Memaknai Dakwah
BAB 0
S
eorang aktivis dakwah kampus haruslah menyadari beban nama yang melekat pada dirinya. Aktivis adalah titel tidak tertulis bagi seseorang yang dalam hidupnya selalu bergerak, penuh insiatif, dan tidak pernah puas menuntut ilmu. Dakwah adalah aktivitas yang ia lakukan. Dakwah ia jadikan arus utama arah geraknya, serta alasan untuk menginspirasi. Kampus adalah ruang lingkup aktivitas dakwah yang ia lakukan. Artinya, menjadi tanggung jawab moral bagi dirinya untuk berdakwah di lingkungan kampus.
Namun, sering kali kita temui seorang da’i yang menjalankan dakwah tanpa dibekali pemahaman dasar yang baik sehingga muncul berbagai bentuk disorientasi akibat kurangnya ilmu. Alhasil, proses dakwah yang terjadi tidaklah syamil alias tidak menyeluruh. Oleh karena itu, makna dakwah tentu menjadi suatu hal mendasar yang perlu dipahami oleh setiap da’i atau aktivis dakwah sebelum ia menjalankan agenda dakwah karena hal inilah yang menjadi landasan niat bagi dirinya dalam bergerak dan berjuang.
Dalam buku ini, makna dakwah akan disesuaikan dengan kondisi dakwah di kampus. Dengan demikian, semua konteks pembahasan dalam buku ini akan merujuk pada cara menjalankan aktivitas dakwah oleh setiap aktivis dakwah kampus secara optimal dan harmonis.
Pada buku “Materi Tarbiyah” (Ummu Yasmin, 2002), terdapat sebuah definisi dakwah, yakni:
Da’watunnaas ilallah bil hikmah wal maw ‘izhotil hasanah hatta yakfuruu biththaaghuuti wa yu’minuu billaah wa yakhrojuu minazulumati jahiliyyati ilaa nuuril islaam
Berdasarkan tulisan Ummu Yasmin dalam bukunya tersebut, pada bagian pendahuluan ini saya akan menjelaskan bagaimana seorang aktivis dakwah kampus mampu mengimplementasikan makna dakwah seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitas yang ia miliki. Buku ini akan mencoba menerjemahkannya dalam bahasa aktivis dakwah kampus.
Da’watunnaas ...
Sejatinya, kita adalah seorang manusia yang mempunyai perasaan. Tentunya berkomunikasi dengan perasaan kita sendiri adalah bukanlah hal yang sulit dilakukan. Alangkah baiknya sebelum memulai berdakwah, kita berkomunikasi terlebih dulu kepada diri kita. Cobalah menanyakan sebuah pertanyaan sederhana, “Apa yang kira-kira akan saya rasakan jika bertemu dengan orang seperti saya?“
Berdakwah kepada manusia merupakan suatu keunikan. Pada hakikatnya setiap manusia itu berbeda. Mereka miliki taste dan preference tersendiri. Bisa jadi setiap manusia memiliki cara sendiri pula dalam berdakwah dan didakwahi. Artinya, setiap manusia memiliki pintu masuk hidayah yang berbeda.
Bisa jadi kita menemui seseorang yang terbuka hidayahnya ketika sedang menafakuri alam.
Bisa jadi kita menemui seorang muslimah yang berniat untuk memakai jilbab setelah diperdengarkan sebuah ayat Al Qur’an.
Bisa jadi seseorang menjadi rajin shalat karena menerima nikmat tanpa disangka-sangka.
Semua orang punya alasan dan sebab untuk mendapatkan hidayah sehingga mereka berubah dengan cara yang berbeda-beda. Inilah keunikan dakwah yang kita lakukan.
Dalam bahasa psikologi kita mengenal istilah “manusiawi”. Manusiawi dalam berdakwah berarti cara yang harus kita perhatikan agar dalam berdakwah kita mampu memanusiakan manusia. Objek dakwah bukanlah benda mati yang bisa diatur dan didakwahi sesuka hati kita. Alangkah indahnya jika sebelum berdakwah kita telah mengenal terlebih dulu objek dakwah kita dengan baik. Bagaimana karakternya, serta apa yang ia inginkan dan ia butuhkan. Barulah kemudian kita mulai mencoba memformulasikan metode serta konten dakwah yang tepat untuk disampaikan kepadanya.
Dalam bukunya yang sangat fenomenal, “Bagaimana Menyentuh Hati”, Abbas Asy Siisiy menyatakan bahwa: Memahami apa yang dirasakan dan diharapkan orang lain membutuhkan hati yang selalu hidup, karena hanya hati yang bisa membaca hati. Beliau mencoba mengingatkan bahwa pendekatan personal dengan cara yang sederhana dan sangat manusiawi amatlah dibutuhkan.
Sementara itu, tantangan kita saat ini adalah agar bagaimana kita tetap bisa mengelola dakwah dengan cara yang tetap manusiawi, meski jumlah simpatisan dan pendukung bertambah banyak. Jangan sampai dikarenakan jumlah yang bertambah, kualitas dakwah kita justru berkurang.
Saya punya sebuah cerita tentang seorang aktivis dakwah kampus yang berniat baik, yakni mengingatkan para temannya untuk mengenakan jilbab. Sayangnya cara yang dia gunakan kurang tepat. Ia mengirim sebuah SMS hadits ke banyak muslimah di jurusannya:
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak-lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian." (HR Muslim)
Tidak ada yang salah dengan mengirimkan SMS hadits ini ke sesama teman, akan tetapi, tentu tidak semua orang bisa menerima pesan dari hadits ini begitu saja. Beberapa dari mahasiswi yang belum mengenakan jilbab menganggap bahwa pengirim SMS telah men-judge bahwa ia tidak akan mencium bau surga. Tentu hal ini kontraproduktif dengan dakwah. Akibatnya terbentuklah stigma negatif terhadap Lembaga Dakwah Kampus karena dicap terlalu menghakimi.
Berdakwah membutuhkan hati yang bersih, karena dengan hati yang bersih pulalah apa yang kita sampaikan akan mampu menyentuh dan membuka hati objek dakwah kita. Sesungguhnya hanya Allah-lah yang Maha-membolak-balikkan hati. Kedekatan kita dengan Allah-lah yang akan mampu melapangkan hati kita untuk dapat memberikan yang terbaik, dan menerima keindahan ajaran Islam dengan sempurna.