bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak
membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja
tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah
menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok
telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan
dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri
menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi
telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini
menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata
aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok
merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini
dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang
dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah
hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di
depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!" "Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina
kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia
merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan
melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa
Ayah tak bisa melihat orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat,
mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah
sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada
putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya,
menangis. Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega
kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia
menghela napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu
gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah
sebaik pemuda ini? "Hai, orang muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus,
"Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal
Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru
dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu. "Bertemu? Di mana?" Karena sudah
terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san,
bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......" "Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib?
Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan
kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang
mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin
Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan
mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik,
bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa
girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo
masuk ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan." "Nanti dulu, kita bicara! Sejak
engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarng.....?" Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu
muncul pula di situ. "Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari kita
bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak
tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
berangasan ini. Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman
dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia
tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka. "Ha-ha-ha!
Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Eng kau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu,
seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh
dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama
aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...." "Locianpwe, nama saya Kwa Sin
Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau
telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?' Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya
dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu
dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan
sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu
seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah
meja dan berteriak kepada muridnya mita diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa?
Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu
bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah
ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?' "Kalau ditunangkan dengan engkau tentu
saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah
ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu,
dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut
dan malu, menunduk dan tak berani bicara lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya
menggeleng kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji...."
"Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran
untuk menikah," Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu
saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku
telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut
penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...." "Harap
Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan
dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya
akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia
tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga
untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti
kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan
Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk
ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia
merasa malu dan.... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat.
Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah,
akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya
yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah
mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana
dengan tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan
termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan
dapat dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning.
Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya. Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi
ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia
melompat keluar untuk menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya
menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat
betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti
dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti
dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak
senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu
bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi
itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah
melompat keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri, memasang kuda-kuda dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!" Siangkoan Hui adalah
seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan
berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu
adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?" Tentu saja
pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang
lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya! "Kau.... kau....
perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki. Siangkoan Hui
terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang.
"Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci
maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya
mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui! "Singgg...
Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari
atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan
balasannya yang tidak kalah berbahaya. "Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis
serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh
dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat
kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri
tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk
sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk
Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan
betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan
dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan
mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan
Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh. "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar
pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak
menghantam dari atas. Seolah-olah semua jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang
diputar-putar, melindungi tubuhnya. Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar
dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat
Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
"menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu!
Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan
tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau
Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung
pedangnya! "Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki lapangan
pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa
Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi
ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan
serang orang!" "Kalau begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan
pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke
sana-sini mengelak karena sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main! "Kenapa kau membelanya?
Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu
tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua
orang muda ini dapat datang bersama? Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena
gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun
kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang
berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari
pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap
gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan
penyelidikannya, daripada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba
meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa
marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan secepat
kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak
menangkapnya atau hendak berkurang ajar. "Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia mengerahkan
tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya, menyepak dan menampar. "Plak-plak-plak.....! Wah-wah.....
galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena
ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan
tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi,
dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita!
Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi
oleh Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan
Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!" "Tar-tar-tar....!!" Cambuk
buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja
kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa
herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan
pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak
membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau
racun manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya
berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee
Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan
telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya
menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras! "Nona cantik tapi galak seperti
kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah
dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah
mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam!
Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!"
Bunga api berpijar dari keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu
dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang
mereka seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya!
Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau
marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?" "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin
aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main!
Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran
bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa....
eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang
Dostları ilə paylaş: |