Buku pedoman kuliah



Yüklə 0,68 Mb.
səhifə7/11
tarix03.01.2019
ölçüsü0,68 Mb.
#89055
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11

a. Argumen Ontologis

Diajukan pertama kali oleh Plato ( 428-348 S.1 ) dengan teori ideanya. Tiap – tiap yang ada di alam nyata ini menurut Plato mesti ada ideanya, yang dimaksudkan dengan idea ialah definisi atau konsep Universal dari tiap sesuatu. Idea inilah yang menjadi dasar wujud sesuatu itu idea-idea berada dalam alam tersendiri yaitu alam idea. Alam idea berada di luar alam nyata ini. Idea-idea itu kekal, dan benda – benda yang kita lihat di alam nyata yang selalu berubah – ubah ini bukanlah hakekat tetapi hanya bayangan. Idea –idea bukan bercerai-berai dengan tak ada hubungan satu sama lain, tetapi semuanya bersatu mengarah kepada idea tertinggi yang diberi nama idea kebaikan atau The Absolut God, yaitu yang mutlak baik, yang menjadi sumber tujuan dan sebab dari segala yang ada. Yang mutlak itu disebut juga Tuhan.



b. Argumen Cosmologis,

Argumen ini disebut juga argumen sebab musabab, argumen Cosmologis untuk pertama kali dimajukan oleh Aristoteles (384-322 SM), kalau bagi plato tiap yang ada dalam alam mempunyai idea, bagi Aristoteles tiap benda yang dapat ditangkap dengan panca indra mempunyai materi dan bentuk. Bentuk yang terdapat dalam benda – benda itu sendiri (bukan diluar benda, sebagai idea plato). Dan hendaklah yang membuat materi mempunyai bangunan atau rupa. Bentuk bukan merupakan bayangan sebagai idea plato, tetapi adalah hakekat dari sesuatu. Bentuk tak dapat berdiri sendiri terlepas dari materi. Materi dan bentuk selamanya bersatu, dan hanya dapat dipisahkan dalam akal.

Karena bentuk merupakan hakekat maka bentuk bersifat kekal dan tak berubah – ubah, sedangkan materi mempunyai potensi (Quwah) untuk menjadi benda yang dimaksud (bentuk) tertentu. Oleh karena itu materi disebut potensial sedangkan bentuk disebut aktualita. Antara bentuk dengan materi terdapat hubungan antara penggerak dengan yang digerakkan untuk menggerakkan potensialitas menjadi aktualitas

Bentuk dan materi adalah kekal, demikian pula hubungan antara keduanya, karena hubungan ini kekal maka gerakpun kekal. Sebab pertama dari gerak kekal ini mestilah sesuatu yang tak bergerak. Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Yang menggerakkan digerakkan pula oleh penggerak lain. Demikian seterusnya sehingga terjadi serentetan gerak dengan yang digerakkan. Rentetan ini tidak akan mempunyai kesudahan kalau didalamnya tidak terdapat suatu penggerak yang tak bergerak, dalam arti penggerak yang tak berubah mempunyai bentuk lain. Penggerak yang tak bergerak ini mesti dan wajib mempunyai wujud sifat bentuk tanpa materi, tidak berubah dan kekal inilah yang disebut Tuhan (Causa Prima).



c. Argumen teleologis.

Kata ”telos” berarti tujuan, teleologis berarti serba tujuan. Menurut argumen ini alam semesta dalam keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Bagian-bagian dari alam semesta ini mempunyai hubungan satu sama lain dan bekerja bersama-sama untuk tercapainya suatu tujuan tertentu.

Menurut argumen ini segala sesuatu dipandang sebagai suatu organisme atau suatu sistem yang terdiri dari bagian – bagian yang saling berhubungan. Apa yang menjadi tujuan alam semesta tidak lain adalah kebaikan dunia dalam keseluruhannya. Manusia sebagai makhluk tertinggi dengan akal pikirannya dapat memikirkan tujuan dan terwujudnya tujuan dan kebaikan bagi seluruh alam. Untuk itulah maka manusia harus mampu membedakan yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain memiliki moral yang tinggi.

Sejarah kemanusian menunjukkan bahwa bertambahnya usia kemanusiaan bertambah tinggi pula moral manusia. Pada masyarakat primitif yang berlaku hukum rimba, yang kuat yang menang dan hukuman dijalankan atas balas dendam. Pada 2 atau 3 ribu tahun yang lalu yang mempunyai hak dan dipandang sebagai warga negara hanya orang asli (pribumi), sedang orang asing dipandang bukan warga negara dan tidak mempunyai hak, ia adalah budak atau barbar. Pada Zaman Plato di Yunani, demokrasi hanya berlaku bagi orang Yunani.

Dalam kerajaan Romawi di mana negara bukan lagi berbentuk polis, tetapi negara dalam arti modern berubah sedikit. Orang yang tidak sebangsa tak dipandang sebagai orang asing lagi, tetapi budak masih mempunyai kedudukan rendah sekali. Setelah Islam datang perubahan terjadi, antara arab dan bukan arab tak ada perbedaan lagi. Hadist Nabi menyatakan
Arab tidak lebih mulia dari bukan arab kecuali karena ketaqwaannya”
Qur’an S. Al-hujurat (49) : 13 menyatakan

Hai manusia sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan dan aku jadikan kamu sekalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulianya kamu disisi Allah adalah yang paling mulia ketaqwaan kamu”.


Bahkan antara Islam dan yang bukan Islam tidak ada perbedaan prinsipil, hak-hak bukan Islam dilindungi dan budak pun diberi makan dan pakaian serupa dengan tuannya. Islam pun menyuruh/menganjurkan pembebasan budak (fakku rokobah) .

Pada zaman sekarang perbedaan dihapuskan, hak asasi manusia dijamin, keadilan sosial di tegakkan. Dari sini persaudaraan sesama manusia di seluruh dunia dikumandangkan.

Kembali ke pokok persoalan, kalau alam ini beredar dan berevolusi menuju suatu tujuan tertentu dan terjadi bukan hanya secara kebetulan. Alam sendiri tidak bisa menentukan. Tujuan tertentu yaitu tujuan universal untuk kebaikan seluruh alam maka mestilah ada dzat yang merencanakan dan mengatur serta menentukan tujuan tersebut. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Dengan kata lain menurut argumen teleologis, alam ini mempunyai tujuan dalam evolusinya. Alam sendiri tak bisa menentukan tujuan itu yang menentukannya haruslah suatu Dzat yang lebih tinggi dari alam sendiri, yaitu Tuhan.

d. Argumen Moral

Argumen Moral banyak dikaitkan dengan Tokoh Immanuel kant (1724 -1804). Menurut Immanuel Kant argumen Ontologis, Cosmologis, maupun Teleologis semuanya mempunyai kelemahan dan tidak bisa membawa keyakinan tentang adanya Tuhan. Menurut pendapatnya argumen morallah yang benar-benar dapat membawa kepada keyakinan.

Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik. Perbuatan-perbuatan tersebut tidak bergantung pada akibat-akibat yang timbul dari perbuatan itu. Dia berbuat baik semata-mata perintah yang datang dari dalam hati sanubarinya. Perintah berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk ini besifat absolut dan universal (categorical imperatif) dan tidak pula karena agama mengajarkan demikian, begitu juga tidak berasal dari pengalaman tapi dibawa sejak lahir.

Manusia menurut Kant selalu dihadapkan pada pilihan dan kebebasan manusia menuruti hati sanubari atau kemauan. Umpamanya perintah hati sanubari mengatakan ”jangan mencuri atau korupsi, tetapi kemauan mengatakan mencurilah atau korupsilah agar kau lekas kaya dan bersenang-senang. Keinginan hati sanubari selalu terdapat kontradiktif dengan keinginan kemauan, sungguhpun demikian manusia selalu merasa bahwa ia berkewajiban mendengarkan perintah hati-sanubari.

Dalam kehidupan di dunia perbuatan baik tidak selamanya mendapat balasan baik begitu pula perbuatan buruk tidak selamanya memperoleh balasan buruk. Oleh karena itu mestilah, ada kehidupan kedua setelah kehidupan di dunia yang akan memberikan balasan sesuai dengan perbuatannya.

Dari perasaan kedua timbul perasaan ketiga di mana balasan yang adil mestilah timbul dari suatu Dzat yang maha adil, dan Dzat yang maha adil itulah yang disebut dengan Tuhan. Tuhan lah yang melenyapkan jurang pemisah antara perintah hati sanubari dengan perintah kemauan atau jurang pemisah alam moral dengan alam material.

Menurut Kant logika tak dapat membawa keyakinan tantang adanya Tuhan. Oleh karena itu ia pergi kepada perasaan. Perasaan inilah yang membawa keyakinan sejelas-jelasnya tentang adanya Tuhan.

Apa yang dikemukakan oleh Kant tersebut sebenarnya sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Islam pada abad ke tujuh di mana Al-Quran telah mengajukan konsep Fitrah yang telah dimiliki oleh manusia sebagaimana tersebut dalam Q.S Ar-Rum (30):30.




Hadapkanlah wajahmu kepada agama yang benar, berteguh hatilah engkau mengikuti ajakan fitrah yang telah dijadikan Allah menjadi pembawaan watak terhadap semua yang telah dijadikan Allah. Tak seorang pun yang dapat menggantinya. Itulah (Islam) agama yang lurus, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahuinya.


  1. Sifat-sifat Allah

Allah SWT tidak memperkenalkan diri dengan Dzatnya, melainkan dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna yang dalam Al-Quran dan Hadits disebut dengan istilah Al-Asmaul Husna (nama – nama Allah yang Agung).

Semua sifat Allah yang terkandung dalam Al-Asmaul Husna tersebut tersebar dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran serta diperinci dalam hadits Nabi yang seluruhnya berjumlah sembilan puluh sembilan.

Di antara sifat – sifat Allah tersebut ada beberapa sifat yang berasal dari akar kata yang sama dengan makna yang sedikit berbeda, ada yang berasal dari kata – kata yang berbeda tetapi memiliki pengertian yang hampir sama, dan ada pula sifat – sifat yang seolah–olah saling bertentangan dan untuk memahaminya diperlukan pengkajian secara mendalam. Semua itu dimaksudkan untuk menunjukkan sifat kesempurnaan Tuhan dan sekaligus ke Esaan Nya. Agar tidak keliru dalam memahami sifat – sifat Allah tersebut akan menjadi lebih mudah kalau dikaitkan dengan konteks dari keseluruhan ayat Al-Qur’an.

Ada sebagian ulama yang membagi sifat – sifat Allah ke dalam sifat –sifat Dzakiyah dan Fikyah, ada yang membagi menjadi Salbiyah dan Tsubuliyah, dan ada pula yang mengelompokkan ke dalam sifat wajib dan sifat mustahil (sifat dua puluh).

Dalam memahami sifat – sifat Allah kaum teolog Islam ada yang cenderung memahami menurut bunyi lafatnya dan meyakini memang Allah memiliki sifat – sifat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, terutama diikuti kaum halus Sunnah Wal Jama’ah (Asy’ariyah). Ada pula yang mengartikan sifat – sifat tertentu berdasarkan apa yang tersirat, Dalam mereka berpaham bahwa apa yang disebut sifat tidaklah berdiri sendiri, tetapi melekat pada Dzat Tuhan. Pandangan semacam itu diikuti oleh kaum mu’tazilah.

Adapun sifat – sifat Allah yang terkandung dalam Al-Asmaul Husna antara lain menunjukkan :



          1. Sifat maha pengasih dan penyayang yang tercermin dalam sifat Ar-Rahman, Ar-Rahim, Ar-Rauf, Al-Wujud, Al-Majid, Al-Wahhab, Al-Baarru, Ar-Rozzak, Al-Halim, Al-mu’min, Al-Muhaimin, Al-Waakil, Al-Hafiidhu, Alwaliyyu, Asy-syakur, Al-Hadi, Ash-Shabuur, Al-Wariitsu, Al-Ghaffar, Al-Ghafuur, Al-Afuwu, Ath-Thauwabu.

          2. Sifat-sifat yang menunjukkan kemahabesaran dan keagungan Tuhan antara lain terungkap dengan sebutan : Al-Adhiimu, Al-Kabiiru, Al-Mutakbbiru, Al-Jaliilu, Dul-jalaali, Al-Maalik, Al-Malikul Mulka, Al-Aziz, Al-Jabbar, Al-Muqiit, Al-Qaadir, Al-Qawiyyu, Al-Matin, Al-Waali, Al-Qahhar.

          3. Sifat maha adil dan maha bijaksana terungkap dalam sifat – sifat : Al-Adlu, Al-Muqsith, Al-Hakaamu, Al-Hakiimu, Al-Muktadiru, Al-Fattah, Al-Musiinu, Al-Nashibu, Asy, Syahid, Al-Raqiibu, Al-Muttaqimu, Al-Baaits

          4. Sifat –sifat Dzatiyah terungkap dalam sifat-sifat Allah : Al-Kariimu, Al-Maajid, Dzul – ikram, Al-Khaliq, Al-mubdiu, Al-Badiiu, Al-Bariiu, Al-Mushawiru, Al-Aliimu, Al-Khabiru, As-Samii’u, AlBashiiru, al-jamiiu, Al-Ghaniyyu, Al-Mughni, Al-Wajid, As-Mutaa’ali, Al-Aliyyu, Al-Baaqi, Al-Qudus, Ar-Rasyiid, An-Nuur, Al-Latif, Al-Waasi’u, Al-muiidu,

          5. Sifat sifat Allah yang secara lahiriyah kelihatan berlainan sehingga untuk memahaminya diperlukan pengkajian yang mendalam dengan memper- timbangkan makna yang tersirat agar tidak bertentangan dengan sifat-sifat yang lain diantara sifat – sifat tersebut :

    • Al-Awwalu – Al-Akhiru

    • Ash-Dhaliru – Al-Batinu

    • Al-Muizzu – Al-Mudhillu

    • Al-Muqaddimu – Al-Muakhiru

    • Al-Muhyi – Al-Mumi’tu

    • An-Naafi’u – Al-Dhaarru

    • Ar-Raafi’u – Al-Khaafidhu

    • Al-Maani’u – Al-Mujiibu

    • Al-Baasith – Al-Qaabidh

Suatu contoh dalam Q.S, Al. Hadiid (57) : 3 Allah berfirman :

Dia Maha Awal dan Maha akhir, dan Dia Dhahir (nyata) atau maha Batin (tersembunyi): dan Dia maha mengetahui atas segala sesuatu”.


Menurut ustad Sayid Sabiq ayat tersebut harus dipahami bahwa ”Allah Maha Awal yang tidak ada permulaannya, dan Allah maha Akhir yang tidak ada akhirnya (kesudahannya). Pemahaman semacam ini sesuai dengan sifat Allah yang lain yaitu sifat Al-Baqi (kekal) atau dalam sifat dua puluh disebut Baqa’. Demikian juga dalam mengartikan bahwa Allah maha Dahir dan maha Baitin, haruslah dipahami bahwa Allah itu sangat jelas sejelas sinar matahari di siang hari, artinya wajib adanya (wajibul wujud). Adapun Allah maha Batin bahwa Allah itu tersembunyi (bersifat gaib) tidak tampak oleh panca indera. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S, Al-An’am (6) : 103

Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan dia maha halus lagi maha mengetahui ”.


4. Perbuatan Allah.

Yang dimaksud dengan perbuatan Allah adalah hal – hal yang meliputi ciptaan, pengembangan dan pemeliharaan yang dilakukan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya perbuatan Allah ini mempunyai sifat dan pertumbuhan proses yang sangat berbeda dengan perbuatan manusia serta makhluk lainnya.

Keunikan perbuatan Allah dalam menciptakan memelihara ciptaannya diikuti oleh proses penyempurnaan dan hukum tertentu yang sekaligus merupakan suatu sistem yang komprehensif. Selain itu setiap ciptaan Allah masing-masing diberikan petunjuk dan dititahkan sesuai dengan fitrahnya.

Semua ciptaan Allah terjadi atas kehendak Iradah-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi apa yang telah dikehendaki oleh Allah. Kita perhatikan beberapa ayat berkaitan dengan masalah penciptaan seperti tersebut dalam Q.S. Yasin (36) : 82.



Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya : ”jadilah”, maka terjadilah ia”.


Q.S. Al-A’la (87) : 2-3


Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaannya, dan menentukan kadar-kadar (masing – masing) dan memberi petunjuk ”.
Untuk memenuhi eksistensi ciptaanNya Allah telah melengkapi dengan hukum – hukum tertentu bagi makhluk Nya, dan tidak ada perubahan di dalam ketentuan Tuhan (Sunnatullah), dan salah satu hukum tersebut adalah hukum perubahan itu sendiri.selain itu dalam rangka memelihara ciptaan Nya Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang – pasangan seperti tersebut dalam Q.S. Al-Dzaariyaat (51) : 49

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang – pasangan supaya kami mengingat akan kebesaran Allah ”.


Begitu juga dalam Q.S. Yasin (36) : 36.

Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan – pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, dan dari mereka maupun dari apa yang kamu tidak mengetahuinya”.


Semua ciptaan Allah baik dan indah serta bermanfaat dan satu sama lain saling berhubungan dan dapat dipelajari dikehendaki oleh Allah agar tunduk patuh kepadanya, baik suka ataup terpaksa sebagai mana tertera dalam Q.S. Ali Imran (3) : 83

Maka apabila mereka mencari agama yang lain dari pada agama Allah, pada hal kepadanyalah menyerahkan diri segala apa yang dilangit dan di bumi, baik dengan suka hati maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.


Dalam Q.S. Al-Jaatsiyah (45) : 13 dinyatakan dengan tegas.

Dan Dia menundukkan untukmu semua apa yang di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dan pada Nya, sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir ”.


Istilah pencipta atau pembuat sering kali juga digunakan untuk manusia seperti pencipta seni, pencipta lagu dan sebagainya, namun kesamaan itu hanyalah sama dalam istilah belaka yang hakekatnya jauh berbeda antara ciptaan Tuhan dengan ciptaan manusia. Begitu juga istilah – istilah yang berkaitan dengan sifat – sifat dan nama – nama Tuhan.

Untuk memahami lebih jauh tentang perbuatan Tuhan kita dapat mengkaji lebih dalam tentang sifat – sifat Tuhan terutama yang berkaitan dengan sifat – sifat fi’liyah.


5. Ke Esaan Tuhan

Islam mengajarkan keesaan Allah dengan mutlak, artinya Allah Maha Esa tidak ada Tuhan selain Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang menyamai Allah baik dalam Dzat (Wujud) Allah, sifat –sifat maupun perbuatan Allah. Hal ini terungkap secara jelas dalam Q.S. Al-Ihklas (112) : 1-4


Katakanlah (Muhammad) dialah Allah yang Esa. Allah tempat kita bergantung, tidak berputra dan tidak pula diputrakan dan tidak seorang pun yang menyamainya.


Prinsip keesaan Tuhan yang murni dan mutlak yang juga diajarkan oleh para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad seperti tersebut dalam Q.S. Al-Anbiyaa’ (21) : 22

Sekiranya ada Tuhan selain Allah, niscaya rusaklah bumi dan langit ini”.


Berdasarkan ayat tersebut para ahli ilmu kalam mengajukan suatu logika yang mudah dicerna sebagai berikut : seandainya Allah lebih dari satu, apakah Tuhan yang satu bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan Tuhan yang lain ? kalau bisa apa gunanya Tuhan yang lain? jika Tuhan yang satu tidak bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan Tuhan yang lain maka Tuhan semacam itu tidak pantas disebut sebagai Tuhan.

Dalam Q.S. Al-mu’minun (23) : 91 juga disebutkan



Allah tidak mempunyai anak satupun, tidak ada satu Tuhanpun yang menyertai Dia. Bila ada Tuhan selain Allah, niscaya akan terjadi perselisihan, kemudian masing – masing akan membawa pergi apa yang diciptakannya, dan setengah mereka akan mengalahkan setengahnya yang lain.”


Seperti halnya pembuktian wujud Ilahi, penjelasan dan pembuktian tentang Keesaan Tuhan boleh saja dilakukan dengan berbagai cara selama penjelasan dan pembuktian disebut tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Al-Qur’an dan Hadist Nabi, tetapi jika hasilnya berbeda atau bertentangan bagaimanapun logisnya tidak dapat diterima oleh Islam.

Dalam kajian falsafah agama sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa konsep dan paham keTuhanan terdapat konsep dan paham yang berbeda – beda. Mulai dari konsep kekuatan gaib yang berada di dalam alam semesta yang belum mempunyai arti teisme atau deisme seperti dinamisme dan animisme yang kemudian berkembang menjadi politisme, Henoteisme sampai pada paham monoteisme.



    1. Dinamisme

Dinamisme memandang bahwa setiap benda bisa mempuyai kekuatan yang rahasianya tidak diketahui yaitu kekuatan batin yang misterius (gaib) yang tidak dapat dilihat tetapi efeknya dapat dirasakan. Menurut kepercayaan orang primitif kekuatan gaib yang disebut dengan ”Mana” (bahasa melayu) tidak mempunyai tempat yang tetap (dapat berpindah – pindah). Mana juga tidak mesti baik dan tidak mesti buruk. Terkadang Mana itu dapat dikontrol terkadang juga sulit dikontrol. Hanya orang yang telah mempelajarinya, seperti tukang sihir atau dukun yang dapat mengontrol sebagaimana melalui upacara dan membaca mantera – mantera tertentu.

Menurut paham dinamisme tukang sihir atau dukun tidak hanya dapat mengontrol Mana tetapi juga dapat mengambil atau mengumpulkan benda bertuah tersebut ke dalam apa yang disebut fetish, dan orang-orang primitif berusaha mengumpulkan fetish (benda bertuah) karena diyakini dapat menjaga keselamatan dan semakin berkurang Mana (dalam festish) yang dimiliki seseorang dapat berpengaruh buruk serta membahayakan kedudukan mereka.



    1. Animisme

Dalam paham dinamisme kita bisa membedakan antara materi dan hak, dan tidak jelas apakah mana itu selamanya berarti kekuatan gaib ataukah terkadang berarti Roh. Berbeda dengan paham dinamisme, menurut paham animisme semua benda baik yang bernyawa atau tidak bernyawa mempunyai Roh. Hanya saja Roh dalam paham ini masih tersusun dari materi yang jelas, roh juga makan, mempunyai bentuk dan mempunyai umur.

Bagi orang primitif paham tentang roh ini berbeda-beda tetapi yang jelas mereka percaya bahwa roh tidak hanya mempunyai kekuatan tetapi juga punya kehendak. Roh bisa senang dan bisa marah, oleh karena itu orang harus berusaha agar roh tidak marah dengan cara memberi korban melalui upacara-upacara tertentu disanalah manusia mulai mengenal ibadah (ritual) karena itu sebagian ahli memandang bahwa dinamisme lebih dahulu adanya dari animisme.



    1. Politeisme

Perubahan kepercayaan terhadap roh terutama roh nenek moyang. Menjadi dewa atau Tuhan hanyalah peralihan derajad kekuasaan. Dewa dipandang lebih berkuasa, lebih tinggi dan mulia dan pada roh. Demikian pula penyembahannya lebih umum dan lebih meluas dari pada penyembahan roh yang dilakukan oleh keluarga atau lingkungan terbatas.

Dalam politeisme dewa – dewa dipandang memiliki pekerjaan – pekerjaan (spesialisasi) tertentu, mempunyai sifat–sifat dan kepribadian tertentu. Yang dalam animisme bentuk dan sifat roh masih samar – samar.

Pada mulanya politeisme memandang kedudukan para dewa hampir sama, tetapi lambat laun terjadi perubahan di mana dewa tertentu dipandang berkedudukan lebih tinggi dari pada yang lain. Atau beberapa dewa punya kedudukan lebih tinggi dari dewa – dewa lainnya sekalipun dewa –dewa yang lain masih tetap diakui dan dipuja. Suatu contoh kalau kaum politeis minta hujan dia memohon dewa hujan untuk menurunkan hujan dan sekaligus juga memohon kepada dewa kemarau agar tidak menghalangi dewa hujan.


    1. Monoteisme

Monoteisme adalah faham terhadap hanya ada satu Tuhan di alam ini. Tuhan lain sudah tidak di akui lagi sebagai Tuhan. Dengan kata lain Tuhan nasional sudah berlaku bagi semua bangsa (secara internasional) atau Tuhan untuk seluruh alam maka paham semacam itu disebut monoteisme.

Dalam Yeyasa 44/6 mengatakan


Aku yang pertama dan aku yang terakhir ”Tiada Tuhan selain dari pada Aku”.

Dan syema, yaitu apa yang dipandang sebagai syahadat dalam agama yahudi berbunyi : ”syema Jesrah jahwe elohem, jahwe Eekad” yang dalam bahasa arab :


Dengarlah Israil, Tuhan kita adalah satu (syema).”
Untuk meningkat ke monoteisme, politeisme tidak mesti melalui jalan henoteisme, banyak kepercayaan politeisme yang langsung berubah menjadi monoteisme.

    1. Yüklə 0,68 Mb.

      Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   11




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin