sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar
nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang
pemuda yang baru gila berahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat
bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena kesempatanya
belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal,
dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup!
Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya.
Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi
selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu
mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan
utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal
bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar
pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu. Pernah dia membantu
pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak,
dan hangat, dan tercium olehnya bau semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh
bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun
saja?" Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa, di belakangnya masuk pula seorang
gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik
jelita yang genit-genit "Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan kami? Swi
Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap
kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat
seperti ini...." kata Swi Liang. "Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si
Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih
erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang. Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah
rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis
itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau
harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja
itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci
arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita,
main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata sambil merangkul. "Dan tubuhmu begini
tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan
Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik
tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?" "Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil
mencubit paha Swi Liang. "Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata
Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka
cepat-cepat mengajak mereka bermain kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat
lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang
merah dan lincah itu! "Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang
berbau wangi. "Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya
dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan
bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan
Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga
rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian
minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya
arak dalam guci kecil itu habis! "Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan panas, hanya
engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si Baju
Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke
arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat
hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut
dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah
araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi-hik, kalau arak habis dia
harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai
sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.
Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang
memejamkan kedua matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan. "Enci
Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan
orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di
antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia
menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua
orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi
permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara
tiga orang itu! "Aihh, Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci Liang-cu.... kalau
saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit.
"Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke
pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas
setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu
lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget
bercampur girang, "Eh... kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar
itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis"
itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi,
terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,
"...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami
akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja
mengancam. Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian,
tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang
pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali
lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga
tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka,
sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai
gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu
saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka
dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya
sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun
juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk
melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar
supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak
mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan,
membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan
mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah
membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus
lunak dan hangat. "Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk
melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu?
Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang
pegal-pegal....." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda
itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang
menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu
terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga.
Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias
anak rambut yang menghitam dan sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang
terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas,
menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak
basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang
menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui
Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah
Liang-cu? Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita..... hamba
sampai merasa terharu memandangi Paduka....." "Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci
pintu kamar itu, dan beritahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak
beristirahat. Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku. Setelah itu,
kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur." Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah,
Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga
mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan
pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.
"Nanti dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak
panas...." kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia
membantu puteri itu membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat
tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya
dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang
memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari
bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan
teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah
melihat bidadari turun dari langit...." Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan
perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin
tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu
juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah
terlentang, karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi.
Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu
seolah-olah telanjang bulat di depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan
kuat-kuat, perlahan saja, Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi
lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani
bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan
dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu
dan jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis.
Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani
memandang wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul
sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak
berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali
keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar
kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya,
menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat
setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka
ampunkan semua kekurangan hamba." "Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar, dan....hem.....
keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan
sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau
seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti
jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka
rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan
dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan
sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh
subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba.... hamba
rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka.
Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi-hik, Liang-cu. Engkau
memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti
dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit." Yang Kui Hui
menjadi terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada
pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung.
"Apa....,apa maksudmu, Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka
menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati." Ehhh...?" Mata yang bening
indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran
memperlihatkan lidah yang meruncing merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti
mutiara. Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata,
"Benarkah itu? Suguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi
seorang pria!" Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba....
hamba .... mana berani kurang ajar....?" "Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang
Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi
pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja. "kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani
membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung
rambutnnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba
telah berubah menjadi seorang pria." Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang
terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang
seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin
bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal
kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang
laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang
bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini,
namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat
seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu dan dengan jari
tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri
membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu. "Ahhh...., Liang-cu... ke
sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!" Tanpa
diperitah kedua kalinya karena memang itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan
dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk
cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan
membelit-belitnya. Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel
terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu,
lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai
akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan
Dostları ilə paylaş: |