Catatan seputar kasus "klerufikasi" di mailing-list unhas-ml



Yüklə 2 Mb.
səhifə13/16
tarix27.10.2017
ölçüsü2 Mb.
#16152
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   16

akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam

[19]: 26).

Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh

malaikat Jibril

ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran

anaknya (Isa a.s.).

Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam

bentuk perintah

berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata

kerja yang

menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu",

dan sekali

menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita,

yaitu ash-

shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya

terambil dari akar

kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa

maknanya


berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak

bergerak". Kuda

yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia

yang berupaya

menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas

itu-- dinamai

shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini,

dipersempit maknanya

oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan

untuk "menahan

diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma

dari terbitnya

fajar hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa,

menambahkan kegiatan

yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini

mencakup pembatasan

atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran

dari melakukan

segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum

--bagi manusia--

pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan

diri. Karena itu

pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari

segi


pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri)

maupun esensi

kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa

untuk-Ku, dan

Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak

ulama dengan

firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang

disempurnakan

pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di

sini adalah

orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian

syariat/hukum sebagaimana

disinggung di atas.

1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.

2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau

semacamnya.

3. Puasa sunnah.
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang

berkisar pada

puasa bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan

dalam surat Al-

Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa

puasa


Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di

Madinah, karena

ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di

Madinah. Para

sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan

puasa Ramadhan

ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran

selama


sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap

Al-Quran yang

seringkali melakukan penahapan dalam perintah-

perintahnya, maka

agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan

demikian. Ayat 184

yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari

tertentu) dipahami

oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan

yang merupakan

tahap awal dari kewajiban berpuasa.
Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan

turunnya ayat 185:

Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri

tempat tinggalnya)

pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa

(selama bulan

itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka

wajib baginya

berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa

Ramadhan terputus-

putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada

ketiga ayat puasa

Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih

cenderung mendukung

pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran

mewajibkannya tanpa

penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan

sahabatnya telah

melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan

kewajiban dari Al-

Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang

berbicara tentang

puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan

Ramadhan, dimulai

dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam

untuk


melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan

pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai

dengan panggilan

mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan

kepada kamu

berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang

mewajibkan, belum

juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi

terlebih dahulu

dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap

umat-umat

sebelum kamu." Jika demikian, maka wajar pula jika

umat Islam

melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah

untuk

kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu



bertakwa

(terhindar dari siksa)."


Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186

menjelaskan bahwa

kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya

"beberapa hari

tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada

di kampung

halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat,

sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"

maka dia (boleh)

tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak

berpuasa untuk

digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang

merasa sangat

berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus

membayar fidyah,

yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di

atas ditutup

dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."


Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang

keistimewaan bulan

Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk

berpuasa pada

bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang

yang sakit dan

dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan

memberikan penegasan

mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut

sebelumnya. Ayat

tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah

menghendaki

kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri

dengan perintah

bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara

tentang puasa,

tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau

penyisipannya

dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai

rahasia


tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di

bu1an Ramadhan

merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena

itu ayat


tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada

hamba-hamba-Nya dan

menerima doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin

melakukan hubungan

seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang

lamanya puasa

yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar

sampai terbenamnya

matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari

ayat-ayat di

atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.

Berikut akan

dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum

maupun


hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat

dari ayat-ayat

puasa di atas.
Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu

yang menderita

sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan

berpuasa


secara garis besar dapat dibagi dua:

1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia

wajib

berbuka; dan



2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat

kesulitan

atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan

tidak berpuasa.


Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang

diderita oleh

seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar

ibnu Sirin,

pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,

dengan alasan

jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat,

bahwa Al-Quran

tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup

pemahaman ibnu Sirin

tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata

bahwa Allah Swt.

sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan

kepada nurani

manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah

ia berpuasa

atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang

yang tidak

berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan

tetap harus

menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam

kesempatan

yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka

puasa bagi

orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut

berkaitan dengan jarak

perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak

perjalanan

tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang

tidak menetapkan

jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang

ditempuh selama

dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan

izin untuk

memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin

ini. Apakah

karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur

keletihan akibat

perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak

antara Jakarta-

Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu

jam, serta tidak

meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk

berbuka atau

meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain

berpulang kepada

tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan

perjalanan yang

membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak

shalat).


Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam

kerangka ketaatan

kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi,

belajar, atau

termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang

dibolehkan) seperti

wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan

hal-hal di

atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali

jika


perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka

tentu yang

bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan

atau menjamak

shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka

memperoleh rahmat

kemudahan dari Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi

seorang musafir,

berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i

menilai bahwa

berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu,

tetapi sebagian

besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa

hal ini


sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi,

dalam arti apa

pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.

Pendapat ini

dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan

Muslim melalui

Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada

dalam perjalanan

di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang

tidak


berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak

juga (mereka)

yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa

lebih baik

bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula

yang menilai

bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah

izin Allah. Tidak

baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran

sendiri dalam

konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu

dan tidak

menghendaki kesulitan."
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan

berbuka, antara

lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,

yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang

ditinggalkan

itu pada hari-hari lain).


Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk

meluruskan

redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang

berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam

perjalanan (dan ia

tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)

sebanyak hari-hari

yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang

oleh ulama

perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang

membolehkan

berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban

mengganti itu, hanya

ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit

tetapi tidak

berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan

Zhahiriyah,

sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib

bagi orang

yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,

dan wajib pula

menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi

harfiah ayat di

atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus

berturut-turut?

Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang

menyatakan demikian.

Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang

menginformasikan

bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang

berbunyi


mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian

(qadha') itu

harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka

sampai


selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata

mutatabi'at dalam

fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti

berurut atau

bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt.

Sehingga akhirnya

ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang

tercantum dalam

Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera,

dalam arti harus

dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat

ditangguhkan sampai

sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir

kecil ulama

yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya

tidak mengharuskan

ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat

semakin baik.

Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah

berlalu, kemudian

kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat

akibat


keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad,

berpendapat bahwa

di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa

memberi makan

seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak

mewajibkan kaffarat

dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu

miskin (Dan wajib

bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah,

(yaitu):


memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]:

184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh

banyak ulama

tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah

Swt. memberi

alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa

atau berbuka

dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat

bahwa ayat ini

berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni

bagi kedua

kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan

orang yang merasa

berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus

berbuka; dan ada

juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu

berpuasa, tetapi

enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan,

maka bagi

mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat

membayar fidyah.

Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan

mayoritas ulama.
Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang

orang-orang tua

atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat,

sehingga


puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai

sumber rezeki

lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam

ini. mereka

diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat

membayar fidyah.

Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit

sehingga tidak dapat

berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari

penyakitnya. Termasuk

juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah

wanita-wanita hamil

dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian

sebagai berikut:

Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah

dan mengganti

puasanya di hari lain, seandainya yang mereka

khawatirkan adalah

janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila

yang mereka

khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya

wajib


menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar

fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin

setiap hari selama

ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak

setengah sha'

(gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau

kurma (makanan

pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni

sekitar lima perenam

liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan

jumlahnya pada

kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.


e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila

nisa'ikum (Dihalalkan

kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan

istri-istrimu) (QS

Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di

malam hari bulan

Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari

Ramadhan, hubungan

seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian

hubungan seks

adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun.

Karena itu

walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan

antar suami-

istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal

tersebut bersifat

makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri,

karena dapat

mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi,

Aisyah r.a.,

Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah,

bagi yang

mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian

ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus

menggantinya pada

hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan

yang bersangkutan

membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan

seks (di siang

hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis

Nabi adalah

berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,

maka ia harus

memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia

harus memberi

makan enam puluh orang miskin.


Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak

harus mandi

sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi

sebelum


terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu

yang


memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada

waktunya.

Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith

al-abyadhu minal

khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai

terang bagimu

benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum

(juga melakukan

hubungan seks) sampai terbitnya fajar.

Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal

mengumandangkan

azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang

dimaksud dengan

fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang

diadakan hanya

sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi

melakukan

aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka

dari segi hukum

masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu

subuh belum

masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan

terlalu

mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin



mengumandangkan azannya

setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena

itu sangat

beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat

imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian

sempurnakanlah puasa

itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan

dan minum

sampai dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir

dengan datangnya

malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para

ulama adalah

pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan

tenggelamnya

matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga

yang memahami

malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya

kegelapan.

Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw.,

sedang


pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan

dari lail yang

diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang

gelap"


karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.

Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw.

untuk

mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur



pendapat kedua

sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir

magrib

sebenarnya belum masuk.


Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup

oleh ayat-ayat

yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
Tujuan Berpuasa
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa

yang hendaknya

diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau

la'allakum

tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut

agaknya perlu

digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.

misalnya, "Banyak

di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu

daripuasanya,

kecuali rasa lapar dan dahaga."
Ini berarti bahwa menahan diri

dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa.

Ini dikuatkan

pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk

kamu kemudahan

bukan kesulitan."


Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah

berfirman, "Semua amal

putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa

adalah untuk-Ku

dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah

yang unik. Tentu

saja banyak segi keunikan puasa yang dapat

dikemukakan, misalnya

bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan

pelakunya sendiri.

Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk

minum dan

makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang

berpuasa, memiliki

keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat

tertentu dari siang

hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya

menahan diri dan

keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan

dari manusia,

sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari


Yüklə 2 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   16




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin