akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam
[19]: 26).
Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh
malaikat Jibril
ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
anaknya (Isa a.s.).
Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam
bentuk perintah
berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata
kerja yang
menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu",
dan sekali
menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita,
yaitu ash-
shaimin wash-shaimat.
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya
terambil dari akar
kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
maknanya
berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak
bergerak". Kuda
yang berhenti berjalan dinamai faras shaim. Manusia
yang berupaya
menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas
itu-- dinamai
shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini,
dipersempit maknanya
oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan
untuk "menahan
diri dar makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma
dari terbitnya
fajar hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa,
menambahkan kegiatan
yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
mencakup pembatasan
atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran
dari melakukan
segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum
--bagi manusia--
pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan
diri. Karena itu
pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari
segi
pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri)
maupun esensi
kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa
untuk-Ku, dan
Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak
ulama dengan
firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan
pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di
sini adalah
orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian
syariat/hukum sebagaimana
disinggung di atas.
1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.
3. Puasa sunnah.
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang
berkisar pada
puasa bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan
dalam surat Al-
Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa
puasa
Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di
Madinah, karena
ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di
Madinah. Para
sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan
puasa Ramadhan
ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran
selama
sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap
Al-Quran yang
seringkali melakukan penahapan dalam perintah-
perintahnya, maka
agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan
demikian. Ayat 184
yang menyatakan ayyaman ma'dudat (beberapa hari
tertentu) dipahami
oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan
yang merupakan
tahap awal dari kewajiban berpuasa.
Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan
turunnya ayat 185:
Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri
tempat tinggalnya)
pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa
(selama bulan
itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka
wajib baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa
Ramadhan terputus-
putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada
ketiga ayat puasa
Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih
cenderung mendukung
pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran
mewajibkannya tanpa
penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan
sahabatnya telah
melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan
kewajiban dari Al-
Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang
berbicara tentang
puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan
Ramadhan, dimulai
dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam
untuk
melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan
pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai
dengan panggilan
mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepada kamu
berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang
mewajibkan, belum
juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi
terlebih dahulu
dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap
umat-umat
sebelum kamu." Jika demikian, maka wajar pula jika
umat Islam
melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah
untuk
kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu
bertakwa
(terhindar dari siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186
menjelaskan bahwa
kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya
"beberapa hari
tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada
di kampung
halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat,
sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"
maka dia (boleh)
tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak
berpuasa untuk
digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang
merasa sangat
berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus
membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di
atas ditutup
dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik."
Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang
keistimewaan bulan
Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk
berpuasa pada
bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang
yang sakit dan
dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan
memberikan penegasan
mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut
sebelumnya. Ayat
tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah
menghendaki
kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri
dengan perintah
bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara
tentang puasa,
tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau
penyisipannya
dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai
rahasia
tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di
bu1an Ramadhan
merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena
itu ayat
tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada
hamba-hamba-Nya dan
menerima doa siapa yang berdoa."
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin
melakukan hubungan
seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
lamanya puasa
yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar
sampai terbenamnya
matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari
ayat-ayat di
atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.
Berikut akan
dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum
maupun
hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat
dari ayat-ayat
puasa di atas.
Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
yang menderita
sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan
berpuasa
secara garis besar dapat dibagi dua:
1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia
wajib
berbuka; dan
2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat
kesulitan
atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan
tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang
diderita oleh
seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar
ibnu Sirin,
pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,
dengan alasan
jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat,
bahwa Al-Quran
tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup
pemahaman ibnu Sirin
tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata
bahwa Allah Swt.
sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan
kepada nurani
manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah
ia berpuasa
atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang
yang tidak
berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan
tetap harus
menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam
kesempatan
yang lain.
b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka
puasa bagi
orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut
berkaitan dengan jarak
perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak
perjalanan
tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang
tidak menetapkan
jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang
ditempuh selama
dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan
izin untuk
memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin
ini. Apakah
karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur
keletihan akibat
perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak
antara Jakarta-
Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu
jam, serta tidak
meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk
berbuka atau
meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain
berpulang kepada
tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan
perjalanan yang
membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
shalat).
Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam
kerangka ketaatan
kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi,
belajar, atau
termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang
dibolehkan) seperti
wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan
hal-hal di
atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali
jika
perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka
tentu yang
bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan
atau menjamak
shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka
memperoleh rahmat
kemudahan dari Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi
seorang musafir,
berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i
menilai bahwa
berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu,
tetapi sebagian
besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa
hal ini
sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi,
dalam arti apa
pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.
Pendapat ini
dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan
Muslim melalui
Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada
dalam perjalanan
di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang
tidak
berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak
juga (mereka)
yang tidak berpuasa."
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa
lebih baik
bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula
yang menilai
bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah
izin Allah. Tidak
baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran
sendiri dalam
konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu
dan tidak
menghendaki kesulitan."
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan
berbuka, antara
lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,
yaitu:
c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang
ditinggalkan
itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk
meluruskan
redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang
berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam
perjalanan (dan ia
tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)
sebanyak hari-hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang
oleh ulama
perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
membolehkan
berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban
mengganti itu, hanya
ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit
tetapi tidak
berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan
Zhahiriyah,
sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib
bagi orang
yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,
dan wajib pula
menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi
harfiah ayat di
atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus
berturut-turut?
Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
menyatakan demikian.
Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang
menginformasikan
bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang
berbunyi
mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian
(qadha') itu
harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka
sampai
selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata
mutatabi'at dalam
fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti
berurut atau
bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt.
Sehingga akhirnya
ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang
tercantum dalam
Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera,
dalam arti harus
dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
ditangguhkan sampai
sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir
kecil ulama
yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya
tidak mengharuskan
ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat
semakin baik.
Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah
berlalu, kemudian
kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat
akibat
keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad,
berpendapat bahwa
di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa
memberi makan
seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kaffarat
dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib
bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah,
(yaitu):
memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]:
184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh
banyak ulama
tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah
Swt. memberi
alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa
atau berbuka
dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat
bahwa ayat ini
berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni
bagi kedua
kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan
orang yang merasa
berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus
berbuka; dan ada
juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu
berpuasa, tetapi
enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan,
maka bagi
mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat
membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan
mayoritas ulama.
Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang
orang-orang tua
atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat,
sehingga
puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai
sumber rezeki
lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam
ini. mereka
diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat
membayar fidyah.
Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit
sehingga tidak dapat
berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari
penyakitnya. Termasuk
juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah
wanita-wanita hamil
dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian
sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah
dan mengganti
puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
khawatirkan adalah
janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila
yang mereka
khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya
wajib
menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar
fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin
setiap hari selama
ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
setengah sha'
(gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau
kurma (makanan
pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni
sekitar lima perenam
liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan
jumlahnya pada
kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
nisa'ikum (Dihalalkan
kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan
istri-istrimu) (QS
Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di
malam hari bulan
Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari
Ramadhan, hubungan
seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian
hubungan seks
adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun.
Karena itu
walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan
antar suami-
istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal
tersebut bersifat
makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri,
karena dapat
mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi,
Aisyah r.a.,
Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah,
bagi yang
mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian
ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus
menggantinya pada
hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan
yang bersangkutan
membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan
seks (di siang
hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis
Nabi adalah
berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
maka ia harus
memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia
harus memberi
makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak
harus mandi
sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
sebelum
terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu
yang
memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
waktunya.
Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
al-abyadhu minal
khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai
terang bagimu
benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum
(juga melakukan
hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal
mengumandangkan
azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang
dimaksud dengan
fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang
diadakan hanya
sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi
melakukan
aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka
dari segi hukum
masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu
subuh belum
masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan
terlalu
mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin
mengumandangkan azannya
setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat
beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat
imsak.
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
sempurnakanlah puasa
itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan
dan minum
sampai dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir
dengan datangnya
malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
ulama adalah
pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan
tenggelamnya
matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga
yang memahami
malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya
kegelapan.
Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi Saw.,
sedang
pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan
dari lail yang
diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang
gelap"
karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw.
untuk
mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur
pendapat kedua
sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir
magrib
sebenarnya belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup
oleh ayat-ayat
yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
Tujuan Berpuasa
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa
yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau
la'allakum
tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut
agaknya perlu
digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
misalnya, "Banyak
di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu
daripuasanya,
kecuali rasa lapar dan dahaga."
Ini berarti bahwa menahan diri
dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa.
Ini dikuatkan
pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk
kamu kemudahan
bukan kesulitan."
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah
berfirman, "Semua amal
putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa
adalah untuk-Ku
dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah
yang unik. Tentu
saja banyak segi keunikan puasa yang dapat
dikemukakan, misalnya
bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan
pelakunya sendiri.
Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk
minum dan
makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang
berpuasa, memiliki
keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat
tertentu dari siang
hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya
menahan diri dan
keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan
dari manusia,
sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari
Dostları ilə paylaş: |