Salah satu cara untuk mencapai tataran ketiga tersebut adalah dengan cara membaca fenomena yang ada di sekitarnya untuk kemudian dianalisis dan didialogkan dengan siapapun untuk mencapai kebenaran dan sesudah itu “diabadikan” dalam bentuk tulisan. Untuk menumbuhkan minat menulis adalah dengan banyak “membaca” dan “berpikir”. Membaca tidak hanya berhenti yang tersurat di dalam buku maupun di dalam kitab suci namun juga membaca fenomena alam. Dalam kitab suci Al Quran banyak ayat yang diakhiri dengan kalimat tantangan dari Allah, yakni : ……jika kamu sekalian mau berpikir!
Sama halnya keahlian menyetir kendaraan, maka menulis juga tidak cukup hanya dibekali dengan teori tentang tata bahasa, format tulisan, ejaan, namun juga “jam terbang”. Makin banyak seseorang menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, maka ia akan makin mahir menuangkan gagasan itu. Ia tidak harus terlebih dahulu repot-repot dengan tata bahasa atau ejaan, yang penting setiap mempunyai ide, tulis saja!
Masalahnya adalah bagaimana kita dapat mendapatkan ide? Sekali lagi kalau seseorang rajin “membaca” dan “berpikir” maka ide itu akan mengalir ke benaknya. Selanjutnya jika pikiran ini sudah mengendap banyak sekali ide, maka proses penuangannya dalam bentuk tulisan akan mudah, mengalir seperti air bah saja. Bandingkan seseorang yang mengalami jatuh cinta dengan perasaan membara, maka ia akan mudah menuangkan perasaannya dalam bentuk “buku harian”. Kenapa ia lancar menulis buku harian? Jawabannya sederhana karena ia mengalami sendiri, ia setiap kali berpikir, dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada yang dicintai.
Dapatkah kaum intelektual menuangkan fenomena alam dan fenomena sosial ke dalam “buku harian”? Kalau jawabnya tidak bisa berarti ia sedang berhenti membaca dan berpikir. Apa artinya seorang intelektual yang tidak pernah membaca dan berpikir? Keuntungan jika mahasiswa sudah rajin menulis sejak dini, maka ia akan mudah menyelesaikan skripsinya. Kesulitan utama yang membuat seorang mahasiswa lama untuk menyelesaikan studinya adalah karena ia tidak mampu membuat skripsi. Bahkan untuk sekadar mencari judul atau ide penulisan saja ia tidak mampu. Keuntungan lain yang diperoleh jika ia rajin menulis, apalagi di media massa, maka ia akan mendapatkan “honor” lumayan yang dapat digunakan untuk menopang baiaya studinya.
Untuk dapat membaca tidak harus banyak mengeluarkan uang. Ia bisa saja rajin ke perpustakaan di mana saja sambil membawa catatan. Demikian pula ia bisa mengkliping aneka informasi dari media massa yang dapat dibeli kiloan di pasar loak. Singkatnya tergantung kreativitas masing-masing. Informasi dan ide juga akan mudah diperoleh jika seseorang rajin mengadakan diskusi kelompok secara rutin untuk mengkaji masalah-masalah tertentu.
Jika tugas utama membaca dan berpikir tidak dilakukan maka ia sesungguhnya sudah berhenti sebagai intelektual, dan derajadnya sama dengan makhluk hidup lain yang tidak dapat membaca dan berpikir. Bukankah Allah berjanji akan meningkatkan derajad manusia jika ia berilmu pengetahuan? Mari kita mulai membaca, berpikir dan menulis.
Selamat kepada Komunitas Embun Pagi, karena mereka tidak saja mampu membebaskan diri dari predikat ”turis-turis” di kampus, namun telah mampu menggedor-gedor pintu kebisuan kampus, dan mereka akan lulus sebagai ”manusia”.
Daftar Isi
Prakata;
Embun Pagi Nglindur
Kalimat Pengantar;
”Melintas yang Sepintas Meski Bias” oleh Komunitas Embun Pagi
—Prof. Abu Su’ud
Kalimat Pembuka
Bukan ”turis-turis” Kampus (Menggedor Langit Kebisuan Kampus)
—Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si
Melintas yang Sepintas; Filsafat dan Basis Epistemologi
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
—Giyanto
Logis Saja Sudah Cukup?
—Ahmad Fahmi Mubarok
Psikologi, Lagi dan Lagi
—Ahmad Fahmi Mubarok
Motivator & Humanity
—Abdul Haris Fitrianto
Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi
—Ahmad Fahmi Mubarok
Beberapa Tanggapan
—Muhammad Taufiqurrohman
“Peperangan” Kaum “Liberal”: Kontradiksi Berpikir Bryan Caplan
—Giyanto
Setelah Postmodernisme
—Edi Subkhan
Panoptikon dan “Emoh Sosial”: Menyapa Foucault
—Muhammad Taufiqurrahman
Etika dalam Sketsa Sistem Peradilan Pidana
—Awaludin Marwan
Tentang Kata, Kemudian Makna (?)
—Ahmad Fahmi Mubarok
Melintas yang Sepintas; Pendidikan
Matinya Para Filsuf
—Edi Subkhan
SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan
—Muhammad Taufiqurrohman
Warung Pecel
—Yogas Ardiansyah
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas
—Awaludin Marwan
Ruang Publik Pendidikan
—Edi Subkhan
Menengok Diri Serta Pendidikan Kita
—Giyanto
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah?
—Edi Subkhan
Nafas Neoliberalisme RUU BHP
—Edi Subkhan
Melintas yang Sepintas; Intelektualitas
Proyek Masyarakat Intelektual
—Muhammad Taufiqurrohman
To Change!
—Muhammad Taufiqurrohman
Nilai Politik dan Mimbar Akademik
—Giyanto
Aktivis Asli Tapi Palsu
—Muhtar Said
Intelektual atau Politik
—Muhtar Said
Melintas yang Sepintas; Demokrasi
Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good governance Lokal
—Awaludin Marwan
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia
—Awaludin Marwan
Potret Demokrasi Lokal
—Awaludin Marwan
Melintas yang Sepintas; Budaya
Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-pertanyaanku Jika Kau Mencintaiku (Surat Buat Goenawan Mohamad)
—Muhammad Taufiqurrohman
Sudahlah... Mari Bersahabat
—Yogas Ardiansyah
Memoir: Apa Budaya Kita?
—Ahmad Fahmi Mubarok
Solo vs Sragen
—Ahmad Fahmi Mubarok
Hegemoni British English dan American English di Indonesia
—Muhammad Taufiqurrohman
Melintas yang Sepintas; Mahasiswa
Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa
—Edi Subkhan
Post Power Syndrome di Kalangan Mahasiswa
—Abdul Haris Fitrianto
Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa
—Ahmad Fahmi Mubarok
Melintas yang Sepintas; Refleksi Kedirian
Dilema Eksistensi Manusia (Tinjauan Psikologi Marxian)
—Abdul Haris Fitrianto
Memoir
—Muhammad Taufiqurrohman
Prinsip
—Giyanto
Sekedar Meminta Izin
—Ahmad Fahmi Mubarok
Sebuah Pesan
—Yogas Ardiansyah
Selamat Tinggal Sayangku
—Giyanto
Cerita Tentang Itu
—Ahmad Fahmi Mubarok
Biografi Para Penulis
Dostları ilə paylaş: |