Melintas yang Sepintas ; Refleksi Kedirian
Dilema Eksistensi Manusia (Tinjauan Psikologi Marxian)
Oleh : Abdul Haris Fitrianto
Seperti triade dialektika yang selalu mempertentangkan tesa, antitesa, memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya, Konflik eksistensi hadir bersama manusia sejak dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi manusia yangg selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, manusia berusaha menutupi kekurangan-kekurangannya dengan prestasi dan semacamnya .
Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak-anaknya. Kresna tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan Kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh.
Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padahal setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut tidak lain adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan, Tetapi coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian.
Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis juga pernah dikatakan Erich Fromm bahwa selama ini manusia disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku-suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan—dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia.
Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas, tetapi untuk apa?
Memoir
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
Teman-temanku yang aku cintai,
Betapa aku bahagia memiliki teman seperti kalian. Meski mungkin perjumpaan kita terasa telat. Yah, baru setelah aku dan kalian hampir selesai belajar di perguruan tinggi itu. Perguruan tinggi yang benar-benar mengajari kita bahwa memang kita harus benar-benar belajar. Mungkin benar kata orang, cinta datang sering di akhir halaman. Tapi tidak, sebab itulah baru mula dari perjalanan cinta kita. Percintaan dalam mencari perayaan nikmatnya ilmu pengetahuan. Jalan mencari kebenaran.
Teman-teman,
Kemudian kita sepakat untuk sering bertemu. Yah, jagongan. Setiap minggu itu. Di Anomaly, Graha Sunyi, Transformatif. Kos-kosan itu. Kalian datang dengan membawa jajanan sendiri, kopi, makalah yang kalian copy sendiri. Dan tak lupa tentu saja berbatang-batang rokok yang menemani malam-malam yang terasa cepat itu. Dan datanglah fajar. Subuh. Embun Pagi. Matahari. Kalian tahu betapa bahagianya aku saat itu. Dalam kesepian yang mencekam ini aku merasa mendapatkan teman. Teman yang menemaniku merayakan kesepian itu. Dari sorot mata kalian, aku tahu, kalian juga merasakan hal yang tidak jauh berbeda dariku.
Teman-teman,
Kemudian percintaan itu sayangnya semakin mekar. Diluar jagongan itu aku dan kalian diam-diam saling bertemu. Gelisah, takut, bimbang, mempertanyakan, ngomel, protes, mengumpat, dan segala hal yang bernada ketidakmapanan. Politik, budaya, ekonomi, pendidikan, sastra, agama, sex, bahkan tuhan. Kita seperti orang-orang gila di tengah sebuah masyarakat yang sangat waras. Kita—maaf jika kau tak berkenan kugunakan kata ini—seperti berada di tengah kerumunan yang asing tapi akrab, akrab tapi asing. Aku bahagia ada kalian di sampingku. Aku mendengar. Aku belajar. Aku bercermin pada kalian. Kalian tahu sebenarnya aku malu pada kalian. Betapa sedikit yang aku tahu. Setiap kali jagongan itu hendak dimulai dan bahkan ketika jagongan itu sedang berlangsung, sungguh aku malu. Aku malu. Sebab, banyak yang tak kumengerti dari apa yang kalian bicarakan. Kata-kata. Definisi yang sangat elementer. Nama-nama. Istilah-istilah. Aku diam. Aku diam. Seperti tertampar betapa aku tak mengerti apa-apa. Betapa sedikit sekali yang aku mengerti. Kadang, rasa maluku itu kubawa sampai ke mimpi-mimpiku. Aku bermimpi suatu saat aku bisa mendengarkan kalian dengan baik, memahami apa yang ingin kalian katakan padaku. Jujur, bahkan hingga saat kutulis surat ini perasaan malu itu masih menggelayutiku. Harus kuakui betapa terkadang aku malu bertanya tentang banyak istilah yang kalian sampaikan dan tuliskan, juga di blog ini. Maka sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri karena tidak mengakui kebodohanku. Namun, terimakasih teman-teman. Kalian telah mengajariku banyak tentang hal-hal, menemaniku dari jauh. Kalianlah yang selalu mengingatkanku menamparku sekali waktu untuk belajar dan belajar…
Teman-teman,
Hingga suatu waktu aku harus pergi meninggalkan kota itu. Aku memutuskan pergi. Keluar. Berjalan. Entah untuk apa… Di sepanjang perjalanan itu kutahan tangis yang semakin lama tak bisa kutahan. Aku harus pergi meninggalkan sebuah kota yang telah memberikanku banyak hal. Pelajaran, teman-teman, keluarga, mimpi, pengkhianatan, kegagalan, harapan, ketakutan, sakit hati, ketulusan dan tentu saja cinta. Sampai pada suatu waktu—mungkin hingga saat ini—aku tak tahu mengapa perpisahan ini terjadi. Aku pergi ke suatu tempat yang tak pernah aku tahu mengapa aku disitu. Aku kesepian lagi. Untunglah, ada Guru itu—yang dengan sabar dan setia menemaniku pelan-pelan untuk belajar berjalan—dan kalian tentu saja. Meski hanya lewat layar, diam-diam sambil mengintip kukirimkan rinduku yang semakin berat ini.
Teman-teman,
Di kota baru itu kutemukan kesepian sekaligus pesta. Sepi sebab tak ada kalian disitu. Pesta sebab hampir tiap hari harus kudatangi seminar, diskusi, pentas, kursus filsafat ilegal, kelas ilegal dan banyak lain hal. Hal-hal yang sangat aku sukai. Aku adalah seorang amatir. Itu kalian tahu. Baru beberapa bulan ini setelah bertemu kalian itu aku merasa benar-benar belajar. Aku adalah seorang anak TK di wilayah ini. Segala kuikuti. Segala kudengarkan. Hingga terkadang aku bingung sendiri di tengah pesta itu. Sebagai seorang anak TK, aku merasa terjebak. Aku tidak tahu apa yang orang-orang dewasa itu perbincangkan di seminar-seminar itu. Tapi, aku terus melangkah. Entah untuk apa.. Kubaca kembali handout-handout diskusi siang tadi di kamar itu. Tetap saja sulit kupahami. Apalagi jika setelah itu kubuka blog ini melihat kalian saling menulis, berargumen. Aku iri. Aku iri. Aku ingin menulis seperti kalian. Aku kesulitan memahami apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Hingga sampai saat kuposting tulisan ini.
Teman-teman,
Betapa beratnya mempertahankan diri di zaman ini. Itu yang sering kalian wejangkan padaku. Yah, betapa sulit menjadi manusia yang utuh di republik ini. Kita berbicara tentang banyak hal. Rakyat, demokrasi, kesejahteraan, kemiskinan, BBM, birokrasi, BHP, BLT, korupsi, teror, kitab suci dan banyak hal lain yang tak mungkin kutuliskan dilembar yang sangat terbatas ini untuk hal yang sangat tak terbatas yang sudah, sedang, dan akan kita perbincangkan. Sungguh, teman-teman. Pada suatu waktu kadang aku frustasi. Mempertanyakan kembali untuk apakah semua kegelisahan ini? Untuk siapakah segala kesepian ini? Dan yang paling membuatku malu, siapakah kita ini? Berhak apa kita memikirkan segala hal yang berhubungan dengan kebenaran, kebahagiaan, nasib banyak manusia? Siapakah kita ini? Siapa?
Namun, teman-teman, terima kasih.
Kalian selalu datang mengusik nuraniku lewat blog ini sering-sering, mengingatkanku bahwa perjalanan (perjuangan atau dolanan?) ini masih sangat panjang.
Terimakasih untuk hal-hal yang tak bisa kukatakan. Semoga kita bahagia. Amin.
Prinsip
Oleh : Giyanto
“Kita harus berhadapan dengan penyesalan. Menjadi dewasa berarti belajar menerima segala hal yang tidak dapat kita ubah, menghadapi penderitaan yang tidak putus, dan belajar mencintai hidup seperti adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki”.
-Barbara Sher
Saya sudah jenuh beragumen. Tapi tak apalah, ini demi sesuatu yang terlanjur saya komitmen-kan. Tulisan ini agak filosofis terkait yang ada dalam perangkat pikiran saya, yang diantara sistem neuron-neuron saling terhubung sedemikian rupa sehingga membentuk pandangan-pandangan yang telah saya tulis ini. Pikiran-pikiran ini juga yang membuat saya dalam satu bulan ini (Maret, 2008) tidak enak tidur dan juga tidak enak makan. Sampai-sampai proposal skripsi yang sudah saya ajukan belum saya urus.
Konon ada tiga hal yang tidak bisa dihindari manusia. Pertama pilihan, kedua prinsip dan yang terakhir perubahan. Masalah pilihan tidak akan saya bahas di tulisan ini karena Edi (Edi Subkhan) sudah sering mendiskusikannya, terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri. Karena manusia sebagai makhluk yang hidup, maka manusia tidak bisa mengihindar untuk tidak memilih.
Begitu juga masalah perubahan. Semenjak kita aktif dalam berbagai organisasi, saya kira temen-temen sering menggunakan kata perubahan sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan gerakan. Tanpa memperhatikan apakah perubahan itu lebih baik ataupun lebih buruk dan kadang-kadang malah membunuh diri sendiri, sekali lagi, perubahan tidak dapat dihindari. Dan tiap pribadi pasti pernah dalam masa transisi, seperti yang sekarang dialami Taufiq (Muhammad Taufiqurrohman), maka sangat jelas peran perubahan dalam hidup setiap manusia.
Yang terakhir, yaitu prinsip. Sudah hampir dua tahun ini saya mencari-cari apa itu sebenarnya prinsip. Prinsip, dari yang saya ketahui belakangan ialah sebuah hukum alam yang sudah ada sebelum kita ada. Artinya, dia diciptakan oleh Sang Khalik agar kita tunduk pada prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya. Dan yang membuat saya gelisah saat ini ialah terkait masalah ini. Dari kecenderungan-kecenderungan perilaku manusia yang saya lihat, sebagian besar politisi, prinsip-prinsip itu mereka tentang.
Saya ingat apa yang pernah ditulis Cak Nun: Iblis dan Malaikat itu makhluk kepastian, sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan. Ini juga mirip dengan kata Ludwig von Mises, bahwa setelah para filsuf meninggalkan pencarian mereka akan hal yang absolut, para utopian meneruskannya. Jika seandainya sekarang masih ada manusia yang masih terkurung otaknya untuk mengejar-ngejar kepastian, ini berarti dia menentang kodratnya sendiri.
Begitulah cerita singkat seperti yang sering diungkapkan dalam berbagai filsafat, baik agama maupun ilmu pengetahuan. Dan sekarang, kita sering terkecoh oleh ilusi-ilusi yang selalu mengejar kepastian serta kesempurnaan. Salah satu email dari Pak Nad (Sukasah Syahdan, pengelola dan editor Jurnal Akal dan Kehendak), terkait pandangan epistemologis yang saya geluti sekarang ini. Dia mengatakan: “jika teori digagas tanpa kekeliruan logis, maka realitas hanya akan terjadi sesuai dengannya! Ini terdengar sulit diterima; tetapi begitu memang adanya”, tegasnya. Mendengar hal itu terasa agak aneh. Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah bentuk-bentuk prinsip sebenarnya. Jadi, prinsip ada sebelum kita ada.
Dari gambaran diatas, yang membuat saya marah adalah perilaku politisi-politisi yang sekarang lagi main parodi di panggung politik. Menurut saya, tindakan-tindakan mereka berlawanan dengan hukum-hukum alam. Dalam hal kegiatan ekonomi, blunder ini sering terjadi. Yang dikatakan Edi saya sepakat—kalau dilihat dari kacamata niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup, dari prinsip-prinsip atau hukum-hukum ekonomi yang sementara saya pelajari. Tindakan mereka ternyata merusak kegiatan ekologis ekonomi manusia. Hukum penawaran dan permintaan tidak dapat dibantah. Dia bekerja sesuai tindakan-tindakan manusia. Jadi kalau ada yang mengintervensi, berarti ada pihak yang dirugikan. Di sini, posisi saya pas berada melihat dari pihak tersebut: Bapak saya. Dan saya yakin Bapak tidak mengetahui hal tersebut. Dia hanya kecewa dengan kondisi, dan saya tidak tahan melihat hal tersebut. Jadi kalau saya sekarang banyak menulis, ini terkait apa yang sudah bapak berikan secara pribadi kepada mental saya, yang ternyata sekarang sangat bermanfaat untuk saya pribadi.
Dari kecil, saya di-didik untuk bekerja. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak mendapat uang saku untuk sekolah. Katanya, itu ialah keadilan untuk diri sendiri dan orang lain. Sudah sejak kecil prinsip-prinsip sederhana itu ditanamkan pada semua anaknya, termasuk saya. Tapi setelah saya besar, dan sekarang bisa menulis, prinsip-prinsip yang sederhana itu ternyata tidak dilakukan oleh orang-orang yang malah sering kita idolakan. Anehnya, kita malah menjadikan mereka ikon-ikon demokrasi yang sering kita dukung setiap ucapannya. Pengalaman saya ketika di Sumatera Barat, menurut penglihatan saya pribadi, di sana malah lebih demokratis. Ninik mamak (kepala suku), cerdik pandai (intelektual) dan alim ulama ialah elemen-elemen representasi konsep demokrasi yang sebenarnya sudah ada di budaya lokal. Parahnya, konsep itu telah “dirusak” oleh pemaksaan konsep-konsep yang mempunyai niat baik tetapi menentang “hukum” yang sudah ada di sana sejak lama.
Terkait yang sering saya kritik dan hujat saat ini adalah sistem yang telah terstruktur. Jadi kalau dulu orang memperjuangkan kebebasan dalam bentuk kemerdekaan. Saat ini saya melihat, sistem struktur itu menjadi sangat kropos dan rawan runtuh, sehingga keadilan tidak hanya menjauh tapi malah terancam.
Kalau Mas Yogas (Yogas Ardiansyah) pernah menawarkan untuk menentang sistem, maka yang sekarang saya wacanakan adalah menentang sistem-sistem yang terstruktur. Dalam kata yang sederhana, sistem terstruktur itu adalah: “Negara dan elemen-elemennya yang sangat gemuk”. Kalau yang menjalankan tidak segera membenahi diri ataupun berefleksi, maka dalam waktu dekat “bencana itu akan terjadi”. Saya tidak dapat membayangkan, korban itu akan seberapa besar? Tapi tak apalah, bukankah perubahan itu suatu yang tidak dapat dihindari? Agar manusia selalu mengingat.
Barangkali kata-kata Bharbara Sher benar adanya...
Dostları ilə paylaş: |