Definisi Ipteks
Berbagai definisi tentang sains, teknologi dan seni telah diberikan oleh para filosuf, ilmuwan dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi.
Sains di Indonesiakan menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan pancaindra, intuisi, dan firasat, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistemati-sasi, dan diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya, dan dapat diuji ulang secara ilmiah. Secara etimologis kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai spesialis. sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besamya bagi kehidupan manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya. Seni merupakan ekpresi jiwa seseorang. Hasil ekpresi jiwa tersebut berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan. Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang sama yaitu keabadian.
Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus bertambah.
Dalam pemikiran sekuler perennial knowledge yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.
Syarat-syarat Ilmu
Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih khusus dibandingkan dengan pengetahuan. Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsur pokok sebagai berikut:
-
Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek studi yang jelas. Obyek studi harus dapat diidentifikasikan, dapat diberi batasan, dapat diuraikan, sifat-sifatnya yang esensial. Obyek studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
-
Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode kerja yang jelas. Ada tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu: metode deduksi, induksi, dan eduksi.
-
Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis, hukum-hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep dan kesim-pulan-kesimpulan logis, sistematis, dan koheren. Dalam teori dan konsep tersebut tidak terdapat kerancuan atau kesemerawutan pikiran, atau penentangan kontradiktif di antara satu sama lainnya.
Istilah Pengetahuan dan Ilmu dipahami oleh masyarakat luas menjadi satu istilah baku yaitu Ilmu Pengetahuan atau sains. Secara singkat, istilah ini dapat didefinisikan sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan dapat diterima oleh ratio, artinya dapat dinalar. Jadi ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai himpunan rasionalisasi kolektif insani. Secara singkat sains dapat diartikan sebagai pengetahuan yang sistimatis {science is systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga karakteristik yaitu objektif, netral dan bebas nilai, sedangkan dalam pemikiran Islam sains tidak boleh bebas dari nilai-nilai, baik nilai lokal maupun nilai universal.
Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya berdasarkan tuntunan Quran dan Sunnah Rasul. Atas dasar itu ilmu dalam pemikiran Islam ada yang besifat abadi (perennial knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak (absolute), karena bersumber dari wahyu Allah, dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge) tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relatif) karena bersumber dari akal pikiran manusia.
Dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni merupakan hasil pengembangan potensi manusia yang diberikan Allah yang berupa akal dan budi. Prestasi yang gemilang dalam pengembangan ipteks, pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar menemukan bagaimana proses sunatullah itu terjadi di alam semesta ini, bukannya manusia merancang atau menciptakan suatu hokum baru di luar sunatullah (hukum Allah/hukum alam).
Dalam pandangan Islam, antara agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi ke dalam suatu system yang disebut Dinul Islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok, yaitu akidah, syariah dan akhlaq, dengan kata lain iman, ilmu dan amal salih.
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat tergambar dalam keutuhan inti ajarannya yang menyeluruh (holistic). Ada tiga inti ajaran Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya terintegrasi di dalam sebuah system ajaran yang disebut Dinul Islam. Dalam Q.S. Ibrahim (14):24-25 Allah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Ayat di atas menggambarkan keutuhan antara Iman, Ilmu, dan amal atau Aqidah, Syari'ah dan Akhlak dengan menganalogikan bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Akamya menghujam ke bumi, batangnya menjulang tinggi ke langit, cabangnya atau dahannya rindang, dan buahnya amat 'lebat. Ini merupakan gambaran bahwa antara iman, ilmu, dan amal merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Iman diidentikkan dengan akar dari sebuah pohon yang menupang tegaknya ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan amal ibarat buah dari pohon itu identik dengan teknologi dan seni. Ipteks yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu akan menghasilkan amal saleh bukan kerusakan alam.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bemilai amal saleh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya pengembangan Ipteks yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bemilai ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan akan menjadi malapetaka bagi kehidupannya sendiri.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Kesempumaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling utama adalah akal. Akal berfungsi untuk berpikir hasil pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SwT, akan memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya. Allah berjanji dalam Q.S. Al-Mujadallah (58):11:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Menurut Al-Gazali bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia, sedangkan sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Tugas utama pendidik adalah menyempumakan, membersihkan, dan menggiring peserta didik agar hatinya selalu dekat kepada Allah SwT melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang sangat mulia yang dapat menentukan masa depan seseorang. Karena itu, para pendidik akan selalu dikenang dalam hati anak didiknya. Al-Gazali memberikan argumentasi yang kuat, baik berdasarkan al-Quran, al-Sunnah, maupun argumentasi secara rasional.
Dalam bagian awal kitab Ihya Ulumuddin, Al-Gazali memulainya dengan menerangkan tentang keutamaan ilmu dan pembelajaran. la menggambarkan kedudukan tinggi bagi para ahli ilmu dan para ulama dengan menyitir ayat-ayat Al-Quran dan sabda Rasulullah saw. serta perkataan orang-orang dan ahli pikir. Pandangannya tentang hal-hal di atas sangat kuat. Ini terbukti dengan seringnya menerangkan kedudukan dan keutamaan ulama dan guru dalam berbagai karya monumentalnya. Sebagai contoh ia pernah mengatakan bahwa makhluk yang mulia di muka bumi ini adalah manusia. Sedangkan bagian tubuh manusia yang paling mulia adalah hatinya. Guru sibuk menyempumakan, mengagungkan, menyucikannya serta menuntunnya agar selalu dekat kepada Allah SwT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu bukan hanya termasuk aspek ibadah kepada Allah belaka, melainkan juga termasuk khalifah Allah swt. Dikatakan termasuk khalifah Allah SwT, karena hati orang alim telah dibukakan oleh Allah SwT., untuk menerima ilmu yang merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Orang 'alim adalah bendaharawan yang mengurusi khasanah Allah Swt., yang paling berharga. Tidumya orang 'alim lebih baik dari ibadahnya orang-orang bodoh.
Menjelaskan keutamaan-keutamaan orang yang berilmu, Al-Gazali mengata-kan; "Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari, selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang yang berpapasan dengannya”.
Dari pemyataan di atas tampak bahwa Al-Gazali sangat menghargai orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas. Salah satu pengamalannya adalah mengajarkan kepada orang lain. Orang yang berilmu dan tidak mengamalkannya menurut Al-Gazali sebagai orang yang celaka. Ia mengatakan; "Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang berilmu. Orang-orang berilmupun akan celaka kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Dan orang-orang yang mengamalkan ilmunyapun akan binasa kecuali orang-orang yang ikhlas.”
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai "Abdun" (hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah di bumi. Esensi dari "abdun" adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan Allah, sedangkan esensi khalifah adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam.
Dalam kontek "Abdun", manusia menempati posisi sebagai ciptaan Allah. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Sang Pencipta berupa potensi yang sempuma yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu potensi akal. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan ia menghambakan diri kepada selain Allah termasuk menghambakan diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan dirinya kepada Allah akan mencegah pengham-baan manusia kepada sesama manusia termasuk pada dirinya.
Manusia diciptakan Allah dengan dua kecenderungan yaitu kecenderungan kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada perbuatan fasik. Sebagaimana firman Allah: Falhamaha fujuroha watakwaha. Artinya "maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia kefasikan dan ketakwaan". Dengan kedua kecenderungan tersebut Allah berikan petuntuk berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan potensinya kepada keimanan dan ketakwaan bukan pada kejahatan yang selalu didorong oleh nafsu amarah. Untuk itu Allah berfirman: “Wahadainahu najdaini”. “Aku tunjukkan kamu dua jalan". Akal memiliki kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.
Fungsi yang kedua sebagai khalifah/wakil Allah di muka bumi, la mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengekplorasi, menggali sumber-sumber daya, serta memanfaatkannya dengan sebesar-besar kemanfaatan. Karena alam dicipta-kan untuk kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkan-nya diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukuplah atau para ilmuwan dan para intelektual yang sanggup mengekplorasi sumber alam ini. Akan tetapi para ilmuwan itu harus sadar bahwa potensi sumber daya alam ini akan habis terkuras untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh sebab itu tanggung jawab kekhalifahan banyak bertumpu pada para ilmuwan dan cendikiawan. Mereka mempunyai tanggung jawab jauh lebih besar dibanding dengan manusia-manusia yang tidak memiliki ilmu pengetahuan. Bagi mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tidak mungkin mengekploitasi alam ini secara berlebihan, paling hanya sekedar kebutuhan primemya bukan untuk pemenuhan kepuasan hawa nafsunya, karena mereka tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengekploitasi secara besar-besaran sumber alam ini, demikian pula mereka tidak akan sanggup menjaga keseimbangan dan kelestariannya secara sistematis.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia sendiri. Mereka banyak yang berkhianat terhadap perjanjiannya sendiri kepada Allah. Mereka tidak menjaga amanat Allah sebagai khalifah yang bertugas untuk menjaga kelestarian alam ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Rum (30): 41 :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka segera kembali ke jalan yang benar. "
Dua fungsi di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak boleh terpisah. Dan simbul dari kedua fungsi ituadalah Dzikir dan Fikir. Untuk melaksanakan tanggungjawabnya, manusia diberikan keistimewaan berupa kebebasan untuk memilih dan berkreasi sekaligus menghadapkannya dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psiko-fisik. Namun ia hams sadar akan keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah, baik dalam konteks ketaatan terhadap perintah beribadah secara langsung (fungsi sebagai 'Abdun) maupun dalam konteks ketaatan terhadap sunatullah "hukum alam" di alam ini (fungsi sebagai Khalifah). Perpaduan antara tugas ibadah dan khalifah ini akan mewujudkan manusia yang ideal yakni manusia yang selamat di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
AlQur'anul Karim (Terjemahan), DEPAG.
Maurice Bucaille, Bibel, Qur'an dan Sains Modern, Jakarta, PT. Bulan Bintang. 1984.
Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia Menurut Bibel, AlQur'an dan Sains, Bandung, Misan, 1990.
Editorial, Sembilan Bulan Pertama dalam Hidupku, Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, 1977.
Keith Wilkes, Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, PT. Pustaka Sinar Harapan, 1985.
Med. T. Mudwal, Sumbangan AlQur'an dalam Ilmu Kebidanan, Sebuah Tinjauan Terhadap Tafsir AlQur'an, Solo, Ramadhani, 1986.
Inu Kencana Syafiie, AlQur'an Sumber Segala Disiplin Ilmu, Jakarta, Gema Insani Pers, 1991.
Musthafa KS., AlQur'an Dalam Menyoroti Proses Kejadian Manusia, Bandung, PT. Alma'arif, 1983.
Abdullah Aly dkk., Studi Islam I, Surakarta, UMS., 1998.
Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Depag RI, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2002.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1983.
Muchlis Hamidy, Dardiri, Pendidikan Agama Islam, Surakarta, UNS, 1989.
Abbas Mutawali Hammadah, Sunah Nabi kedudukannya menurut Al-Qur’an, Bandung, Gema Risalah Press, 1997.
A. Hasan dkk, Soal jawab tentang berbagai masalah agama, Diponegoro, Bandung, Diponegoro, 1980.
AW. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Yogyakarta, 1984.
Depag RI, Dasar-Dasar Agama Islam, 1981.
Syeh Muhammad Yusuf Qordhowi, Halal dan haram dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1982.
Depag RI, Islam untuk disiplin ilmu hukum, Team penyusun DR. H. Qomarudin Hidayat dkk., 2000.
Depag RI, Islam untuk disiplin ilmu ekonomi, editor H. Hasbar, S.H. dkk., 2002.
Depag RI, Buku teks pendidikan agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Prof DR. Azyumardi Azra dkk., 2002.
Musthofa Assiba’i, Al-Hadits sebagai sumber hukum, CV. Diponegoro, Bandung, 1990.
Ustadz Sayid Sabiq, Aqidah Islamiyah.
Ahmad Amin, Akhlak (Kairo-Mesir), tr. Bachtiar Affandi, Jakarta, Jembatan, 1957.
Al-Gazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
——————, Mukasyafah al-Qulub al-Muqarrabain min 'Alam al-Guyuh, Beirut : Maktabah al-Tasabiyyah, t.th.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———————, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 2000.
Ibnu 'Arabi, Tahzib al-Akhlak, Cairo: 'Alam al-Fikr, t.th.
——————, Al-Anwar fiima Yamnahu Shahib al-Khiawah min Asrar, Cairo: Maktabah 'Alam al-Fikr, t.th.
Abul Quasem, Etika Al-Gazali, tr. J. Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1975.
Ishak Solih, Akhlak dan Tasawuf, Bandung: LAIN Sunan Gunung Djati Pers, 1990.
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islam, Jakarta Panjimas, 1990.
Al-Faruqi, Ismail R, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Mizan, Bandung, Cet.III., 2001.
Ali, Mohamad Daud, Pendidikan Agama Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Linton, Ralph, The Cultural Background of Personalit, D. Appleton -Century Company, New York, 1945.
Asy'ary, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI) Yogyakarta, 1992.
Munawir Sazali, Islam dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1990.
Nasution, Harun, Sejarah Peradaban Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama, Mizan, Bandung, 1995.
—————. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Mizan, Bandung 2000.
Dostları ilə paylaş: |