Fikih ahlul bait taqlid dan Ijtihad



Yüklə 1,06 Mb.
səhifə24/29
tarix22.01.2018
ölçüsü1,06 Mb.
#39519
1   ...   21   22   23   24   25   26   27   28   29

Memohon ampun bagi orang yang sudah tiada biasanya dilakukan pada waktu shalat jenazah. Kalimat ‘Tidak diperkenankan bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampunan bagi orang kafir’ menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tengah berada bersama orang beriman lainnya (dalam shalat berjamaah) memohonkan ampunan bagi orang kafir.
Sebenarnya, shalat jenazah tidak diperintahkan sebelum hijrah (ke Madinah). Shalat jenazah pertama dilakukan oleh Nabi ketika menshalati jenazah Burah bin Marur.
Nampaknya ayat ini turun setelah Nabi melakukan shalat jenazah bagi seorang munafik yang berpura-pura beragama Islam padahal ia menyembunyikan kekafirannya. Mungkin ayat ini turun ketika Nabi Muhammad melakukan shalat bagi Abdullah bin Ubay yang meninggal pada tahun 9 dan sangat terkenal dengan kemunafikannya, kebenciannya kepada Nabi Muhammad dan permusuhannya terhadap Islam. Mengenai Abdullah bin Ubay dan pengikutnya, surah al-Munafiqun turun sebelum saat itu. Sekiranya ahli sejarah dan ahli hadis mencatat dengan lebih teliti dan logis, mereka tidak akan melakukan kesalahan sejarah.
Berikut ini hadis Shahih al-Bukhari yang menyebutkan peristiwa yang serupa dengan hadis sebelumnya. Diriwayatkan Musyaib:
Ketika Abu Thalib menjelang ajal, Nabi Muhammad menemuinya dan melihat ada Abu Umayah bin Mughirah. Nabi Muhammad berkata, “Wahai paman, ucapkanlah tiada yang patut disembah kecuali Allah, kalimat yang aku jadikan pembelaan bagimu di hadapan Allah!” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama nenek moyangmu, Abdul Muthalib?” Nabi Muhammad terus memintanya mengucap kalimat syahadat sedangkan dua orang tadi mengulang-ulang kalimat mereka hingga Abu Thalib mengatakan kepada mereka terakhir kali, ‘Aku mengikuti agama Abdul Muthalib dan menolak untuk mengatakan ‘tiada yang patut disembah kecuali Allah.’ Nabi berkata, “Demi Allah, aku akan tetap memohonkan ampunan Allah bagimu meskipun dilarang (Allah)!”

Lalu Allah menurunkan ayat 113 (surah at-Taubah), “Tiada patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untukn memohonkan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik.” Kemudian Allah menurunkan ayat khusus bagi Abu Thalib, “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat menunjuki orang yang engkau kehendaki, tetapi Allah yang memberi petunjuk orang-orang yang Ia kehendaki.” (QS. al-Qashash : 56).


Pembaca akan terkejut mengetahui bahwa dua hadis yang disebutkan di atas membuktikan bahwa dua ayat turun berturut-turut. Tetapi hal ini bertolak belakang dengan hadis yang disebutkan Bukhari dalam sahihnya, dan membuktikan bahwa surah at-Taubah adalah salah satu surah yang terakhir turun. Berikut ini hadisnya; dari riwayat Bara, “Surah terakhir yang turun adalah surah at-Taubah...”
Tetapi di manakah kesalahan hadis tersebut? Ayat yang disebutkan dari surah al-Qashash, turun kira-kira 10 tahun sebelum surah at-Taubah, dan turun di Mekkah, sedang surah at-Taubah turun di Madinah. Kajilah dan anda akan menemukan bahwa dalam usaha yang sia-sia untuk mendiskreditkan Abu Thalib dan menyatakannya sebagai orang kafir, tatanan turunnya Quran tidak dipertimbangkan. Bayangkan waktu turunnya kedua surah tersebut, dan persoalannya akan menjadi jelas. Sejarah juga menceritakan bahwa Musayab tidak menyukai Imam Ali dan menolak melakukan shalat jenazah bagi Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dapat disimpulkan bahwa pemalsuan hadis ini dilakukan untuk mengangkat derajat Umayah dari Bani Hasyim.
Kami juga menemukan penafsiran yang sangat mengherankan, dari penafsir Sunni yang dihormati, Fakhruddin Razi dalam tafsirnya dengan sumber surah Qashash ayat 56. la menyebutkan ayat ini tentang Abu’ Thalib, ‘bukan’ karena pendapat pribadinya, tetapi dari beberapa ulama lainnya. Anehnya, ia mengakui bahwa ayat ini tidak dapat dikait-kaitkan kepada keimanan Abu Thalib.
Quran dan Orang-orang Kafir

Tiadalah patut bagi Nabi dan orang – orang yang beriman untuk memintakan ampunan bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu sekalipun orang orang yang musyrik itu kerabatnya sendiri. Setelah nyata bagi mereka bahwa orang – orang yang musyrik itu penghuni jahanam (QS. at-Taubah : 113).


Setelah terbukti bahwa ayat ini bukan diperuntukkan bagi Abu Thalib, dimana Nabi dan kaum Muslimin diperintahkan untuk tidak mendoakan orang musyrik, akan berguna apabila kita memperhatikan ayat-ayat tersebut yang meminta agar Nabi Muhammad dan orang-orang beriman untuk tidak membuat ikatan hubungan dengan orang musyrik, apalagi menshalatinya, tanpa cinta dan rasa hormat.
Engkau tidak akan menemukan masyarakat orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat berhandai taulan dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun penantang-penantang itu bapak-bapaknya, atau anak-anaknya, atau saudara¬saudaranya; ataupun keluarganya sendiri. Merekalah orang-orang yang telah Allah tetapkan dalam hati mereka keimanan, memperkokohnya pula dengan kemantapan dari-Nya. Dan la akan memasukkan mereka ke dalam syurga yang banyak mengalir sungai-sungai dalamnya, serta kekal mereka di sana. Allah sangat ridha terhadap mereka dan merekapun sangat ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Sesungguhnya golongan Allah lah yang berjaya.

(QS. Mujadilah : 22)


Ayat ini turun pada perang Badar dan peristiwanya terjadi pada tahun 2 Hijriah. Tetapi ada beberapa penafsir yang menghubungkan turunnya ayat ini dengan perang Uhud, yang terjadi pada tahun 3 hijriah. Sebenarnya, ayat ini menganjurkan kita untuk tidak berteman dengan orang-orang kafir ataupun mencintai mereka. Surah ini turun sebelum surah at-Taubah.
Orang-orang yang memilih orang-orang kafir sebagai pemimpinnya dengan mengesampingkan orang-orang beriman. Apakah mereka mengharapkan kehormatan bagi mereka? Sesungguhnya semua kehormatan itu hanyalah kepunyaan Allah (QS. an-Nisa : 139).
Hai orang – orang yang beriman ! Jangan kamu memilih orang – orang kafir menjadi pelindung dengan mengesampingkan orang – orang beriman. Aapakah kamu memberikan bukti yang jelas kepada Allah yang menentangmu? (QS. an-Nisa : 144).
Surah ini adalah surah Makkiyah, yang menganjurkan orang-orang beriman untuk tidak mengangkat orang-orang kafir sebagai pelindung dan penolong mereka. Bagaimana bisa Nabi meminta pertolongan dari orang-orang kafir jika kita anggap Abu Thalib adalah orang kafir?’ Tentunya ayat ini turun sebelum surah at-Taubah yang menjadi fokus perhatian kami.
Orang-orang beriman tidak boleh memilih orang-orang kafir menjadi kawan dengan meninggalkan orang-orang beriman. Siapa yang melakukan itu, ia tidak akan mendapat perlindungan Allah, ia harus melindungi diri dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu (akan balasan) dari-Nya. Hanya kepada Allah- lah tempat kembali.(QS. Ali Imran : 28).
Menurut satu sumber, 80 ayat pertama surah ini turun pada awal tahun hijriah. Sumber yang lain menunjukkan bahwa ayat ini (ayat 28) turun pada perang Ahzab (5 hijriah). Sumber terakhir menunjukkan bahwa surah Ali Imran dan surah at-Taubah turun dengan perbedaan 4 surah.
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengangkat bapak¬-bapakmu dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin jika mereka lebih mencintai kekafiran dari pada keimanan. Barangsiapa diantara kamu mengangkat mereka menjadi pemimpin, mereka adalah orang-orang zalim. (QS. at-Taubah : 23).
Engkau memintakan ampunan atau tidak memintakan ampunan bagi mereka, meskipun engkau memintakan ampunan sebanyak 70 kali, Allah tidak akan mengampuni mereka. Hal yang demikian itu karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang fasik.

(QS. at-Taubah: 23 dan 80)


Kedua ayat ini turun sebelum at-Taubah 113 (ayat yang digunakan untuk memusuhi Abu Thalib), dan-kami akan menyimpulkan diskusi ini dengan memberi pernyataan kepada orang-orang yang Menuduh Abu Thalib. Pertama, mungkinkah bahwa Nabi memohon ampunan bagi Abu Thalib (Semoga Allah meridhainya) terutama apabila 2 ayat ini menyatakan bahwa hal itu sia – sia ia, dengan menganggap bahwa Abu Thalib wafat dalam keadaan kafir? Jika ya, tindakan tersebut bertentangan dengan Quran dan kehendak Allah Yang Maha Besar. Kedua, kenyataannya adalah bahwa ayat 113 hanya perintah kepada Nabi Muhammad secara umum, dan bukan keprihatinan untuk sesuatu yang tidak dilakukan Nabi.
Akan jelas apabila kita melihat ayat selanjutnya (114) yang menunjukkan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang shalat untuk pamannya, Azar (jangan salah, nama ayahnya adalah Tarukh. Hal ini memerlukan pembahasan tersendiri) sebelum ia mengetahui bahwa pamannya ini adalah musuh Allah. Quran menyebutkan, “...Apabila telah jelas baginya bahwa ia (Azar) adalah musuh Allah.” (QS. at-Taubah : 114)

Pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah SAW

Tentunya apa yang telah dinyatakan tentang topik ini pada bagian terakhir pasti meninggalkan beberapa pertanyaan yang tak terjawab dan artikel ini akan menitikberatkan pada sikap Abu Thalib ra terhadap kemenakannya, Nabi Muhammad SAW, sumbangsihnya terhadap penyebaran Islam dan pernyataan keislamannya di banyak peristiwa yang diriwayatkan oleh kaum Sunni.

Pembaca sejarah Islam mengetahui bagaimana suku Quraisy memberikan peringatan kepada Abu Thalib untuk menghentikan kemenakannya yang merendahkan nenek moyang mereka, menghinakan tuhan-tuhan mereka dan mengejek pendapat mereka. Jika tidak, Nabi Muhammad akan berhadapan dengan mereka di medan perang hingga salah satu dari mereka hancur.


Abu Thalib tidak ragu bahwa menerima tantangan suku Quraisy akan mengakibatkan kemusnahan sukunya. Namun ia tidak menekan kemenakannya untuk menghentikan kampanyenya. la hanya memberitahu tentang peringatan suku Quraisy dan dengan lembut berkata padanya, “Selamatkanlah aku dan dirimu, wahai kemenakanku, dan janganlah engkau bebani aku dengan sesuatu yang, tidak dapat aku pikul !”
Ketika Nabi Muhammad SAW menolak peringatan tersebut, dungan mengatakan pada pamannya bahwa ia tidak akan mengubah pesan pemilik semesta alam, Abu Thalib langsung mengubah sikapnya dan memutuskan untuk bergabung dengan Nabi Muhammad hingga akhir hayat. Hal. ini merupakan bukti pernyataan yang ia sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, “Kembalilah, kemenakanku, lanjutkanlah, katakanlah semua yang engkau sukai. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu setiap saat.”
Abu Thalib memenuhi janji besarnya dengan cara yang berbeda. Ketika seorang Mekkah melemparkan kotoran kepada Nabi Muhammad ketika ia tengah shalat, Abu Thalib sambil mengacungkan pedang, pergi mengamit tangan kemenakannya hingga ia sampai ke Mesjid Suci. Sekelompok musuh sedang duduk di sana dan ketika beberapa orang berusaha untuk membela Abu Thalib ia berkata kepada mereka, “Demi Dia yang diyakini Muhammad, jika ada dari kalian yang berdiri, aku akan memukulnya dengan pedangku!”
Perhatikanlah beberapa baris berikut dari referensi hadis Sunni: Ketika seseorang bersumpah, ia bersumpah dengan sesuatu yang memiliki kesucian bagi dirinya, dan bukan sesuatu yang tidak ia yakini. Pernyataan diplomatis tadi membuktikan kepada orang-orang berakal bahwa ia meyakini Tuhannya Muhammad, Yang Maha Esa dan Maha Besar. Kemudian Abu Thalib meminta Nabi Muhammad, orang yang dipermalukan. Dan sebagai jawabannya, Hamzah diperintahkan oleh Abu Thalib untuk mengotori orang yang menunjukkan kebencian kepada Nabi Muhammad dengan tanah. Pada peristiwa inilah Abu Thalib berkata, “Aku meyakini bahwa agama Muhammad adalah agama yang paling benar dari semua agama yang ada di alam semesta.”
Bagian yang tercetak miring dari kalimat nya di atas merupakan pernyataan yang membuktikan keislamannya. Suku Quraisy dapat melihat meskipun mereka melakukan usaha menghancurkan Islam, tetapi kemajuan Islam terus berjalan. Mereka akhirnya memutuskan akan membunuh Nabi Muhammad SAW dan keluarganya dengan cara mengepung dan tidak berkomunikasi hingga mereka semua binasa. Dengan cara ini sebuah perjanjian dibuat, dimana setiap suku adalah satu kesatuan dan hal ini dimaksudkan agar tidak ada seorangpun yang memiliki ikatan perkimpoian dengan Bani Hasyim atau Melakukan transaksi membeli atau menjual dengan mereka; dan tidak ada orang yang boleh berhubungan dengan mereka atau memberi persediaan makanan.
Hal ini berlangsung hingga keluarga Nabi Muhanimad SAW menyerahkannya untuk dihukum mati. Perjanjian ini kemudian digantung; di pintu Kabah. Hal. ini memaksa Abu Thalib beserta seluruh keluarganya menyingkir ke sebuah gunung yang dikenal sebagai ’Syi’ib Abi Thalib’.
Sekarang Bani Hasyim benar-benar diasingkan dari seluruh penduduk kota. Bentengpun dikepung oleh suku Quraisy untuk menambah penderitaan mereka dan mencegah kemungkinan mendapat persediaan makanan. Mereka akhirnya kelaparan karena tidak mendapat makanan. Di bawah pengawasan suku Quraisy yang sangat ketat, Abu Thalib bahkan merasa takut kalau-kalau ada serangan di malam hari. Karena hal ini, ia senantiasa menjaga keamanan kemenakannya, dan sering berganti ruang tidur sebagai tindakan pencegahan bila ada serangan mendadak.
Menjelang tahun ketiga pengasingan itu, Nabi Muhammad memberitahu pamannya, Abu Thalib, bahwa Allah telah menunjukkan ketidakridhaan-Nya pada perjanjian tersebut, dan mengirim cacing-cacing untuk melumat setiap kata yang tertulis di dokumen yang tergantung di pintu Kabah kecuali nama-Nya.
Abu Thalib yang mempercayai kemenakannya sebagai penerima wahyu dari langit, tanpa ragu pergi menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka apa yang telah diceritakan Muhammad kepadanya.
Percakapannya dicatat sebagai berikut :

Muhammad telah memberitahu kami dan aku ingin bertanya kepada kalian untuk membuktikannya kepada kalian. Karena apabila benar, maka aku meminta kalian untuk memikirkan kembali daripada menyengsarakan Muhammad atau munguji kesabaran kami. Percayalah kepada kami, kami lebih suka mempertaruhkan nyawa kami daripada menyerahkan Muhammad kepada kalian. Dan jika Muhammad terbukti salah dalam ucapannya, maka kami akan menyerahkan Muhammad kepada kalian tanpa syarat. Dan kalian bebas memperlakukannya sebagaimana yang kalian kehendaki, membunuhnya atau membiarkannya tetap hidup.


Mendengar tawaran Abu Thalib, suku Quraisy sepakat untuk memeriksa dokumen tersebut, dan mereka terkejut ketika melihat dokumen itu telah dimakan ular, hanya nama Allah saja yang masih tertulis di sana. Mereka berkata bahwa hal itu adalah sihir Muhammad. Abu Thalib berang kepada suku Quraisy dan mendesak mereka agar menyatakan bahwa dokumen tersebut digugurkan dan pelarangan itu dihapuskan. Kemudian ia menggenggam ujung kain Kabah lalu mengangkat tangan lainnya ke atas lalu berdoa, “Ya Allah! Bantulah kami menghadapi orang-orang yang telah menganiaya kami...!”
Ketika Nabi Muhammad masih kecil, di saat hujan jarang turun, Abu Thalib membawanya ke Rumah Suci Kabah. la berdiri dengan punggung menyentuh dinding Kabah dan mengangkat Nabi Muhammad dengan memangkunya. la menjadikan perantara dalam doanya kepada Allah meminta hujan. Nabi Muhammad juga berdoa bersamanya dengan wajah menghadap ke atas. Belum lagi doa usai, awan hitam muncul di langit dan hujan turun dengan deras. Peristiwa ini ia sebutkan dalam syair yang disusun oleh Abu Thalib:
Tidakkah kalian lihat?

Kami mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang Nabi sebagaimana Musa

la telah diramalkan pada kitab-kitab sebelumnya

Wajahnya yang memancarkan cahaya merupakan perantara tururmya hujan

la adalah mata air bagi para yatim piatu dan pelindung para janda.22 Syair lain yang membuktikan keislaman Abu Thalib adalah:

Untuk mengagungkannya, la memberinya nama dari diri-Nya sendiri seseorang yang Agung dinamakan Muhammad

Tiada keraguan bahwa Allah telah menunjuk Muhammad sebagai seorang Rasul. Oleh karenanya, makna Ahmad adalah pribadi yang paling agung di seluruh alam semesta.
Abu Thalib adalah seorang lelaki yang beragama kuat dan memiliki keyakinan yang dalam terhadap kebenaran Nabi Muhammad. la hidup dalam misi itu selama 11 tahun dan kesulitan yang dihadapi Nabi Muhammad dan dirinya meningkat sejalan bertambahnya waktu. Kesulitannya memuncak terutama ketika Abu Thalib wafat karena suku Quraisy membuatnya lebih menderita. Penderitaan yang tidak dapat dibayangkan ketika Abu Thalib masih hidup. Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadis bahwa ketika seseorang dari suku Quraisy melemparkan kotoran ke kepala Nabi, ia pulang ke rumah. Pada saat itu Nabi berkata, “Suku Quraisy tidak pernah memperlakukanku seperti ini ketika Abu Thalib masih hidup, karena mereka adalah pengecut!”

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

Abu Thalib berkata kepada para lelaki Quraisy yang hadir pada pernikahan Nabi Muhammad SAW:
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim dan keturunan Ismail. la menganugrahi kita Rumah Suci dan tempat berhaji. la menjadikan kita tinggal di tempat yang suci (haram), tempat segala sesuatu tumbuh. la menjadikan kami penengah dalam urusan lelaki dan menganugrahi kami negeri tempat kami bernaung.
Kemudian ia melanjutkan:
Sekiranya Muhammad, putra saudaraku Abdullah bin Abdul Muthalib, disandingkan dengan lelaki di kalangan bangsa Arab, ia akan mengagungkannya. Tidak ada seorangpun yang sebanding dungannya. la tidak tertandingi oleh lelaki manapun, meskipun kekayaannya sedikit. Kekayaan hanya kepemilikan sementara dan penjaga yang tak dapat dipercaya. Ia telah mengungkapkan niatnya kepada Khadijah, demikian pula dengan Khadijah, ia telah menunjukkan niatnya kepadanya. Karena setiap pengantin harus memberikan mahar, sekarang ataupun di masa nanti, maharnya akan aku beri dari kekayaanku sendiri.
Wasiat Terakhir Abu Thalib
Meskipun menyembunyikan keimanannya, Abu Thalib telah mengungkapkan keimanannya kepada Islam di lebih dari satu peristiwa, sebelum ia wafat. Tetapi akan menarik bila dikutip di sini ucapan terakhirnya.
Menjelang ajalnya, Abu Thalib berkata kepada Bani Hasyim:

Aku perintahkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada Muhammad. la adalah orang yang paling terpercaya di antara suku Quraisy dan paling benar di kalangan bangsa Arab. la membawa ayat yang diterima oleh hati dan disangkal oleh bibir karena takut permusuhan. Demi Allah barangsiapa yang mengikuti petunjuknya ia akan mendapat kebahagiaan di masa datang. Dan kalian Bani Hasyim, masuklah kepada seruan Muhammad dan percayailah dia. Kalian akan berhasil dan diberi petunjuk yang benar. Sesungguhnya ia adalah penunjuk ke jalan yang benar.”


Diriwayatkan dalam kitab Bayhaqi, Dalail Nubuwwah, bahwa menjelang lepas jiwa Abu Thalib dari raganya, bibirnya terlihat bergerak¬-gerak. Abbas (paman Nabi Muhammad) mendekatkan diri untuk mendengar apa yang ia katakan. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Demi Allah ia telah mengucapkan kalimat yang engkau minta, ya Rasulullah!”
Dalam kitab yang sama, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berdiri di makam Abu Thalib dan berkata, “Engkau telah berlaku sangat baik kepada saudaramu. Semoga engkau mendapatkan balasan, wahai pamanku!”
Beberapa Referensi Hadis Syi ah Mengenai Abu Thalib

Abu Abdillah, Imam Ja’far Shadiq berkata, “Perumpamaan Abu Thalib seperti Ashabul Kahfi (QS. Al-Kahfi : 9 – 26); Mereka menyembunyikan agama mereka dan memperlihatkan kemusyrikan. Tetapi Allah memberi pahala dua kali lipat kepada mereka”.


Pada hadis lain, Imam Jafar Shadiq berkata:

Ketika Imam Ali sedang duduk di Ruhbah di Kufah, dikelilingi oleh sekelompok orang, seorang lelaki berdiri dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau memiliki kedudukan yang teramat tinggi yang Allah anugerahkan kepadamu tetapi ayahmu menderita di neraka.” Imam menjawab, “Tutup mulutmu! Semoga Allah membuat mulutmu buruk. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, sekiranya ayahku memberi syafaat kepada setiap orang berdosa di muka bumi ini, Allah akan menerima syafaatnya.”


Kami ingin mengakhiri diskusi ini dengan beberapa pertanyaan berikut;
1) Mengapa kita menuduh Abu Thalib sebagai penyembah berhala, padahal ia memilih untuk meyakini pesan-pesan Nabi Muhammad dengan menyatakannya secara politisnya dan kadang-kadang ia nyatakan secara terang-terangan?;
2) Apa manfaatnya bagi kita dengan menyatakannya kafir padahal terdapat bukti kuat bahwa ia tidak kafir? Apa ada manfaat lain kecuali menjadikan diri kita sendiri orang kafir dengan menuduh orang Islam masa lalu sebagai orang kafir?;
3) Mengapa kita menuduhnya kafir padahal ia membela Nabi Muhammad dengan segala yang ia miliki? Mengapa kita menyebutnya kafir pada orang yang sangat murah hati kepada semua umat Islam dengan menjaga hidup Nabi Muhammad selama 11 tahun?;
4) Mengapa kita menyebutnya kafir pada orang yang menikahkan Nabi Muhammad? Masuk akalkah seorang yang menyembah berhala melaksanakan pernikahan bagi seorang rasul?;
5) Apakah ini ketidaksyukuran dalam bentuk yang begitu mengerikan?;
6) Inikah balasan bagi kebaikan yang ia berikan kepada Nabi Muhammad SAW?
Sesungguhnya keberadaannya berkaitan dengan keberlangsungan agama Islam bukan suatu hal yang kebetulan dan kita, umat Islam, memilikinya. Semoga Allah memebrikan syafaatnya untuk kita.
Komentar-komentar Lain Mengenai Abu Thalib

Seorang saudara Sunni menyebutkan: Saya telah melakukan penelitian mendalam atas apa yang anda tulis tetapi ada satu hal yang belum jelas. Apakah Abu Thalib mengucapkan ’Tuhanku’. Sepanjang yang anda jelaskan Abu Thalib sering menyebutkan ‘Tuhannya Muhammad’ dan nampaknya ia beriman kepada Tuhan itu tetapi ia tidak pernah mengatakan ‘Tuhanku’. Hal tersebut mengungkapkan bahwa ia tidak pernah mengucapkan secara terang-terangan keyakinan kepada Islam meskipun nampaknya demikian.


Ibnu Ishaq berkata bahwa menjelang kematiannya bibir Abu Thalib bergerak-gerak. Abbas yang saat itu masih menjadi orang kafir mendekatkan telinganya ke bibirnya kemudian berkata kepada Nabi Muhammad bahwa ia mengucapkan dua kalimat yang Rasulullah inginkan.
Hadis serupa menyatakan sebagai berikut. Abu Thalib menggerakkan bibirnya ketika ia akan wafat. Abbas kemudian mendengar apa yang ia gumamkan dan berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Abu Thalib mengucapkan kalimat yang diinginkan Nabi Muhammad.
Dengan demikian, pernyataan syahadatnya sebelum ia wafat dicatat oleh sejarahwan Sunni. Namun menurut kami, ia telah mengucapkan kalimat syahadat sejak awal mula Islam, tetapi tidak di hadapan khalayak. Adalah sesuatu yang alami bahwa bukti eksplisitnya tidak ditemukan dalam sejarah karena sejarah ditulis berdasarkan berita dari masyarakat, bukan dari seseorang. Akan tetapi, ada bukti implisit dalam sejarah yang memberi keyakinan bahkan kepada kaum Sunni bahwa ia adalah seorang Muslim lama sebelum kematiannya. Satu hal yang dapat anda jadikan acuan. la berkata kepada orang kafir, “Aku bersumpah dengan Tuhannya Muhammad!”
Apakah sejarah memiliki contoh lain dimana seorang yang kafir bersumpah dengan nama Tuhan yang tidak ia yakini? Ketika seseorang akan bersumpah ia bersumpah demi sesuatu yang penting baginya karena jika tidak ia akan membuat pernyataanya tidak dapat lebih dipercaya oleh orang lain. Kami akan berikan contoh ; apabila seorang laki – laki pergi ke pengadilan di USA, jika ia Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan menggunakan Kitab Injil. Jika ia bukan Nasrani, maka ia akan bersumpah dengan menggunakan kitab sucinya (atau sesuatu yang penting lainnya) dan tentunya bukan kitab Injil karena sumpahnya dengan menggunakan kitab itu tidak akan meyakinkan pengadilan disebabkan ia yang melaksanakan sumpah itu.
Pikirkanlah tentang hal ini! Suku Quraisy memiliki banyak tuhan pada saat itu (seperti Hubal dan Uzza). Mengapa Abu Thalib meninggal kan mereka semua dan bersumpah dengan Tuhan yang tidak ia yakini?
Saudara Sunni lebih jauh berkomentar, mungkinkah seseorang itu Muslim bila ia tidak secara eksplisit menyatakan keyakinannya? Benar, la adalah seorang beragama Islam dan bukan seorang musyrik. Tetapi tidak semua orang Islam adalah Muslim.
Islam adalah ketundukan dalam hati. Seorang yang munafik, meskipun menyatakan dirinya Muslim, ia tetap bukan Muslim. Karena alasan ini, sulit untuk menilai apakah seseorang itu Muslim atau tidak. Bagaimana pun anda benar. Seseorang harus mengucapkan kalimat syahadat untuk menjadi Muslim, tetapi ia tidak harus melakukannya di depan khalayak apabila ia takut dianiaya atau jika mengetahui bahwa dengan menyembunyikan keimanannya ia dapat berjuang lebih baik dalam pemikirannya yangn agung. Inilah yang disebut taqiyah. Seseorang dapat mengucapkan kalimat syahadat secara pribadi (contohnya ketika ia sedang sendiri atau bersama Nabi Muhammad saja) dan ia akan menjadi Muslim. Taqiyah dan kemunafikan adalah dua hal yang sangat berseberangan.

Yüklə 1,06 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   21   22   23   24   25   26   27   28   29




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin