Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good Governance Lokal
Oleh : Awaludin Marwan
Kelayakan kinerja pemerintahan daerah di masa otonomi daerah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan prinsip-pinsip pemerintahan yang baik. Kita mengenal asas umum penyelenggaraan pemeritahan negara yang dapat dijadikan pedoman bagi terselenggaranya kinerja pemerintahan daerah yang profesional. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan negara dirinci antara lain menjadi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas.
Di era Otonomi Daerah, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik dimana paradigmanya beralih ke pelayanan yang lebih fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat dan sekaligus mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga publik mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
Suksesnya pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya sukses pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan berhasilnya tugas-tugas di bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut akan sangat ditentukan oleh peranan dan kemampuan lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah dalam menangani tugas-tugasnya berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik dan benar menuju terciptanya suatu pemerintahan bersih dan berwibawa (clean government).
Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah (Kabupaten dan Kota) didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan berimplikasi pada : pertama, adanya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan yang diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kedua, adanya perwujudan tanggungjawab sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi dan mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan. Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan kebijakan negara, sehingga pelayanan pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas.
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar, yaitu : pertama, transformasi menuju era masyarakat informasi, dimana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Panggunaan media elektonik merupakan faktor yang sangat penting dalam berbagai transaski baik nasional maupun internasional. Kedua, perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem sentralistik menjadi desentralistik yaitu penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap pembaharuan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good governance) dan bertanggungjawab. Sasaran yang akan dicapai dari good governance adalah diperolehnya birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif serta memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat.
Untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud di atas, maka pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan secara berlapis terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, baik pemerintah pusat yang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan di tingkat provinsi maupun pemerintahan provinsi yang melakukan pengawasan terhadap penyelanggaraan urusan pemerintahan pada level kabupaten/ kota.
Pembinaan dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan otonomi daerah, untuk mewujudkan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan dengan tindakan yang meliputi: koordinasi pemerintahan antarurusan pemerintahan; pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan pelatihan; perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Sedangkan pengawasan bertujuan agar pelaksanaan berbagai urusan di daerah dapat berjalan sesuai dengan standard an kebijakan pemerintah pusat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian pembinaan, pengawasan dan konsultasi dilakukan secara berkala dan atau sewaktu-waktu baik secara keseluruhan daerah maupun kepada daerah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan profesionaisme kepala daerah/ wakil kepala daerah dan pejabat atau pegawai dalam lingkup aparatur pemerintahan daerah. Sehingga pada akhirnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah bisa berjalan dengan baik, dan aparatur pemerintah daerah bisa memiliki paradigma kepemimpinan yang professional dan aspiratif dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah secara luas.
Paradigma kepemimpinan aparatur pemerintah daerah berpengaruh cukup signifikan terhadap baik-buruk jalannya organisasi pemerintahan pada semua tingkatan. Paradigma kepemimpinan daerah dalam dunia yang turbulen adalah sebuah organisasi yang cenderung mengembangkan nilai-nilai : legitimasi kekuasaan (legitimacy of power), kredibilitas dan sistem (credibility of system), kesejahteraan ekonomi (economic prosperity) dan harmoni sosial (social harmony). Kecenderungan selanjutnya akan mengarahkan pada organisasi dengan karakter seperti: ber-visi, sederhana, fokus dan efesien dan produktif. Seiring dengan kecenderungan tuntutan organisasi, tuntutan kepemimpinan akan mengarahkan pada perkembangan kualitas kepemimpinan yang demokratis, kuat dan efektif.
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia
Oleh: Awaludin Marwan
Akankah Pemilihan Umum Malaysia pada tanggal 8 Maret 2008 kemarin membawa perubahan signifikan bagi kehidupan tata negara dan demokrasi di negara tersebut? Sekitar 10.920.000 jiwa pemilih terdaftar memberikan suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS. Memang, dalam penghitungan suara, Barisan Nasional -koalisi yang memerintah saat ini- ”hanya” meraih 139 dari 222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi menganggap 82 kursi yang diraihnya sebagai sebuah kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokrasi dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat.
Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologi untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan Nasional menjalankan fungsi alat politik yang cukup superior dalam memimpin Malaysia. Barisan Nasional sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Terbongkarlah tirani koalisi partai penguasa negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar di era orde baru yang sulit digoyang. Kini ada secercah harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di parlemen.
Keberadaan Barisan Nasional dalam lingkaran kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973, yang kelanjutan Partai Perikatan (Alliance). Partai ini telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional adalah: United Malays National Organization Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association (MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organization, Sarawak Progressive Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya hingga saat ini.
Kekalahan Barisan Nasional banyak dinilai tidak hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini –Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi. Bahkan tokoh Barisan Nasional Mahattir Muhammad mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi, kekalahan tersebut juga disebabkan oleh penerapan strategi politik yang tidak efektif dalam mendapat simpati khalayak pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat (PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayah-wilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan bersimpatik pada tatap muka langsung dengan komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye media massa yang justru kurang massif.
Namun, kabar mengembirakan peluang keseimbangan kekuatan di Malaysia ini—yang di tandai dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara penuh—tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antar etnis di Malaysia. Lima orang tewas dan 37 cedera dalam konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai disebabkan oleh arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998 sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang cedera.
Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat di dalam pentas demokrasi yang sehat semasa ini. Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan hak, bukan kemudian disalah artikan ke dalam kebebasan untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang pemisah pada perbedaan yang telah ada.
Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk Malaysia (55 persen). Cina sebanyak 30 persen dan India sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India kebanyakan bekerja sebagai profesional, sementara banyak juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia. Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan mengulangi peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969. Dan sialnya, Barisan Nasional melalui stigma yang melekat pada Badawi, memperoleh predikat menganakemaskan etnis melayu ini.
Sistem Pemerintahan Pascapemilu
Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan. Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki peluang yang sama. Perubahan skala besar diperoleh dari pembaharuan sistem ketatanegaraan, sedangkan skala kecil ditandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai sosial politik hukum dalam kehidupan bernegara.
Sistem ketatanegaraan Malaysia merupakan sistem parlementer walaupun masih melestarikan pola feodal berupa eksistensi raja (kerajaan) dalam struktur negara. Demokrasi parlementer merupakan suatu hal yang dapat dikenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat dipandang elemen struktural yang absolut dan otoritarian. Sebuah pandangan yang lazim manakala kedudukan dan peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih mencerminkan kesetengahhatian negara itu menjalankan sistem demokrasi subtansial—meskipun dalam praktik pemilihan raja menganut sistem “pergiliran kekuasaan” yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor dan Sultan Perak. Beberapa negara juga masih melestarikan budaya dan sistem kerajaan ini, seperti Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang memiliki dua kamar terpisah: House of Commons (diketuai oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga kerajaan). Kemudian, Jepang dengan Kaisar, Parlemen (kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendahnya (shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu Saud-nya dan masih banyak negara lain yang melestarikan kebudayaan dan sistem kerajaan ini. Kendatipun demikian, kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi pascapemilu terhadap keberadaan, peran dan kedudukan kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan demokrasi sejati.
Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen—banyaknya kubu oposisi dalam struktur—hendaknya mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif dimana legislatif terus proaktif menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.
Potret Demokrasi Lokal
Oleh : Awaludin Marwan
Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan, dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat. Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan berdaulat.
Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam Budiardjo, 1) rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran demokrasi, government or rule by the people, dari peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, cratein/cratos berarti kekuasaan/berkuasa. Sistem Negara-Kota (city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial. Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi. Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah. Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja, bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat.
2) Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habis-habisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan.
Penulis memandang terdapat empat masalah paling menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah: uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus mengalami fase pendewasaan politis elit dan masyarakatnya.
Euforianis pemekaran merupakan persoalan yang bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali (pusat suku Bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una (terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebutkan bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah diimplementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh sebagian besar rencana kabupaten baru.
Sementara persoalan keuangan daerah membawa pada satu titik di mana kemandirian daerah dan ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal.
Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah lain yang tertinggal.
Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. 3) Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pembangunan menjadi prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah, penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
4) Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi dari Jawa. Untuk mengindari kerugian finansial dagi daerahnya, maka negara dipecah-pecah menjadi unit administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak lahirnya, sistem desa dan pemecahan negara ini dikritik habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit teritorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda dengan desa. 5) Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di masyarakat dari sudut budaya.
Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan, melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6 Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret ekonomis.
Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang bersamaan pembangunan basis politik daerah yang demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik dan pendidikan politik pun telah banyak memulai pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara kolektif komunal daerah setempat.
Dostları ilə paylaş: |