وأما في اصطلاح الأصوليين فمخصوص باستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يُحس من النفس العجز عن المزيد فيه.
وأما في اصطلاح الأصوليين فمخصوص باستفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يُحس من النفس العجز عن المزيد فيه.
Menurut istilah ulama ushul fiqih, ijtihad adalah mengerahkan segala kesanggupan dalam mencari hukum syara’ yang zhanni (bersifat dugaan) sampai batas dia merasa tak mampu lagi menambah kesanggupannya.
Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 257
Ijtihad hanya bisa dilakukan dalam wilayah / masalah:
Ijtihad hanya bisa dilakukan dalam wilayah / masalah:
Hukum syara’ yang berbentuk perbuatan fisik dan furu’ (cabang)
Uqubat (sistem sanksi) dan muamalah yang nashnya bersifat zhanni (tidak pasti). Kalau perkara uqubat dan muamalah yg nashnya qathi (pasti) maka tidak bisa dilakukan ijtihad.
*Ijtihad dilakukan pada perkara yg nashnya zhanni dan bukan wilayah aqidah.
*hasil ijihad dari perkara zhanni bisa banyak, maka diperlukan Tarjih.
Ijtihad Tidak bisa dilakukan dalam wilayah / masalah:
Ijtihad Tidak bisa dilakukan dalam wilayah / masalah:
Akidah (keyakinan) (ushuluddin)
Hukum Syara’ yang ada nashnya, dan nashnya itu qath’I (pasti).
Perkara-perkara yang tidak bisa di qiyaskan (tidak dianalogikan) yaitu: hukum makanan, minuman, pakaian, ibadah, akhlak.
Berdasarkan definisi ijtihad sebelumnya, menurut Imam Taqiyuddin Nabhani berarti dalam aktivitas ijtihad harus ada 3 hal :
Berdasarkan definisi ijtihad sebelumnya, menurut Imam Taqiyuddin Nabhani berarti dalam aktivitas ijtihad harus ada 3 hal :
ada upaya maksimal mengerahkan segala kesanggupan.
hasil ijtihad berupa hukum syara’ yang bersifat zhanni.
sumber ijtihad adalah nash-nash syariah (Al-Qur`an & As Sunnah).
1. Sebab banyak masalah-masalah baru yang tidak ada nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,
1. Sebab banyak masalah-masalah baru yang tidak ada nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah,
Misalnya : kloning, bayi tabung, dll.
2. Padahal manusia wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya, termasuk dalam masalah-masalah baru.
Dalil-dalil wajibnya terikat dengan hukum syara’ QS 5:49; QS 4:65, dll.
3. Maka ijtihad menjadi wajib, berdasarkan kaidah maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib,
3. Maka ijtihad menjadi wajib, berdasarkan kaidah maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib,
(kewajiban yang tak terlaksana kecuali dgn sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya).
Maka ijtihad itu wajib, sebab tanpa ijtihad tak mungkin seseorang terikat dengan hukum syara’ pada masalah-masalah baru. (Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 260)
Ijtihad hukumnya adalah fardhu (wajib),
Ijtihad hukumnya adalah fardhu (wajib),
Namun bukan fardhu ain, melainkan fardhu kifayah.
Artinya, jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang telah melaksanakannya (yaitu berijtihad), maka gugurlah kewajiban sebagian yang lainnya.
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 260)
Ijtihad telah disyariatkan berdasarkan dalil As Sunnah :
Ijtihad telah disyariatkan berdasarkan dalil As Sunnah :
(1) Sunnah Qauliyah :
“Jika seorang hakim berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala, dan jika dia berijtihad dan salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim).
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 262)
(2) Sunnah Taqriiriyyah :
(2) Sunnah Taqriiriyyah :
* Setelah selesai Perang Khandaq, Nabi SAW memerintahkan kaum muslimin mengejar Yahudi hingga ke Bani Quraizhah. Maka Nabi SAW bersabda,”Janganlah seorangpun shalat Ashar hingga dia sampai di Bani Quraizhah.”
Sebagian memahami sabda itu apa adanya dan shalat Ashar di kampung Bani Quraizhah meski sudah masuk maghrib.
Sebagian memahami sabda itu maksudnya hanya untuk mempercepat kaum muslimin sampai di kampung Bani Quraizhah dan shalat Ashar di jalan pada waktunya.
Sebagian memahami sabda itu maksudnya hanya untuk mempercepat kaum muslimin sampai di kampung Bani Quraizhah dan shalat Ashar di jalan pada waktunya.
Kedua versi pemahaman ini (ijtihad) dibenarkan oleh Rasulullah SAW (HR Bukhari dan Muslim).
(Atha bin Khalil, Taisir Al Wushul Ilal Ushul, hlm. 262)
* Sunnah Taqriiriyah lainnya :
* Sunnah Taqriiriyah lainnya :
Nabi SAW pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal RA yang akan diangkat sebagai Qadhi di Yaman,”Dengan apa kamu menghukumi?”