawa tali kemudian ia membawa seikat kayu bakar di punggungnya lantas dijualnya, maka dengan itu Allah menjaga dirinya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka yang dimintanya memberi atau menolaknya” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam Hadits yang lain Rasulullah bersabda:
Tidak makan seseorang satu makanan sedikitpun lebih baik, melainkan dia makan atas usahanya sendiri, dan Nabi Daud makan dari hasil pekerjaannya sendiri” (H.R. Bukhari).
Dalam kajian masalah pekerjaan dan usaha untuk mendapatkan hak milik dalam Islam mendasarkan pada prinsip bahwa harta milik itu pada hakekatnya adalah millik Allah. Hal ini terlihat dalam Q.S. Al-Maidah (6): 17.



Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumu dan apa yang ada antara keduanya. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


Berdasarkan tersebut maka jelaslah bahwa dalam Islam hak milik perseorangan (pribadi) hanya bersifat nisbi dan tidak mutlak, bahkan dalam batas tertentu menjadi milik sosial dan secara makro adalah milik Allah.

Prinsip ini bertentangan dengan paham kapitalis yang memberikan kebebasan individu dimana hak milik pribadi bersifat mutlak. Begitu juga menolak paham marxis yang menghilangkan hak milik perseorangan (pribadi) dan menjadikan dan hanya mengakui hak milik bersama.

Dalam ekonomi Islam juga berlaku prinsip bahwa “tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain, begitu juga tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan membatasi kegiatan ekonomi di kalangan mereka sendiri.

Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa dalam setiap pekerjaan dan usaha untuk mendapatkan uang atau penghasilan tidak boleh dilakukan sekehendak hatinya dengan menghalalkan segala macam cara, tetapi harus ada pemisah antara pekerjaan dan usaha yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Dilihat dari kacamata Islam boleh tidaknya suatu pekerjaan atau usaha tidak hanya tergantung pada jenis dan bentuknya saja, tetapi juga cara dan praktek pelaksanaannya. Di bawah ini akan dibahas secara garis besar beberapa jenis dan bentuk usaha/pekerjaan dilihat dari sudut pandang Islam:


  1. Perdagangan (tijarah) dan jual beli (buyu’).

Lapangan ini sudah biasa dilakukan masyarakatArab seblum Islam. Nabi bersama-sama kaum muhajirin juga banyak melakukan perdagangan sebagai mata pencaharian. Islam sendiri sangat memperhatikan dan memberikan penghargaan terhadap pekerjaan dan usaha dagangn.

Rasulullah menyatakan:

Pedagang yang dapat dipercaya dan beramanat akan bersama para Nabi, orang-orang yang dapat dipercaya (shiddiqin), dan ortang-orang yang mati syahid.”

Secara umum usaha dan kerja dalam perdagangan dan jual beli yang dilarang oleh Islam dikarenakan mengandung unsure penipuan, pemaksaan, merugikan salah satu pihak, dan mengandung unsure kemaksiatan. Oleh karena itu harus dilakukan atas dasar kerelaan atau suka sama suka dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Prinsip ini ditegaskan dalam Q.S. An-Nisa (4): 29-30.




Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”


Berdasarkan jiwa syariat Islam masih banyak hal lain yang dilarang dan dilaknatbdalam perdagangan atau perniagaan seperti menimbun, mempermainkan harga, memonopoli, mengurangi timbangan dan sebagainya.

Dalam urusan jual beli Allah menegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 275.



Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”


Arti riba yang popular dalam masyarakat kita adalah bunga uang, yakni suatu perbuatan dalam pinjam meminjam dengan pembayaran kembali yang lebih dari pinjaman pokok. Pegertian ini perlu ditinjau kembali karena istilah riba dalam kaitannya dengan soal pinjam meminjam atau bunga pinjaman justru tidak banyak dalam ayat Al-Qur’an, oleh karena itu ada sebagian ulama yang ingin mendefinisikan kembali pengertian riba, dengan menyetakan bahwa: “Riba ialah segala perbuatan yang dilakukan dalam transaksi ekonomi yang bersifat curang dan kotor”. (Islam untuk Disiplin Ekonomi, Depag RI, 2002:24).

Yang termasuk riba dalam pengertian tersebut antara lain: kolusi, penyalah gunaan jabatan, monopoli, olegopoli, menaikkan harga berlebihan (lebih 1/3 pembelian), penipuan dalam jual beli dan sebagainya.

Beberapa larangan dalam perdagangan dan jual beli yang belun dikemukakan pada pembahasan di atas dan disebutkan dalam Al-Qur’an maupun Hadits antara lain:


    1. Dilarang banyak sumpah, seperti Sabda Nabi:

Sumpah itu menguntungkan perdagangan tetapi dapat menghapuskan barakah” (H.R. Bukhari).

    1. Dilarang mengurangi takaran atau timbangan, seperti tersebut dalam Q.S. Al-Isra’ (17): 35.

Penuhilah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan jujur dan lurus, yang demikian itu lebih baik dan sebaik-baik kesudahan.”


Ayat yang senada juga tersebut dalam Q.S. Al.Muthaffifin ( ): 1-6, begitu juga dalam Q.S. Asy-Syuara’ ( ): 181-182.

    1. Dilarang membeli barang rampasan (curian). Rasulullah pernah bersabda:

Barang siapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui behwa barang tersebut curian maka dia bersekutu dan dosa dan cacat.”

  1. Bertani / bercocok tanam.

Seperti halnya terhadap perdagangan dan jual beli, Islam juga sangat memperhatikan usaha dibidang pertanian / bercocok tanam.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menandaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia dan akan ditundukkan buat manusia. Seperti Q.S. Al-Jatsiah (45): 13



Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) darai pada-Nya. Sesungguhnya pada yang dmikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”


Dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 164 lebih jelas lagi:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia. Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dihidupkan bumi sesudah mati, dan pengisaran angin dan awan yang dikenalkan antara langit dan bumi, sungguhterdpat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengetahui.”


Dengan dasar ayat tersebut maka jelaslah bahwa langit dan bumi sebagai karunia Ilahi kepada manusia. Oleh karena itu manusia harus berusaha menjaga dan memelihara, serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Cara memanfaatkan tanah tersebut menurut Yusuf Qordhowi ada tiga cara pemanfaatan tanah, yaitu:

Cara pertama: Diurus sendiri, yaitu diolah, ditanami sendiri, dipelihara sampai keluar hasilnya.

Cara kedua: Dipinjamkan tanah itu kepada orang lain yang mampu mengurus atau mengolah, menanami, memeliharanya dengan bantuan alat dan binatang untuk membajak sedang ia ia tidak mengambil hasilnya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:


Barang siapa memiliki tanah maka tanamilah atau berikan kepada kawannya” (H.R. Bukhari-Muslim).
Dalam riwayat lain dikatakan:
Barang siapa memiliki tanah, maka tanamilah sendiri atau suruhlah saudaranya untuk menanaminya kalau tidak tinggalkanlah.” (H.R. Ahmad dan Muslim).
Cara ketiga, ialah cara muzara’ah, yaitu pemilik tanah menyediakan alat, benih, dan hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah ditentukan misalnya ½, 1/3, atau kurang atau lebih menurut perjanjian bersama. Cara ini juga disebut musaqaat atau mukhabarah.

Rasulullah melarang muzara’at atau menyewakan tanah dengan menetapkan hasil dari bagian tanah tertentu atau menentukan ukuran tertentu dari luas misalnya satu kwintal atau satu ton dan sebagainya. Hal ini disebabkan mengandung unsure bias merugikan pihak lain (riba), atauspekulasi. Hal ini juga berlaku dalam segala bentuk muamalah.



  1. Kerjasama dalam pekerjaan dan usaha (syirkah).

Islam tidak menghalangikerjasama kapital/modal dan pengetahuan atau antara uang dan pekerjaan,tetapi kerjasama itu harus dilandasi dengan perencanaan yang baik yang disebut syirkah mudharabah (kongsi) atau qiradh (pemberian modal kepada orang lain). Dalam halini kedua belah pihak harus bersekutu dalam keuntungan dan kerugian dan disertai dengan persetujuan antara keduanya.

Jika kerugian menghabiskan keuntungan maka diambilkan dari modal. Tujuannya agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Islam juga membolehkan syirkah dalam suatu perusahaan atau perdagangan dan sebagainya, karena diantara suatu proyek ada yang membutuhkan banyak modal, banyak pikiran (keahlian), dan banyak tenaga. Adapun landasannya Firman Alah:





Dan tolong menolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong atas dosa dan kejahatan.” (Q.S. Al-Maidah (3): 2)


Rasulullah juga bersabda:
Tangan Allah bersama dua orang yang bersyarikat, selama salah satu pihak tidak berkhianat kepada yang lain. Apabila salah satu pihak ada yang mengkhianati kawannya, maka tangan-Nya itu akan ditarik dari keduanya.” (H.R. Tirmidzi).


  1. Asuransi

Salah satu bentuk (jenis) syirkah ada yang disebut asuransi, ada yang disebut asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asurasi kecelakaan, asuransi kebakaran dan sebagainya.

Boleh tidaknya suatu asuransi menurut Islam harus ditinjau bagaiman jiwa asuransi itu sendiri,jika setiap anggota asuransi itu menjadi anggota penuh dari syirkah dan bersekutu dalam untung dan rugi maka hal ini bias diperbolehkan, tetapi kebanyakan asuransi yang ada sekarang ini cenderung rusak dan tidak berlandaskan keadilan, dan tidak sesuai dengan jiwa syariat Islam.

Sebagian ulama membolehkan asuransi asalkan disesuaikan dengan syariay atau ketentuan Islam, antara lain tidak ada salah sati pihak yang dirugikan dan tidak mengandung unsure riba.

Salah satu bentuk syirkah adalah syirkah dalam memelihara binatang. Menurut ustadz Yusuf Al-Qordhofi ada dua bentuk syirkah ini. Pertama, Syirkah sematamata untuk tujuan dagang. Misalnya syirkah dalam memelihara anak lembu agar gemuk, atau memelihara lembu / sapi untuk menghasilkan susu.

Yang harus dipenuhinya dalam hal ini, pihak pertama harus membayar harga lembu, sedang pihak kedua memeliharanya. Adapun pembiayaan untuk pemeliharaan dari kedua belah pihak atau setelah dijua dipisahkan nafkahnya dari penjualan.

Kedua, Syirkah antara pihak pertama yang membayar harga binatang, sedang pihak kedua yang memelihara dan memberi nafkah dengan imbalan dia dapat memanfaatkan air susunya atu menggunakan untuk membajakdan sebagainya. Cara ini tidak apa-apa.

Karena dalam prakteknya terdapat berbagai macam keadaan dalam syirkah ini, maka yang terpenting dari syirkah ini harus dilandasi oleh perjanjian yang jelas dan diusahakan agar tidak saling merugikan serta diusahakan dihiangkan adanya hal-hal yang tidak jelas atau samar.


  1. Usaha perbankan.

Bank adalah lembaga keuangan yang menyediakan jasa-jasa dalam bidang keuangan. Sekarang ini bank berfungsi untuk menerima deposito, menerima tabungan, memberikan pinjaman, menyetorkan uang, dan menjual jasa-jasa perbankan lainnya. Misalnya jual beli surat berharga, transaksi devisa, penukaran mata uang dan sebagainya. Karena fungsi bank yang demikian itu, maka bank tidak bisa dipisahkan dari dunia usaha atau perekonomian suatu negara.

Bank dalam praktek oprasionalnya memiliki berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi agar dapat beroperasi dengan baik. Pada umumnya dana untuk memenuhi kebutuhan trsebut berasal dari pemberian kredit yang berupa bunga, kemudian provisi, lalu selisihj kurs dan sebagainya.

Pada masa Rasulullahmasih hidup praktek perbankan semacam itu belum pernah ada, oleh karena itu untuk meninjau masalah perbankan dari sudut pandang Islam, para ulama cenderung mendasarkan pada hasil ijtihad, yaitu usaha menemukan suatu hokum dengan jalan memikirkan suatu permasalahan dengan berdasarkan kaidah Al-Qur’an dan Hadits atau syariat.

Meninjau suatu masalah berdasarkan pada ijtihad biasanya menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama Islam. Oleh karena itu ada sebagian ulama yang menolak atau memandang haram terhadap praktek perbankan karena mengandung unsure riba dan spekulasi (untung-untungan). Disamping itu ada ulama yang membolehkan atau menghalalkan karena eksistensi bank sangat dibutuhkan dalam setiap negara dan pembangunan ekonomi. Haya persoalannya bagaimana cara menghindari praktek riba dan untung-untungan (spekulasi) yang tidak sesuai dengan kaidah syariat Islam.

Sejak awal tahun 1970-an kalangan cendekiawan Muslim, baik yang berdiam di dalam negeri Islam maupun yang berdian di luar negeri Islam seperti di Eropa dan Amerika, sendiri-sendiri atau bersama-sama berusaha menggali nilai-nilai keislaman yang selama ini tertutup oleh nilai-nilai lain.

Sehubungan dengan masalah perbankan yang dihadapi oleh umat Islam, maka didirikanlah bank Islam yang cara kerjanya disesuaikan dengan syariat Islam dengan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta ijtihad, dengan maksud untuk menghindarkan bunga atau unsur riba.

Bank Islam tersebut menyediakan pelayanan perbankan berupa (a) giro wadiah, (b) Tabungan Mudharabah, (c) Deposito investasi mudharabah, (d) Tabungan haji, (e) Tabungan qurban. Demikian juga bank Islam melayani pendanaan berupa: (a) Pembayaran mudharabah, (b) Pembiayaan murabahah, (c) Pembiayaan bai’ bithamamil ajil, (d) Pembiayaan qordul hasan, (e) Pembiayaan musyarakah (partner ship), dan (f) Jasa perbankan lainnya.

Usaha perbankan Islam telah banyak dicobakan di nagara-negara Islam maupun di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hasilnya cukup menggembirakan dan mampu bersaing dengan lembaga perbankan lainnya.

Berbagai macam lembaga usaha seperti perbankan, asuransi dan sebagainya sangat mungkin untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan syariat Islam. Semuanya tergantung para ekonom Islam dalam usaha meningkatkan perekonomian Islam yang ebih baik di masa depan. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan inayah kepada kita semua.

Bab VIII. AKHLAQ DAN ETIKA (Tatap Muka XV)
1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


    • Memahami dan menumbuhkan akhlaq mulia, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama makhluk.


2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    • Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Akhlaq dan etika.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan dan perbedaan antara akhlaq dan etika.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan sumber nilai dan norma akhlaq dalam Islam.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan macam-macam akhlaq.

    • Mahasiswa dapat mewujudkan akhlaq mulia dalam menjalin hubungan dengan Allah, sesama manusia dan lingkungan hidup sesuai dengan nilai dan norma Islam.



VIII. AKHLAQ DAN ETIKA (Tatap Muka XV)
Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya tergantung atas "committed" tidaknya bangsa itu terhadap nilai-nilai akhlaq. Jika ia "committed" terhadap akhlaq maka bangsa itu akan sukses, dan sebaliknya jika ia mengabaikan akhlaq maka bangsa itu pun akan hancur. Itulah sebabnya missi utama Rasulullah adalah perbaikan akhlaq, penyempurnaan budi pekerti yang mulia (al-akhlaq al-karimah). Dan Rasulullah sendiri adalah prototipe manusia yang berakhlaq sempurna. Allah mengabadikannya dalam Q.S. Al-Qalam (68): 4 :



"Sesungguhnya engkau Muhammad adalah wujud akhlaq yang agung yang ada dalam diri manusia."
Berdasar atas ayat itu, para sufi menyebut Nabi Muhammad sebagai Al-Insan Al-Kamil, prototype manusia sempurna sejak Adam hingga manusia akhir zaman.

Kita sebagai umat Rasulullah wajib menjadikan beliau sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) dalam segala segi kehidupan sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab (33): 21 :



Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.”


Menjadikan Rasul sebagai uswah hasanah dalam segala aspek kehidupannya itulah yang dimaksud ber-Islam secara kaffah (total).

Berbicara akhlaq berarti berbicara tentang konsep al-husn dan al-kubh. Menurut Mu'tazilah al-husn adalah sesuatu yang menurut akal bemilai baik dan "al-kubh" adalah sesuatu yang menurut akal bernilai buruk. Bagi Mu'tazilah baik dan buruk itu ukurannya adalah akal manusia. Berbeda dengan mu'tazilah, Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa yang dapat menentukan baik dan buruk bukan akal tetapi wahyu, oleh karenanya ahl al-Sunnah berpendapat bahwa al-husn adalah sesuatu yang menurut al-Quran dan al-Sunnah adalah baik dan al-qubh adalah sesuatu yang menurut al-Quran dan al-Sunnah adalah buruk.

Secara substansial etika, moral dan akhlaq memang sama, yakni ajaran tentang kebaikan dan keburukan, menyangkut perikehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam dalam arti luas. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah ukuran kebaikan dan keburukan itu sendiri.

Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk dan yang menjadi ukuran baik dan buruknya adalah akal karena memang etika adalah bagian dari filsafat.

Sedangkan akhlaq yang secara kebahasaan berarti budi pekerti, perangai atau disebut juga sikap hidup adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan buruk yang ukurannya adalah wahyu Tuhan.

Secara terminologis akhlaq adalah ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan yang buruk, terpuji atau tercela, menyangkut perkataan dan perbuatan manusia lahir batin.

Secara rinci kajian akhlaq itu meliputi:


  1. pengertian baik dan buruk

  2. menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia lainnya

  3. menjelaskan tujuan yang seharusnya dicapai oleh manusia dengan perbuatan-perbuatannya,

  4. menerangkan jalan yang harus dilalui untuk berbuat.

Menurut Ibnu Miskawaih akhlaq adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran terlebih dahulu.

Sejalan dengan apa yang diungkapkan Ibnu Miskawaih, Al-Gazali menyebutkan bahwa akhlaq adalah: Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan fikiran.

Dua definisi termaktub di atas menggambarkan bahwa akhlaq secara substansial adalah sifat hati (kondisi hati) - bisa baik bisa buruk - yang tercermin dalam prilaku. Jika sifat hatinya baik maka yang muncul adalah akhlaq yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan jika sifat hatinya busuk maka yang keluar dalam prilakunya adalah akhlaq yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Kemudian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan hati manusia kotor dan jelek, dan apa pula yang menyebabkan hati manusia bersih dan baik. Menurut Ibnu Arabi, hati manusia bisa jelek dan rusak juga bisa baik dan suci adalah faktor dirinya. Di dalam diri manusia ada tiga nafsu; 1) nafsu " syahwaniyyah" (nafsu ini ada pada manusia dan ada pada binatang yaitu nafsu yang cenderung kepada kelezatan misal makanan, minuman dan syahwat jasmaniyyah misal bersenang-senang dengan perempuan) . Kalau nafsu ini tak dikendalikan maka manusia tak ada bedanya dengan binatang, sikap hidupnya menjadi hedonisme. 2) nafsu "al-ghadabiyyah ", nafsu ini juga ada pada manusia dan ada pada binatang yaitu nafsu yang cenderung kepada marah, merusak, ambisi dan senang menguasai dan mengalahkan yang lain. Nafsu ini lebih kuat ketimbang nafsu "syahwaniyyah" dan lebih berbahaya bagi pemiliknya jika tak terkendalikan. la cenderung pemarah, sangat "hiqdu' (dengki), tergesa-gesa tidak tenang, cepat bertindak untuk menaklukkan musuhnya tanpa pertimbangan matang dan rasional. dan 3) al- nafsu al-nathiqah; yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang (hewan yang lainnya). Nafsu yang dengan nafsu ini manusia mampu berzikir, mengambil hikmah, memahami fenomena alam, dan dengan nafsu manusia menjadi agung, besar cita-citanya kagum terhadap dirinya sehingga bersyukur kepada Tuhannya. Nafsu ini menjadikan manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk dan dengan nafsu ini pula manusia dapat mengendalikan kedua nafsu yang tadi yakni "al-syahwaniyyah" dan "al-gadhahiyyah serta "Al-Nathiqah" ini akan berkembang positif bahkan dapat mengendalikan kedua nafsu yang lainnya yaitu dengan mempelajari ilmu akhlaq, hikmah dan menahan din dari keburukan dan "fakhisyah" mengatur kehidupan dan penghidupannya secara baik, menjaga harga diri dan "muru'ah". Suci dan tidaknya hati manusia tergantung nafsu mana yang paling dominan dalam hatinya, jika nafsu yang pertama dan yang kedua (syahwaniyyah dan gadhabiyyah) yang mendominasi dirinya maka yang muncul adalah akhlaq yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah), tetapi jika nafsu yang ketiga yaitu "al-nafs al-natihqah" yang paling mendominasi hatinya maka akhlaq "al-karimahlah" yang akan muncul dari dirinya.

Adapun moral adalah ajaran baik dan buruk yang ukurannya adalah tradisi yang berlaku di suatu masyarakat. Seseorang dianggap bermoral kalau sikap hidupnya sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tempat ia berada, dan sebaliknya seseorang dianggap tidak bermoral jika sikap hidupnya tidak sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat tersebut. Dan memang menurut ajaran Islam pada asalnya manusia adalah makhluk yang bermoral dan etis. Dalam arti mempunyai potensi untuk menjadi makhluk yang bermoral yang hidupnya penuh dengan nilai-nilai atau norma-norma.

Betapa penting kedudukan akhlaq dalam Islam, al-Quran bukan hanya memuat ayat-ayat yang secara spesifik berbicara masalah akhlaq, malah setiap ayat yang berbicara hukum sekalipun, dapat dipastikan bahwa ujung ayat tersebut selalu dikaitkan dengan akhlaq atau ajaran moral. Ayat-ayat yang pangkalnya menjelaskan ketentuan hukum, biasanya ujung ayat mengutarakan masalah akhlaq. Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 183 Allah berfirman :



"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa kepada kamu seperti halnya diwajibkan puasa kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi manusia bertakwa."
Bertakwa artinya menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Hadis-hadis Nabi juga mengaitkan puasa dengan perbuatan-perbuatan tidak baik (al-akhlaq al-mazhmumah). Salah satu hadist menyatakan:
Orang yang tidak meninggalkan kata-kata bohong dan senantiasa berdusta tidak ada faedahnya ia menahan diri dari makan dan minum.” (H.R. Tirmizi).
Jadi puasa yang tidak menjauhkan manusia dan ucapan dan perbuatan yang jelek maka tidak ada gunanya. Orang yang demikian tidak perlu menahan diri dari makan dan minum, karena puasanya tak berguna. Hadis lain menyatakan:
Puasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi puasa adalah menahan diri dari kata sia-sia dan kata-kata tak sopan; Jika kamu dicaci atau tidak dihargai katakanlah : "Aku berpuasa”.
Dengan demikian, berpuasa bukanlah menahan diri dari makan dan minum, tetapi menahan diri dari ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan kotor. Contoh lain, mengenai haji sebagaimana disebutkan dalam QS 2 (al-Baqarah): 197 :



"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Ayat di atas begitu jelas menerangkan bahwa sewaktu mengerjakan haji, orang tidak boleh mengeluarkan ucapan-ucapan tidak senonoh, tidak boleh berbuat hal-hal yang tidak baik dan tidak boleh bertengkar. Demikian juga ayat tentang salat, zakat, dan ayat-ayat mu'amalah lainnya, selalu dikaitkan dengan pesan-pesan perbaikan akhlaq dan moral.

Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan (Allah) dengan cara mensucikan hati (tashfiat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Tuhan malah dapat melihat Tuhan (al-Ma 'rifah). Dalam tasawuf disebutkan bahwa Tuhan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh hati yang suci. Menurut Zun Nun al-Misri, Ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan.



  1. Pengetahuan awam: Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.

  2. Pengetahuan ulama: Tuhan satu menurut logika akal.

  3. Pengetahuan kaum sufi: Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.

Pengetahuan yang disebut pertama dan kedua, menurut Harun Nasution, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya masih disebut ilmu. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan (ma'rifah). Telah dijelaskan bahwa akhlaq adalah gambaran hati (al-Qalb) yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan. Jika hatinya bersih dan suci maka yang akan keluar adalah perbuatan-perbuatan yang baik (akhlaq al-mahmudah) dan sebaliknyajika hatinya kotor dengan dosa-dosa dan sifat sifat yang buruk maka yang akan muncul dalam prilakunya adalah akhlaq yang buruk (akhlaq al-mazmumah).

Kalau ilmu akhlaq menjelaskan mana nilai yang baik dan mana yang buruk juga bagaimana mengubah akhlaq buruk agar menjadi baik secara zahiriah yakni dengan cara-cara yang nampak seperti keilmuan, keteladanan, pembiasaan, dan lain-lain maka ilmu tasawuf menerangkan bagaimana cara menyucikan hati (tashfiat al-qalb), agar setelah hatinya suci yang muncul dari prilakunya adalah akhlaq al-karimah. Perbaikan akhlaq, menurut ilmu tasawuf, harus berawal dari penyucian hati. Persoalan yang mengemuka kemudian adalah bagaimana cara mensucikan hati dalam tasawuf? Metode "tasfiat al-qalb dalam pendapat para sufi adalah dengan ijtinab al-manhiyyat (menjauhi larangan Tuhan), adaa al-wajibat (melaksanakan kewajiban-kewajiban Tuhan), adaa al-naufilat (melakukan hal-hal yang disunatkan), dan al-riyadhah. "Riyadhah" artinya latihan spritual sebagai yang diajarkan oleh Rasulullah, sebab yang mengotori hati manusia adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang diperbuat manusia akibat ia lengah dari bujukan nafsu dan godaan setan. Kemaksiatan dapat mengakibatkan hati manusia kotor, kelam dan berkarat sehingga hati tidak berfungsi malah dapat mati. Kata para sufi, keadaan hati itu ada tiga macam. Pertama hati yang mati yaitu hatinya orang kafir, kedua hati yang hidup yaitu hatinya orang beriman dan ketiga hati yang kadang-kadang hidup dan kadang mati itulah hatinya orang-orang fasik dan "munafiq". Yang hams diperjuangkan adalah bagaimana agar hati kita "istiqamah" dalam kehidupannya dan bagaimana cara memperoleh "istiqamah" dalam hati, hal ini pun bagian dari bahasan ilmutasawuf.

Berbicara tujuan ilmu akhlaq berarti berbicara tujuan Islam itu sendiri. Sebab pada dasamya akhlaq adalah aktualisasi ajaran Islam secara keseluruhan. Dalam kacamata akhlaq, tidaklah cukup iman seseorang hanya dalam bentuk pengakuan, apalagi kalau hanya dalam bentuk pengetahuan. Yang "kaffah" adalah iman, ilmu dan amal. Amal itulah yang dimaksud akhlaq. Tujuan yang hendak dicapai dengan ilmu akhlaq adalah kesejahteraan hidup manusia di dunia dan kebahagian hidup di akhirat.

Memperhatikan tujuan global di atas kita dapat menggambarkan ruang lingkup ajaran akhlaq: yaitu meliputi bagaimana akhlaq kita terhadap diri sendiri; "al-taubah" (kembali kepada Tuhan), "al-muraqabah" (kesadaran diri bahwa Tuhan mengintai kita), "al- muhasabah" (selalu introspeksi terhadap diri sendiri), dan "al-mujahadah'" (terus menerus mendekati Tuhan).

Akhlaq kita terhadap Allah; akhlaq terhadap kalam Allah (al-Kitab). akhlaq terhadap Rasulullah; akhlaq terhadap makhluk (sesama manusia) meliputi; akhlaq terhadap kedua orang tua, akhlaq (etika) terhadap anak, istri, etika terhadap kerabat, etika terhadap tetangga, etika terhadap sesama muslim, etika kepada orang kafir (non muslim), etika terhadap binatang dan terakhir etika terhadap alam dalam arti luas.

Manusia berakhlaq adalah manusia yang suci dan sehat hatinya sedang manusia tidak berakhlaq (a moral) adalah manusia yang kotor dan sakit hatinya. Namun seringkali manusia tidak sadar kalau hatinya sakit. Kalaupun dia sadar tentang kesakitan hatinya, ia tidak berusaha untuk mengobatinya. Padahal penyakit hati jauh lebih berbahaya ketimbang penyakit fisik. Seseorang yang sakit secara fisik jika penyakitnya tidak dapat diobati dan disembuhkan ujungnya hanya kematian. Kematian bukanlah akhir segala persoalan melainkan pintu yang semua orang akan memasukinya. Tetapi penyakit hati jika tidak disembuhkan maka akan berakhir dengan kecelakaan di alam keabadian.

Indikator manusia berakhlaq (husn al-khuluq), kata al-Gazali, adalah tertanamnya iman dalam hatinya. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlaq (su' al-khuluq) adalah manusia yang ada "nifaq" di dalam hatinya. "Nifaq" artinya sikap mendua terhadap Tuhan. Tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan. Iman bagaikan akar bagi sebuah tumbuhan. Sebuah pohon tidak akan tumbuh pada akar yang rusak dan keropos. Sebaliknya sebuah pohon akan baik tumbuhnya bahkan berbuah jika akamya baik. Amal akan bermakna jika berpangkal pada iman, tetapi amal tidak membawa makna apa-apa apabila tidak berpangkal pada iman. Demikian juga amal tidak bermakna apabila amal tersebut berpangkal pada kemunafikan. Hati orang beriman itu bersih, di dalamnya ada pelita yang bersinar dan hati orang kafir itu hitam dan malah terbalik. Taat akan perintah Allah, juga tidak mengikuti keinginan sahwat dapat mengkilaukan hati, sebaliknya melakukan dosa dan maksiat dapat menghitamkan hati. Barang siapa melakukan dosa, hitamlah hatinya dan barang siapa melakukan dosa tetapi menghapusnya dengan kebaikan, tidak akan gelaplah hatinya hanya cahaya itu berkurang. Bengan mengutip beberapa ayat dan hadis, selanjutnya al-Gazali mengemukakan tanda-tanda manusia beriman yang uraiannya sebagai berikut:


  1. Manusia beriman adalah manusia yang khusu' dalam salatnya

  2. Berpaling dari hal-hal yang tidak berguna (tidak ada faidahnya),

  3. Selalu kembali kepada Allah,

  4. Mengabdi hanya kepada Allah,

  5. Selalu memuji dan mengagungkan Allah,

  6. Bergetar hatinya jika nama Allah disebut-sebut,

  7. Berjalan di muka bumi dengan "tawadhu' dan tidak sombong,

  8. Bersikap 'arifmenghadapi orang-orang awam,

  9. Mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri,

  10. Menghomnati tamu,

  11. Menghargai dan menghonnati tetangga,

  12. Berbicara selalu baik, santun dan penuh makna,

  13. Tidak banyak bicara dan bersikap tenang dalam menghadapi segala persoalan,

  14. Tidak menyakiti orang lain baik dengan sikap maupun perbuatannya.

Sufi yang lain mengemukakan tanda-tanda manusia berakhlaq, antara lain sebagai berikut: Memiliki budaya malu dalam interaksi dengan sesamanya, tidak menyakiti orang lain, banyak kebaikannya, benar dan jujur dalam ucapannya, tidak banyak bicara tetapi banyak bekerja, penyabar, hatinya selalu bersama Allah, tenang, suka berterima kasih, ridha terhadap ketentuan Tuhan, bijaksana, hati-hati dalam bertindak, disenangi teman dan lawan, tidak pendendam, tidak suka mengadu domba, sedikit makan dan tidur, tidak pelit dan hasad, cinta karena Allah dan benci karena Allah.

Ketika Rasulullah ditanya tentang perbedaan mukmin dan munafik Rasul menjawab orang mukmin keseriusannya dalam salat, puasa dan ibadah sedangkan orang munafik kesungguhannya dalam makan dan minum layaknya binatang. Hatim al-'Asam seorang ulama tabi'in menambahkan bahwa indikator mukmin adalah manusia yang sibuk dengan berfikir dan hikmah, sementara munafik sibuk dengan obsesi dan panjang angan-angan, Orang mukmin putus harapan terhadap manusia kecuali kepada Allah, sebaliknya orang munafik banyak berharap kepada sesama manusia dan bukan kepada Allah, Mukmin merasa aman dari segala sesuatu kecuali dari Allah, munafik merasa takut oleh segala sesuatu kecuali oleh Allah. Mukmin berani mengorbankan hartanya demi agamanya sedangkan munafik berani mengorbankan agamanya demi hartanya, mukmin menangis dan berbuat baik, munafik berbuat jahat dan ketawa terbahak-bahak, mukmin senang berkhalwat (bersemedi), sedang munafik senang keramaian, mukmin menanam dan menjaga agar tidak terjadi kerusakan, munafik menuai dan mengharap keuntungan, mukmin memerintah dan melarang (amar ma'ruf nahi munkar) demi kebaikan sementara munafik memerintah dan melarang (amar ma'ruf nahi munkar) untuk kekuasaan maka kerusakanlah yang terjadi.

Kalau akhlaq difahami sebagai pandangan hidup maka manusia berakhlaq adalah manusia yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajibannya dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama makhluk dan alam dalam arti luas.

Perbaikan akhlaq merupakan bagian dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual telah gagal membawa manusia dalam pemungsian dirinya sebagai khalifah fi al-ard. Sejak awal seorang Sokrates telah mengingatkan bahwa tujuan pendidikan ialah kebaikan sifat dan budi, yaitu kasih sayang dan kerelaan. Tujuan nyata dari pendidikan ialah menyalurkan warisan sosial dari suku bangsa sejenis. Berbicara masalah yang sama lebihjauh Al-Gazali menyatakan, bahwa penyesuaian diri tidak sekedar dijalankan terhadap norma masyarakat, tetapi terhadap norma Tuhan. Al-Gazali selanjutnya mengutarakan bahwa tujuan pendidikan secara individual ialah membersihkan kalbu dari godaan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab), hingga iajemih bagaikan cermin yang dapat menerima cahaya Tuhan. Mendidik itu sama dengan pekerjaan peladang membuang duri dan mencabut rumput yang tumbuh di antara tanam-tanaman, agar segar dan subur tumbuhnya.

Di dalam hati yang bersih, iman tumbuh dan berkembang. la menebarkan cahaya ke seluruh anggota badan lahir batin. Kalau indikator manusia berakhlaq adalah manusia yang tertanam di dalam hatinya iman yang kokoh, maka tasawuf adalah upaya bagaimana kiat-kiat agar iman itu "istiqamah" dan tetap kokoh. Dalam sebuah hadis yang amat populer, Nabi berkata kepada para sahabat:


Perbaharuilah iman kamu sekalian, perkuatlah iman kamu sekalian. Para sahabat menjawab: Bagaimana cara kami memperbaharui iman, memperkuat iman ya Rasulallah? Rasul menjawab yaitu dengan banyak berzikir kepada Allah.”
Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana agar manusia dapat memiliki akhlaq al-karimah. Caranya yaitu dengan cara tasfiat al-qalb. Metode tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi adalah dawam al-Zikr (selalu ingat kepada Tuhan). Zikir adalah ruh amal salih. Jika sebuah amal salih lepas dari zikir maka laksana jasad tanpa ruh. Mengapa zikir menjadi pola tasfiat al-qalb yang disepakati oleh para sufi? Paling tidak ada tujuh alasan yang dimajukan mereka secara naqli.

  1. Perintah zikir dalam Al-Quran datang ada secara mutlak dalam arti tidak dikayidi dengan pernyataan-pernyataun yang lain dan ada yang perintahnya dikaitan dengan kayid-kayid yang lain.

  2. Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa dan lalai dari zikir.

  3. Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan banyak dan istiqamah dalam berzikir.

  4. Pujian Allah dialamatkan kepada ahli zikir dan Allah menjanjikan bagi mereka ampunan dan surga.

  5. Informasi Allah bahwa kerugian bagi orang yang bersikap sebaliknya yakni tidak berzikir.

  6. Allah menjadikan zikir hamba kepada-Nya sebagai sarat zikirnya Allah kepada mereka.

  7. Pernyataan Allah secara jelas bahwa zikir adalah perkara yang amat besar. Zikir adalah ketaatan yang paling utama dan yang dimaksud ketaatan adalah th'aat secara total yakni melakukan zikir yang zikir itu adalah rahasia ketlia'atan dan ruh ketha'atan. Ada yang mengartikan "Zikir lebih besar" artinya jika zikir dilakukan secara sempurna muka huncurlah segala kesalahan dan kema'siatan. Kebaikan akhlaq bisa jadi karena anugrah, mujahadah dan riyadhah.

Kecuali langkah spiritual yang hams dilakukan, juga langkah "zhahiriyyah" harus diupayakan. Menurut ilmu akhlaq kebiasaan yang balk harus disempurnakan dan kebiasaan yang buruk harus dihilangkan. Kebiasaan merupakan faktor yang amat penting dalam membentuk karakter manusia berakhlaq baik. Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga orang menjadi mudah mengerjakannya. Oleh karena itu hendaknya manusia memaksakan diri (mujahadah) untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi kebiasaan dan akhirnya terbentuklah akhlaq yang baik pada dirinya. Sejak awal Nabi menganjurkan agar anak dibiasakan melakukan kewajiban-kewajiban. Nabi bersabda:
Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat sewaktu mereka berumur tujuh tahun, dan ambillah tindakan tegas pada waktu mereka berumur sepuluh tahun, serta pisahkan mereka dari tempat tidurnya.” (H. R. Tirmizi).
Seseorang akan mudah mengerjakan suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaannya, meskipun pada awalnya perbuatan dirasakan berat. Islam menghendaki agar pemeluknya melatih diri melakukan kewajibannya secara "istiqamah", khususnya salat yang lima waktu, puasa pada bulan ramdhan, zakat haji dan lain-lain pada waktunya, sehingga semua itu menjadi kebiasaan yang mencetak orang bersangkutan berkarakter taat atas perintah Allah. Demikian pula kebiasaan berbuat baik terhadap sesama manusia (ibadah sosial) dan alam lingkungan dalam arti luas.

Dalam akhlaq, "keutamaan" tidaklah cukup dengan hanya mengetahuinya apakah "keutamaan itu", tetapi harus ditambahkan dengan melatihnya dan terus menerus mengerjakannya atau mencari jalan lain untuk menjadi orang-orang yang memiliki keutamaan dan kebaikan (ahl al-FadI wa alkhair). Secara singkat Al-Gazali menyebutkan bahwa untuk mencapai akhlaq yang baik, ada tiga cara, pertama, akhlaq yang merupakan anugrah dan kasih sayang Allah yakni orang memiliki akhlaq baik secara alamiah (bi al-thabi'ah wa al-fithrah), sebagai sesuatu yang diberikan Allah kepadanya sejak ia dilahirkan. Ke dua dengan "mujahadali' (menahan din) dan ke tiga dengan "riyadhah" melatih diri secara spiritual, dan bentuk "riyadhah" yang disepakati para sufi, sebagai telah dijelaskan antara lain ialah dengan "dawam al-zikr".

Upaya mengubah kebiasaan yang buruk, menurut Ahmad Amin sebagai yang dikutip Ishak Solih adalah dengan hal-hal sebagai berikut:


  1. Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya;

  2. Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu untuk mewujudkan niat atau tekad semula;

  3. Menghindarkan diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang;

  4. Berusaha untuk tetap berada dalam keadaan yang baik;

  5. Menghindarkan diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya dengan sekaligus;

  6. Menjaga dan memelihara baik-baik kekuatan penolak dalam jiwa, yaitu kekuatan penolak terhadap perbuatan yang buruk. Perbuatan baik dipelihara dengan istiqamah, ikhlas dan jiwa tenang;

  7. Memilih teman bergaul yang baik, sebab pengaruh kawan itu besar sekali terhadap pembentukan watak pribadi;

  8. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat.

Sementara Al-Gazali berpendapat bahwa upaya mengubah akhlaq yang buruk adalah dengan kesadaran seseorang akan akhlaqnya yang jelek pada dirinya. Ada empat cara untuk dapat membantu setiap orang dalam masalah ini. Pertama dengan menjadi murid seorang pembimbing spritual (syaikh). Langkah ke dua, dengan minta bantuan seorang teman yang tulus, taat dan punya pengertian. Teman ini diminta mengamati keadaan dan kondisi orang tersebut dengan teliti dan mengatakan kepadanya tentang kekurangan-kekurangan yang nyata dan tersembunyi pada dirinya. Langkah ke tiga, mengetahui kekurangan kita dari seorang yang tidak menyenangi kita. Orang yang tidak senang kepada kita lebih banyak melihat kekurangan yang ada pada din kita ketimbang kebaikannya. Langkah ke empat, ialah dengan bergaul bersama orang banyak dan memisalkan kekurangan yang dilihat pada orang lain bagaikan ada pada din kita. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keburukan jiwa dapat dipulihkan secara permanen jika substansinya dihancurkan. Ini hanya dapat dilaksanakan dengan menghilangkan penyebab keburukan itu. Oleh sebab itu ia sering mengatakan bahwa penyembuhan penyakit hati tergantung pada penghalang dan faktor penyebabnya. Carilah faktor penyebabnya kemudian sembuhkan dengan obat rohani yang tepat dan cocok. Selanjutnya ia mengatakan:

Ketahuilah bahwa keburukan jiwa adalah penyakitnya, dan pembersihan jiwa dari penyakit memakai suatu obat ...Bagi tiap penyakit jiwa ada obat yang sebanding dengan kecil besarnya penyakit iru. Pakailah obat untuk penyakit itu jika ia menimpa kamu, dengan memberikan penawar penyakit atau memotong pangkalnya.”

Akhlaq al-karimah adalah buah yang harus didapatkan. Tasawuf adalah upaya spiritual bagaimana, manusia dapat memperoleh buah itu. Riyadhah adalah salah satu cara yang di mata para sufi paling efektif untuk mendapatkan buah itu (akhalk al-karimah). Zikir disepakati oleh para sufi merupakan riyadoh yang paling besar pengaruhnya terhadap pensucian hati. Tetapi karena tasawuf itu adalah upaya peningkatan kualitas maka pelaksanaannya tentu saja terintegrasi dengan akidah dan syari'ah atau dengan istilah lain fikih. Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah "kezindikan" juga sebaliknya berfikih tanpa tasawuf adalah kehampaan spiritual yang didapatkan, memadukan antara fikih dan tasawuf adalah pencapaian hakikat kebenaran.

Tasawuf perlu dibedah secara naqli dan 'aqli, agar mahasiswa tahu bagaimana seharusnya ber-Islam secara kafah, secara ilmu dan amal. Islam kafah adalah secara ilmu Islam dipahami lahir batinnya, dan secara amal diaktualisasikan lahir dan batinnya. Kata Ibnu 'Arabi ilmu adalah imam bagi amal. Maka pengetahuan yang benar dan agak mendalam tentang tasawuf akan melahirkan mahasiswa yang memahami Islam dan berusaha secara sungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan ritual dan sosialnya. Yang menjadi persoalan bagaimana implementasi akhlaq dan tasawuf dalam pembelajarannya. Secara singkat dapat dikemukakan di sini; pertama dengan penjelasan yang komprehensif tentang kedudukan tasawuf dalam Islam.

Terlalu lama Islam yang kita ajarkan kepada anak didik adalah Islam fikih. Islam fikih cenderung menggiring mahasiswa bersikap formalistik dalam pengamalan agama. Islam fikih kering dari makna dan ruh ajaran. Padahal Nabi secara jelas menyatakan kalau al-Quran harus difahami zhahir dan batinnya. Zahir ayat melahirkan fikih, batin ayat melahirkan ajaran tasawuf. Tasawuf adalah bagian integral dari ajaran Islam, memisahkan tasawuf dari ajaran Islam sama artinya dengan menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri. Ayat-ayat al-Quran, sebagaimana telah dijelaskan bukan hanya mengangkat ayat tentang tasawuf malah ayat yang berbicara hukum sekalipun selalu dikaitkan dengan substansi ajaran tasawuf. Ke dua dengan memberikan contoh dan teladan. Memberikan contoh dalam pengamalan fikih dan tasawuf sekaligus memberikan teladan bagaimana sikap berakhlaq yang baik, dalam kehidupan sehari-hari. Dosen PAI harus menjadi teladan dan dapat dibanggakan oleh mahasiswanya dalam segala aspek kehidupannya. Jangan mahasiswa kehilangan panutan di kampus atau menjadikan nilai-nilai yang tidak berasaskan al-Quran dan al-Sunnah sebagai pedoman dalam hidupnya. Yang lain-lainnya dapat dilakukan oleh dosen PAI semisal, pembiasaan tentunya pembiasaan perilaku-perilaku yang baik menegakkan disiplin, memberi motivasi atau dorongan, memberikan hadiah terutama yang bersifat psikologis, menghukum, kalau perlu, dalam rangka pendisiplinan dan yang hams diupayakan oleh institusi dan lingkungan adalah penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif berakhlaq al-karimah.

Secara substansial akhlaq, etika dan moral adalah sama yaitu ajaran tentang baik dan buruk berkaitan dengan sikap hidup manusia. Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah sumber kebenarannya. Akhlaq bersumberkan al-Quran dan al-Sunnah, sementara etika bersumberkan akal karena ia bagian dari filsafat. Sedangkan moral bersumberkan adat istiadat (tradisi) yang berlaku di masyarakat. Etika lebih bersifat teoritis, moral bersikap praktis, etika bersifat umum, sedangkan moral lebih bersifat lokal dan khusus. Akhlaq bersifat universal dan komprehensif, mencakup aspek lahir dan bathin. Dari satu segi akhlaq adalah buah dan tasawuf (proses pendekatan diri kepada Tuhan), tapi dari sisi lain akhlaq pun merupakan usaha manusia secara "zahiriyyah” yaitu melalui ilmu dan amal, "mujahadah- dan "riyadhah". Implementasi akhlaq dan tasawuf, bahwa secara keilmuan tasawuf harus dibedah sehingga jelas substansi kajiannya dan sekaligus posisinya dalam ajaran Islam. Cara lain, keteladanan merupakan usaha yang sulit tetapi amat menentukan, memberi motivasi memberikan hadiah atau sebaliknya menghukum secara psikologis dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk tumbuhnya sikap akhlaq yang positif di kampus masing-masing.


Bab IX. ISLAM, ILMU PENGETAHUAN DAN SENI (Tatap Muka XVI)


1. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

    • Memahami kedudukan akal dan wahyu serta hubungan agama, ilmu, dan seni dalam pandangan Islam).


2. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

    • Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan kedudukan akal dan wahyu dalam perspektif Islam.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan bukti bahwa ajaran Islam dapat lebih mendorong manusia untuk berpikir dan memelihara akal.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan dan membedakan ruang lingkup agama, ilmu dan seni.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan dan perbedaan antara agama, ilmu dan seni serta hubungan di antaranya.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan beberapa kesalahpahaman terhadap Islam, yang berkaitan dengan masalah ilmu dan seni.

    • Mahasiswa dapat menjelaskan dan menganalisis tujuan ilmu dalam perspektif Islam.



IX. ISLAM, ILMU PENGETAHUAN DAN SENI (Tatap Muka XVI)
Islam sangat memperhatikan pentingnya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam kehidupan umat manusia. Martabat manusia disamping ditentukan oleh peribadahannya kepada Allah, juga ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Bahkan didalam al-Qur'an sendiri Allah menyatakan bahwa hanya orang yang berilmulah yang benar-benar takut kepada Allah.

Dialog antara Allah dengan malaikat ketika Allah mau menciptakan manusia, dan malaikat mengatakan bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, Allah membuktikan keunggulan manusia daripada malaikat dengan kemampuan manusia menguasai ilmu melalui kemampuan menyebutkan nama-nama. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam praktek mampu mengangkat harkat dan martabat manusia karena melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, manusia mampu melakukan eksplorasi kekayaan alam yang disediakan oleh- Allah. Karena itu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, nilai-nilai Islam tidak boleh diabaikan agar hasil yang diperoleh memberikan kemanfaatan sesuai dengan fitrah hidup manusia.




Yüklə 0,68 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin