Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Terkait dengan sebuah komitmen yang beberapa waktu lalu telah tersepakati, dan juga telah tercicil bersama.
Ya, “mainan” itu (selanjutnya tanpa tanda petik), adalah mainan yang kita buat bersama. Mainan kita ini memang tak se-kualitas dengan supertoy, seperti yang diidamkan Pak Saratri (Saratri Wilonoyudho), untuk menjadi mainan para superboy, yang akhirnya sebagai peng-counter sang superpower. Mainan kita ini, yang kita baca dengan mengeja, yang kita obrolkan sembari menghisap asap, yang kita ketik dengan amarah membuncah, juga yang kita posting dengan meretas cemas, sekali lagi bukanlah mainan mewah. Mainan kita ini mainan sederhana, yang kita buat dengan cara sederhana, dengan anasir yang sederhana, di tempat-tempat yang sederhana, dengan tekhnik yang sederhana, dan jika saya adalah Sapardi Djoko, maka juga akan saya katakan mainan ini adalah mainan yang kita cintai dengan sederhana pula. Sederhana, tetapi menyimpan sesuatu yang tidak ringkas.
Ataukah mainan kita ini bukanlah mainan? Mungkinkah mainan ini adalah sebuah perjuangan? Saya tak begitu peduli dengan perjuangan. Tetapi mainan yang telah merajut komitmen itu tentu tak bisa lepas dari kata, sementara Rendra mengatakan bahwa perjuangan adalah me-laku-kan kata. Maka, baik perjuangan heroik ataupun mainan yang mengasyikkan, mainan ini tetap menyisipkan “perjuangan” di sela-sela partikelnya. Tetapi entah, jika kita tak sepakat dengan Rendra.
Mainan kita ini, telah menjalani beberapa persen proses pem-benda-annya. Kita semua tahu, mainan kita tak bisa terwakili oleh sekedar himpitan cover depan dan belakang. Kita semua tau itu. Tetapi bukankah salah satu rule of game dari mainan ini, adalah mengajak—bukan memaksa—siapapun untuk ikut bermain bersama kita? Siapapun. Maka dengan benda yang masih embrio itulah, salah satu ketaatan kita pada rule of game dari mainan kita ini.
Mainan kita ini, telah beberapa persen dalam proses menjadi “potret dari potret”. Mainan kita ini telah terbiasa terpotret dalam blog itu memang akan kita potret lagi dalam beberapa lembar kertas yang terhimpit cover. Sekali lagi, kita tau, dan saya selalu berharap bahwa mainan kita, yang me-metafisi-kan kehadirannya dalam potret-potret tersebut, semoga akan terus bertambah, baik secara jumlah huruf, kedalaman analisis, maupun kemekaran pembahasan.
Dan sejak semula, saya telah beberapa kali disentil oleh beberapa dari kita, untuk ikut menurunkan tangan dalam pembuatan mainan ini. Maka dari itulah, perkenankan saya, melalui ini, untuk meminta surat perizinan. Dalam mal yang telah di buat oleh Mas Edi (Edi Subkhan), juga di-iya-kan oleh Mas Yogas (Yogas Ardiansyah), saya akan mencoba menyusun puzzle. Saya, yang hanya mempunyai sebilah pisau lipat nan tumpul, mungkin hanya mampu memungut daun dan ranting kering dalam mainan kita ini, jika mainan kita ini diibaratkan sebagai pohon. Itupun daun dan ranting sejauh yang bisa saya gapai.
Ah… Beberapa puzzle terlalu kecil, beberapa yang lain terpotong dengan kurang rapi. Ingin sekali saya merapikan puzzle-puzzle itu. Tetapi ternyata puzzle-puzzle itu bukan dari pabrik yang sama. Bisakah, masing-masing pabrik melengkapi puzzle-nya?
Sebuah Pesan
Oleh : Yogas Ardiansyah
Selain sering sekali terlibat dalam dialektika dengan Cak Emha, sampai sekarang pun, Cak Sudrun ternyata sering datang dalam Jama’ah Ma’iyah di beberapa tempat. Tidak seperti pak Kanjeng yang lebih kalem dan bijaksana, ia tampil lebih slengekan dan nggapleki. Kadang ia tampil dengan sarung kumal dan jas tebal, padahal cuaca malam sungguh gerah minta ampun. Sesekali ia tampil sok casual dengan kaos dan jelana jins yang warnamya bertabrakan di sana-sini. Tetapi bisa juga ia datang mengenakan kostum ala pria mapan dan metroseksual yang ternyata juga banyak menjadi jama’ah Emha. Dan malam itu, beberapa bulan yang lalu di Gambang Syafa’at, ia memilih hem warna hijau menyala dan sarung motif batik yang sepertinya sudah hampir setengah lusin bulan tidak dicuci apalagi disetrika. Setelah lantang mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh hadirin yang datang karena berkata “sing penting wareg!!” untuk menjawab pertanyaan Emha “milih segoné opo milih sambelé?”, dengan senyum puas seakan telah berhasil mengerjai Emha dan jama’ahnya ia bergeser ke belakang agak serong ke barat daya di pojok pintu keluar ruangan yang biasa digunakan acara Gambang Syafa’at. Senyumya terlihat bermakna puas sekali, padahal ia baru saja diolok-olok dan ditertawakan sekitar 500-an orang. Sungguh sebuah metode pembelajaran yang berat dan dalam sekali.
Kemudian ia duduk bersila di samping orang-orang yang malam menjelang dini hari itu masih setia dengan syawab-syawab berkah Emha dan Kiai Budi Harjono. Kemudian tanpa diminta ia tiba-tiba nyerocos kepada orang yang ada di kanan-kirinya soal pengalamannya nyantri di padepokan Sunan Kudus. Dari ngumpet di jumbleng hingga terjun bebas dari pucuk pohon kelapa menggunakan kepala sebagai tumpuan mendarat, yang kesemuanya telah diceritakan Emha dalam buku-bukunya. Lantas cerita Cak Sudrun sampai pada masa betapa ia sangat ngebet ingin menikah, ingin kawin. Ia, entah dari mana datangnya, tiba-tiba mempunyai keinginan yang luar biasa untuk menjadi suami. Mulai dari hasrat dorongan biologis hingga psikologis seorang lelaki yang memang ingin melindungi dan bertanggungjawab. Tetapi masalah ini tidak bisa mudah begitu saja karena ternyata Sunan Kudus belum merestuinya untuk menikah. Segala daya upaya diplomasi dan lobbying sudah ia ungkapkan untuk mendapat restu sang Sunan, tetapi hatinya tidak bergeming jua. Hingga suatu malam, setelah selesai mengaji di pendopo, ia memberanikan diri sekali lagi mengungkapkan keinginannya kepada Sang Sunan. Bukan dengan cara bergaining yang halus, tetapi sudah dengan ancaman.
“Mohon ampun, Kanjeng Sunan. Kalau Kanjeng Sunan tidak memberi restu kepada hamba untuk menikah, atau paling tidak ta’aruf dan yang-yangan, maka dengan terpaksa hamba akan melampiaskan hasrat dengan cara yang tidak-tidak dan akan menggoncangkan padepokan ini, Kanjeng Sunan”.
Sunan Kudus langsung naik pitam. “Hah? Kau mau mengancamku? Sehebat apa kau? Kau tidak sehebat Aryo Penangsang, orang Jipang yang tidak bisa membaca sasmitoku itu. Berani sekali kau, Sudrun!”.
“Hamba tidak hendak melawan Kanjeng Sunan. Ini hanya metode, Kanjeng Sunan”.
“Kau pikir aku takut? Terserah kau. Berbuatlah sesukamu!”
“Saestu, Kanjeng Sunan? Betul begitu? Apakah Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya?”
Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah menyala.
“Kurang ajar!!! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu kepadaku?!”
Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”.
Seketika raut muka Sunan Kudus berubah.
“Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu!!!”
Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng Sunan!” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun kepadanya.
***
Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru. Fahmi? Haris? Mas Taufik? Guru Ed? Giyanto? Hhmm…, Luluk? (berturut-turut, Ahmad Fahmi Mubarok, Abdul Haris Fitrianto, Muhammad Taufiqurrohman, Edi Subkhan, Giyanto, dan Awaludin Marwan).
Selamat Tinggal Sayangku
Oleh : Giyanto
Selamat tinggal sayangku. Setelah sekian lama kita berpisah, ingin sekali ku ucapkan rasa terima kasihku padamu. Dulu saat pertama mengenalmu, aku memang sangat tergila-gila kepadamu. Kau kubawa ke mana-mana, karena aku takut semua orang akan mengenalmu. Kau begitu menginspirasi. Kau ajarkan aku bahwa kita harus memperjuangkan keadilan. Kau ajarkan aku bahwa ”eksploitasi” harus kita hentikan. Bahwa perbedaan kelas harus ditiadakan. Bahwa pabrik-pabrik bangsat itu harus kita kuasai untuk kepentingan bersama.
Tapi sayangku. Sebelum aku menemui dirimu yang ”asli”. Di saat banyak orang membicarakanmu, dan ketika Lenin, Stalin, Mao dan Castro telah menggunakanmu untuk memuluskan jalan mereka dalam meraih kepentingannya sendiri. Dirimu sudah tidak menarik lagi. Kau kukenal lewat ”Madilog”, walaupun sekarang aku belum menemukan versi aslimu, tapi aku telah banyak melihat dirimu telah mempengaruhi banyak orang. Dirimu sekarang telah berganti wajah dengan berbagai versi. Dari Neo-Neo hingga isme-isme yang baru. Entah berapa versi wajahmu telah membuatku begitu muak.
Ya sayangku. Sekarang aku telah mengenal gadis-gadis cantik yang lain. Aku sekarang tergila-gila pada orang-orang yang dulu kau musuhi. Ingatkah kau di saat kau menuduh Bastiat sebagai ”klasik” dan menuduh orang-orang yang bekerja keras sebagai ”kapitalis”. Dan generasi terbarumu menuduh ilmuwan yang lain sebagai ”positivis” dan pendukung ”borjuis”. Tapi aku tidak peduli sayangku.
Di saat dirimu telah menguasai jagad raya gagasan. Dengan tidak sengaja aku menemukan ”gadis kecil” yang begitu sederhana. Dia mempesona, walaupun dia tidak berjilid-jilid sepertimu, tapi menurutku ”gadis kecil” tersebut telah berhasil menunjukkan dan mengenalkanku pada orang-orang hebat yang dulu belum pernah aku kenal.
Setelah mengenal mereka semua, Aku begitu terhentak dan panas dingin. Tubuhku lemas, hingga tiga hari tubuhku terasa merinding. Aku melihat dunia dengan kaca mata lain. Ketika kau dulu memperkanalkan aku bahwa keadilan adalah ketika aku mendapatkan seratus rupiah sedangkan tetanggaku mendapat seribu rupiah, seharusnya aku dapat memperjuangkannya dengan ”menuduh” tetanggaku sebagai tidak adil. Atau ketika kau mengatakan bahwa ”kesetaraan” atau ”kesamaan” harus diperjuangkan dengan cara apapun, menurutku itu adalah gagasan yang tolol sayangku.
Tapi mereka mengatakan lain sayangku. Mereka mengatakan bahwa, kalau aku ”hanya” mampu menciptakan seratus rupiah, maka seharusnya aku memang harus dapat seratus rupiah. Atau kalau seandainya aku dapat seribu rupiah adalah karena aku memang layak mendapatkannya.
Dan dalam mengajari ketidakadilan, mereka menunjukkan jalan yang lain sayangku. Mereka mengatakan bahwa, ”pemalas” dan ”perampok” adalah bentuk ketidakadilan. Tidak selayaknyalah apabila kita menolong orang lain dengan cara mengambil alih barang orang lain kemudian kita-kita bagikan sayangku. Mereka mengatakan, ketika kita mampu memberi, seharusnya kita melakukan sendiri menurut kemampuan kita masing-masing sayangku.
Sekarang saya sedang belajar banyak dari mereka sayangku, dan mereka pun mengajarkan hal yang lain sayangku. Mereka mengajarkan bahwa kegiatan merampok bukanlah sebuah keadilan. Keadilan menurut mereka adalah ketika orang-orang itu mendapatkan nilai sesuai kemampuan orang-orang tersebut sehingga mereka tidak diganggu oleh hal-hal rigid yang sering kau permasalahkan.
Keadilan adalah sebuah konsep gagasan sayangku. Dia, keadilan, adalah sebuah cakrawala yang memiliki banyak tafsir. Sekarang, keadilan bagiku lain artinya dengan pengertian kita yang dahalu pernah kita yakini. Selamat tinggal sayangku...
Salam
Cerita Tentang Itu
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Pagi agak mendung ketika aku beranjak dari depan komputer untuk pergi mandi, sebentar saja. Dengan pakaian seadanya, berjalan kaki yang akhir-akhir ini sudah jarang aku lakukan akhirnya sampai di kampus. Beberapa saat bertegur sapa dengan beberapa kenalan, basa-basi identitas kesukuanku yang masih saja etnosentris, lalu kuarahkan kaki menuju warnet yang ternyata penuh sesak seperti biasanya. Rencana membuka site “Komunitas Embun Pagi” belum menjadi rejeki, tak apalah, tak harus dipikirkan seperti membaca Beyond Good and Evil-nya Nietszche pikirku. Tak seberapa lama setelah kembali berbincang dengan seorang teman, mataku menangkap jarum jam yang menyatu pada angka 11, kok bisa pas sekali? Bergegas jalanku menuju gedung sebelah, ada kuliah Psikologi Belajar seperti tertulis di jadwal. Jadwal yang katanya menutup ruang kebebasan, ah ada-ada saja. Sebentar lagi kuliah, dan presentasi, wiridanku saat itu.
Wiridan itu putus, memang tak pandai saja konsentrasiku. Kerumunan teman-teman yang seperti ngerumpi, membicarakan semuanya tanpa bekas, tanpa tujuan tetapi menyenangkan. Mungkin itu yang banyak dilupakan orang sekarang, semuanya harus praktis dan bertujuan. Ini mungkin gara-gara teleologi para filsuf itu.. Oh, tidak. Ternyata mereka sedang saling berempati. Seseorang ditengah kerumunan matanya berkaca-kaca, bahkan basah tak beda dengan rutinitas Kaligawe yang membuat rantai sepeda motorku jadi kendur selain karena jarang servis di bengkel. Sayup-sayup terdengar “tadi dia dapet telpon, ayahnya meninggal”. Aku puaskan diriku dengan informasi itu, dan berjalan lagi. Maaf teman, bukan maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba.
Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja, pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan kesedihan itu? Egois sekali memang, tapi semua orang harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir, kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi yang lain, dia orang baik.
Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai akhirnya mendapatkan kabar via telpon. Bukan lagi telegram yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri! Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan seperti hari-hari sebelumnya.
Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama. Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon. Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata “semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Cak Nun yang mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah.
Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang. Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun” dan belum pernah mendengar lagu Scorpion “and we are live under the same sun..”
Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan orang lain. Tapi kata Derrida, tidak ada selain distorsi sebagai akibat dari penafsiran yang berbeda. Sudahlah, terserah saja..
Embun pagi ini,
segar dan bening,
lembut dan dingin,
Seperti embun kemarin.
Usia terlalu singkat,
untuk terus berharap.
Jiwa terlalu lemah,
untuk selalu pasrah.
Innalillahi wainnailaihi roji’un..
Biografi Penulis
Abdul Haris Fitrianto. Lahir di Cepu Jawa Tengah. Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Psikologi Unnes 2005. Penakluk gunung.
Ahmad Fahmi Mubarok. Lahir di Kebumen Jawa Tengah. Mahasiswa Psikologi Unnes. Penggemar filsafat dan kesusastraan.
Awaludin Marwan. Lahir di Jepara, 22 Maret 1986. Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (Dewa-Orga). Hobi kuliner, jalan-jalan, clubbing, shopping, karaoke dan rekreasi.
Edi Subkhan. Lahir di Grobogan Jawa Tengah, Sedang belajar di Jakarta.
Giyanto. Lahir di Pati Jawa Tengah. Pengusaha Swasta-Enterpreneur Muda Semarang. Hobi mengumpat, mencaci-maki kebijakan ekonomi negara. Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Geografi Fakultas Ilmu Sosial Unnes 2005.
Muhammad Taufiqurrohman. Lahir di Desa Bandungharjo Kecamatan Donorojo Jepara Jawa Tengah. Senang berdiskusi dan membaca apa saja. Pegiat di Komunitas Embun Pagi Semarang
Muhtar Said. Lahir di Semarang. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Hukum Unnes. Pernah menjadi Sekjen BEM Fakultas Hukum Unnes 2008 dan Ketua Pramuka Fakultas Hukum Unnes 2008
Yogas Ardiansyah. Lahir di Rembang Jawa Tengah. Penggemar Kiai Kanjeng dan Cak Nun. Moderator Ulung. Mantan aktivis BEM Fakultas Bahasa dan Seni Unnes.
Dostları ilə paylaş: |