Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa
Oleh : Edi Subkhan
Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat.
-Antonio Gramsci (1891-1937).
Mahasiswa baru memasuki dunia kampus dengan motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh, mengasah intelektual, dan—sebagian besar—sekadar sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat kerja. Salah satu orientasi mahasiswa adalah intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan segenap literatur ilmiah yang diramu dengan nalar kritis dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat.
Namun sayang orientasi yang relatif strategis dalam menjalankan posisi sebagai pioner perubahan di masyarakat ini mulai redup, tergadaikan, dan ditinggalkan. Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya banyak “intelektual” yang menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis.
Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk komunitasnya saja. Aktivis yang bergerak pada ranah ini sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio Gramsci (1891-1937) sebagai intelektual organik yang mampu mempertautkan teori dan praksis sebagaimana dituju oleh Mazhab Frakfurt agar lebih berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial.
George A. Theodorson & Achilles G. Theodorson (1979) mengatakan bahwa kaum intelektual adalah anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-pemikiran kreatif. Dengan demikian terdapat karakteristik kaum intelektual, yaitu pada penggunaan intelek dan akal pikiran, bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tapi lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide (Azyumardi Azra, 2003).
Hal itu memperkuat tesis bahwa kaum intelektual pada dasarnya bersifat progresif revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan intelektual sebagai berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis. Dan sebagai kritikus, kaum intelektual menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan bijak.
Sejatinya insan intelektual dengan beberapa kualifikasi seperti di atas bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum intelektual lahir dari luar benteng menara gading kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual.
Sebaliknya banyak jebolan perguruan tinggi yang lebih tepat digolongkan sebagai intelegensia daripada intelektual. Intelegensia menurut Gouldner (1979) adalah mereka yang minat intelektualnya secara fundamental bersifat teknis. Hal ini karena sebagai produk perguruan tinggi mereka telah menerima pendidikan yang membuat mereka mampu memegang pekerjaan sesuai dengan bidang dan profesi ilmunya (Bottomore, 1964).
Donald Wilhelm (1979) menambahkan, bahwa banyak tamatan perguruan tinggi mengalami kemandegan atau kehilangan kapasitas intelektualnya ketika mereka masuk ke dalam birokrasi dan rutinitas akademis di perguruan tinggi atau di manapun mereka bekerja. Perguruan tinggi yang diharapkan dapat berperan sebagai avant garde, inovator dan pembaharu masyarakat kemudian terjebak dalam mekanisme birokrasi dan spesialisasi atau profesinya di mana mereka terus menerus mengolah dan menghasilkan informasi serta pikiran dalam bidang mereka masing-masing yang relatif sempit.
Hal itu tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat sekarang tak dapat dipecahkan dengan pendekatan sempit semacam itu; pemecahan masalah sekarang membutuhkan pendekatan menyeluruh, interdisipliner dan berwawasan luas.
Berkaitan dengan atmosfer intelektual akademik di kampus kita sekarang, di mana kualitas mahasiswanya tergolong biasa-biasa saja, baik-baik saja, padahal—sebagaimana kata Tanadi Santoso (motivator marketing terkemuka)—biasa dan baik saja sekarang tak cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah sangat baik, atau buuuaik sekali! (mengikuti kebiasaan orang Jawa ketika mengatakan sesuatu dengan nada ‘sangat’, biasanya ditambah dengan vokal “u”, misal dari kata baik menjadi buuaik, dari enak menjadi uuuenak). Maka momen orientasi mahasiswa baru sekarang layak kita dengungkan kembali, bahwa mahasiswa mesti kembali pada khittah-nya di jalur intelektual dengan meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa.
Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan adalah, apakah kita termasuk intelektual atau sekadar intelegensia? Kita mahasiswa biasa atau luar biasa? Atau dalam perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam bishsawab.
Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan
Oleh : Abdul Haris Fitrianto
Banyak keuntungan dan kemudahan ketika seseorang mempunyai Power (kekuasaan) di lembaga kemahasiswaan. Karena posisi strategis ini menunjukkan eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi, pengaruh, kolega, sampai fasilitas. Tidak mengherankan banyak calon-baik perseorangan maupun dari kelompok tertentu-berebut untuk meraih posisi strategis ini saat pemilihan Ketua Lembaga Kemahasiswaan. Hal ini merupakan perilaku yang lumrah manakala masing-masing calon dipahami terikat dalam sistem dimana will to power menjadi motivasi yang dominan.
Selama mempunyai posisi strategis dalam lembaga kemahasiswaan mungkin memang menyenangkan, selain dapat meningkatkan status sosial, menancapkan pengaruhnya, juga dapat memberikan nilai kebanggaan pada diri sendiri karena dapat berprestasi atau menuangkan kreativitas.
Status sosial ini berpengaruh terhadap sikap dalam menghadapi berakhirnya periode jabatan. Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tinggi sebagai hasil dari prestasi dan kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari civitas akademia atau organisasi), maka ia cenderung memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang baik). Namun jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasi, misalnya lebih karena politis, maka orang atau pergerakan ini justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi masa akhir periode jabatan, karena begitu pensiun, maka kebanggaan akan lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang melekat selama masih menjabat.
Kecemasan akan kehilangan atribut dan fasilitas ini bisa berperan kuat menimbulkan gangguan psikis. Bila subyek memiliki pengaruh cukup besar ketika menjabat, berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu akan muncul begitu jabatan itu harus dilepaskan. Hal ini berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak bisa menjadi sangat sensitif dan merasa eksistensi yang telah dibangun akan punah hanya karena masa kejayaannya telah berlalu. Periode ini disebut sebagai Post Power Syndrome. Umumnya, post power syndrome adalah gejala yang muncul dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karir, jabatan, status sosial, kecantikan, ketampanan, kecerdasan, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa menerima realita dihadapannya.
Pada mulanya post power syndrome adalah issue pada mereka yang akan—atau telah melewati masa produktif . Tetapi dewasa ini, post power syndrome mengalami perluasan kajian. Dalam lingkup lembaga kemahasiswaan dapat diartikan post power syndrome adalah keadaan dimana subjek merasa masih mempunyai atribut kekuasaan, hak, wewenang seperti pada saat menjabat. Perilaku yang ditampilkan subjek antara lain berusaha sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan sisa–sisa pengaruhnya selama mungkin.
Dalam kajian Kesehatan Mental, yang mengalami post power syndrome biasanya justru mereka yang pada dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri -terutama berkaitan dengan kompetensi diri. Selain masalah harga diri yang memang sering menjadi akar depresi setelah lengser, orang-orang dengan harga diri rendah semasa produktif cenderung akan jadi overachiever. Semata-mata untuk membuktikan diri sehingga mereka berusaha maksimal dalam bekerja dan mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat lepas jabatan hanya merasa kehilangan harga diri, kehilangan pengaruh, dan eksistensi.
Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan Umum Raya Keluarga Mahasiswa Unnes baru saja berakhir, baik di Tingkat Universitas, Fakultas dan Jurusan. Para calon terpilih di setiap lembaga tentu saja mulai menyiapkan program kerja untuk satu periode mendatang. Artinya, masa kerja lembaga kemahasiswaan periode 2007 ini sebentar lagi selesai. Nah, bertolak dari semua ini, patut kita cermati, mungkinkah ada yang mengalami post power syndrome? Semoga saja tidak.
Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Mahasiswa sebagai status sosial menjadi moncer di Indonesia dengan gelar non-formal yang dilekatkan kepadanya. Jika Clifford Geertz berbicara mengenai pemetaan “kasta” masyarakat jawa menjadi priyayi dan non-priyayi, maka mahasiswa bukan hanya dalam satu konstruks budaya saja, tetapi lebih meluas dan lintas-budaya. Menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang ketika memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa, agent of change yang intelek. Sebagian rasan-rasan bahkan menyiratkan mahasiswa sebagai status sosial tertinggi, dan wisuda merupakan terjun bebas dari puncak tertinggi menjadi seorang pengangguran “beban negara”.
Sehubungan dengan stereotype yang melekat itu, belakangan justru terlontar kritik yang cukup menggelitik (dari Edi Subkhan dalam “Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa”), mengatakan bahwa banyak mahasiswa menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis. Sebagian lain jago manajemen organisasi tetapi minim kapasitas intelektual, demikian halnya dengan sekelumit cerita tentang mahasiswa yang kuliah terkesan hanya sekedar prestise ataupun ajang mencari jodoh. Berbagai “dekonstruksi” terhadap status sosial mahasiswa ini tentu saja menjadi hal yang problematis dan cukup menggelitik kita sebagai mahasiswa. Konsep ideal yang sering dikedepankan dalam permasalahan ini adalah menjadi “intelektual organik” seperti kata Antonia Gramsci, mampu memadukan teori dan praksis agar berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial. Jika dianalisis lebih lanjut, tawaran tersebut seperti jalan tengah yang terkesan mencari aman. Tetapi bagaimanapun juga, bukankah jalan terbaik adalah di tengah-tengah?
LKTM ; Ajang Pembumian Intelektual
Lomba Karya Tulis Mahasiswa yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun, menjadi suatu ajang yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk lebih berperan dalam masyarakat. Dengan berbagai pengetahuan yang telah didapatkan, mereka berusaha mensintesakannya sebagai praksis untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial. Selain sebagai bentuk kompetisi antar mahasiswa, secara tidak langsung juga berpretensi menjawab berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya. Seiring dengan itu, partisipasi mahasiswa dalam LKTM pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di lingkup FIP UNNES, tahun 2007 lalu peserta LKTM tercatat 24 judul, sedangkan kali ini (2008) meningkat tajam menjadi 41 judul. Fakta ini meski bukan satu-satunya indikator dalam menentukan kepedulian mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, kiranya dapat digunakan sebagai “monitor” bahwa ternyata mahasiswa semakin antusias untuk mencari lebih, dalam identitas ke-mahasiswa-annya.
Ide kreatif sebagai alternatif solusi pemecahan masalah dilahirkan, baik dalam bidang sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang pendidikan. Berbagai ide kreatif seperti pendidikan seks anak melalui drama, pementasan wayang kulit dalam bentuk animasi sebagai sarana pembelajaran moral sekaligus pelestarian budaya-budaya adiluhung, pembelajaran berbasis internet dengan menggunakan layanan blogger, penggunaan media komik dalam mata pelajaran sejarah di sekolah dasar, dan banyak ide-ide lain yang terkadang sama sekali belum terpikirkan. Suatu bentuk kreatifitas dengan kapasitas intelektual yang patut diberi penghargaan.
LKTM dan Belenggu Strategi Iklan
Dalam telaah psikologi kognitif, segala hal yang berbeda, meliputi bentuk, warna, ataupun suara, pasti akan lebih menarik perhatian. Kecenderungan manusia untuk memberikan perhatian lebih kepada hal yang berbeda ini kemudian dimanfaatkan sebagai strategi iklan. Hal ini dapat dengan mudah dilihat deretan iklan dalam suatu surat kabar. Warna tulisan yang lazim digunakan dalam iklan tersebut adalah hitam, namun ada beberapa warna lain dalam sedikit deretan iklan yang akan langsung menarik perhatian pembaca (hal-hal semacam ini justru bisa dikatakan sebagai pembumian teori yang sesungguhnya). Berkaitan dengan LKTM yang kali ini menjadi lakon, strategi ini banyak digunakan dalam presentasi ide-ide kreatif tersebut. Perkembangan teknologi memudahkan presentasi dengan penayangan slide show untuk mempermudah penyampaian gagasan. Selain kreatifitas gagasan, kreatifitas pembuatan tayangan ini pun beragam.
Bentuk jawaban melalui LKTM terhadap kritik di atas ternyata juga kembali menjadi suatu hal yang dilematis. Tayangan slide show semestinya hanya sebagai sarana penyampaian ide ternyata berbelok arah menjadi semacam “pamer” animasi dan gambar background dengan warna dan keunikan bentuk, yang justru lebih menyita perhatian dibanding apa yang seharusnya disampaikan. Presentasi ilmiah menjadi semacam kemasan iklan yang mengabaikan isi (bersifat substantif) tanpa memperhatikan prinsip konsumen yang dikatakan oleh Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar “lifestyle” karangan David Chaney, bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun itu penting.
Benturan lain dalam hal ini adalah kesan elitis yang akan semakin berkembang jika “prinsip iklan” tersebut masih saja digunakan. Selain LKTM, ajang lain sebagai bentuk pembumian intelektual mahasiswa adalah KKN. Bisa dibayangkan ketika seorang mahasiswa dengan jas almamater, potongan celana hippies, rambut hasil rebonding, aksesoris MP4 player lengkap dengan headset, dan tak lupa telepon selular fitur 3G dalam genggaman, yang datang ke sebuah dusun untuk KKN. Hallo effect eksklusif akan semakin menguat pada mahasiswa yang dilekatkan oleh warga setempat.
Melihat dari uraian di atas, kita sebagai mahasiswa ternyata masih harus banyak belajar dari berbagai hal yang sering dianggap common sense (klise) dalam dunia ilmiah.
Dostları ilə paylaş: |