Eksistensi pasukan as



Yüklə 3,86 Mb.
səhifə13/30
tarix27.12.2018
ölçüsü3,86 Mb.
#87683
1   ...   9   10   11   12   13   14   15   16   ...   30

Imam Ibnu ‘Abidin Muhammad Amin bin Umar Al Hanafi (1252 H) mengatakan :

” Hukum jihad adalah fardhu ‘ain bila musuh menyerang sebuah wilayah (daerah perbatasan) kaum muslimin, yaitu bagi kaum muslimin yang terdekat dengan wilayah itu. Adapun bagi penduduk yang jauh dari wilayah tersebut adalah fardhu kifayah jika tidak diperlukan untuk membela wilayah yang diserang itu. Tapi kalau mereka dibutuhkan karena penduduk wilayah yang diserang lemah (tidak mampu) mengusir musuh atau tidak lemah namun malas-malasan maka kewajiban melawan musuh menjadi fardhu ‘ain atas penduduk yang lebih jauh dari wilayah itu seperti wajibnya sholat dan shaum. Mereka tidak boleh meninggalkannya, begitu seterusnya sampai akhirnya wajib atas seluruh umat Islam di belahan bumi Timur dan Barat."210



Imam Muhammad bin Ali Al-Hashkafi (1088 H) pengarang Ad-Durul Mukhtar mengataan (Dan fardhu ‘ain ketika musuh menyerang, maka semuanya keluar berperang meski tanpa izin ). Imam Ibnu Abidin menerangkan maksud perkataan ini dengan mengatakan:

” Maksudnya (fardhu ain atas) orang yang dekat dengan musuh. Jika mereka tidak mampu atau bermalas-malasan, maka kewajiban (fardhu ain mengusir musuh) meluas atas orang yang lebih dekat kepada mereka, demikian seterusnya sampai kewajiban mengenai kaum muslimin di Timur dan Barat…Dalam Al Fatawa Al Bazaziyah disebutkan,”Sekiranya ada seorang wanita muslimah yang tertawan di bumi belahan timur, wajib bagi penduduk bumi belahan barat untuk membebaskannya."211



Imam Al Jashash Al-Hanafi berkata :

“ Sudah sama diketahui termasuk akidah (keyakinan) seluruh kaum muslimin, bahwa jika penduduk tsughur (perbatasan yang berbatasan dengan daerah musuh--pent) takut terhadap serangan musuh dan mereka tidak mampu melawan mereka, sehingga mereka mengkhawatirkan negeri, nyawa dan keturunan mereka, maka wajib bagi seluruh umat Islam untuk berangkat perang sampai mereka bisa menolak serangan musuh. Hal ini tidak diperselisihkan lagi di kalangan umat Islam, karena tak seorang muslimpun yang menyatakan bolehnya berdiam diri tidak melawan mereka (musuh) sehingga mereka menumpahkan darah kaum muslimin dan menawan keturunannya.”212



Imam At Tahanawi mengatakan:

Jika orang-orang kafir menyerang sebuah negeri dari negeri-negeri kaum muslimin, jihad berubah menjadi fardhu ‘ain atas setiap mukalaf yang tidak mempunyai udzur. Para ulama telah berijma’ bahwa jika musuh menyerang salah satu negeri kaum muslimin, wajib hukumnya atas setiap mukalaf penduduk negeri tersebut yang tidak mempunyai udzur untuk keluar berperang, baik ia seorang merdeka atau budak, kaya atau miskin, karena jihad saat itu menjadi farhu ‘ain sehingga tidak ada kekuasaan tuan atas seorang budak, hak orang yang menghutangi dan hak orang tua, seperti sholat dan shaum (tak perlu izin tuan, orang yang mempiutangi dan orang tua-ed).

Imam Abu Hanifah mengatakan seorang perempuan berangkat berperang tanpa perlu izin suaminya, karena suami tidak bisa mencampuri urusan yang hukumnya sudah fardhu ‘ain. Jika penduduk negeri itu sudah cukup untuk mengusir musuh, maka kewajiban gugur atas penduduk negeri-negeri di belakangnya. Tetapi jika penduduk negeri itu saja belum cukup (kifayah), maka penduduk negeri yang dekat dengan mereka wajib membantu. Jika penduduk yang paling dekat tidak membantu, maka wajib bagi penduduk negeri-negeri yang lebih dekat lainnya untuk membantu.”213

Fatwa yang sama disebutkan oleh imam Zainudin Ibnu Nujaim Al-Hanafi (970 H) dalam Al-Bahrur Rooiq Syarhu Kanzud Daqo-iq 5/191 dan imam Kamaludin Muhammad Abdul Wahid Ibnul Hammam Al-Hanafi (861 H) dalam Fathul Qadir Syarhul Hidayah 5/191.


[B]. Madzhab Maliki

Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan :

" Jihad hukumnya fardhu 'ain umum atas setiap orang yang mampu melakukan perlawanan, peperangan dan memanggul senjata dari kalangan orang-orang baligh yang merdeka. Ini manakala musuh memerangi dan menguasai Negara Islam. Jika demikian halnya, maka wajib bagi seluruh penduduk Negara tersebut untuk berperang; baik ringan maupun berat, anak-anak muda maupun orang tua.

Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga (baik mereka sedikit maupun banyak) wajib ikut mengusir musuh, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh.



Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang, karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh. Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.

Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka."214



Imam Ibnu al Arabi Al-Maliki berkata :

” Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib karena jihad telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu daerah dari daerah-daerah kaum muslimin atau berkuasanya musuh di negeri kaum muslimin, maka wajib bagi seluruh orang untuk keluar berjihad. Jika mereka meremehkannya maka mereka berdosa."215

Ketika menafsirkan firman Allah QS. At Taubah : 41 (artinya : berangkatlah kalian berperang dalam keadaan ringan maupun berat…), Imam al Qurthubi mengatakan :

“ Kadang terjadi kondisi di mana mobilisasi umum itu wajib …yaitu ketika jihad telah menjadi fardhu ‘ain dengan menangnya musuh atas satu daerah dari daerah-daerah kaum muslimin, atau mereka menduduki (menjajah) Negara Islam. Maka saat itu wajib bagi seluruh penduduk negeri itu untuk keluar dan berangkat berperang; baik dalam keadaan berat maupun ringan, masih muda maupun sudah tua; masing-masing berdasar kemampuannya. Siapa mempunyai ayah tak perlu izin ayahnya, demikian pula yang tak berayah lagi.

Tidak boleh ada yang tidak ikut keluar berperang, baik ia kaya maupun miskin. Jika penduduk negeri itu tak mampu mengusir musuh, maka penduduk negara yang berdekatan dan bertetangga wajib ikut mengusir musuh, sampai mereka diketahui mampu menahan dan mengusir musuh.

Demikian juga setiap orang yang mengetahui bahwa penduduk negeri yang diserang lemah tak sanggup mengusir musuh, dan ia tahu bahwa ia bisa bergabung dan membantu mereka, maka wajib baginya keluar berperang, karena umat Islam adalah satu tangan (kesatuan) dalam menghadapi musuh. Jika penduduk negeri yang diserang musuh berhasil mengusir musuh, maka barulah kewajiban gugur atas kaum muslimin yang lain.

Seandainya musuh bergerak mendekati Darul Islam namun belum masuk menyerbu, kaum muslimin tetap wajib keluar mengusir mereka sampai dienullah menang, wilayah terjaga, penduduk terlindungi dan musuh dihinakan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat lagi."

Jika ada yang bertanya," Apa yang harus dilakukan oleh seorang diri jika semua orang melalaikan tugas ini ?” Maka dijawab," Ia harus menebus (membebaskan) satu orang tawanan." Ada ulama mengatakan (yang mengatakan adalah imam Ibnu Al Arabi Al Maliki, pent) : Musuh telah menduduki negeri kami (Andalus) pada tahun 527 H. Mereka merajalela seenaknya di tengah daerah-daerah kami, menawan orang-orang terbaik di antara kami dan memasuki negeri kami dengan jumah pasukan yang menggetarkan masyarakat. Maka saya katakan kepada gubernur: " Ini dia musuh Allah sudah masuk dalam "perangkap dan jarring". Maka hendaklah seluruh orang keluar (melawan) sampai tidak tersisa lagi seorangpun di seluruh daerah, lalu mengepung musuh. Musuh pasti akan binasa, mustahil bisa selamat, jika Allah memudahkan kalian untuk mengalahkannya." Sayang, dosa dan maksiat telah mengalahkan masyarakat (sehingga tidak mau bertempur). Semua orang sudah menjadi musang (pelanduk) yang lebih suka bersembunyi di sarangnya, sekalipun tahu tetangganya sedang menghadapi tipu daya musuh. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un."216

Fatwa serupa disebutkan oleh imam Syamsudien Muhammad bin Ahmad bin Arafah Al-Dasuqi Al-Maliki (1230 H) dalam Hasyiyah Ad Dasuqi 'ala Asy Syarhil Kabir 2/174.


[c]. Madzhab Syafi'i

Imam An Nawawi berkata :

” Jenis kedua. Jihad yang hukumnya fardhu ‘ain, yaitu jika orang kafir menduduki negeri kaum muslimin atau menyerangnya dan sudah berada di pintu gerbangnya ingin masuk menguasai namun belum memasukinya, maka hukumnnya fardhu ‘ain., dengan perincian yang akan kami jelaskan insya Allah. Dalam jihad jenis ini, tidak wajib meminta izin kedua orang tua dan orang yang mempiutangi…Jika penduduk negeri (yang diserang) tidak mempunyai kifayah (kecukupan dan kemampuan mengusir musuh), wajib atas mereka (kaum muslimin di Negara-Negara lain) untuk terbang ke arah mereka (segera berangkat membantu mengusir musuh).

Inilah makna perkataan imam Al-Baghawi (jika musuh menyerang Negara Islam, maka jihad menjadi fardhu 'ain bagi kaum muslimin yang dekat dan fardhu kifayah bagi kaum muslimin yang jauh…Bagaimana bisa membiarkan kaum kafir menguasai Negara Islam, padahal mereka bisa dilawan ?" 217

Beliau juga berkata :

” Jika orang-orang kafir memasuki sebuah negeri kita, atau menguasainya atau sudah berada di pintu gerbangnya namun belum masuk, sedangkan jumlah mereka seimbang (sama banyak) dengan penduduk negeri tersebut, atau lebih sedikit dari dua kali lipat penduduk negeri tersebut, maka jihad pada saat itu menjadi fardhu ‘ain. Seorang budak berangkat berperang tanpa perlu izin tuannya, seorang wanita berangkat berperang tanpa perlu izin suaminya jika memang si wanita bisa membela diri menurut salah satu dari dua pendapat yang lebih benar. Demikian juga seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin kedua orang tuanya, orang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang mempiutangi. Pendapat ini juga menjadi pendapat imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal.”218



Beliau juga berkata :

" Para sahabat kami (ulama Syafi'iyah) menyatakan jihad hari ini fardhu kifayah, kecuali jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum muslimin, maka saat itu jihad menjadi fardhu 'ain. Jika penduduk negeri tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (kifayah), maka wajib bagi penduduk negeri selainnya untuk membantu sehingga tercapai kifayah."219



Imam Al Juwaini berkata :

“ Adapun jika orang-orang kafir menduduki negeri kaum muslimin, maka para ulama telah sepakat bahwa hukumnya fardhu ‘ain atas kaum muslimin untuk segera berangkat perang melawan mereka baik berombongan atau sendirian, sehingga seorang budak berangkat perang secara paksa dan keluar dari belenggu ketaatan kepada tuannya.”220

Fatwa serupa disebutkan juga oleh imam Syafi'i dalam Al-Umm 4/170, imamSyamsudin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah Al-Ramli (1004 H) dalam Nihayatu Muhtaj Syarhul Minhaj 8/58, imam Muhammad Syamsudien Al-Syarbini Al-Khatib (977 H) dalam Mughnil Muhtaj Syarhul Minhaj 4/209. imam Ibnu Nuhas Ad Dimyathi dalam Masyari'ul Asywaq ila Mashari'il Usyaq 1/101 dan imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Al-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair 2/359.
[d]. Madzhab Hambali.

Imam Ibnu Qudamah berkata,” Hukum jihad menjadi fardhu ‘ain dengan tiga sebab :

Pertama: Pada waktu pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan orang-orang kafir dan berhadapan di medan pertempuran. Bagi yang berada di tempat ketika itu diharamkan melarikan diri. Ia wajib bertempur menghadapi musuh. Dalilnya adalah firman Alloh
كَمَآأَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ

“ Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya.” (QS. Al Anfal: 5).


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار، وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Hai orang-orang yang beriman apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian mudur membelakangi mereka. Barangsiapa yang mundur membelakangi mereka ketika itu, kecuali berbelok untuk mengatur siasat atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan Alloh dan tempat kembalinya adalah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya". (QS. Al-Anfal: 15-16).



Kedua: Bila musuh datang menyerbu negri kaum muslimin, wajib bagi penduduk negri itu untuk berperang menghadapi musuh guna mempertahankan daerah mereka.

Ketiga: Bila imam memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berperang. Maka bagi yang ditunjuk wajib untuk memenuhi seruan. Berdasarkan firman Allah [QS. At Taubah :38-39]. Serta berdasarkan sabda Rasululloh shollallahu ‘alaihi wasallam,”Jika kamu diminta untuk berangkat (berjihad fi sabilillah) hendaklah kamu segera berangkat.” (HR Muslim dan Ahmad).221
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan :
وَأَمَّا قِتَالُ الدَّفْعِ فَهُوَ أَشَدُّ أَنْوَاعِ دَفْعِ الصَّائِلِ عَنِ اْلحُرْمَةِ وَالدِّينِ فَوَاجِبٌ إِجْمَاعاً ، فَالْعَدُوُّ الصَّائِلُ الَّذِي يُفْسِدُ الدِّينَ وَالدُّنْيَا لاَ شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ اْلإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ ، فَلاَ يُشْتَرَطُ لَهُ شَرْطٌ بَلْ يُدْفَعُ بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ ، وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْعُلَمَاءُ مِنْ أَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ، فَيَجِبُ التَّفْرِيقُ بَيْنَ دَفْعِ الصَّائِلِ الظَّالِمِ الْكَافِرِ وَبَيْنَ طَلَبِهِ فِي بِلاَدِهِ

” Perang defensive merupakan bentuk perang melawan agresor yang menyerang kehormatan dan agama yang paling wajib, hukumnya wajib berdasar ijma’. Musuh yang menyerang yang merusak dien dan dunia tidak ada kewajiban yang lebih penting setelah beriman selain melawannya, maka tidak dipersyaratkan adanya syarat apapun, tetapi dilawan sesuai kemampuan yang ada. Ini sudah ditegaskan para ulama madzhab kami dan madzhab lainnya, maka wajib dibedakan antara melawan musuh dzalim kafir yang menyerang (jihadu difa') dengan jihad melawan mereka di negeri mereka (jihadu thalab).”222

Beliau juga berkata :

“Apabila musuh menyerang negeri Islam maka tidak diragukan lagi atas wajibnya melawan mereka atas orang yang berada paling dekat dengan mereka kemudian orang yang paling dekat setelah mereka, karena negeri-negeri kaum muslimin itu bagaikan satu negeri, dan sesungguhnya juga wajib untuk an-nafiir ke daerah tersebut tanpa seizin orang tua atau orang yang menghutangi. Pendapat-pendapat imam Ahmad menegaskan hal ini."223



Imam Manshur bin Yunus Al Bahuti (1051 H) mengatakan :

“ Barang siapa berada dalam barisan perang sedang ia orang yang terkena kewajiban jihad (yaitu seorang laki-laki, merdeka, mukalaf, mampu dan muslim) seperti ketika musuh menyerangnya, atau menyerang negerinya, atau kaum muslimin di negeri yang jauh membutuhkan bantuan jihadnya atau pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan kafir atau imam memerintahkannya berperang (dan ia tidak mempunyai udzur) maka jihad menjadi fardhu ‘ain atasnya.224


Para ulama kontemporer juga mengutip ijma' seluruh ulama atas fardhu 'ain jihad bila musuh menyerang atau menduduki sebuah wilayah umat Islam.

Dr. Abdulloh Azzam berkata :

“ Kondisi pertama jihad menjadi fardhu ‘ain yaitu orang-orang kafir menyerang sebuah negeri kaum muslimin. Dalam kondisi ini seluruh ulama salaf, khalaf, fuqaha’ empat madzhab, para ulama hadits dan ulama tafsir dalam seluruh masa telah bersepakat bahwa jihad pada saat itu telah menjadi fardhu ‘ain bagi penduduk negeri tersebut dan penduduk negeri terdekat. Seorang anak berangkat berperang tanpa perlu izin orang tuanya, seorang istri berangkat perang tanpa perlu izin suaminya, dan seorang yang berhutang berangkat berperang tanpa perlu izin orang yang mempiutangi.

Jika penduduk negeri tersebut tidak mampu mengusir musuh, atau mereka tidak sungguh-sungguh atau malas atau tidak mau berperang mengusir musuh, maka kewajiban fardhu ‘ain mengenai penduduk negeri-negeri terdekat, kemudian yang lebih jauh, kemudian yang lebih jauh lagi dan seterusnya. Jika penduduk negeri terdekat juga tidak mampu mengusir musuh atau tidak sungguh-sungguh mengusir musuh, maka kewajiban terus mengenai penduduk negeri terdekat seterusnya sampai akhirnya mengenai seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.”225

Beliau juga berkata :

“ Apabila musuh menyerang sejengkal tanah saja dari negeri kaum muslimin, maka jihad hukumnya menjadi fardlu ‘ain menurut pendapat seluruh ulama fiqih, tafsir dan hadits.

Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara jihad dengan sholat dan shaum menurut ketiga madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i), sedang menurut madzhab Hanbali didahulukan sholat…

Jika jihad telah menjadi fardhu ‘ain maka tidak perlu izin kepada kedua orang tua sebagaimana tidak perlunya izin kepada kedua orang tua untuk melaksanakan sholat Subuh atau shaum Ramadhan.

Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain, maka tidak ada bedanya antara orang yang tidak berjihad tanpa udzur dengan orang yang tidak shaum Ramadhan padahal ia tidak mempunyai udzur.

(Pada saat jihad menjadi fardhu ‘ain) Seberapapun besarnya harta yang disumbangkan tetap tidak bisa mewakili jihad dengan nyawa, dan kewajiban jihad tetap ada di pundaknya. Maka sebagaimana ia tidak bisa mengganti sholat dan shaum dengan membayar seberapapun besarnya harta, demikian juga dengan jihad.”226
Catatan Sangat Penting dari Ulama

Dalam jihad normal (jihad ofensif), kaum muslimin boleh mundur ketika kekuatan musuh lebih dari dua kali lipat kekuatan tentara Islam. Namun dalam jihad defensif, meski kekuatan musuh berkali-kali lipat dari kekuatan kaum muslimin, kaum muslimin tidak boleh mundur. Musuh harus dilawan, sesuai dengan kemampuan yang ada.



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَقِتَالُ الدَّفْعِ مِثْلُ أَنْ يَكُونَ اْلعَدُوُّ كَثِيراً لاَ طَاقَةَ لِلْمُسْلِمْينَ بِهِ لَكِنْ يُخَافُ إِنِ انْصَرَفُوا عَنْ عَدُوِّهِمْ عَطَفَ الْعَدُوُّ عَلَى مَنْ يَخْلُفُونَ مِنَ اْلمُسْلِمِينَ فَهُنَا قَدْ صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَبْذُلُوا مُهَجَهُم ومُهَجَ مَنْ يُخَافُ عَلَيهِمْ فِي الدَّفْعِ حَتىَّ يَسْلَمُوا، وَنَظِيرُهَا أَنْ يَهْجُمَ اْلعَدُوُّ عَلَى بِلاَدِ اْلمُسْلِمِينَ وَتَكُونُ المُقَاتِلَةُ أَقَلَّ مِنَ النِّصْفِ فَإِنِ انْصَرَفُوا اِسْتَولَوْا عَلَى الْحَرِيمِ ، فَهَذَا وَأَمْثَالُهُ قِتَالُ دَفْعٍ لاَ قِتَالُ طَلَبٍ لاَ يَجُوزُ ْالاِنْصِرَافُ فِيهِ بِحَالٍ ، وَوَقْعَةُ أُحُدٍ مِنْ هَذَا اْلبَابِ
“ Perang defensif seperti ketika musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu melawan mereka namun ditakutkan kalau kaum muslimin menghindar dari musuh, maka musuh akan menyerang orang-orang yang ada dibelakang kaum muslimin, maka dalam kondisi seperti ini para teman kami (ulama’ Hambali) menegaskan wajib bagi kaum muslimin mengerahkan nyawa mereka dan nyawa orang yang mereka takutkan keselamatannya untuk melawan musuh sampai mereka selamat. Contoh semisal adalah ketika orang-orang kafir menyerang negara Islam sedangkan orang yang berperang tidak mencapai setengah, jika mereka menghindar, musuh akan menguasai kaum wanita (tentunya juga anak-anak, orang tua, pent). Kasus ini dan contoh yang semisal termasuk dalam kategori perang defensife bukan ofensif, sama sekali tidak boleh menghindar dari medan perang, dan perang Uhud termasuk dalam bab (kategori) ini.” 227

Beliau juga berkata :


فَأَمَّا إِذَا أَرَادَ الْعَدُوُّ اْلهُجُومَ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ يَصِيرُ دَفْعُهُ وَاجِباً عَلَى اْلمَقْصُودِينَ كُلِّهِمْ وَعَلَى غَيْرِ اْلمَقْصُودِينَ ِلإِعَانَتِهِمْ كَمَا قَالَ تَعَالَى : وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَليَكمُ ُالنَّصْرُ ، وَكَمَا أَمَرَ النَّبِيُّ  بِنَصْرِ اْلمُسْلِمِ ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ الرَّجُلُ مِنَ اْلمُرْتَزِقَةِ لِلْقِتَالِ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَهَذَا يَجِبُ بِحَسْبِ اْلإِمْكَانِ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ مَعَ الْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ وَالْمَشْيِ وَالرُّكُوبِ ، كَمَا كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَمَّا قَصَدَهُمُ الْعَدُوُّ عَامَ الْخَنْدَقِ لَمْ يَأْذَنِ اللهُ فِي تَرْكِهِ أَحَداً كَمَا أَذِنَ فِي تَرْكِ اْلجِهَادِ اِبْتِدَاءً لِطَلَـبِ الْعَدُوِّ، وَالَّذِي قَسَّمَهُمْ فِيهِ إِلىَ قَاعِدٍ وَخَارِجٍ ، َبلْ ذَمَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ ، فَهَذَا دَفْعٌ عَنِ الدِّينِ وَالْحُرْمَةِ وَاْلأَنْفُسِ وَهُوَ قِتَالُ اضْطِرَارٍ
" Adapun jika musuh akan (ingin) menyerang kaum muslimin, maka wajib hukumnya melawannya atas seluruh kaum muslimin yang akan diserang, dan kaum muslimin yang tidak diserang untuk membantu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (Jika mereka meminta pertolongan kalian dalam membela agama, maka wajib bagi kalian untuk membantu mereka, QS. 8:72) Juga berdasar perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam untuk senantiasa menolong muslim yang lain. (Hukum ini berlaku) baik ia seorang yang mempunyai harta untuk berperang maupun tidak mempunyai harta.

Hukumnya wajib atas setiap individu sesuai kemampuan, dengan nyawa dan hartanya, baik sedikit maupun banyak, dengan berjalan atau berkendaraan. Ini sebagaimana kondisi kaum muslimin saat diserang musuh pada tahun Khandaq.



Dalam perang itu, Allah Ta'ala tidak mengizinkan seorangpun untuk tidak berjihad. (ini berbeda kondisi dengan) sebagaimana Allah mengizinkan untuk tidak berjihad bila jihadnya adalah menyerang musuh (Jihadu Thalab). di mana Allah membagi kaum muslimin menjadi dua kelompok : kelompok yang tidak berperang (qo'id) dan kelompok yang berperang (khorij). (Dalam perang Khandaq yang hukumnya fardhu ain, Allah tidak memberi izin seorangpun yang memenuhi syarat untuk tidak berjihad, pent) bahkan Allah Ta'ala mencela orang-orang yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam untuk tidak berjihad dengan mengatakan rumah-rumah kami terbuka (tidak ada yang menjaga). (Karena) Perang ini adalah untuk membela agama, kehormatan dan nyawa, maka ia merupakan perang karena kondisi darurat."228

Imam Ibnu Qayyim mengatakan :
فَقِتَالُ الدَّفْعِ أَوْسَعُ مِنْ قِتَالِ الطَّلَبِ وَأَعَمُّ وُجُوباً, وَلِهَذَا يَتَعَيَّنُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ ، يُجَاهِدُ فِيهِ اْلعَبْدُ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَبِدُونِ إِذْنِهِ ، وَالْوَلَدُ بِدُونِ إِذْنِ أَبَوَيهِ ، وَالْغَرِيمُ بِدُونِ إِذْنِ غَرِيمِهِ . وَهَذَا جِهَادُ اْلمُسْلِمِينَ يَومَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ وَلاَ يُشْتَرَطُ فِي هَذَا النَّوْعِ مِنَ الْجِهَادِ أَنْ يَكُونَ الْعُدُوُّ ضَعْفَيْ اْلمُسْلِمِينَ فَمَا دُونَ فَإِنَّهُمْ كَانُوا يَوْمَ أُحُدٍ وَالْخَنْدَقِ أَضْعَافَ الْمُسْلِمِينَ, فَكَانَ الْجِهَادُ وَاجِباً عَلَيهِمْ ِلأَنَّهُ جِهَادُ ضَرُورَةٍ وَدَفْعٍ لاَجِهَادُ اِخْتِيَارٍ
“ Perang defensif lebih luas dan lebih umum kewajibannya dari perang ofensif. Karena itu perang defensif wajib atas setiap individu. Seorang budak berperang baik dengan izin tuannya maupun tidak, seorang anak berperang meskim tanpa izin orang tuanya, orang yang berhutang berperang meski tanpa izin orang yang mempiutangi. Inilah jihad kaum muslimin pada perang Uhud dan Khandaq. Dalam perang defensif ini, tidak disyaratkan musuh dua kali lipat kaum muslimin atau kurang dari itu, karena pada saat perang Uhud dan Khandaq jumlah musuh berlipat-lipat dari jumlah kaum muslimin. Jihad tetap wajib atas mereka karena saat itu jihad darurat (terpaksa), bukan karena jihad pilihan sendiri.”229

Seperti telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, hukum asal jihad yang semula fardhu kifayah akan menjadi fardhu ‘ain manakala tentara kaum muslimin yang melaksanakan jihad tidak mampu menuntaskan pekerjaan (tujuan jihad) yaitu tegaknya kalimat Allah ta’ala dan terusirnya musuh. Maka ketika penduduk negeri yang diserang tidak mampu mengusir musuh, maka fardhu ‘ain atas penduduk negeri-negeri Islam lain untuk membantu mengusir musuh, sekalipun semula fardhu kifayah atas mereka membantu negeri yang diserang.



Yüklə 3,86 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   9   10   11   12   13   14   15   16   ...   30




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin