Restu Aji Purwaka
Gantian Waktu Presentasi
Selasa kemarin saya bernegoisasi soal giliran presentasi critical review 2 halaman (pengganti mid) mata kuliah EPI dengan Ayu Ratih. Awalnya, saya mendapat giliran presentasi kloter kedua pada tanggal 24 Oktober. menurut saya, waktu terlalu lama dan akan menganggu persiapan ujian mid yang lain (parade mid saya dari tanggal 25 sampe 31).
sedangkan Ratih yang baru saja keluar dari RS Sarjito mendapat giliran jadwal kloter pertama yakni pada kamis tanggal 4. dalam benak saya, persiapan Ratih tidak akan matang karena dia telah agak lama meninggalkan kuliah dan dia belum fit benar.
jadi, inilah win-win solution menurut saya. posisi dan kepentingan saya dan Ratih telah jelas. saya pun sudah memprediksi maksud saya akan tercapai dengan mudah.
lewat SMS, saya menawarkan 'rolling' waktu dengan Ratih. dan ternyata benar dugaan saya, Ratih dengan cepat setuju karena hari kamis tanggal 4 itu, dia juga harus check up ke dokter.
jadi, kepentingan pribadi saya agar persiapan mid yang lain tidak terganggu dan saya pun bisa 'menolong' Ratih agar persiapannya lebih matang dengan kesehatan yang lebih fit. dua-duanya untung meskipun sepintas saya berkorban (tapi, saya sedikitpun tidak merasa berkorban) ...
***
Dian Damaita Tanduk
Selasa malam saya dan teman-teman berencana menginap bersama-sama di rumah salah satu dari kami. Rencananya sih kita akan karaoke-an midnight dan disambung sahur bersama (supaya ada variasi sedikit karena bosan dengan ngabuburit dan buka bersama yang merebak di mana-mana).
Pada hari itu saya ada janji dengan pihak esia jam 8 pagi. Sehingga saya sudah meninggalkan rumah dari jam 7.30 pagi. Seharian saya tidak berada di rumah. Pulang jam 6 sore(cuma ada eyang di rumah), jam 7 malam pergi lagi karena ada rapat acara.
Masalahnya, saya lupa menginformasikan kepada ibu saya bahwa malam itu saya akan menginap. Saya baru menelepon rumah pukul 10 malam sehabis rapat. Ibu saya jelas marah besar karena seharian saya belum setor muka ke beliau.
Ibu saya melarang saya menginap. Beliau mengungkit-ngungkit janji saya di awal semester yang akan berhenti dari kerja sambilan dan akan fokus kuliah.
Tapi saya tetap ngotot ingin menginap karena ini kesempatan terakhir kumpul 1 genk lengkap sebelum satu per satu mudik.
Kemudian saya menawarkan jasa memijat beliau selama satu minggu for free. Awalnya ibu saya menolak. Saya pun menaikkan tawaran. Saya menawarkan bonus antar jemput ibu belanja. Ibu saya jadi agak tergoda. Dia malah mengajukan tuntutan lagi, yaitu jatah mencuci selama tiga hari, dan bersih-bersih rumah selama seminggu, serta jam malam menjadi jam 10 tiap harinya sampai mid semester. Yang terakhir jelas saya tolak. Mau jadi apa saya dengan jam malam seperti itu? Kapan saya bisa maju? Setelah mengajukan argumen bahwa dua minggu ke depan saya akan jadi super sibuk, ibu saya mengijinkan saya menginap dengan kontraprestasi berupa pijat seminggu, antar jemput belanja, plus cuci baju selama 3 hari.
***
(anonym)
Negosiasi saya dalam minggu ini terjadi antara saya dengan teman-teman kos (yogi dan heni). Jadi kami bertiga ini termasuk pecinta buah-buahan. Pada suatu malam, saya membeli buah semangka, karena saya lagi kepengen, sementara saya sudah punya buah pir di kulkas yang biasanya saya makan pada saat sahur.Pada saat itu sudah ada buah bengkoang dan apel kepunyaan Heni (buah tersebut buat kebutuhan diet Heni). sementara si Yogi juga baru saja membeli buah pepaya (alasannya membeli buah pepaya adalah karena dia ingin makan buah pepaya dicampur air perasan jeruk nipis).
Karena pada malam itu kami bertiga masing-masing mempunyai buah yang berbeda, jadilah masing-masing dari kami agak memaksa untuk menghabiskan buah tersebut. Karena tidak mungkin disimpan untuk waktu yang lama. (disebabkan karena kapasitas kulkas bersama sudah tidak memungkinkan), selain itu juga buah tersebut tidak enak dimakan kalau terlalu lama dibiarkan.
Masing-masing orang membuka buahnya masing-masing. Saya membuka semangka dan pir, Heni membuka apelnya (sementara buah bengkoang sudah dikupas dan sudah 2 hari ada di kulkas), dan yogi membuka buah pepaya dan mengiris jeruk nipisnya.
Masing-masing pihak memaksa untuk menghabiskan buah-buah tersebut. Heni meminta saya untuk membantunya menghabiskan bengkoang yang sudah 2 hari itu dengan alasan “ayolah,, bantu aku habisin bengkoangnya, kan sayang udah dua hari loh”. Yogi juga ngotot untuk menyuruh kami mencicipi buah pepaya ala Yogi yang ditambah denagn jeruk nipis. “cobain dong pepayanya enak loh, ini resep udah turun temurun dari dulu, enak banget deh”.
Saya tidak mungkin unutk menghabiskan semua buah-buah itu, karena yang saya inginkan pada saat itu hanyalah buah semangka dan kalau saya memkaan buah tersebut, saya pasti akan sakit perut karena memakan buah yang bercampur-campur.
Karena masing-masing pihak masih tetap memaksa, akhirnya saya menyarankan agar masing masing orang ikut membantu menghabiskan buah yang lainnya. Merekapun setuju karena sebetulnya mereka tidak sanggup menghabiskan buah yang banyak tersebut. Akhirnya pada malam itu masing-masing dari kami makan buah semangka, apel, pepaya dan bengkoang plus keesokan harinya sakit perut.
***
Raras
Hari minggu yang lalu, saya dan teman saya bertemu di TBY. Setelah selesai urusan di TBY, teman saya tsb bertanya soal tugas review untuk hari selasa. Ujung-ujungnya dia ingin meminjam buku saya dan meng-copy-nya agar bisa mengerjakan review. Masalahnya adalah buku tsb ada di kos dan dia tidak tahu kos saya. Dan ternyata teman saya tsb juga punya kepentingan lain, yaitu nebeng sholat.
Padahal, rencananya, setelah dari TBY saya tidak langsung pulang ke kos karena harus ke tempat lain lebih dahulu, meskipun tidak jauh dari kos tapi akan “ngalang” kalau harus kembali dulu ke kos untuk mengambil buku.
Tetapi melihat wajahnya yang memelas, dan bujuk rayunya, saya pun akhirnya setuju untuk kembali dulu ke kos sebentar untuk mengambil buku dan sholat.
Ketika dalam perjalanan pulang dari TBY, ban motor saya bocor (hiks…) dan harus berhenti untuk ditambal. Masalah meminjam buku pun muncul lagi, ditambah dengan masalah waktu sholat yang sudah mepet sehingga tidak mungkin jika dia menunggu hingga ban saya selesai ditambal.
Setelah berunding di dekat bapak penambal ban, akhirnya kami memutuskan untuk menggambar denah jalan ke kos saya. Sayangnya tidak ada satupun diantara kami yang membawa alat tulis. Teman saya berusaha mencari pinjaman alat tulis, tapi bapak penambal ban tidak punya. Akhirnya saya menyarankan agar dia pulang atau mencari tempat sholat dulu, karena selain dia tidak mungkin menunggu karena harus sholat dia juga harus segera pergi ke tempat lain, kemudian kami akan bertemu kira-kira jam 5 sore di tempat foto copy di daerah UGM yang cukup kami kenal. Dengan sedikit berat hati, dia pun akhirnya setuju dengan ide saya tsb.
Saya menduga, salah satu alasan dia masih berat hati dengan ide tersebut adalah karena dia ingin mengetahui dimana kos saya. Artinya dia menuntut untuk meminjam buku dan nebeng sholat di kos saya dengan tujuan, selain tuntutan tsb tercapai, juga agar mengetahui dimana kos saya.
Dalam perundingan ini, tuntutan dan tujuan saya adalah kembalikan buku saya secepat mungkin karena dari 3 bab yang harus dipilih salah satu untuk direview, saya belum membaca satu pun. Selain itu saya juga ingin segera menyelesaikan urusan di tempat lain, dan akan sangat membantu jika peminjaman buku dilakukan pada sore hari. Sehingga pada perundingan di tempat tambal ban, saya mengajukan opsi untuk bertemu di tempat foto copy, pada sore hari setelah saya menyelesaikan urusan yang lain. Saya menggunakan time pressure, yaitu waktu sholat dzuhur sudah tinggal sedikit, untuk memaksanya meminjam buku pada sore hari saja. Kalaupun kesepakatan tidak terjadi, saya tidak akan kehilangan apa pun karena dialah yang membutuhkan buku tsb dan saya yakin bahwa hubungan kami akan baik-baik saja.
Pada sore harinya, dia meng-sms saya dan menyatakan tidak bisa datang ke tempat foto copy yang telah kami sepakati sebelumnya. Dan akhirnya proses meminjam buku dilakukan di kampus pada keesokan harinya, senin siang.
***
Maria Yeni Wulandari
Beberapa hari yang lalu ada teman SMA saya yang kecelakaan dan harus dijahit di dagu. Tapi sorenya sudah boleh pulang dan hanya rawat jalan. Negosiasi terjadi antara saya dan salah seorang teman kampus yang saya mintai tolong untuk mengantarkan saya menengok dia di rumahnya. Teman-teman mengajak saya untuk menjenguk pukul 7 malam. Karena semua kuliah sampai sore. Saya pun mengiyakan dan memulai negosiasi dengan teman kampus saya tadi.
Awalnya dia sempat alot dan menyuruh saya cari teman lain dulu, kalau bener-bener tidak ada baru kembali ke dia. Karena dia ada acara yang tidak bisa ditinggalkan hingga pukul 20.00, dan ada beberapa tugas kuliah yang harus dia selesaikan, padahal saya mengajak dia pukul 18.30. Tapi pada dasarnya saya tetap memilih dia, selain kami sudah akrab, dia juga sudah pernah saya kenalkan pada teman-teman SMA saya.
Tawar-menawar terus terjadi. Saya merayu dia dengan berbagai cara. Tapi dia tetap bilang kalau pukul 18.30 dia tidak bisa. Meskipun dia juga sempat khawatir dengan menanyakan kalau dia tidak antar, saya akan pergi dengan siapa. Tentunya dengan gaya memelas saya bilang saya tidak akan jadi jenguk teman saya.
Nampaknya dia berfikir ulang. Dan merasa iba pada saya. Akhirnya dia pun bilang bahwa dia akan mengantarkan saya dengan syarat saya menunggu sampai dia menyelesaikan kegiatannya dan tentunya dengan jam yang ditentukan dia, yaitu pukul 19.30. Dan saya pun mengiyakan tawaran dia. Karena pada dasarnya saya janjian dengan teman-teman pada pukul 19.00, sedangkan kami akan telat sesaat dengan datang pada pukul 19.30. Adanya time pressure membuat hal itu tidak menjadi masalah yang signifikan, karena kalau ditunda lagi pasti tidak akan jadi jenguk, dengan pertimbangan jadwal kuliah yang bentrok dan juga kegiatan-kegiatan lain di antara kami.
Jadi, meski saya tidak berhasil membujuk dia untuk mengantar saya pada pukul 18.30, namun hal itu tidak masalah karena dia akhirnya meluangkan waktu untuk mengantar saya dan saya pun bisa menjenguk teman saya yang sakit.
***
Adel Hamnur Effendi
ISU : Pengajuan Sponsorship
Saya mempunyai sebuah studio musik di daerah jakal. Pada minggu lalu ada sebuah EO (Event Organizer) mengajukan sponsor ke 3 warnet, dan 15 studio termasuk studio saya untuk sebuah event yang akan di adakan bulan oktober hingga november. EO tersebut mengajukan beberapa keuntungan jika studio saya menjadi sponsor event tersebut. Keuntungan yang saya dapat yaitu nama/logo studio saya masuk dalam media publikasi seperti : flayer, spanduk, poster, dan mendapat 3% dari uang pendaftaran band yang senilai Rp 40.000/band. Sementara saya sebagai sponsor memberikan diskon Rp 8000 bagi band yang mengikuti event tersebut. EO tersebut menargetkan 150 band yang mengikuti festival dan 150 band tersebut di bagi menjadi 15 studio maka setiap studio ada 10 band. Dalam hal ini saya merasa tidak untung dalam sponsor maka dari itu saya mengajukan keuntungan dari pendaftaran band 15% setiap pendaftaran dan tidak memberikan diskon pada setiap band yang latihan ( dalam perundingan keuntungan pendaftaran band ini demand saya 15%, goal 10%, limit 5% dan demand diskon Rp 0 (tidak memberi diskon), goal Rp 2500, limit Rp 5000). EO merasa keberatan kalau 15% dan tidak memberi diskon lalu dia menaikkan dari 3% ke 5% dan diskon dari 8000 ke 5000 dan pihak EO mengatakan bahwa perundingan ini sudah paling mentok. Dalam perundingan ini goal saya tidak tercapai dan saya mendapat limit maka dari itu saya mengakhiri perundingan tersebut dengan membatalkan atau menolak menjadi sponsor pada event tersebut.
***
Nailatul Authary
Negosiasi saya dalam minggu ini adalah dalam masalah pembayaran BOP. Saya membayar BOP melalui ATM tapi ternyata disana tertulis nominal nya RP. 1.980.000, padahal seharusnya membayar Rp.1.440.000. Akhirnya saya mencoba untuk membayar manual ke Bank. Setelah sampai disana mereka mengatakan saya harus ke rektorat dulu untuk membicatakan masalah administrasi yang salah, lalu membayar di loket khusus di kantor Mandiri pusat. Tetapi saya meminta mereka untuk tetap mengizinkan saya membayar pada saat itu juga. Kelebihan nominal tinggal dipotong saja dari nominal seharusnya, tetapi mereka tetap tidak mengizinkan dengan alasan memang sudah tercata seperti itu di sistem administrasi Mandiri. Sehingga, apabila ingin klarifikasi kesalahan jumlah nominal harus tetap melalui bagian pendidikan di Rektorat. Akhirnya demi kelancaran pembayaran BOP, saya mengikuti saran yang diberikan oleh pihak Mandiri.
Dalam negosiasi ini, hasilnya win-lose. PAda saat itu, negosiasi cepat mencapai deal karena adanya time pressure karena saya ingin secepatnya membayar BOP agar dapat kartu ujian.
Demand: meminta pihak Mandiri untuk merubah nominal di administrasinya, sehingga saya tidak perlu bolak-balik rektorat-Bank untuk mengurus BOP.
Goal: membayar pada saat itu juga, tapi setelah itu saya akan tetap melapor kepada pihak rektorat.
Dalam hal ini goal saya tidak tercapai karena pada akhirnya saya terpaksa menunda pembayaran saya karena harus melapor ke rektorat terlebih dahulu sebelum membayar BOP.
***
Merike Ihsana
Pada akhir minggu kemaren, saya pergi ke malioboro untuk membelikan tas titipan kakak saya di Jakarta. Budgetnya adalah Rp 50.000 dan bila bersisa, sisanya pun boleh untuk saya. Agar saya mendapatkan sisa uang yang lumayan saya pun menentukan demand saya Rp 25.000 dengan goal Rp 35.000 dan tentu saja limit Rp 50.000. Tawar-menawar antara saya dan penjual tas pun dimulai. Harga pertama yang ditawarkan penjual rata-rata sangat tinggi (menurut saya ini overbidding) sekitar Rp 100.000, padahal sebelum bulan puasa saya tahu kalo harganya hanya sekitar Rp 30.000. saya pun menawar sesuai dengan demand saya, penjualnya pun menurunkan harga menjadi Rp 80.000, saya bilang bahwa itu masih terlalu mahal. Setelah menawar beberapa saat dicapai harga kesepakatan Rp 40.000, yang menurut saya walaupun saya tidak mencapai goal saya tetapi saya masih tetap untung.
Harga Rp 40.000 tersebut saya dapatkan setelah mengemukakan berbagai alasan seperti bahwa beberapa minggu yang lalu saya beli hanya sekitar Rp 25.000 saja, kemudian bahwa anak kost tidak punya banyak uang, sampai akhirnya sempat saya tinggal penjualnya. Untung saja dia kemudian memanggil dan akhirnya setuju. Negosiasi saya ini lebih berorientasi posisi karena kami tidak mendiskusikan kepentingan kami masing-masing.
***
Novitasari Dewi S.
Siang ini aku dan teman kosku (Binga) pergi ke Malioboro. Kami berangkat dari kos pada pukul 10 dan harus sudah sampai di kos sebelum pukul 13.00, karena Binga ada kuliah pada jam tersebut.
Kami pergi ke Malioboro dengan tujuan masing-masing. Binga ingin membeli keperluan untuk tugasnya, sedangkan aku akan membeli tempat lipstik pesanan mamaku.
Sebelum memulai “perjuangan” untuk mencari barang yang kami inginkan, kami masuk ke RAMAI mal. Di sana sebenarnya tidak ada yang kami lakukan, karena kami hanya melihat-lihat. Setelah itu baru kami mulai mencari barang-barang yang kami cari. Keluar dari RAMAI, kami mandapatkan barang Binga butuhkan. Sekarang tinggal mencarikan tempat lipstik pesanan mamaku. Kami berjalan menyusuri Malioboro, mulai dari RAMAI dan berencana berakhir di Mal Malioboro (karena akan lebih mudah untuk mencari bis untuk pulang dari belakang Mal Malioboro).
Sepanjang perjalanan itu kami mencari kios yang menjual tempat lipstik itu. Pertama, kami terhenti di sebuah tempat yang kulihat menjual barang itu. Penjualnya adalah seorang ibu-ibu yang menurutku sudah cukup tua. Dia terlihat sangat antusias “menyambut” kami. Aku mencoba menanyakan berapa harga barang itu. Ibu itu mengatakan harganya 7000 (cukup mahal menurutku). Temanku kemudian mencoba menawarnya menjadi 3000, tapi ibu itu belum memberikan respon. Sedangkan aku masih terus mencari warna mana yang kira-kira sesuai dengan keinginan mamaku. Sebenarnya, dari semua tempat lipstik yang ada, aku tidak begitu “sreg”. Tapi aku dan temanku merasa tidak enak untuk pergi tanpa jadi membeli. Akhirnya aku putuskan untuk membeli 1 saja (mamaku pesan 2) dan 1nya lagi akan aku beli di tempat lain. Lalu aku tawar lagi 3000. Ternyata ibu itu langsung memberikannya. Aku cukup kaget.
Kami lalu berjalan lagi untuk mencari lagi tempat lipstik itu di tempat lain. Tapi kali ini kami sudah mempunyai patokan. Karena ibu2 yang pertama tadi langsung setuju ketika aku menawar 3000, aku pikir jangan-jangan sebenarnya 2000pun aku bisa dapat. Jadi dari pembelian yang pertama itu aku menetapkan demand, goal, dan limitku. Demand : 2000; goal : 2500; limit : 3000.
Sepanjang perjalanan itu, barang-barang yang kami temukan tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Tiba-tiba kami menemukan tempat lipstik yang menurutku kualitasnya lebih baik dari yang pertama aku beli. Tapi penjual itu menawarkan harga yang sangat tinggi, yaitu 12500 untuk 1 barang (mahal banget!). akhirnya aku keluarkan tawaranku yang pertama. Aku menawar 4000 untuk 2 barang. Tapi penjual menolak dan menawarkan 10000 untuk 2 barang. Lalu aku naikkan penawaranku pada 5000 untuk 2 barang. Penjual masih menolak dan masih bersikukuh pada harga sebelumnya. Lalu akhirnya aku tawar lagi 6000 untuk 2 barang (sudah limit ini!). Penjual sebenarnya sudah “goyah”. Tapi dia kemudian menanyakan pada seorang wanita (mungkin istrinya) tentang harga itu. Wanita itu menolak. Akhirnya aku dan temanku pergi dan tidak jadi membeli di tempat itu.
Kami berjalan lagi menyusuri Malioboro untuk mencari barang itu lagi. Sepanjang perjalanan ternyata kami tidak menemukan barang yang sama dengan yang baru saja aku tawar tadi. Rata-rata barang yang ada kualitasnya seperti barang yang aku beli pertama tadi. Tanpa disadari kami sudah melewati mal Malioboro. Jika kami teruskan, bisa-bisa kami harus berjalan lebih jauh lagi untuk kembali ke Mal Malioboro agar bisa menjangkau bis untuk pulang. Apalagi jam sudah mepet. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat yang tadi.
Sialnya, yang melayani kami bukan penjual yang tadi melayani kami, tapi ibu-ibu yang tadi ditanyai tentang harga. Aku coba lagi untuk menawar pada 6000 untuk 2 barang. Ibu itu tetap menolak. Huh...aku sudah putus asa dan lelah sekali. Akhirnya ibu itu menurunkan tawarannya pada 8000 untuk 2 barang. Aku coba lagi untuk menawar 7000 untuk 2 barang (sudah over limit ini!). Tapi ibu itu tetap menolak. Dia tetap bersikukuh pada harga 8000 untuk 2 barang. Setelah sedikit berunding dengan temanku, akhirnya aku “terpaksa” menyetujui harga 8000 untuk 2 barang itu.
Aku mengambil keputusan itu karena :
-
tidak ada BATNA yang bisa aku keluarkan (tempat itu adalah satu-satunya tempat yang menjual tempat lipstik itu dengan kualitas yang lebih baik).
-
waktu sudah mepet (Binga ada kuliah pada jam 13.00).
-
kami sudah sangat lelah...(apalagi siang itu panas sekali dan kami sedang berpuasa...).
***
Erlinda Qurrotu Aina
Pelaku: saya
Lawan berunding: orang tua saya.
Deskripsi:
Liburan lebaran ini orang tua saya menelepon saya dan meminta saya untuk tidak pulang ke malang melainkan tetap di Jogja dan tinggal di rumah nenek saya di sini (jogja). Saya keberatan dengan permintaan orang tua saya tersebut karena sudah lama saya tidak pulang ke malang. Lagipula, ada beberapa undangan reuni yang ingin saya datangi. Tapi orang tua saya memaksa saya karena lebaran dua thun belakangan saya habiskan di malang tempat nenek saya dari pihak ayah (sedangkan yang di jogja dari pihak ibu). Namun, saya tetap bersikeras ingin pulang ke Malang. Sebenarnya saya mengerti kepentingan orang tua saya memberikan perintah seperti itu, terutama ibu saya, yang mengharapakan saya bisa bertemu dengan saudara-saudara jauh saya di jogja dan sekitarnya dan bersilahturahmi dengan mereka. Tapi di sisi lain saya juga ingin bertemu dengan saudara-saudara jauh saya yang ada di Malang dan sekitarnya juga (kerabat ayah saya). Pada kenyataannya memang saya lebih akrab dengan saudara-saudara ayah saya dibanding dengan dari pihak ibu. Namun dalam perdebatan tersebut Ibu saya, sempat berkata “Ya udah kalo nggak mau dibilangi.” Sedangkan Ayah saya mengancam tidak akan memberi uang untuk mudik. Saya langsung ketakutan dan berpikir mencari jalan keluar namun tidak juga dapat.
Besoknya ibu saya menelepon mengajukan jalan keluar yaitu seminggu di malang seminggu di Jogja. Sebenarnya bagi saya pilihan tersebut masih sulit mengingat minggu pertama saya mendapat undangan reuni sma, sedangkan minggu ke dua kerabat-kerabat ayah saya biasanya datang ke rumah nenek saya yang di Malang. Saya masih tetap bersikeras menghabiskan liburan di Malang. Karena saya merasa perdebatan ini pada akhirnya akan membuat saya kalah, saya lalu menelepon nenek saya di Malang dan menjelaskan situasinya paba beliau. Sebenarnya nenek saya menenjurkan saya menuruti orang tua saya, namun disisi lain beliau juga ingin saya menghabiskan liburan dengan keluarganya.
Strategi berunding: Saya menggunakan pihak ketiga yang perkataannya dihormati oleh lawan berunding saya, dan pihak ketiga yang mendukung kpentingan saya.
Hasil: bagaiman cerita selanjutnya saya tidak terlalu tau namun tiba-tiba beberapa hari kemuadian Ibu saya menelepon menanyakan kapan saya pulang ke malang seolah-olah perdebatan kemarin tidak ada. Saya berasumsi bahwa nenek saya yang di Malang turun tangan pada masalah ini sehingga saya bisa bebas dari tuntutan orang tua saya.
Analisis: sebenarnya jika di analisis menggunakan konsep Bad cop- Good Cop tidak terlalu tepat, masalahnya kedua orang tua saya sama-sama menggunakan kekerasan verbal terhadap saya (hehe). Tapi kalau dipikir-pikir lagi cara ibu saya lebih lunak dibandingkan ayah saya.
***
Panji Rizky N
Negosiasi kali ini saya lakukan dengan teman saya, sebut saja namanya Fafa, mengenai rencana untuk bersama di pantai. Ceritanya kami ingin berbuka bersama (lagi) untuk yang terakhir sebelum pulang mudik. Lalu ada teman (Dyon) yang mengusulkan untuk buber di pantai saja karena dia juga sedang ngidam pantai. Singkat cerita yang lain pun setuju.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah kapan dan di pantai mana serta kendaraan. Aku dan Dyon mengusulkan pantai Baron dengan alasan suasananya paling bagus. Fafa menyarankan pantai Depok yang banyak penjual ikannya secara kami kesana untuk buber. Aku dan Dyon akhirnya setuju namun denga pertimbangan lain, Pantai Baron terlalu jauh. Jadi untuk menghemat bensin kita memutuskan untuk pilih yang relatif dekat saja. Lalu untuk waktu kami memilih Jum’at sore setelah kuliah NRK selesai, karena sudah tidak ada tanggungan kuliah lagi.
Sementara untuk masalah kendaraan, kita memutuskan untuk memakai mobil karena semua malas naik motor ke pantai. Masalahnya tidak ada yang mempunyai mobil di antara kita. Maka aku menyuruh Fafa untuk mencari pinjaman mobil dengan konsekuensi kita yang menanggung biaya bensin bersama. Akhirnya Fafa berhasil mendapat pinjaman mobil dari seorang teman yang baik.
Masalah baru datang lagi. Ternyata hari Jum’at jam 3 sore ada 2 kuliah pengganti sekaligus. Aku dan Fafa kebetulan ikut keduanya. Bingung juga. Fafa usul bagaimana kalau ikut kuliah Transnasionalisme dulu sebentar, mengisi absent dan buku harian kemudian baru pindah ke kuliah Ekonomi Internasional. Namun aku menolak karena akan mengurangi waktu ke pantainya. Kalau ikut kuliah dua sekaligus mungkin jam 5 baru selesai dan berangkat ke pantai. Tentu saja tidak akan cukup untuk buber di pantai. Kalau ikut kuliah satu pun juga akan sama saja. Minimal berangkat ke pantai jam 4 sore agar dapat sampai tepat waktu dan tidak terburu-buru. Lalu aku menawarkan opsi yang agak ekstrem, tidak usah ikut kuliah sekalian. Jadi setelah kuliah NRK kita langsung berangkat ke pantai. Pertimbangan aku adalah kedua kuliah tambahan itu walaupun sebenarnya penting, namun seperti ‘tidak ada alasan untuk tidak boleh membolos’ kuliah tersebut. Kuliah Transnasionalisme paling isinya juga cuma ceramah saja, kita bisa bertanya kepada teman lain mengenai isinya (Mas Bram salah satunya). Apalagi dosennya bukan dosen HI. Sedangkan kuliah EI, dosennya sendiri pernah berkata “Daripada kalian tidak mendengar apa yang saya terangkan, lebih baik kalian tidak masuk kelas. Saya tidak akan melihat absent kalian, itukan tugasnya bagian pendidikan. Jangan menyiksa diri kalian sendiri.” Jadi saya merasa ‘tidak bersalah’ akan ‘melarikan diri’ waktu kuliah tambahan tersebut demi untuk bisa buka bersama teman-teman di pantai yang akan menjadi yang terakhir di bulan puasa ini. Fafa pun akhirnya setuju secara dia juga cukup bersemangat kalau urusannya adalah bolos kuliah.
Dalam negosiasi kali ini, aku lebih banyak berkolaborasi dengan Fafa dan Dyon karena kami mempunyai kepentingan yang sama, yaitu buber di pantai. Daripada saling kompetitif karena posisi yang berbeda (aku dan Dyon ingin di Pantai Baron, Fafa ingin di Pantai Depok; aku ingin hari Rabu; Fafa dan Dyon ingin hari Jum’at), kami (dalam hal ini lebih berat ke aku) lebih memilih untuk mengalah agar kepentingan kita sama-sama tercapai.
***
Dostları ilə paylaş: |