Eksistensi pasukan as



Yüklə 3,86 Mb.
səhifə12/30
tarix27.12.2018
ölçüsü3,86 Mb.
#87683
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   ...   30

5. Madzhab Zhahiri

Imam Ibnu Hazm berkata,” Jihad hukumnya wajib atas kaum muslimin. Jika sudah ada sebagian kaum muslimin yang dapat mengatasi serangan musuh, menyerang negeri-negeri kaum kafir dan melindungi wilayah kaum muslimin, kewajiban berjihad gugur atas umat Islam yang lain. Jika belum, kewajiban tidak gugur. Allah berfirman,”Berangkatlah kalian berperang baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan nyawa kalian.”{QS. At Taubah :41}.186
6. Ulama Kontemporer

Imam Musthofa Al-Suyuthi berkata,” Secara syar’i jihad berarti memerangi orang-orang kafir dan hukumnya adalah fardhu kifayah ; jika sebagian orang yang mengerjakanya telah menuntaskan (tujuan jihad) maka kewajiban jihad gugur atas selain mereka, tetapi kalau belum tuntas maka semuanya berdosa.”187

Syaikh Abdul Baqi Ramdhun berkata,” Diantara hal yang disepakati fuqaha’ empat madzhab dan mayoritas ulama, bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah atas umat Islam minimal sekali dalam setahun. Ini jika kaum muslimin menyerang orang-orang kafir di negara mereka untuk membuka dan meluaskan daerah Islam. Adapun jika perang terjadi di negara Islam (defensive), maka hukumnya fardhu ‘ain atas orang yang lebih dekat, kemudian yang agak dekat dari medan perang dan seterusnya sampai kecukupan itu terealisasi. Jika tidak terealisasi, maka hukumnya fardhu ‘ain atas seluruh umat Islam di seluruh daerah dan negara.”188

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut :189



  1. Dasar hubungan dengan orang kafir yang jelas-jelas kita tahu bahwasanya mereka belum pernah mendengar dakwah Islam adalah hubungan damai sampai mereka mendengar dakwah.

  2. Dasar hubungan dengan orang-orang kafir yang telah sampai dakwah kepada mereka dan mereka menolak masuk Islam atau membayar jizyah adalah hubungan perang. Orang-orang kafir mempunyai salah satu dari tiga pilihan : masuk Islam, membayar jizyah atau perang. Jika mereka mau masuk Islam atau membayar jizyah, maka mereka aman. Namun kalau menolak keduanya, maka hubungan dasar dengan mereka adalah hubungan perang.

  3. Kaum muslimin boleh mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang kafir, dengan syarat ; diadakan karena keadaan menuntut kaum muslimin untuk berdamai, merealiasikan maslahat bagi kaum muslimin dan dalam masa waktu yang jelas.

  4. Meski asal hubungan adalah perang, namun yang boleh dibunuh adalah kafir harbi yang mampu atau terlibat perang (muqatilah); baik laki-laki dewasa, anak-anak yang telah baligh maupun wanita yang terlibat peperangan. Adapun beberapa orang kafir harbi yang tidak mampu atau terlibat berperang, seperti anak-anak yang belum baligh, wanita, orang tua dan lainnya, maka tidak boleh dibunuh. Jadi, sebab disyari’atkannya perang itu adalah kekafiran dengan syarat orang yang diperangi tersebut adalah ahlul qital (orang yang mampu berperang).

Imam Al-Kasani berkata:
وَاْلأَصْلُ فِيهِ أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ اْلقِتَالِ يَحِلُّ قَتْلُهُ سَوَاءً قَاتَلَ أَوْ لَمْ يُقَاتِلْ، وَكُلُّ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ اْلقِتَالِ لاَ يَحِلُّ قَتْلُهُ إِلاَّ إِذَا قَاتَلَ حَقِيقَةً أَوْ مَعْنًى بِالرَّأْيِ وَالطَّاعَةِ وَالتَّحْرِيضِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ ... وَلَوْ قُتِلَ وَاحِدٌ مِمَّنْ ذَكَرْنَا أَنَهُ لاَ يَحِلُّ قَتْلُهُ فَلاَ شَيْءَ فِيهِ مِنْ دِيَّةٍ وَلاَ كَفَارَةٍ إِلاَّ التَّوْبَةَ وَاْلاِسْتِغْفَارَ ِلأَنَّ دَمَّ اْلكَافِرِ لاَ يُتَقَوَّمُ إِلاَّ بِاْلأَمَانَ وَلَمْ يُوجَدْ

” Pada dasarnya setiap orang yang bisa berperang, halal dibunuh baik mereka ikut berperang maupun tidak. Semua orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berperang tidak boleh dibunuh, kecuali jika mereka nyata-nyata ikut berperang atau secara tidak langsung terlibat perang dengan memberikan pendapat, ketaatan, motifasi atau yang lain …dan jika orang-orang yang tidak halal dibunuh sebagaimana yang kami sebutkan diatas terbunuh, maka tidak ada kewajiban diyat atau kafaroh kecuali taubat dan istighfar, karena darah orang kafir itu tidak dibela kecuali dengan jaminan keamanan, sedangkan jaminan keamanan dalam hal ini tidak ada.”190


Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Bazz berkata :
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ

“ Maka apabila bukan-bulan haram itu telah habis maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat intaian …” (QS At Taubah : 5)

Dalam ayat ini Alloh memerintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik secara umum. Penggantungan sebuah hukum kepada sifat ini (kesyirikan) menunjukkan bahwa sifat ini merupakan sebab alasan hukum ('ilah). Maka ketika Allah Ta’ala menggantungkan hukum perang itu dengan orang-orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang yang meninggalkan Islam dan tidak berdien dengan dien yang haq, hal ini menunjukkan bahwa hal-hal ini merupakan 'ilah hukum dan hal yang menyebabkan mereka diperangi. Maka alasan disyari’atkannya perang adalah kekafiran dengan syarat ia termasuk orang yang mampu berperang, dan bukan orang selain mereka.

Jika mereka termasuk orang yang berperang, mereka kita perangi sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah jika mereka dari kalangan Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Atau mereka kita perangi sampai mereka masuk Islam saja tanpa ada pilihan yang lain, jika mereka bukan dari tiga golongan tersebut.

Jika mereka tidak mau masuk Islam, maka yang ada adalah perang. Terkecuali orang-orang yang tidak berurusan dengan peperangan seperti perempuan, anak-anak, orang buta, orang gila, pendeta, orang yang sibuk beribadah dalam tempat ibadah mereka dan orang-orang yang tidak berurusan dengan peperangan karena mereka tidak bisa berperang sebagaimana yang tersebut diatas. Begitu pula orang tua renta, mereka tidak diperangi menurut mayoritas ulama’, karena mereka adalah orang-orang yang tidak ikut campur dalam peperangan.”191

Catatan Makna Fardhu Kifayah
Hukum jihad fi sabilillah dengan memerangi orang-orang kafir di negri mereka (jihad thalab) menurut mayoritas ulama adalah fardhu kifayah. Apa makna fardhu kifayah ?

Imam Ibnu Qudamah mengatakan,“ Makna fardhu kifayah adalah jika belum ada orang yang mencukupi (menuntaskan) pekerjaan maka seluruh manusia berdosa. Jika sebagian yang melakukannya telah bisa mencukupi pekerjaan, maka kewajiban itu gugur atas yang lain. Awalnya perintah itu mengenai seluruh orang seperti fardhu ‘ain, kemudian berbeda dengan fardhu ‘ain ; dalam fardhu kifayah sebuah kewajiban bisa gugur bila sebagian orang telah mengerjakannya. Sedang fardhu ‘ain, kewajiban tidak bisa gugur sekalipun sebagian orang sudah mengerjakannya.”192

Para ulama menyebutkan syarat kifayah (kecukupan, tuntasnya amal) agar kewajiban jihad gugur atas kaum muslimin yang lain. Artinya, sekalipun sebagian kaum muslimin sudah melaksanakan kewajiban jihad, namun bila mereka belum mencukupi dan kewajiban belum tuntas (terlaksana dengan baik sesuai tuntutan syariah), kaum muslimin yang lain tetap berdosa dan wajib ikut berjihad.

Jadi, amal kewajiban harus terselesaikan dengan tuntas dan baik, baru bisa dikatakan umat Islam yang lain tidak berdosa bila tidak melaksanakannya. Bila pekerjaan tidak bisa dtuntaskan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban meluas ke umat Islam yang lain sampai akhirnya bisa tertuntaskan. Bila tidak bisa tuntas kecuali bila seluruh umat Islam melakukannya, maka wajib bagi seluruh umat Islam melakukannya tanpa terkecuali. 193

Di sinilah letak perbedaan antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah :

[1]. Awalnya, khitab (perintah syariat kepada mukalaf) ditujukan kepada seluruh mukalaf. Lantas berbeda : fardhu kifayah tidak wajib dilaksanakan oleh setiap mukalaf bila sudah ada sebagian mukalaf yang mengerjakan dan mencukupinya (menuntaskan, kifayah), sementara fardhu ‘ain tidak gugur atas seorang mukalaf sekalipun mukalaf yang lain sudah mengerjakannya.

[2]. Dalam fardhu ‘ain, Pembuat syariah (Allah Ta’ala) melihat kepada terlaksanakannya kewajiban dari setiap mukalaf, sementara dalam fardhu kifayah Pembuat syariah (Allah Ta’ala) hanya melihat kepada dilaksanakannya kewajiban dengan tuntas, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya.

Karena itu, imam Fakhurdien Al-Razi mendefinisikan fardhu kifayah sebagai sebuah kewajiban yang dituntut terlaksananya (yuqshadu husuluhu) tanpa melihat kepada siapa yang melaksanakannya.194 Oleh karenanya pula, mayoritas ulama ushul, di antaranya imam Al-Amidi, Ibnu Hajib dan Ibnu Abdi Syakur menyatakan bahwa fardhu kifayah wajib atas seluruh umat Islam, namun gugur bila sebagian telah mengerjakannya sampai tercapai kifayah.

Imam Ibnu Abidin Muhammad Amin bin Umar Al-Hanafi (1251 H) berkata ;
وَإِيَّاكَ أَن تَتَوَهَّمَ أَنَّ فَرْضِيَّتَهُ تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْهِنْدِ بِقِيَامِ أَهْلِ الرُّومِ مَثَلاً , بَلْ يُفْرَضُ عَلىَ اْلأَقْرَبِ فَاْلأَقْرَبِ مِنَ اْلعَدُوِّ إِلَى أَنْ تَقَعَ الْكِفَايَةُ فَلَوْ لَمْ تَقَعْ إِلاَّ بِكُلِّ النَّاسِ فُرِضَ عَيْناً كَصَلاَةٍ وَصَومٍ

" Janganlah engkau mengira kewajiban jihad gugur atas penduduk India dengan sudah berjihadnya penduduk Romawi, tapi jihad itu diwajibkan atas yang paling dekat dengan musuh kemudian yang agak dekat sampai tercapai kifayah. Jika jihad tidak mencapai kifayah kecuali dengan berperangnya seluruh manusia, maka jihad menjadi fardhu ‘ain sebagaimana shalat dan shaum.”



Imam Al Maidani mengomentari ucapan Al Qoduri (Jihad hukumnya fardhu kifayah dan hukum memerangi orang kafir adalah wajib meskipun mereka tidak memulainya) dengan mengatakan,” Hukum tersebut di atas berlaku bila pihak yang menanganinya sudah cukup mencukupi. Namun bila ternyata tidak mencukupi, maka wajib ditangani oleh kaum muslimin yang terdekat dengan musuh hingga musuh dapat diatasi.”195
Standar Terpenuhinya Kifayah jihad Thalab
Berikut ini sebagian perkataan ulama’ yang menerangkan makna dan standar kifayah dalam jihad thalab :

(a). Imam Al-Qurthubiy berkata : “ …Imam wajib mengirim satu pasukan kepada musuh setiap tahun sekali, baik ia sendiri yang memimpin pasukan tersebut maupun dia mewakilkan kepada orang yang dia percayai untuk mengajak orang-orang kafir kepada Islam .. menahan serangau mereka, dan meng idzharkan dien Alloh terhadap mereka sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah .. Ia (seorang muslim) berperang dengan jiwaraganya jika dia mampu, dan jika tidak dia memberikan perbekalan kepada orang yang berperang …”196

(b). Imam At-Tahaanuwiy berkata,“ Mereka (para ulama’-pent.) sepakat (ijma), apabila orang-orang kafir tinggal di wilayah mereka dan tidak menyerang Daarul Islam, maka imam wajib untuk tidak melewatkan satu tahun berlalu tanpa peperangan, baik dia terjun langsung ikut berperang atau dia mengirim sariyah-sariyah (ekspedisi-ekspedisi) supaya jihad itu tidak terabaikan; karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Al-Khulafaa’ Ar-Roosyiduun tidak melalaikan jihad.

Apabila ada satu kelompok kaum muslimin yang telah melaksanakannya, sehingga dengan mereka tercapai penolakan kejahatan orang-orang kafir dan peninggian kalimatullooh, maka gugurlah kewajiban itu dari yang lainnya. Pada saat itulah, seorang budak tidak boleh keluar (untuk berjihad) tanpa izin tuannya; seorang perempuan tidak boleh keluar tanpa izin suaminya, orang yang mempunyai hutang tidak boleh keluar tanpa izin orang yang menghutanginya, dan seorang anak tidak boleh keluar jika salah satu dari kedua orang tuanya melarangnya, karena jihad sudah dapat dicukupi oleh orang lain, sehingga tidak ada alasan yang mendesak untuk menggugurkan hak manusia.



Namun jika tidak ada seorangpun yang melaksanakannya, semua orang berdosa kecuali ulidh dhoror (orang buta, pincang dan sakit) di antara mereka. Para ulama juga sepakat (ijma’), wajib atas penduduk sebuah daerah untuk memerangi orang-orang kafir yang berada di dekat (sekitar) mereka. Jika mereka tidak mampu, kaum muslimin yang paling dekat dengan mereka (harus) membantunya. Begitu pula jika penduduk daerah tersebut malalaikan jihad ini padahal mereka mampu, maka wajib bagi kaum muslimin yang berada paling dekat dengan mereka untuk melaksanakannya. Kemudian kewajiban itu meluas sampai seluruh dunia. Begitulah disebutkan dalam kitab Al-Madzhari 2/203, dan kepada Alloh–lah kita mengadukan perbuatan para penguasa Islam pada zaman kita ini, karena mereka menihilkan jihad sama sekali, mereka hanya melaksanakannya untuk mempertahankan diri saja, padahal Abu Bakar Ash-Shiddiiq Radhiyallahu ‘anhu mengatakan pada khotbahnya yang pertama kali :

مَا تَرَكَ قَوْمٌ اْلجِهَادَ إِلاَّ ذُلُّوا

Tidaklah sebuah kaum meninggalkan jihad kecuali mereka pasti hina.”

Dan demi Alloh, sungguh beliau telah berkata benar.”197

(c). Imam Ibnu An-Nuhas Al-Dimyathi mengatakan: “Ketahuilah bahwa jihad (menyerang) orang-orang kafir di negeri mereka adalah fardlu kifayah berdasarkan kesepakatan ulama’… minimal sekali dalam setahun … dan tidak boleh satu tahun berlalu tanpa perang dan jihad kecuali karena dhoruurohImam Al-Haramain Al-Juwainiy mengatakan: Pendapat yang terpilih bagi saya adalah jalan yang ditempuh ushuuliyyiin (ahli ushul fiqih), yang mengatakan: Jihad itu adalah Da’wah Qohriyyah (dakwah dengan kekuatan atau kekerasan), oleh karena itu wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, sehingga tidak tersisa di atas muka bumi ini kecuali muslim atau musaalim (orang kafir yang berdamai, menyerah). Jihad tidak hanya sekali dalam setahun. Bila memungkinkan lebih dari satu kali dalam setahun, jihad tidak boleh ditinggalkan … Imam Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Mughniy: Minimal jihad dilakukan sekali dalam satu tahun, kecuali jika ber’udzur untuk melakukannya. Jika kebutuhan menuntut untuk melakukan jihad lebih dari satu kali dalam satu tahun, maka wajib dilaksanakan, karena jihad itu fardlu kifayah, dan fardlu kifayah itu wajib dilakukan ketika ada tuntutan kebutuhan.”198

(d). Para ulama madzhab Syafi’I berkata: “Kifayah (kecukupan) tercapai bila imam telah mengisi tsughur (daerah-daerah perbatasan) dengan pasukan yang mencukupi untuk menghadapi orang-orang kafir dengan memperkokoh benteng-benteng, parit-parit perlindungan dan mengangkat para komandan perang. Atau bila imam atau wakilnya masuk daarul kufri dengan pasukannya untuk memerangi mereka.”199

(e). Imam Al-Syarbini Al-Khatib Al- Syafi’i mengatakan: “Adapun sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., maka orang-orang kafir itu keadaannya ada dua. Pertama; mereka diam di negara mereka, tidak menyerang negeri kaum muslimin. Hukum jihad dalam kondisi seperti ini fardlu kifayah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sejarah Al-Khulafaa’ Ar-Roosyidiin. Al-Qodli Abdul Wahab mengatakan bahwa hal ini merupakan ijma’ … dan kecukupan (kifayah) tercapai bila imam mengisi tsughur dengan pasukan yang cukup untuk menghadapi orang-orang kafir. Dengan cara memperkokoh benteng-benteng, membangun parit-parit perlindungan, dan mengangkat para komandan perang. Atau, imam atau wakilnya masuk daarul kufri dengan pasukannya untuk memerangi mereka.”200

Dengan kembali kepada buku-buku para ulama salaf dan khalaf, yang sebagian dikutip di atas, ditemukan bahwa di kalangan ulama terdapat dua pendapat tentang bentuk konkrit “kifayah” dalam jihad thalab201 :

a). Menurut mayoritas ulama, wajib melakukannya minimal sekali dalam setahun. Bila lebih dari sekali, hukumnya sunnah. Artinya, jihad thalab sudah dianggap dikerjakan dengan tuntas dan kifayah tercapai, bila seluruh daerah-daerah perbatasan telah dijaga dengan pasukan yang memadai, dan dalam setahun sekali ada pasukan Islam yang menyerang negara-negara kafir : mendakwahi mereka untuk masuk Islam, kalau menolak diperintah tunduk kepada syariat Islam dan membayar jizyah, bila menolak diperangi. Dasar pendapat mayoritas ulama adalah : jizyah sebagai pengganti jihad, hanya wajib dibayarkan sekali dalam setahun.

b). Beberapa ulama berpendapat kifayah baru tercapai bila setiap kali memungkinkan, pasukan dikirim ke negara-negara kafir. Menurut imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, pendapat ini kuat.202 Imam Al Qurthubi mengatakan,” Merasa berat untuk berjihad dengan menampakkan keengganan itu haram.”203 Imam Asy Syairazi mengatakan,” Jika kebutuhan menuntut untuk mengirim pasukan perang dalam setahun lebih dari sekali, maka wajib hukumnya mengirim lebih dari satu kali karena jihad adalah fardhu kifayah, sehingga wajib dikerjakan setiap kali kebutuhan menuntut.204

Pendapat kedua ini menurut DR. ‘Ali bin Nafi’ Al-Ulyani, syaikh Murad bin Abdurahim Al-Syafi'i, syaikh Yusuf bin Shalih Al-'Ayiri dan beberapa ulama khalaf lebih kuat dengan alasan :


  1. Nash-nash yang memerintahkan jihad tidak membatasinya dengan jumlah tertentu. Adapun jizyah bukanlah sebagai pengganti jihad secara mutlak karena terkadang jihad diganti dengan as sulhu (perdamaian).

  2. Menyerang musuh setiap kali memungkinkan merupakan hal yang sesuai dengan tujuan jihad itu sendiri. Di antara tujuan jihad adalah menghilangkan kesyirikan dan kekafiran dari seluruh muka bumi, sehingga hukum wajibnya jihad tidak akan berhenti sampai seluruh jengkal tanah di bumi ini tunduk kepada hukum Islam atau ketika kaum muslimin telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk merealisasikan jihad, bukan karena tujuan telah terealisisr namun karena sudah berada di luar kemampuan, sedangkan Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali apa yang dimampuinya.

Makna jihad sendiri adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir.205

[8].

Jihad Melawan Orang-Orang Kafir Yang Memerangi

Selain mensyariatkan jihad yang bersifat ofensif, Islam juga mensyariatkan jihad yang bersifat defensif, membela diri. Dalam istilah fiqih, jihad defensif dikenal dengan istilah Jihadu Difa' (Jihad Defensif). Semua bangsa, negara dan agama di dunia ini juga menganut prinsip perang demi membela diri. Dengan demikian, perang demi membela diri ini telah disepakati dan dipraktekkan oleh seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu sampai sekarang.




    1. Pengertian Jihad Difa' :

Berjihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki salah satu wilayah atau lebih dari wilayah umat Islam.206

Bentuk jihad defensif yang paling sering dikenal dalam fikih Islam adalah :



  • Jihad melawan musuh yang menyerang atau menduduki wilayah kaum muslimin.

  • Jihad melawan musuh yang menawan satu atau lebih kaum muslimin




    1. Hukum Jihad Melawan Musuh yang Menyerang Wilayah Islam

Jika musuh telah menyerang suatu negeri kaum muslimin, maka jihad melawan musuh menjadi wajib ‘ain bagi seluruh penduduk negeri tersebut. Bila penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, maka kaum muslimin di negeri-negeri tetangga wajib membantu. Bila penduduk negeri-negeri tetangga terebut juga belum mampu mengusir musuh, kewajiban mengusir musuh meluas sampai akhirnya mengenai seluruh umat Islam di seluruh penjru dunia.

Demikian juga jika musuh telah menguasai daerah atau negara Islam, maka wajib ‘ain bagi setiap umat Islam untuk membebaskannya dari cengkeraman musuh. Hukum fardhu 'ain ini telah menjadi kesepakatan seluruh ulama (ijma').

Hukum ini berdasar beberapa ayat dan hadits :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu sekelompok pasukan musuh maka tetaplah kamu ditempat itu dan banyaklah berdzikir supaya kalian menang.”(QS. Al Anfaal :45)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار

“ Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertemu orang-orang kafir (di medan perang) maka janganlah kalian lari membelakangi mereka.” (QS. Al Anfaal : 15)


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ ! قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ.

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda bersabda,” Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !!! Para shahabat bertanya," Apa itu ya Rasulullah? Beliau menjawab,” Berbuat syirik kepada Alloh, perbuatan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh kecuali dengan alasan yang benar, makan harta riba, makan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran dan menuduh wanita mukminah yang baik-baik berzina.”207

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ, يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ, لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ.

Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash, ia berkata," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda : Darah kaum muslimin itu satu level (sejajar dalam masalah qisash dan diyat, pent). Orang yang paling rendah di antara mereka bisa memberi jaminan keamanan (amanul jiwar), dan satu sama lain saling membantu dalam menghadapi musuh. Orang yang kendaraannya kuat membantu orang yang kendaraannya lemah, orang yang terlibat perang membantu orang yang tidak berperang (memberi jatah ghanimah, pent). Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena ia membunuh seorang kafir, dan orang kafir yang terikat perjanjian damai tidak boleh dibunuh."208


Di bawah ini disebutkan beberapa pernyataan ulama dari masing-masing madzhab :

[A]. Madzhab Hanafi

Imam 'Alaudin Al-Kasany (587 H) mengatakan ;

“ Jika penduduk tsughur tidak mampu melawan orang-orang kafir, dan ditakutkan musuh akan menguasai mereka maka kaum muslimin yang berada di daerah-daerah terdekat di belakang daerah mereka (tsughur) wajib berangkat berperang dan mengirim bantuan senjata dan harta, berdasar apa yang telah kami sebutkan bahwa saat itu jihad hukumnya wajib atas seluruh orang ahlul jihad (muslim, akal sehat, baligh, tidak cacat dan mempunyai kemampuan, pent). Kewajiban ini gugur atas kaum muslimin yang lain bila sebagian kaum muslimin sudah mencukupi.

Adapun jika terjadi seruan perang (mobilisasi) umum karena musuh menyerang suatu negeri, maka jihad menjadi fardhu ‘ain atas tiap individu dari kaum muslimin yang mampu, berdasarkan firman Allah ta’ala : “Berangkatlah kalian berperang, baik merasa ringan maupun berat "[QS. 9:41]. Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan mobilisasi (seruan jihad). Juga berdasar ayat " TIdak selayaknya bagi penduduk Madinah dan orang-orang badui yang tinggal di sekitar Madinah, untuk tidak turut pergi berperang bersama Rasululah. Tidak patut bagi mereka lebih mencintai diri mereka sendiri atas diri Rasulullah" [QS. 9:120] Juga karena telah tegas ada kewajiban berjihad atas semuanya meski sebelum terjadinya mobilisasi, dikarenakan gugurnya kewajiban jihad atas sebagian orang itu baru terjadi bila sebagian lain telah melaksanakannya (itupun dengan syarat telah menuntaskan pekerjaan, pent).

Jika terjadi mobilisasi umum, jihad tidak akan terealisasi kecuali dengan seluruh umat turut berjihad. Maka jihad tetap fardhu 'ain atas seluruh umat Islam, seperti kedudukan shoum dan sholat. Seorang budak berperang tanpa harus minta izin tuannya, seorang istri berperang tanpa minta izin suami ; karena menurut syariat, manfaat budak dan istri dalam urusan-urusan ibadah yang fardhu ain merupakan pengecualiaan dari kepemilikan tuan dan suami; sebagaimana dalam hal shaum dan shalat. Demikian juga boleh seorang anak keluar berperang tanpa ijin orang tua, sebab hak kedua orang tua tidak dimenangkan (harus dikalahkan) dalam persoalan-persoalan fardhu ‘ain seperti dalam shoum dan sholat. Wallahu A'lam.”209



Yüklə 3,86 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   8   9   10   11   12   13   14   15   ...   30




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin