Renatha Ayu Rossdiana
Beberapa waktu yang lalu ada miss communication antara saya dan teman (putri). Putri membeli 2 tiket kereta api ke Surabaya untuk tanggal 5 sore. Dia membelikan saya tiket karena merasa saya titipin. Padahal saya hanya bilang “tolong lihatkan apakah masih ada tiket tanggal segitu”. Dia membeli tiket kereta pada tanggal 26. Besoknya tanggal 27, saya membeli tiket untuk saya dan teman yang lain (Dyka). Akhirnya tanggal 29 kita bertemu dan terungkaplah semua kesalahpahaman ini.
Putri meminta saya untuk membawa tiket tersebut dan membantu menjualkan tiket sisa tersebut. Awalnya saya mau menyetujuinya karena merasa bersalah. Namun, saya tidak punya alternatif teman yang dimungkinkan bisa membeli tiket seharga 120.000 itu. Akhirnya saya bilang “ Bagaimana kalau kamu bawa saja, namun akan saya bantu mecarikan orang yang ingin mudik ke SBY tanggal itu”
Putri tidak setuju karena selama tiket itu masih ditangannya maka itu akan menjadi tanggung jawab dia sepenuhnya dan kembali atau tidaknya uang tersebut bergantung sepenuhnnya pada dia. Kekhawatiran dia yang paling utama adalah tidak terjualnya tiket tersebut.
Putri mengusulkan bahwa saya harus mencari orang yang bersedia membeli dan dia memberi deadline tanggal 4 Oktober. Jika sampai pada tanggal itu belum ada yang bersedia membeli tiket maka harga tiket itu akan dibagi dua (saya membayar 60ribu kepadanya).
Saya tidak terima dengan tawaran itu. Lalu saya bilang, ”Begini saja, jika sehari lagi tiket itu tidak terjual, maka kita ke stasiun untuk membatalkan tiket itu”.
Dia menerima usulan saya yang akhirnya dilakukan pada hari itu juga. Saya senang, karena tidak merasa bersalah dan dia senang karena tidak menanggung 120ribu walau kata putri saat mengembalikan tiket tersebut dikenai potongan beberapa persen.
***
E. K. Nugraha
Di kos saya memiliki empat orang teman yang sudah saya kenal sejak SMA. Bila ada salah satu dari kami yang berulang tahun, empat orang lainnya akan patungan untuk membeli kado karena kalau beli sendiri-sendiri lebih sulit dan akan mengeluarkan biaya lebih.
Pada tanggal 1 Oktober lalu, salah seorang dari kami (mahasiswi FKG) merayakan ulang tahun yang ke-19. Saya dan tiga orang teman saya yang lain mulai kebingungan mencari kado untuk dia. Kami mulai memikirkan berbagai kemungkinan mengenai kado apa yang sekiranya akan ia sukai.
Karena anaknya sangat modis, saya mengusulkan untuk membelinya baju atau tas saja, tetapi teman-teman saya bilang kalau itu sudah sering dan terlalu biasa. Ya sudah, karena usul itu ditolak, saya mengusulkan untuk membelikan dia CD atau stick drum karena ia suka musik dan kebetulan jago banget main drum. Usul ini pun ditolak sama teman-teman saya.
Lama-lama saya kesal sendiri karena pembicaraan ini berputar-putar terus dan seperti tidak akan berakhir. Seandainya pun berakhir, saya yakin tidak akan ada hasil. Apalagi semua usul saya ditolak sementara teman-teman saya juga tidak memberikan usulan yag lebih kreatif. Saya berusaha sabar dan mencoba sekali lagi supaya ususl-usul yang sudah saya sampaikan diterima saja daripada pembicaraan tambah berlarut-larut. Tetapi mereka tetap ngotot tidak mau.
Akhirnya, karena sudah pusing, saya bilang kalau saya mau patungan dengan teman-teman dari FKG saja. Teman-teman saya protes karena kalau saya tidak patungan dengan mereka, uang yang harus mereka keluarkan akan lebih banyak. Saya kemudian mengusulkan supaya mereka ikut saja patungan dengan saya dan anak-anak FKG lainnya. Lagipula, kalau bisa patungan dengan lebih banyak orang kado yang dibeli bisa lebih bagus dan kemungkinan uang yang dikeluarkan lebih sedikit. Keuntungan yang lain (paling tidak bagi saya) adalah tidak perlu capek lagi memikirkan kado apa yang akan dibeli. Biarlah anak-anak FKG saja yang menentukan. Akhirnya, teman-teman saya mau menerima usulan saya yang terakhir ini.
***
Dion Muflia
Ini fresh story, baru kejadian kemarin. Seorang teman saya, R, berulang tahun pada hari Senin. Saya dan beberapa teman sudah berencana untuk memberikan kado (nggak ada kado berarti nggak ada traktiran), tapi sayangnya tak satupun dari kami yang menemukan barang yang cocok. Untungnya R sudah maklum dengan peraturan tak tertulis di atas (nggak ada kado berarti nggak ada traktiran) dan bersabar saja dengan ucapan selamat yang seadanya.
Di hari Selasa, akhirnya gerombolan kami yang beranggotakan 4 orang (seharusnya 5, tapi satu orang, Sandra,berhalangan hadir) berhasil menemukan 2 benda yang harganya bisa diterima dan pasti akan diterima oleh R dengan senang hati (walaupun prosesnya sangat panjang sampai-sampai kami jadi berteman akrab dengan pramuniaga di toko itu). Persoalan selanjutnya: Kapan kami makan gratis?
kata S: hari ini, aku di kampus kuliah terakhir pasti sampai jam 5 jadi pas banget kalau langsung buka bersama.
kata kami yang lain: terserah saja (terutama saya, yang bisa pergi kapan saja).
Setelahnya kami berpisah jalan dan berjanji untuk mengabari jaminan buka bersama itu.
Kami mengkonfirmasi ke R dan dia pun mengiyakan.
Di tengah hari temanku D berubah pikiran karena hari itu Sandra tidak mungkin datang. Kami pun mencari peluang untuk hari lain. Hari Rabu tidak mungkin karena ada acara buka bersama HI 2005.
Karena keterbatasan waktu dan saya harus pergi les lagi, kami menunda pembicaraan. Sorenya melalui sms R bilang tidak bisa janjian di hari Kamis. Masih ada peluang di hari Jumat, tapi S tidak setuju karena hari Selasa lebih tidak repot (itu kata S lewat sms ke D yang lalu dikabarkan ke saya). Sekitar pukul 4.30, D menyerah dan berkata lebih baik hari ini saja agar semuanya senang. Saya harus menelepon R untuk konfirmasi ulang, juga mengabari S dan Rindu, tapi akhirnya pada saat buka kami (tanpa Sandra) berhasil terkumpul di sebuah resto sederhana.
Hasil akhir: walaupun kami ditraktir, tetapi aslinya negosiasi ini sangat melelahkan dan menghabiskan banyak pulsa untuk telepon dan sms!
***
Tanto
Sore menjelang ketika saya turun dari tangga setelah mengikuti kuliah NRK. Masih terngiang di kepala serunya debat anak minta motor pada orang tuanya sebagai contoh praktis penerapan good cop and bad cop. Terlihat kerumunan mahasiswa HI di lobi. Karena penasaran, saya mendekati kerumunan itu. Ternyata ada pembagian bahan fotokopi mata kuliah Politik dan Pemerintahan Amerika Serikat oleh Yudha. Fotokopian itu jadi bahan tugas untuk dikumpulkan hari Selasa. Kemudian saya menghampiri Yudha, tapi dia langsung pergi ke atas untuk mengambil fotokopian di sekre KOMAHI untuk yang baru datang dan kehabisan, dan dia menitipkan barang-barangnya ke saya.
Setelah Yudha turun, saya menanyakan fotokopi pesanan saya. Ada dua eksemplar fotokopian. Cuma satu yang jadi referensi tugas, yaitu yang judulnya American Government oleh James Q. Wilson. Harga semuanya ternyata Rp. 22.000,00, Rp. 11.000,00 masing-masing. Saya mengambil dompet di tas untuk membayar. Ternyata hanya ada sejumlah uang Rp. 30.000,00 di dompet.
Saya bilang ke Yudha saya tidak jadi beli semua fotokopian itu, saya cuma beli satu saja yang dipakai sebagai referensi untuk mengerjakan tugas. Yudha bilang tidak bisa, karena saya sudah memesan kedua bahan tersebut sebelumnya. Catatannya masih ada, tak bisa satu-satu, harus semuanya. Saya kemudian menjelaskan bahwa di dompet hanya ada Rp. 30.000,00. Padahal saya berencana akan ikut buka bersama HI, sudah janji dengan Prijsti untuk membayar iurannya sejumlah Rp. 7.000,00. Yudha tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Dia sudah tahu kalo besoknya saya pulang karena akhir pekan saya selalu pulang. Pasti akan ada tambahan uang pikirnya. Terus saya jawab belum tentu saya pulang naik motor seperti biasa, ada kemungkinan saya naik kereta yang harus bayar Rp.7.000,00 untuk tiket dan Rp. 2000,00 untuk naik bis ke stasiun. Terus masih harus membeli makanan buat sahur esok harinya. Saya juga bilang saya sudah mempunyai beberapa buku tentang mata kuliah itu. Yudha agak sedikit goyah. Saya juga bilang ke Yudha fotokopi yang tidak jadi saya beli kan bisa dialihkan ke orang lain yang belum dapat atau yang ingin memfotokopi kloter selanjutnya. Akhirnya Yudha pun luluh dan bersedia hanya memberikan satu fotokopian yang untuk tugas saja. Saya pun senang karena hanya mengeluarkan uang Rp. 11.000,00, bukan Rp. 22.000,00. Sehingga uang yang di dompet masih cukup untuk membayar fotokopian, iuran buka puasa, untuk membeli makanan sahur, dan biaya transport pulang ke rumah esok harinya.
Posisi saya adalah mendapatkan hanya satu fotokopian, bukan dua atau semuanya. Kepentingan saya adalah agar saya bisa bayar lebih murah. Sebenarnya saya bisa mengambil uang di ATM, secara baru punya ATM pertama kali. Tapi saya malas untuk pergi ke ATM terdekat, harus minjem motor dulu. Lagipula fotokopiannya tidak ada covernya, tidak indah kalo dipajang di kamar, cuma putih aja. Posisi Yudha adalah tidak membiarkan saya hanya memperoleh satu fotokopi, harus semua, karena saya sudah memesan semuanya. Kepentingan Yudha adalah mendapatkan kepastian memperoleh uang secara maksimal dari hasil fotokopian itu.
Penyebab Yudha mengapa dia akhirnya setuju untuk memberikan satu saja fotokopiannya kepada saya jelas karena kami sudah lama berteman. Dan juga mungkin disebabkan masih ada kemungkinan fotokopian itu akan dibeli oleh orang lain. Yudha mendapatkan BATNA (Best Alternatives to a Negotiated Agreement). Walaupun bukan dari saya, orang lain yang ikut mata kuliah itu dan belum mendapatkan fotokopian itu mungkin akan membelinya.
***
Akbar Hakim Prabowo
Teman saya punya sebuah CD yang pengen banget saya miliki. CD soundtrack film Transformer, film faforit saya. Dia baru aja pulang dari Jakarta dan bawa beberapa CD dari beberapa label, dan CD soundtrack film Transformer itu salah satu CD yang dia bawa.
Saya minta CD itu dari dia, karna dia masih punya banyak CD lain yang dia dapatkan secara gratis. Awalnya dia nolak, karna CD tersebut mau dia masukin ke katalog bank lagu. Dia juga bilang, kalau CD yang dia dapet gak gratis, karna dia harus nuker semuanya sama kesepakatan kerjasama. Saya lalu mengingatkan dia tentang oleh-oleh yang mau dia kasih ke saya ketika dia pulang dari Jakarta, dan saya menagihnya dengan meminta CD dari dia. Saya juga bilang kalau selama ini saya nggak pernah sama sekali minta CD dari dia, sementara banyak temen-temen saya minta CD gratisan yang tersisa.
Akhirnya, setelah dia meng-copy beberapa lagu dari CD tersebut, saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan.
***
darumuti ratmoko
sekitar awal september kemarin, kos saya 'panas'. 2 kakak kok saya, sebut saja rani dan tari, terlibat perang dingin.
dari dulu tari memang tidak terlalu klop dengan rani.
masalah 1:
rani membeli gas untuk masak dan mengajak yang lain patungan. tapi tari tidak mau ikutan karena tidak suka dengan cara rani yang langsung beli tanpa kompromi dengan yg lain. ditambah rani memasang kertas berisi nama2 yang sudah iuran gas skaligus menguatkan hak guna bagi siapa2 saja yang berhak memakai gas. kasarnya, tari ga boleh pake karena ga ikut iuran.
masalah 2 :
rani sangat perfeksionis. walhasil dia memasang kertas lagi, kali ini himbauan untuk menjaga kebersihan ruang bersama seperti kalau habis makan, sampah langsung dibuang dsb. mungkin karena terbawa sentimen sejak awal, tari sinis melihat pengumuman kali ini.
parahnya, mereka berdua sama2 curhat ke saya. Rani lebih menitik beratkan pada kejorokan anak2 kos, sedangkan tari merasa tersinggung karena ia tidak membayar iuran gas. sedangkan mereka berdua, saya yakin, jika dipertemukan akan terjadi pertumpahan darah dan air mata (???)
singkatnya, rani curhat ke saya. dia sebal karena keadaan kos kini lebih jorok. tapi dia menyadari bahwa dia takut jangan2 tari tersinggung akibat kertas iuran gas yang ditempelnya.
melihat perbedaan pemicu kemarahan antara rani dan tari, saya pun berspekulasi untuk berbicara satu persatu kepada mereka.
pemicu tari : tersinggung karena kertas iuran gas
masalah rani: sebel karena anak kos makin jorok
sayapun mengajak tari untuk lebih menjaga kebersihan. siapa tahu rani jadi tergugah dan mencopot kertas iuran gas
di sisi lain saya berkata kepada rani bahwa saya akan secara persuasif mengajak teman2 kos untuk menjaga kebersihan.
waktu berlalu... hasil dari persuasi saya dan ke-kooperatifan-tari menjaga kebersihan, kos jadi lebih bersih. rani pun senang. disaat itulah dengan nada bercanda saya menyuruh rani mencopot kertas iuran gas.
sekarang alhamdulillah perang dingin diantara mereka mulai mencair. mereka sudah, at least, salng bertegur sapa lagi. kos semakin bersih, kertas iuran gas pun sudah dicopot tanpa adanya pertumpahan darah dan air mata. bahkan ada temen kosku lagi yang mau ikutan iuran gas ( padahal tadinya nggak mau ) sehingga biaya iuran semakin berkurang...^^
***
Tiara Danarianti
Negosiasi yang lumayan saya ingat minggu ini adalah negosiasi dengan sebuah band bernama Playin' Delicious.
Acara buka puasa KOMAHI yang pada awalnya akan diisi dengan acara nonton film ternyata tidak bisa terealisasi pada saat akhir karena sampai dengan H-1 panitia tidak mendapat pinjaman LCD. Berat sekali biaya yang harus dikeluarkan jika harus meminjam. Akhirnya panitia merombak acara dengan meminta band Playin' Delicious untuk mengisi acara yang berubah format menjadi akustik.
Awalnya mereka sedikit keberatan karena waktu yang terlalu mepet, tapi akhirnya mereka bersedia tampil. Masalah yang sempat terjadi adalah, dengan mengusung alasan profesionalitas, mereka meminta kompensasi (baca: bayaran). Tentu panitia tidak punya budget yang cukup untuk membayar mereka =).
Perdebatan yang tidak sengit terjadi dan berujung pada keberhasilan saya memberikan kompensasi lain untuk mereka. Karena mereka notabene masih berstatus mahasiswa HI juga, seharusnya mereka membayar untuk dapat ikut buka puasa bersama. Saya akhirnya berhasil mengubah kompensasi tersebut dengan buka puasa gratis dan juga menggratiskan beberapa orang yang diklaim sebagai kru Playin' Delicious.
Puas dengan hasil tersebut karena paling tidak panitia tidak harus keluar uang cash dan puas karena saya tidak merasa dirugikan sama sekali mengingat jumlah makanan ternyata berlebih. Saya melihat hal tersebut sebagai win-win solution karena kedua pihak tidak dirugikan.
***
Sri Indah Ambarwati
Negosiasi kali ini saya lakukan dengan panitia lomba debat antar-universitas dari Sanata Dharma. Konteks perundingannya adalah mengenai pengunduran jadwal penyerahan makalah untuk mosi debat, dimana seharusnya makalah kami dikumpulkan pada hari Jumat, 28 September 2007. Namun, berhubung cukup banyak kesibukan sehingga tim debat kami belum sempat membuat makalah tersebut sehingga diperkirakan belum bisa mengumpulkan makalah tepat pada hari yang ditentukan.
Pada waktu pendaftaran saya menanyakan apakah pengumpulan makalahnya bisa diundur, karena ternyata jadwal pendaftaranya juga diundur seminggu. Akan tetapi, saat itu panitia lomba tidak bersedia mengundur jadwal penyerahan makalah. Kemudian beberapa hari kemudian saya mencoba bernegosiasi lagi via sms. Saya memberikan alasan tambahan bahwa tim kami sedang sibuk karena banyak tugas kuliah dan akan mid-test sehingga makalah belum selesai dibuat. Sebenarnya tim saya menginginkan setidaknya batas waktu pengumpulan diundur hingga hari senin meskipun kami akan lebih senang jika diundur seminggu. Akhirnya panitia debat Sadar bersedia mengundur jadwal pengumpulan makalah hingga 1 minggu lebih sehari, yaitu menjadi tanggal 6 Oktober 2007.
Dalam negosiasi ini demand saya adalah pengunduran batas waktu pengumpulan makalah hingga hari Jumat (1 minggu), goals-nya hanya sampai hari Senin (3 hari), sedangkan limits saya adalah hari Jumat (tanpa pengunduran, karena saat saya bernegosiasi masih hari Kamis). Menurut saya, dalam kasus ini bargaining range-nya positif karena masih ada persinggungan diantara limit saya dan panitia debat Sadar, terbukti dengan mereka bersedia mengundur jadwal pengunduran makalah.
***
Sofia Ariani
Liburan Idul Fitri ini, saya merasa positif tidak bisa pulang ke Balikpapan. Ada banyak yang harus dilakukan di Yogyakarta (yang sebenarnya berhubungan dengan agenda setelah liburan, tapi karena terlalu banyak, tentu harus mulai dikerjakan dari sekarang). Kebetulan, kakak pun tidak bisa pulang karena ia sedang sangat disibukkan dengan penulisan skripsi. Jika bisa pun, waktunya hanya sedikit. Menurut mama, ‘ide’ kami untuk tidak pulang adalah sesuatu yang overbidding. Sebenarnya, mama bukanlah tipe yang suka memaksa, ia bisa memahami alasan kami. Tapi, at the same time, ia juga adalah tipe yang percaya bahwa sebisa mungkin hari penting seperti Idul Fitri sepatutnya dirayakan bersama keluarga besar (I’ll have to say, ini lebih terdengar seperti argumen yang kuat ketimbang statement pembuka negosiasi antara kami).
Tuntutan kakak jelas adalah tidak pulang sama sekali (jika ia harus mereduksinya, goal-nya adalah pulang sesebentar mungkin). Limitnya pulang di atas tanggal 12 Oktober dan kembali paling lambat tanggal 15 Oktober (kemungkinannya sangat kecil). Tentu ini tidak worth enough. Saya pun tak berbeda dengan kakak. Tapi, jangan remehkan kejadian tidak terduga, karena itu bisa jadi menambah opsi. Kebetulan, papa ternyata mendapat panggilan tugas ke luar negeri dari tempatnya bekerja. Ia harus pergi selama dua bulan, dan itu artinya ia melewatkan Idul Fitri di Indonesia. Itu juga berarti, kalau saya dan kakak tidak pulang, mama akan ber-Idul Fitri tanpa anggota keluarganya. Saya dan kakak merasa tidak tega, dan akhirnya negosiasi berbasis mixed-motive ini secara terang-terangan membuat kami semua terjebak dalam dilema.
Kami bertiga bisa saja memilih untuk withdraw dari negosiasi, tapi yang saya ingat dari mata kuliah NRK, keputusan withdrawal sebaiknya lebih dikarenakan adanya BATNA, bukan karena deadlock. Saya pun berusaha memberi mama opsi lain yang sebelumnya tidak pernah dibawa ke dalam negosiasi. Karena papa harus pergi ke luar negeri, lebih baik rasanya jika mama yang pergi ke Yogyakarta. Tentu saya harus meyakinkan mama bahwa BATNA saya kredibel dengan mengatakan bahwa mama bisa mendapatkan beberapa keuntungan, yaitu: (a) dua bulan lalu mama ingin mengunjungi kami, tapi tidak jadi karena tiba-tiba nenek harus dirawat di rumah sakit. Sekarang, mama punya kesempatan baik untuk mengunjungi kami, (b) alih-alih ber-Idul Fitri tanpa anggota keluarganya, ia bisa bersama kami berdua (minus papa), (c) mama bisa merasakan pengalaman Idul Fitri di Yogyakarta yang belum tentu dirasakannya setahun sekali (termasuk mengunjungi rumah penjaga kos saya di desa Patuk), (d) mama bisa menghabiskan waktu selama ia mau bersama kami. Saya pun tentu diuntungkan karena sebenarnya saya sangat kangen dengan mama (tentu papa juga…) dan ingin bertemu tapi saya juga ingin menyelesaikan pekerjaan saya (between being cooperative and competitive…). Oke, mama mengakui bahwa opsi saya cukup masuk di akal. Tapi mama masih sedikit ragu.
Faktor time pressure pun menjadi pendukung saya. Bagaimanapun, mama harus memutuskan dengan cepat, paling lambat seminggu sebelum Idul Fitri, karena kalau mama ingin pergi ke Yogyakarta, tiket Balikpapan-Yogyakarta sangat terbatas (hanya disediakan oleh maskapai Mandala dan Garuda Indonesia) sehingga harus di-booking secepatnya. Dan… mama pun akhirnya setuju!! Walaupun dengan begitu, tentu kami jadi tidak ber-Idul Fitri dengan keluarga besar. Tapi saya selalu percaya, in most cases, selalu ada yang namanya win some, lose some.
***
Anggia
Saya mendapat titipan dr tante saya berupa dogtag untuk anjingnya. Saya harus membelikannya dlm waktu dekat agar saya bisa memberikannya waktu pulang kampung nanti.
Kemudian saya pergi ke malioboro untuk membeli dogtag itu. Tante saya mematok harga tidak lebih dari 20ribu untuk 2 buahnya. Berarti 10ribu sebuahnya. Padahal seingat saya dulu, saya pernah membeli barang yang sama seharga 12.500 perbuahnya. Jadi saya harus menawar lebih keras nanti.
Waktu saya bertanya pertama kali, penjual memberi harga 25 ribu perbuahnya. Aduh ga masuk akal ni harganya. Lalu saya mencoba menawar sekuat tenaga, karena kalo harganya lebih, berarti saya harus nombok.
Sayangnya saya hanya mendapat harga 12.500, seperti harga yang saya dapatkan dulu. Yasudahlah..lagipula saya sedang buru-buru, jadi saya sempat akan menyerah dengan harga segitu. Tidak terlalu mahal juga, pikir saya.
Tapi setelah itu, si penjual bilang kalo pengrajinnya lagi pergi dan baru akan kembali sekitar setengah jam lagi. Waaah saya langsung ngomel. Karena saya tidak bisa ada disitu samapai setengah jam lagi. Penjualnya lalu membela diri. Lalu saya bilang ke penjualnya kalo saya akan cari yang lain saja. Kemudian penjualnya panik dan merayu saya supaya tetap beli di dia. Sekalian saja saya merayu dia supay menurunkan harganya lagi. Awalnya dia tidak mau, tapi saya terus-terusan mendesak. Akhirnya dia mau menurunkan harganya sampai 10 ribu karena saya harus meluangkan waktu saya setengah jam lagi.
Walaupun saya harus menunggu setengah jam, tapi saya dapat harga yang murah. Saya pikir, nanti saya akan pergi dulu baru setelah itu saya ambil kembali pesanan saya. Semua bisa diatur.
Baru berjalan beberapa langkah dari penjual dogtag, saya mendengar ada percakapan tentang dogtag. Ketika saya menengok, ternyata pengrajinnya sudah kembali dan dia langsung mengerjakan pesanan saya. Kemudian saya langsung berbalik, tidak jadi pergi, malah menunggui pesanan saya di tempat.
Dalam 10 menit, pesanan saya selesai. Saya tidak perlu membuang banyak waktu dan tetap membayar dengan harga yang sudah disepakati sebelumnya, yaitu 10 ribu. Tadinya si penjual mencoba menaikkan harganya kembali, tapi saya menolak dan mengancam tidak jadi mengambil pesanan saya. Jadilah saya tetap membayar 10 ribu. Hahahahh...saya pulang dengan hati senang dan langsung telfon tante saya, sekalian pamer....
***
Lina Andayanti L
Negosiasi yang saya alami yang paling membuat saya keki adalah hari ini ketika saya membayar BOP. seharusnya saya membayar BOP sebesar Rp.900.000,00 soalnya saya mengambil 15 sks tetapi ketika saya cek via ATM, biaya BOP yang harus saya bayar adalah Rp.1.080.000,00. merasa mendapat perlakuan tidak adil, saya protes ke bagian pendidikan kampus. pegawai bag. pendidikan kampus mengatakan: "oh ga papa. kamu langsung ke Bank Mandiri aja.jangan via ATM. saya pun pergi ke Bank Mandiri sebelah kampus, tetap saja saya harus membayar Rp.1.080.000,00. saya pun menjelaskan kondisi BOP saya yang sebenarnya dan petugas Bank mengatakan saya seharusnya pergi ke bagian pendidikan pusat buat minta surat keterangan perihal perubahan biaya BOP. merasa dibola-bola alias dilempar kesana kemari,,saya pun bertekad,,sewaktu sampai di bagian pendidikan pusat, saya harus bisa menggolkan demand saya yaitu penyesuaian harga BOP dari 1.080.000 ke 900.000, kalaupun harus pake limit,maka limit saya adalah tidak dioper2 ke sana sini secara saya udah capek. maka saya pun mendatangi bagian pendidikan pusat. saya menjelaskan kondisi sebenarnya. nah petugas bag.pendidikan pusat mengatakan: wah mbak seharusnya ke bagian pendidikan kampus dulu.kami tidak punya wewenang untuk mengubah hal itu. kami menerima datanya dari kampus kok. (sepertinya demand saya terancam tidak terpenuhi.). saya pun mengatakan bahwa saya udah bolak-balik dari kampus dan petugas pendidikan kampus mengatakan ga pa pa kalau langsung dibayar di Bank. saya pun menanyakan kenapa tidak punya wewenang untuk mengubah, namanya aja bagian pendidikan pusat.apa gunanya predikat pusat kalau masih harus meminta izin dari bawahan (kampus) untuk mengubah data yang jelas2 salah. saya pun memperlihatkan KRS saya yang tertulis 15 sks biar bapak petugas makin percaya. tetap saja...beliau bilang saya harus ke bagian pendidikan kampus guna mempertanyakan perihal BOP yang salah itu.
merasa tidak ada gunanya membujuk si bapak saya pun pergi ke bagian pendidikan kampus. dan ternyata saudara-saudara...BOP saya itu salah ketik. petugas yang memasukkan data kayaknya lagi ngantuk pas giliran nama saya,,sehingga terjadilah peningkatan biaya BOP yang tidak seharusnya terjadi.
kepala bagian pendidikan kampus pun menjamin bahwa saya hanya membayar sebesar Rp.900.000,00. beliau membuat surat yang saya butuhkan untuk pembayaran BOP. well walaupun capek, keki dan emosi,,,dibola-bola kesana kemari,,akhirnya demand saya terpenuhi juga. perjuangan yang melelahkan....phew.
***
Dostları ilə paylaş: |