Matinya Para Filsuf Oleh : Edi Subkhan
Di tengah dunia yang berlari (runaway world–Giddens) sekarang ini, hanya sedikit orang yang berminat pada filsafat. Mahasiswa filsafat makin lama makin berkurang; jurusan, program studi pusat kajian filsafat pun hanya satu-dua yang dapat bertahan. Perguruan tinggi yang dulu terdapat studi filsafat banyak yang dihapus. Dan baru-baru ini pemerintah menyatakan akan “meninjau ulang” jurusan-jurusan yang sudah “jenuh”, termasuk filsafat, karena dianggap filsafat sudah tidak ada peminatnya lagi, dan tak ada lapangan kerja yang mau memekerjakan lulusan filsafat. Konon jurusan-jurusan yang “jenuh” tersebut akan digabung atau dihapus, dan mahasiswa yang masih tersisa akan coba dicarikan pekerjaan (Seputar Indonesia, 13/2/08; Kompas, 13/2/08).
Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, lalu filsuf atau minimal lulusan program studi filsafat akan dicarikan pekerjaan apa? Inilah yang tidak tepat bagi pemerintah dalam memahami keberadaan filsafat, filsuf, dan pusat-pusat belajar filsafat, utamanya di perguruan tinggi. Pemerintah selalu memahami secara salah, bahwa lulusan pendidikan formal mesti bekerja pada sektor riil, yang nantinya akan menghasilkan materi untuk perputaran ekonomi, dan ujung-ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat dan negara. Terlebih dalam pendidikan yang sudah menghamba pada kapitalisme sekarang ini, maka seseorang yang belajar pada bidang studi apa saja, adalah untuk bekerja dan menghasilkan uang, tak lebih. Seakan tidak tersisa ruang untuk memandang bahwa pendidikan pada hakikatnya justru adalah untuk menjadikan seseorang lebih bijak dalam memahami hidup dan kehidupan; dewasa dalam berpikir, bersikap dan bertindak; lebih manusiawi, serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dan ketika filsafat memang lebih berat dan menitikberatkan kajian dan pembelajarannya pada hidup dan kehidupan serta ilmu pengetahuan, maka ia menjadi tidak dianggap dalam paradigma pendidikan kapitalis.
Filsafat dapat dipahami sebagai sebuah bidang kajian akademik dan jalan hidup. Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinyatakan sebagai the mother of science (induk segala ilmu pengetahuan), filsafat menjadi hidup ketika dilestarikan dan dikembangkan secara akademik, yakni dengan dikaji dan dikritisi, serta ditransfromasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sebagai jalan hidup, laku hidup, maka ia cukup telah menjadi mulia sebagai pandangan hidup saja. Dengan begitu, menjadi filsuf sebenarnya bukan obsesi intelektual, ketika dimaknai sebagai cara pandang tentang kehidupan yang akan menjadikan seseorang yang mempelajarinya menjadi lebih bijak.
Oleh karena itu, pada akhirnya timbul pendapat bahwa jika dengan lelaku keseharian seseorang sudah dapat memahami kehidupan dan menjadi bijak, maka untuk apa belajar filsafat secara akademik? Justru ketika filsafat dinyatakan telah melingkupi segenap kehidupan ini—walaupun ini mungkin tidak disadari oleh orang-orang yang tidak mencoba memahami kehidupan secara hakikat—maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang privat dan publik sehari-hari, dan oleh karena itu secara tidak langsung, pada hakikatnya dalam keseharian kita telah berfilsafat. Inilah alasan substansial mengapa seseorang enggan belajar filsafat sebagai sebuah kajian keilmuan yang “diklaim” mempengaruhi segala hal.
Jadi, perlunya filsuf untuk menjaga dan mengembangkan filsafat yang kemudian menjaga dan mengembangkan disiplin keilmuan “anak-anaknya” seperti psikologi, sosiologi, pendidikan dan lainnya. Dalam kerangka Darwinian maka ranah intelektual adalah “habitat” (bedakan dengan “habitus” Bourdieu) para filsuf, namun filsuf tidak seperti manusia dalam pengertian Darwinian yang menyesuaikan dengan habitat tersebut, justru filsuf dalam habitat intelektualnya selalu membentuk habitat tersebut, tidak sekadar pre-determinisme atau ditentukan oleh takdir sosial ala August Comte dengan sosiologi positivis.
Maka permasalahannya adalah ketika habitat intelektual tersebut juga berubah, seiring berubahnya ranah sosial di luar ranah intelektual. Persoalannya kemudian bukan pada bagaimana agar para filsuf dapat bertahan dalam ranah intelektual yang telah berubah, karena ranah sosial yang lebih luas tersebut. Ranah sosial yang lebih luas bukannya menganggap tidak perlu ranah intelektual, tapi lebih jauh adalah menganggap tidak perlu adanya para filsuf yang hidup dan menghidupi ranah intelektual tadi.
Dus, matinya filsuf karena dikehendaki oleh ranah sosial yang lebih luas dan sekarang kapitalistik, adalah matinya ranah intelektual. Dan matinya ranah intelektual adalah matinya ranah sosial yang lebih luas, karena ranah intelektual menopang secara epistemologis-ideologis kehidupan sosial. Kecuali ketika ranah intelektual didefinisikan lain, ada redefinisi ranah intelektual yang “tidak terlalu” memerlukan pemikiran-pemikiran falsafi.
Jadi, bagi saya, problem filsuf sekarang dengan konteks di Indonesia, bukanlah problem eksistensial—dan harus survive. Filsuf tidak harus survive, tidak ada keharusan, tapi keniscayaan adanya filsuf bagi dunia intelektual dan sosial adalah bagaikan kemestian sebagaimana adanya api untuk panas, “lele” untuk pecel lele, “ayam” untuk mie ayam; tidak mungkin ada panas tanpa api, kalaupun ada tidak dapat membakar (intelektual, nalar, dan lainnya), menjadi aneh pecel lele tanpa ikan lele, pun aneh mie ayam tanpa ayam, sebagaimana anehnya intelektual tanpa para filsuf.
Yang penting bukan person filsufnya, tapi adanya filsuf yang niscaya bagi adanya intelektualisme. Pun jika dipandang dari konsepsi evolusi filsuf yang diandaikan Abdul Haris Fitrianto, maka bagi saya “evolusi” filsuf tidak dalam rangka menyesuaikan alam sekitar, tapi sebaliknya, yakni membangun alam sekitar, membangun peradaban manusia, dan “alam sekitar” yang mesti “menyesuaikan” kehendak filsuf.
Beberapa filsuf “tersebut” sebagian pemikirannya telah digunakan untuk membangun konsepsi dalam bidang pendidikan, idealisme Plato misalnya, mengilhami paradigma pendidikan idealis yang diterapkan secara letterlijk di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai tahun 90-an. Tentu pemikiran Plato tidak secara langsung, tapi sebagaimana dikonsep ulang oleh aliran pendidik idealis, dan lainnya. Driyarkara pun sama dengan “memanusiakan manusia” dan pendidikan sebagai “proses pembudayaan”. Tapi sayang semuanya itu sekadar jargon saja, dan masalahnya sebagaimana saya singgung dulu, basis filosofis Driyarkara, Ki Hadjar Dewantara, tidak sama dengan para pelaksana filsafat itu sekarang ini. Jika demikian, apakah filsuf Indonesia dangkalkah? Bukan dangkal, tetapi terdapat missmatch, beda komitmen, dedikasi, dan kemampuan memegang kebenaran dan hakikat filosofi antara filsuf terdahulu dengan orang-orang yang mengimplementasikannya sekarang dalam ranah praksis. Bagi saya tidak ada filsuf yang dangkal, filsuf yang dangkal adalah bukan filsuf, melainkan hanya mengaku filsuf.
Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa seseorang belajar filsafat untuk menjadi dosen filsafat, yang nantinya akan mengajar filsafat kepada mahasiswanya, dan mahasiswa ini pun akan menjadi dosen filsafat yang kelak akan mengajar filsafat pada mahasiswa generasi selanjutnya, begitu seterusnya. Jadilah berputar terus menjadi semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun selama ini filsuf dipandang hanya berproduk buku, artikel ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran, gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk modal materi.
Selama ini belum banyak institusi sosial yang memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemen-departemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun lambat laun peminat berkurang, dan pada akhirnya semua program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai kemudian hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang filsafat pada universitas-universitas “mantan” IKIP tersebut.
Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak pernah mencari lulusan filsafat—atau filsuf—untuk menjadi dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unnes, tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat, apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah, program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah intelektual, dan sekadar menjalankan rutinitas akademik yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis, yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat, bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi, wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk gairah untuk terus belajar dan menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada!
Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial, termasuk institusi pendidikan, sudah tak merasa memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para filsuf, akan menjadi makhluk langka yang kian punah, dan pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan tanpa adanya filsuf.
SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
Sumbangan Pengembangan Lembaga (SPL) Universitas Negeri Semarang 2008 cukup membuat masyarakat luas terhenyak khususnya masyarakat Jawa Tengah. Lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, Unnes menetapkan anggaran SPL tahun akademik 2008/2009 sebesar minimal 5 juta rupiah dan maksimal 35 juta rupiah bagi calon mahasiswa baru. Peningkatan sumbangan tersebut cukup fantastis di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. Apalagi kita tahu “pangsa pasar” Unnes selama ini adalah mereka yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, cukup beralasan kiranya jika kita mengajukan beberapa pertanyaan terkait hal tersebut.
Bagaimanakah alur logika para birokrat Unnes dalam persoalan yang cukup “gawat” ini? Masyarakat sangat mengharap ada transparansi informasi tentang alur logika tersebut. Sehingga missunderstanding terhadap fakta SPL ini dapat diminimalkan dan dapat memicu dialog yang lebih jernih dan komunikatif.
Sayangnya, sepengetahuan penulis sejauh ini belum ada semacam press conference yang digelar oleh Unnes sebagai sebuah pertanggungjawaban publik atas kebijakan ini. Sejauh yang penulis tahu, satu-satunya alasan adalah pernyataan petinggi Unnes yang menyatakan bahwa SPL 2008/2009 sudah disepakati oleh Senat Unnes, seperti yang dilansir beberapa media massa. Apakah hubungan antara alasan-alasan keputusan tentang SPL dengan disepakatinya alasan-alasan tersebut oleh Senat? Jawaban yang diharapkan masyarakat mestinya adalah jawaban yang lebih ideologis, filosofis dan relevan dengan keadaan masyarakat.
Pertanyaan lain yang datang adalah soal aturan hukum yang memayungi keputusan tersebut. Kita Unnes tahu belum menjadi Badan Hukum Pendidikan (penulis berharap semoga tidak). Itu artinya, memang tidak ada aturan hukum baru lagi yang bisa dijadikan payung, selain persetujuan senat universitas sebagai legislator utama keputusan-keputusan publik universitas selama ini. Lalu mengapa, dengan status yang masih sama sebagai Perguruan Tinggi Negeri, dan itu artinya dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terlalu berbeda seperti tahun-tahun sebelumnya, SPL Unnes dinaikkan begitu dramatis?
Mencoba meraba-raba inti persoalan, penulis menyimpulkan beberapa hal. Pertama, SPL Unnes tahun ini sangat erat kaitannya dengan isu BHP. Kebijakan tentang SPL ini bisa jadi merupakan sebuah persiapan sebelum di-BHPkan-nya Unnes. Sebab, lazim kita tahu bahwa persoalan BHP adalah persoalan sensitif dan multikompleks. BHP merupakan proyek besar pemerintah pusat dengan segala Undang-undang yang hampir pasti akan ditetapkannya. Apalagi kita tahu, entah dengan keterbatasan daya untuk melawan atau memang secara ideologis sepaham, hampir semua petinggi PTN di Indonesia tak terkecuali petinggi Unnes dapat menerima kebijakan publik yang dirancang petinggi negara tersebut tanpa reserve dan gejolak sebagai ciri utama masyarakat akademis dalam menanggapi wacana-wacana baru dan sensitif secara sosial semacam wacana BHP.
Sebagai pendukung BHP, dilemparkannya bola api SPL oleh Unnes ini merupakan sebuah uji coba sebelum dilemparkannya bola api yang lebih panas lagi bernama BHP. Oleh karena itu, seberapa jauh upaya mengkritisi SPL bahkan perlawanan terhadapnya merupakan tolak ukur terhadap mulus atau tidaknya jalan Unnes menjadi BHP. Jika terhadap isu ”kecil” SPL saja masyarakat luas (yang berhak untuk menggugat keputusan publik yang merugikan kehidupannya) dan khususnya masyarakat akademis Unnes (senat universitas, BEM Universitas, BEM Fakultas, dosen dan karyawan) sebagai kekuatan kontrol pembuat kebijakan ”lemah syahwat” untuk mengkritisinya maka bagaimana dengan isu sebesar BHP?
Disorientasi Tujuan Pendidikan
Kedua, lalu apa yang hendak dikritisi? SPL Unnes hanyalah merupakan batu loncatan kecil untuk merefleksikan persoalan pendidikan nasional kita. Bagi penulis membicarakan SPL dan BHP adalah membicarakan satu persoalan, yaitu disorientasi tujuan pendidikan yang berujung pada komersialisasi pendidikan.
Pemahaman bahwa tujuan pendidikan hanya bisa tercapai dengan mengkomersialkan pendidikan (menjadikan pendidikan sebagai suatu komersial atau barang dagangan) seperti yang terjadi di Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Maka sepaham dengan Romo Mangunwijaya, tujuan pendidikan bukanlah menjadikan manusia sebagai ”sarana” seperti mesin, cangkul, dan sedan seturut dengan menggemuknya kebutuhan masyarakat komersial kapitalisme modern. Pendidikan hanya dimaknai sebagai bekal mencari kerja. Negara melalui Direktorat Jendral Perguruan Tinggi tampaknya mengamini hal ini. Sebagai contoh simak saja rencana Dikti baru-baru ini yang akan menutup program studi-program studi yang dianggap tidak ”marketable” alias yang justru menambah pengangguran semacam ilmu politik, ilmu sejarah, dan lain-lain. Begitulah jika pendidikan diperdagangkan maka mahasiswa pun direduksi menjadi hanya semacam asongan.
Melampaui hal itu, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai ”tujuan”, yaitu menjadi manusia seutuhnya. Lalu, apakah mengkomersialkan pendidikan yang membuat rakyat kecil semakin tidak bisa menjangkau ”harga” atas pendidikan adalah manusiawi? Apakah sebuah kebijakan yang menyakiti perasaan kemanusiaan rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan hak-haknya sendiri untuk mendapatkan pendidikan adalah manusiawi? Mengapa justru yang tidak memanusiakan manusia adalah sesuatu yang mengatasnamakan pendidikan yang justru bertujuan untuk memanusiakan manusia? Mungkin disinilah letak persoalannya bahwa SPL dan BHP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan hanyalah efek-efek kecil turunan dari sesuatu yang jauh lebih mencekam, yaitu disorientasi tujuan pendidikan nasional kita.
Warung Pecel
Oleh : Yogas Ardiansyah
Hari ini, mbok Ti tampak cerah wajahnya, lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Tangannya begitu ringan mempersiapkan berbagai macam sayuran dan bumbu sebagai bahan utama pembuatan pecel, yang memang menjadi menu utama kedainya. Keceriaan mbok Ti ini menular juga pada kang Kus, suaminya. Sang suami ini dengan sigap membantu istrinya menimba air dari sumur dan menata piring-gelas di rak. Menjadi sesuatu yang lazim memang, di pelosok timur desa di Jawa Tengah ini, seorang suami berperan seolah-olah menjadi karyawan istrinya. Ini didasari keadaan sosial ekonomi yang memang tak bisa di hindari. Ladang dan sawah yang dikerjakannya tiap hari tidak mampu menyangga konsumsi harian keluarga karena hanya bisa dipanen tiga bulan sekali, bahkan lebih lama jika tidak dibantu dengan turunnya hujan. Hal ini menyebabkan kang Kus rela menjadi karyawan istrinya, karena hasil dari warunglah yang memang menjadi andalan penghidupan sehari-hari. Sedangkan nanti bila masa panen tiba, hasilnya digunakan untuk membeli kambing atau anak sapi yang dirawat sendiri, sebagai fungsi tabungan dan investasi. Mungkin akan timbul gejolak jika yang mengalami pola ekonomi seperti ini adalah keluarga yang tinggal di kota, karena budaya patrilinial melekat erat di sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya kesadaran dan saling pengertian antara mbok Ti dan kang Kus sajalah yang membuat pola rumah tangga ini berjalan lancar.
Gerangan apakah yang membuat mbok Ti dan kang Kus bersuka cita? Alasannya cukup sederhana dan biasa-biasa saja. Omzet penjualan kedai pecel miliknya meningkat dan dipastikan akan terus meningkat. Puluhan orang setiap hari antri untuk mendapatkan seporsi nasi pecel buatannya. Seluruh warga kampung bahkan para pegawai kantor yang terletak di seberang jalan raya sana tiba-tiba memburu pecelnya.
Minggu kemarin, pak Camat memerintahkan seluruh warga dan jajaran pegawainya, mulai sejak dibacakannya instruksi, agar gemar mengkonsumsi makanan tradisional daerah setempat, terutama pecel. Bukan itu saja, merekapun diminta untuk ikut mempelajari cara mengolah sayuran dan bumbu menjadi pecel yang nikmat. Dengan bangga pak Camat mengeluarkan perintah itu disertai kata-kata seperti yang tertera pada spanduk-spanduk sebelum tahun 1998 “Dengan Mengkonsumsi Dan Melestarikan Pecel, Kita Jaga Aset Dan Budaya Daerah”. Pak Camat juga memerintahkan sekolah dan tempat kursus untuk menambah mata pelajaran “membuat pecel” untuk para siswanya. Bahkan ide itu berkembang menjadi proposal pada sebuah universitas agar menambahkan mata kuliah tentang perpecelan, agar mahasiswa tahu dan mengenal pecel tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi juga merupakan bidang penelitian ilmiah yang dapat dikaji dari sisi ekonomi, sosial-budaya bahkan politik. Hidangan yang disajikan setiap ada rapat atau tamu penting yang berkunjung ke kecamatan itupun tak lepas dari pecel.
Sontak saja kebijakan ini membuat warung mbok Ti kebanjiran pembeli. Semua orang berlomba membeli pecelnya dan tak jarang bahkan meminta izin untuk belajar membuat pecel darinya. Warung pecelnya mendapat peringkat terlaris paling tinggi di banding warung yang menjual makanan lain. Bahkan mbok Ti berencana membuka kedai baru sebagai perluasan agar dapat menampung semua peminat. Tak lupa, mbok Ti juga menambah jumlah belanjaan agar mampu memenuhi permintaan yang kian tinggi karena kebijakan pak Camat tersebut. Hal ini dilakukan karena mbok Ti khawatir pembeli akan mencari warung lain yang tiba-tiba saja menjual pecel karena iri melihat potensi pasar yang begitu besar. Warung-warung baru tersebut tentu belum terjamin mutunya dan berpotensi merusak citra pecel yang sedang naik daun.
Rencana memperluas kedai dan menambah produksi tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk mbok Ti dan kang Kus. Mereka harus memperlebar warung, menambah bumbu dan sayuran, menambah jumlah piring dan sendok hingga sampai harus merekrut beberapa karyawan baru untuk membantunya. Merekapun harus melatih karyawan baru tersebut agar memenuhi kualifikasi dalam membuat pecel sesuai dengan standar rasa yang digariskan, dan sesekali melayani permintaan semacam wawancara dari pembeli yang ingin mengetahui perkembangan program pak Camat ini. Belum lagi biaya untuk memperbesar bisnis ini ternyata lumayan besar juga. Merekapun harus bekerja ekstra keras dan mulai menggunakan teori efektivitas dan memperhitungkan besaran modal yang mereka keluarkan apakah sebanding dengan potensi pendapatannya. Tapi toh, mereka rela melakukan kerja ekstra itu karena sadar peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peluang ini bisa jadi takkan pernah ada lagi karena, kata orang, keberuntungan macam ini tidak akan datang dua kali.
Di balik semua itu, ternyata memang karakter suami-istri penjual pecel itu, yang orang jawa tulen, tak mudah hilang begitu saja. Sebagai orang jawa, mereka dididik untuk selalu ingat dan waspada akan setiap perubahan yang dibawa oleh sang waktu. Mereka, sekalipun disibukkan dengan kerja keras melayani pembeli, tetap selalu bersyukur atas limpahan anugrah ini sembari tetap tidak lupa diri. Entah berfikir secara modern tentang teori peluang pasar ataukah berpikir tradisional yang berdasarkan sikap nrimo ing pandum, mbok Ti dan kang Kus sepertinya sadar bahwa perubahan ini tidaklah kekal dan akan disusul dengan perubahan-perubahan yang lain. Mbok Ti dan kang Kus juga sadar, bahwa mereka tidak tahu sampai kapan kebijakan pak Camat ini akan terus berjalan dan efektif dilaksanakan. Mereka juga tidak tahu motif apa yang membuat pak Camat memerintahkan hal ini (mendekati pemilu yang sebentar lagi tiba, perilaku pemerintah memang sukar di tebak. Dan semua orang tahu, sekalipun pegawai negeri dilarang berpolitik, pak Camat adalah simpatisan golongan tertentu). Mbok Ti dan kang Kus juga sadar bahwa seenak apapun pecelnya, tentu lidah orang akan jengah juga jika setiap hari disuguhi pecel melulu.
Semua itu membuat suami-istri ini tidak membabi buta dalam mengembangkan institusi warung pecelnya. Mereka tidak mau kapiran karena termakan oleh perubahan zaman. Jika sewaktu-waktu kebijakan ini dicabut karena diganti dengan kebijakan lain atau karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau karena didemo penjual lain yang iri, mbok Ti dan kang Kus tetap akan bertahan dan tidak terlalu merugi atau bahkan mengalami post power syndrome. Mereka tetap melandaskan kemajuan warung mereka berdasarkan naluri kerendahhatian sembari takut untuk membayangkan berapa kerugian yang harus mereka tanggung karena telah membelanjakan dengan tanpa pertimbangan seluruh modal dan tabungan mereka untuk memperluas warung, membeli piring dan sendok dan menrekrut karyawan serta melatihnya.
Siang yang panas ini, saya berkesempatan mencicipi pecel mereka. Lantas entah mengapa, tiba-tiba saja saya teringat jajaran pimpinan sekolah tinggi nun jauh disin(i) yang sedang getol mencoba membuka lapak-lapak baru untuk didatangi para calon mahasiswa dan para guru yang sedang bersukahati menanti-nanti berkah sertifikasi.
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas
Oleh : Awaludin Marwan
Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam konteks perilaku pemilih tidak bisa disalahkan. Refleksi sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah, kontruksi sadar dan cerdas memilih bisa terwujud.
Konsepsi pendidikan kaum tertindas, yang pernah menggemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke-19, mengandung sejumlah orientasi filosofis dari pendidikan. Bahwa pendidikan menjadi lebih manusiawi (memanusiakan manusia), demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.
Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub, ternyata tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan. Dimana kampanye kandidat dan sosialisasi pemilu yang terbatas, sehingga tidak mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka.
Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk menggiring mereka untuk mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu jika hanya menganjurkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog dan memberangus kesadaran, layaknya sistem pendidikan politik otoriter. Meminjam ungkapan Freire, seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas.
Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka–sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–yang mengutamakan penggiringan massa, hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog itulah, yang merupakan hal esensial pada proses penyadaran. Dengan terjalinnya dialog kritis, secara otomatis akan mendorong tranformasi sosial dan pembebasan, serta mencerdaskan—secara politis—khalayak pemilih.
Bentuk sosialisasi dan kampanye yang populer saat ini mengharuskan prakondisi yang memerlukan karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional, paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas yang jauh dari faktor tersebut perlu diberikan pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi dan menyejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis.
Kaum tertindas bisa diartikan pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, dengan persentase 51, 60 %. Sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang, yakni 17, 70 %. Mereka inilah, yang menjadi sasaran pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya.
Dilema ketidaksadaran dan ketidakcerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional jika persoalan fundamental ini di sandingkan dengan fenomena golput dalam setiap pemilihan (umum). Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan dalam melahirkan bertambahnya angka golput.
Prihatmoko (2008) menyatakan, pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004 lalu, angka golput mencapai 22,06 %. Berada dibawah partai pemenang pemilu (PDI-P) dengan prosentase perolehan sebanyak 23,09 %. Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 %) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 %). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 %) masih mengalahkan golput (28 %). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 %) dikalahkan golput (31,14 %). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 dari 26 pilkada kabupaten/kota (42,31 %). Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian, presentase pilkada yang dimenangkan golput meningkat. Dari 41,18 % daerah pada tahun 2005 dan 42,86 % pada tahun 2006, menjadi 50 % pada tahun 2007. Dari sebelas pilkada tersebut, rata-rata golput sebesar 36,74 %, dan ini jauh diatas suara bupati/walikota terpilih yang hanya sebesar 26,10 %. Selisih perbandingan itu di rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 % dan bupati/walikota terpiliih 35,12 %. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub.
Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas. Sekali lagi, dalam Pedagogy of The Oppresed, Freire menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan. Dalam konteks yang lebih operasional, hal ini bisa dilakukan melalui sosialisasi yang harus diposisikan sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah. Dan juga dialog sebagai instrumen terpenting, yang akan memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik.
Kalaupun perlu, sosialisasi ke depan haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih mampu ”berpikir”, membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat. Sehingga, pada akhinya pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.
Ruang Publik Pendidikan
Oleh : Edi Subkhan
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kedirian kita di dunia ini, adanya diri kita sekarang ini, sebagaimana diungkapkan oleh Heidegger bahwa, “Manusia sudah selalu terlempar ke dunia”; manusia bukanlah subyek yang dapat melepaskan diri dari dunia. Charles Taylor (1993) menyatakan bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia selalu terlahir sudah dalam berada dalam komunitas masyarakat tertentu, dalam ruang kehidupan tertentu, baik secara geografis, etnis, keyakinan, dan lainnya. Takdir kedirian, fitrah kemanusiaan, atau “kutukan” kehidupan manusia ia selalu sudah mendapati dirinya berada di dunia ini dengan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti etnis, bahasa, budaya, dan keyakinan. Kenyataan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia berada dalam “ruang” tertentu secara sosial, dan ini adalah keniscayaan abadi yang tak dapat dielakkan oleh manusia.
Pun ketika seseorang itu menjadi eksistensialis, seperti Kierkegaard, Nietzsche, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoevsky, Jean Paul Sartre, Muhammad Iqbal al-Pakistani, dan lainnya, maka mereka tak dapat mengelakkan kenyataan bahwa mereka telah eksis terlebih dahulu dalam “ruang” tertentu sebelum berupaya meng-eksistensi-kan dirinya secara “sadar”. Eksistensialis yang lebih mengedepankan “eksistensi” daripada “essensi” terlepas dari penafian mereka akan “ruang” sosial justru memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki “ruang” privat tersendiri, yang memisahkan diri dari “ruang publik”.
Secara distingtif-opositif biner, maka ketika terdapat “ruang publik” maka sebaliknya pasti ada “ruang privat”. Di sini kita agaknya sudah mendapatkan basis filosofis yang memadai mengenai adanya ruang publik dan privat, walaupun tidak terlalu epistemologis, apalagi “etis-estetis” yang merupakan bagian dari dimensi aksiologi dari filsafat. Dengan terpaksa melampaui bahasan historis ruang publik—dan privat—mulai dari Yunani kuno sampai pada alam modernitas dan posmodernitas sekarang (bagi yang percaya “mitos-mitos” tersebut), maka sekarang dapat dikatakan bahwa hidup dan kehidupan kita, sampai ruang privat kita tidak dapat menolak keberadaan ruang publik; ia selalu berhadapan dengan ruang privat, dan pada akhirnya melahirkan banyak perspektif seiring banyak masalah yang terlahir dari persetubuhan ruang publik dan privat tersebut.
Secara singkat ruang publik bicara soal kebebasan, kesetaraan, egalitarianisme, demokrasi, kesejahteraan bersama, di sisi lain ruang privat bicara soal hak asasi, kekhasan tertentu, privelege tertentu, keyakinan tertentu, yang seakan-akan berada di balik tirai yang sewaktu-waktu dapat keluar, mendesakkan “kekhasan” tersebut pada ruang publik, menghegemoni, mendominasi wacana, dan pada akhirnya—sebagaimana yang terjadi pada metanarasi besar terdahulu (modernisme, posmodernisme, dialektika roh, dan mitos-mitos besar lainnya)—mendesak ruang privat lain. Sebenarnya, berkaitan dengan latar pendidikan saya di FIP Unnes, banyak masalah pendidikan yang mau tidak mau mesti mengantarkan kita untuk mendekatinya dari perspektif ruang publik. Dan hal itu merupakan keniscayaan untuk mengambil ruang publik sebagai pendekatan dalam memahami masalah sosial terlihat dalam banyak ranah kehidupan.
Misalnya, soal moralitas guru sebagai manusia biasa, sebagai bagian dari ruang privatnya ketika berhadapan dengan ruang publik yang menuntut keselarasan antara apa yang ia ajarkan pada siswa dengan ruang privatnya secara betul-betul personal. Kasus yang nyata adalah soal guru yang berbuat mesum, selingkuh, bertindak asusila. Guru sebagai personal dan guru sebagai bagian dari ruang publik menjadi problematik, bagaimana mesti menempatkan diri dalam hak privasi untuk menjadi manusia biasa yang bisa amoral dan menjadi manusia “agung” yang mesti selalu baik di mata siswa dan masyarakat. Ruang publik telah menjadikan posisi guru di situ tidak boleh memiliki ruang privat karena tidak disepakati oleh mayoritas pendapat ruang publik, yang nota bene pendapat mayoritas ruang publik pun sebenarnya merupakan desakan dari ruang privat moral dan etika yang sudah menjadi “sewajarnya”. Ruang privat berupaya, dalam hal ini, pendapat atas moral dan etika tertentu pada akhirnya menjadi dominan di ruang publik ketika “semuanya” atau katakanlah sebagian besar berpendapat sama.
Bagi saya, dalam ruang publik pendidikan terdapat bahasan sensitif sebagai bahasan yang belum tuntas melibatkan ruang publik dan ruang privat, yakni ruang privat keyakinan teologis dan ideologis yang niscaya merengsek masuk dalam ruang publik pendidikan. Pendidikan sebagai ruang publik ketika diperbandingkan dengan ruang publik sebaga civil society, mungkin akan lebih tepat disebut sebagai ‘ruang publik perantara’. Ungkapan-ungkapan para pendidik kritis seperti Freire, Illich, Postman, dan Apple, juga teoritis kritis seperti Bourdieu, Foucault, dan Habermas yang menyatakan bahwa pendidikan penuh dengan kepentingan ideologis, politis, dan lainnya sebetulnya telah meneguhkan pendapat, bahwa ketika pendidikan didefinisikan sebagai ruang publik perantara maka memang betul ia menjadi ruang kontestasi ideologi dan berbagai kepentingan lain termasuk keyakinan teologi untuk menghegemoni, mendominasi, dan me-reifikasi nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama dalam ruang publik pendidikan tersebut. Keyakinan ideologis dan teologis memang niscaya keluar dari bilik ruang privat menuju ruang publik untuk memenangi kontestasi di antara ruang privat ideologis dan teologis lainnya, yang juga sama-sama merengsek keluar menuju ruang publik pendidikan. Hal itu karena ideologi dan teologi lebih terkodifikasi, baku, masuk dalam kotak-kotak terdapat kekhasan yang tak ada pada ruang yang lain.
Mirip prinsipnya Thomas Hobes, maka saya berpendapat tidak boleh mendesak ruang privat lain apalagi merusaknya dan lebih berupaya menjaga ruang privat sendiri, oleh karena tindak amoral itu sebenarnya telah merusak atau mendesakkan persepsi bahwa amoralitas itu benar kepada ruang privat lain yang tidak sepaham, maka amoral tidak diterima di ruang publik.
Tapi bukankah keyakinan dari ruang privat yang dominan di ruang publik dan menjadi sebuah konsenses kemanusiaan dan kelaziman moral, bahwa amoral itu tidak boleh, juga sebentuk pemaksaan dan “pengrusakan” atas ruang privat lain yang meyakini bahwa amoral itu boleh? Bagaimana Anda menjawab ini? Ini baru pemanasan, posting selanjutnya sedikit menginjak soal intelektual kampus.
Belenggu Idealisme Ubermensch
Dunia pendidikan kita sekarang tak hanya dimaknai sebagai sarana untuk memanusiakan manusia sebagaimana dikatakan Driyarkara. Lebih dari itu sekarang dengan berbasis pada paradigma education as human investment, maka dunia pendidikan telah menjelma menjadi pabrik-pabrik yang siap memproduksi manusia-manusia pesanan pasar. Konsekuensinya, dengan harga tertentu maka akan didapat produk dengan kualitas sebatas harga yang diberikan. Dengan kata lain, dalam logika ekonomi, semakin tinggi kita berani membayar—atau berinvestasi pada sebuah lembaga pendidikan—maka semakin tinggi pula kualitas produknya.
Tampaknya semua lembaga pendidikan menyadari hal itu, hingga yang terjadi selanjutnya adalah persaingan antarlembaga. Mereka semua berupaya untuk menunjukkan bahwa lembaga mereka lebih berkualitas dari yang lain. Ketika tantangan globalisasi sekarang menghendaki penguasaan soft skill dan hard skill competence bahasa Inggris, IT, keuletan, kreativitas, profesionalisme, dan lainnya, maka lembaga pendidikan beramai-ramai mengakomodasinya. Nah, ketika persaingan kian ketat antarlembaga, maka inovasi-inovasi pendidikan dilontarkan agar tak sekadar keunggulan kompetitif yang didapat tetapi juga keunggulan komparatif.
Dari sini lahirlah lembaga-lembaga pendidikan semacam full day school (sekolah sehari penuh) yang bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang bermodel imersi, akselerasi, boarding school, sekolah alam, dan lain-lainnya. Karena sudah bernalar bisnis, maka promosi digencarkan bahwa konsep-konsep inovatif tersebut lebih unggul dibandingkan dengan sekolah-sekolah biasa dengan tujuan agar orang tua dan calon peserta didik kian tertarik, hingga akhirnya memilih sekolah mereka, dan ketika mereka bersekolah di lembaga tersebut tentu semakin banyak “investasi” yang masuk, dan semakin sejahteralah lembaga tersebut.
Jika ditelisik secara lebih filosofis, maka sebenarnya masalah tersebut terjadi karena dunia pendidikan kita tak mempunyai landasan filsafat dan ideologi pendidikan yang kuat. Visi pendidikan kita pada kurikulum 1994 dan sebelumnya telah mengandaikan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang sempurna lahir & batin, mampu menguasai segalanya, bisa apa saja, intinya adalah sebentuk ubermensch (superman) yang digadang-gadang oleh Hitler ketika mengklaim rasnya sebagai yang terunggul di dunia. Intinya pendidikan kita ditujukan untuk membentuk manusia super (superman) yang serba unggul yang ternyata hal itu pun masih dalam kontroversi secara filsafati dan mengabaikan realitas sosial-budaya bangsa Indonesia.
Akhirnya yang dirujuk adalah filsafat idealisme dalam pendidikan. Filsafat idealisme ini mencoba memberikan semua materi yang penting bagi siswa, celakanya semua materi dianggap penting, karena memang tujuannya menciptakan manusia super tadi. Yang terjadi adalah, banyak materi dijejalkan pada siswa walaupun ternyata dangkal. Mulai dari hal sederhana sampai teori yang sebenarnya belum perlu diberikan pada siswa SMP –misalnya- akhirnya diberikan juga. Selanjutnya pembelajaran lebih bersifat teoritis karena banyaknya materi yang harus dipelajari, waktu belajar terbatas, hingga tak mendalam dan minim prakteknya.
Walaupun paradigma tersebut sudah mulai ditinggalkan dengan mensinergikan idealisme dan realita dalam pendidikan kita, ternyata mimpi ubermensch tidaklah tamat riwayatnya. Dengan disulut api nalar bisnis yang penuh persaingan untuk mendapatkan hati pasar (masyarakat dan dunia kerja) maka ia berganti baju dan menjelma menjadi—salah satunya—konsep full day school.
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day school tak sekadar “memaksa” siswa belajar dari pagi sampai sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih variatif, dan kemungkinan lebih mendalam. Tak hanya itu, yang pasti full day school tentu lebih mahal biayanya daripada sekolah biasa.
Yang dikhawatirkan adalah, siswa menjadi jenuh belajar seharian. Tak hanya karena dibatasi dalam lingkup sekolah yang seringkali menjauhkan dari realita kehidupan, tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan konsep yang tak lagi menarik hati, maka siswa akan kian jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal resistensi pada materi yang diberikan.
Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak semuanya tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang berkarakter pemberontak, tak semua siswa mampu mencerap bejibun materi, karena berbedanya kecerdasan, tak semua siswa mau mempelajari semua, karena bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana dikemukakan Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya.
Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa oleh lembaga pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak untuk mengaktualisasikan diri, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada usia anak-anak. Dengan konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban idealisme visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang “memaksa” anaknya jadi yang terbaik. Bukankah ketika ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan? Begitu pula dengan sekolah, tak perlu “memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang belajar, hingga saat yang paling dibencinya justru ketika waktu belajar usai dan liburan tiba. Bisakah?
Menengok Diri Serta Pendidikan Kita
Oleh : Giyanto
Kita dikelilingi oleh praktik-praktik pendidikan yang tidak memberikan pilihan-pilihan bebas serta ketidakjelasan sasaran dari apa yang ingin dicapai, yaitu sebagai sarana penegak kebenaran ilmu atau menjadi salah satu sekrup kepentingan masyarakat kapitalis industri. Untuk praktik pertama, kita tidak pernah benar-benar serius mendiskusikan dunia ilmiah seperti apa yang akan diperjuangkan oleh pendidikan kita. Sedangkan untuk praktik kedua, kita selalu dililit masalah dan bayang-bayang pengangguran.
Determinasi (dalam konteks psikologis, bukan dalam konteks aliran falsafah), setidaknya saya artikan sebagai suatu kesadaran yang ada pada setiap manusia untuk menggali kehendak bebasnya dalam menciptakan (to create), diiringi dengan perenungan-perenungan mendalam untuk menciptakan pilihannya sendiri. Kesadaran ini muncul karena adanya hasrat dinamis manusia untuk maju, disertai dengan refleksi-refleksi, sehingga tercipta suatu kondisi kesadaran mengenai apa yang dia kerjakan.
Memang benar bahwa manusia memang tidak dapat benar-benar bebas. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, serta dimodelkan oleh lingkungan terhadapnya akan memengaruhi cara berfikirnya. Buku apa yang kita baca, apa yang kita bicarakan, gambaran ideal yang ada di kepala kita, setidaknya memberikan cerminan bahwa kita tidak benar-benar bebas dalam menciptakan apa yang kita pikirkan dan kita lakukan. Oleh karena itu pada fase perkembangan dewasa, hal ini menjadi sangat relevan untuk dibahas, karena pada fase ini, setidaknya menurut ahli psikologi perkembangan, merupakan fase peneguhan siapa diri kita sebenarnya. Masa inilah, akan seperti apa kita kelak, dapat sangat mudah dilihat.
Kembali kepada permasalahan tingkat kesadaran yang diperlukan bagi manusia “bebas”. Kebebasan dalam arti kesadaran menentukan pilihan, tanpa ketakutan dan kekhawatiran yang bersumber dari harapan lingkungan sosial kepada masing-masing subyek. Dari keluarga, guru, ulama, pacar, istri, anak dan teman, yang kesemuanya memiliki kepentingan masing-masing bagi pembentukan nilai masyarakat yang sudah mereka tentukan menjadi apa yang “baik” dan “benar” menurut versi kepentingan masyarakat “saat ini”.
Dengan demikian, walaupun sangat halus, harapan-harapan itu secara tidak langsung memasung kebebasan yang seharusnya sudah menjadi kodrat manusia. Semisal, mimpi status sosial bagi para bekas aktivis yang biasanya terpasung, bahwa menjadi dosen atau politisi ialah berada pada strata tertinggi. Bukan berarti saya menganggap rendah impian tersebut. Akan tetapi, kesempitan berfikir seperti itu, akhirnya “membunuh” proses alami yang seharusnya diperankan secara “ideal” dari status dosen maupun politisi, yang dalam sistem masyarakat mengemban tanggung jawab sebagai “khalifah”. Dengan kata lain, kesempitan visi pribadi yang terjebak dalam “status” atau “simbol”, bukan pada peran ideal dalam kepentingan seluruh sistem masyarakat atau peradaban modern, akhirnya memperlambat gerakan sistem perkembangan diri untuk tumbuh secara sehat.
Seandainya secara normal orang disuruh memilih antara hak dan kewajiban, maka orang secara normal akan memilih hak secara dominan. Karena (misalnya) mereka memiliki anak istri yang harus dipikirkan. Walaupun secara mikro hal tersebut juga merupakan kewajibannya—untuk menafkahi anak dan istri—dalam sistem sosial “kewajiban” itu bisa dikategorikan hak.
Dengan demikian, suatu status yang dalam proporsi keseluruhan sistem sebenarnya mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang besar, tetapi dalam praktiknya, hak lah yang dipentingkan. Maka, secara tidak langsung peran ideal status tersebut akan terbunuh. Bagaimana bisa orang mau memberi tapi dirinya sendiri bergantung secara mutlak pada sistem yang menopangnya. Saya kira akan muncul alasan-alasan klise bagi pembelaan status quo mereka.
Akibatnya, tanggung jawab bagi peran-peran yang dalam keseluruhan sistem seharusnya dapat memberi kontribusi yang besar tidak dapat mereka laksanakan dengan seharusnya. Semisal, peran politisi, sebagai agen pembuka kran demokrasi, akhirnya membunuh demokrasi itu sendiri karena alokasi proporsi tuntutan hak mereka yang terlalu besar, sehingga memilih untuk melanggengkan kekuasaan yang ada (karena secara politis-ekonomis-finansial, kelanggengan kekuasaan tersebut akan memberikan keuntungan lebih besar kepada politisi terkait).
Ada banyak penyebab mengapa kerumitan sistem sosial yang ada dalam masyarakat kita sulit untuk dikaji secara sistematis dengan bahasa yang bebas, dan mudah dipahami oleh akademisi kita. Pertama, dominasi yang besar akan warisan teori-teori pengetahuan yang selalu kita impor, yang lebih banyak dipengaruhi oleh logika Cartesian. Kedua, dalam melihat ilmu, kita terlalu takut untuk mengatakan bahwa pengalaman empiris yang kita alami juga merupakan sebuah ’ilmu’. Lebih lanjut, hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya memberikan batasan definitif yang baku. Kita tidak pernah diberi kesempatan untuk membahasakannya sendiri secara sistematis, tentang apa yang kita lihat dan alami.
Kebiasaan dalam praktik pendidikan kita memang tidak bisa dibahas dalam satu artikel. Namun saya harap wacana ini dapat menjadi perdebatan dari sudut pandang pribadi dengan bahasa ilmunya masing-masing, sehingga kita akan dapat berbagi mengenai apa yang kita resahkan untuk menjadi perenungan lebih lanjut.
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah?
Oleh : Edi Subkhan
Perkembangan dunia pendidikan begitu pesatnya di Semarang. Memang sebagai Ibu Kota provinsi Jawa Tengah, Semarang adalah pusatnya segala aktivitas warga Jawa Tengah. Tak sekadar pusat bisnis yang cukup prospektif, Semarang juga merupakan pusat pendidikan masa depan.
Semarang sudah beken dengan Unnes, IKIP PGRI, IKIP Veteran, Undip, Unika Sugijapranata, Unissula, IAIN, dan perguruan tinggi lainnya, sebagai pencetak para praktisi dan akademisi, pendidik, ilmuwan, dan tenaga profesional yang handal. Pendidikan dasar dan menengahnya pun tak kalah dari daerah lain dengan segudang prestasi akademik dan nonakademik yang disandangnya.
Ada satu fenomena yang patut dicermati, yaitu pada tiap sebuah lembaga pendidikan berdiri, di situlah ia berkembang menjadi sentrum atau pusat aktivitas masyarakat. Ambillah contoh Unnes yang berlokasi di Gunungpati. Sejak keberadaannya dan sampai sekarang di daerah sekitar kompleks kampus Unnes, yaitu Sekaran, Banaran, Patemon, bahkan Trangkil dan lainnya mulai dilirik oleh para pengembang perumahan. Sejumlah perumahan pun bermunculan di beberapa daerah lereng bukit yang sebenarnya tak layak sebagai daerah hunian yang aman.
Warga sekitar kampus juga mulai melirik adanya lahan usaha baru, mulai dari kost-kostan untuk mahasiswa, warung makan dengan harga mahasiswa, dan toko keperluan mahasiswa. Ada juga sebagian yang merelakan diri dan sekeluarga menyingkir dari “peradaban” ke daerah pinggiran, hanya agar rumahnya yang di dekat kampus digunakan untuk kos mahasiswa. Tak hanya itu, bahkan ada yang menjual tanah dan rumahnya untuk para pendatang yang lebih pandai melihat peluang bisnis, dan “terpaksa” warga membangun rumah di persawahan. Warung lesehan menjamur, baik yang bongkar pasang, semi permanen, maupun permanen.
Berbagai fasilitas kemudahan bagi warga kampus dan masyarakat sekitar mulai lengkap. Jadilah kampung yang tadinya sepi itu menjadi kota kecil yang hidup. Ya, kota baru itu mulai tumbuh dilengkapi dengan minimarket, rental komputer, rental CD dan film, kafe dan resto, warung lesehan yang cukup prestise, dan warung internet. Bahkan di beberapa tempat mulai muncul juga rumah-rumah kebugaran, diskotik kecil-kecilan, perpustakaan plus, persewaan balai pertemuan, penginapan, dan kantor-kantor kecil.
Memang setiap perkembangan masyarakat selalu ada lubang hitamnya. Pun demikian juga dengan perkembangan kota-kota kecil itu. Hingga beberapa waktu lalu sempat warga Tembalang memprotes rencana Undip untuk membangun asrama mahasiswa, karena khawatir mengurangi lahan usaha warga untuk kost-kostan. Namun semakin lama semakin tampak kesemrawutan “tata kota”nya. Pedagang kaki lima mulai berjejal di “trotoar-trotoar” jalan sekitar kampus, permukiman warga pun mulai berhimpit tak teratur, gang-gang sempit bermunculan, karena semakin banyak warga maupun pendatang membangun pertokoan dan kost-kostan.
Mereka membangun ternyata tak terlebih dahulu menganalisis dampak sosial dan lingkungannya, hal itu wajar saja kerena memang mereka bukan ahli tata ruang. Tapi jika dibiarkan terus menerus maka tak lama lagi embrio kota baru itu akan menjadi pusat kekumuhan baru dengan kompleksitas masalah sosial dan lingkungan. Jika sudah begitu bagaimana mungkin mencita-citakan kampus sebagai pusat pengembangan komunitas pembelajar, yakni komunitas yang berbudaya, humanis, ekologis, dan sekaligus intelektual.
Mengacu pada paradigma rekonstruksionisme sebagai kelanjutan dari proyek progresivisme pendidikan, idealnya institusi pendidikan adalah pusat perubahan sosial masyarakat. Mahasiswa dan segenap sivitas akademika kampus adalah agent of social change. Pusat pendidikan yang tengah berkembang tersebut adalah pusat-pusat baru masyarakat yang memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tinggi, posisi tersebut menjadikannya sebagai penyangga kota Semarang dalam skup yang lebih besar agar dapat menjadi lebih kokoh berkarekter, berbudaya, dan beradab. Pembenahan “Kota Baru”. Kita dapat berharap banyak dari embrio kota baru tersebut, karena mereka adalah gambaran ideal dari komunitas pembelajar yang dicita-citakan. Komunitas pembelajar pada kota baru inilah yang mempunyai pengaruh dan peran besar bagi rekonstruksi sosial masyarakat, baik secara kultural maupun struktural menuju masyarakat yang tinggi sensitivitas sosial dan rasa memilikinya atas lingkungan.
Semarang bawah sudah penuh sesak dan berjejal bangunan padat yang seringkali tak beraturan, macet, banjir, rob, polusi, panas, dan sekian banyak ketidaknyamanan lainnya. Sampai sekarang pun penanganan masalah rob dan banjir tak begitu berhasil, tak hanya karena political will pemerintah yang lemah, tapi masyarakatnya pun tak punya rasa memiliki terhadap fasilitas kota yang telah dibangun. Dan ini sudah menjadi semacam mentalitas yang sulit diubah. Sulit rasanya mengubah Semarang bawah menjadi lebih “manusiawi” dan berbudaya. Demikian juga ketika mau melakukan konservasi lahan hijau, karena semua sudah diincar pengembang usaha.
Jika kita mau realistis, maka pengembangan kota Semarang menuju kota baru ideal sebagaimana kota-kota besar dunia hanya mungkin ketika ke arah selatan, yakni di Kabupaten Semarang, Ungaran, dan sekitarnya. Tak mungkin ke utara, karena berbatas laut, lagipula pusat-pusat industri di Semarang utara ibarat sakit-sakitan terkena banjir dan rob. Pusat pendidikannya pun tak banyak, barangkali hanya Unissula yang masih berdiri menantang rob dan banjir.
Berbeda ketika kita melirik ke selatan. Daerah pegunungan yang sejuk dan masih dapat ditata dengan perencanaan yang berbudaya, humanis, dan ekologis, niscaya kota baru Semarang akan terwujud. Di samping itu Semarang selatan terdapat banyak institusi perguruan tinggi yang tengah berkembang sebagai embrio kota-kota kecil. Unnes di Gunungpati, Undip dan Polines di Tembalang, IAIN Walisongo di Ngaliyan, Unika Sugijapranoto di Bendan, Undaris di Ungaran, merupakan potensi besar bagi berkembangnya embrio kota-kota kecil yang berbudaya, humanis, ekologis, sekaligus intelektual.
Begitu besarnya magnitude kampus-kampus di Semarang selatan itu sekarang telah menjadikan daerah setempat berkembang begitu pesat. Itu adalah potensi dan kekuatan tersendiri untuk membentuk kota baru Semarang yang lebih kokoh, berkarakter dan berbudaya, sebagaimana diidam-idamkan. Potensi kampus sebagai pusat berkembangnya komunitas intelektual yang tentunya lebih mempunya sense of belonging terhadap lingkungan tepat betul jika disandingkan dengan potensi geografis Semarang selatan yang relatif belum terjamah tangan-tangan jahil.
Pantas jika kemudian digagas sebuah pengembangan kota baru Semarang dengan berporos pada keberadaan institusi perguruan tinggi tersebut. Namun ketika melihat betapa kian semrawutnya penataan pada masing-masing daerah sekitar kampus itu sekarang, maka layak dipikirkan bersama bagaimana agar mulai berbenah dari tampilan fisik dulu. Yakni dengan menata pedagang kaki lima, pertokoan-pertokoan baru, kost-kostan, dan jalur hijau. Di samping itu juga perlu menertibkan proyek pembangunan perumahan di daerah rawan di lereng-lereng bukit yang sekaligus mengurangi lahan resapan. Jika itu tak dilakukan maka beberapa waktu mendatang, Semarang bawah akan menjadi Jakarta yang menjadi langganan banjir dengan Semarang atas adalah daerah Puncaknya.
Selama ini memang tampak betapa kampus-kampus tersebut belum terlalu melibatkan masyarakat sekitar untuk proses pengembangan daerah menuju sebuah embrio kota kecil yang ideal, dan warga pun seolah acuh tak acuh, karena merasa sudah mendapatkan keuntungan finansial dari bisnis kecil-kecilan mereka.
Menggagas keberadaan institusi pendidikan tersebut sebagai poros pengembangan kota baru Semarang artinya merumuskan penataan yang lebih melibatkan masyarakat hingga akhirnya masyarakat tak hanya menjadi lebih intelek, berbudaya, memiliki rasa memiliki dan sensitivitas sosial tinggi, tapi juga tercipta lingkungan yang berbudaya, humanis, dan ekologis. Di sisi lain, dalam jangka panjang ini adalah peluang bagi potensi wisata edukatif yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai pelengkap aset wisata Semarang menuju the beauty of Asia.
Hal ini perlu dipikirkan mulai sekarang, agar kota-kota kecil yang sedang lucu-lucunya itu tak telanjur tumbuh menjadi seperti Semarang bawah yang penuh sesak, panas, berpolusi, dan tak nyaman lagi.
Nafas Neoliberalisme RUU BHP
Oleh : Edi Subkhan
”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batas-batas negara serta kemajuan teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat”
–H.A.R. Tilaar (2005)
Neoliberalisme Pendidikan
Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor. Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia internasional.
Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan.
Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5) pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree program, distance learning, dan tele course. (2) Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur legalitas hukumnya.
Neoliberalisme RUU BHP
Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000 hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No. 155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan UPI.
Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003 pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme, dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49 persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia pendidikan.
Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan, namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di lembaga pendidikan sebanyak 49 persen.
Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar hukum adanya penanaman modal asing di bidang pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja, tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002.
Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007 maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).
Adanya modal asing pada institusi pendidikan menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung, baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika dan berjalannya agenda program institusi akan selalu berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.
Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam bentuk dual degree.
Lepas Tanggungjawab Pemerintah
Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008, bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan menyatakan bahwa pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak memenuhi pendanaan pendidikan.
Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]).
Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan sekolah berstandar internasional dan world class university akan kian menekan masing-masing lembaga pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat perhatian di sini.
Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orangtua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33 ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.
Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20 persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa pemerintah justru membebankan kewajiban memberi beasiswa pada badan hukum pendidikan.
Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan, badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya bagi kampus.
Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008 pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu jalannya operasional badan hukum pendidikan. Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau keberpihakan pada pencarian kebenaran–kata Bung Hatta, hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya berorientasi ekonomi, maka semuanya akan.
Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil Timus 20, 22-23 Juni 2008, tidak banyak terdapat perubahan substansial, hanya penambahan dan pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut, pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’ atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.
Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08) menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia “menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105) menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.
Dostları ilə paylaş: |