Hak dan kewajiban suami istri



Yüklə 88,73 Kb.
tarix17.01.2019
ölçüsü88,73 Kb.
#98175

BAB IV

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI


  1. Pengertian Hak dan Kewajiban

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata hak mempunyai arti milik dan kepunyaan, sedangkan kata kewajiban berarti sesuatu yang harus dilaksanakan dan keharusan.1 Sedangkan yang dimaksud dengan hak di sisni adalah apa-apa yang telah diterima seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.2

Peran dan funsi antara suami dan istri dikonstruksikan dalam bentuk hak dan kewajiban yang melekat pada kedua belah pihak. Hak adalah sesuatu yang melekat dan mesti diterima atau dimiliki seseorang, sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. Rumusan hak dan kewajiban ini kemudian dijadikan barometer untuk menilai apakah suami istri sudah menjalankan funsi dan perannya secara benar.3

Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula istri juga mempunyai hak. Selain itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula istri juga mempunyai beberapa kewajiban. Bagi istri nafkah adalah hak yang mesti diterima, sehingga dia boleh menuntut jika tidak dipenuhi. Pemenuhan kewajiban juga berimplikasi pada ketaatan. Kewajiban memberi nafkah menimbulkan kewajiban taat bagi istri. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya maka gugurlah haknya untuk memperoleh ketaatan istrinya.4 Adanya hak dan kewajiban antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 228, yaitu:

Artinya: Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.


Munasabah Sebelum ayat ini, telah diterangkan hukum bersumpah tidak akan mencampuri istri yang menyebabkan istri terkatung-katung jika pada akhirnya suami memilih cerai pada istrinya, maka dalam ayat ini diterangkan segala sesuatu yang bertalian dengan talak masa idah, hukum talak tiga kali atau sikap terhadap bekas istri yang telah dicerai.5

Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban. Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri semisal hak-hak suami yang dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan istri setara atau seimbang dengan hak kedudukan suami. Wanita wajib menunaikan segala apa yang wajib ia tunaikan kepada suaminya. Begitu pula suami, ia harus menunaikan semua yang sudah menjadi kewajibannya kepada istrinya. Bila masing-masing dari suami istri melaksanakan kewajibannya, maka kehidupan keduanya akan langgeng. Namun bila yang terjadi justru sebaliknya, pasti ada keretakan dan perselisihan sehingga kebahagiaan tidak akan terealisasikan. Artinya apabila kewajiban telah ditunaikan, maka hak sebagai imbalan atas kewajiban yang telah terlaksana akan diperoleh.

Firman Allah yang mengatakan bahwa perempuan itu mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki mempunyai kelebihan satu tingkat dari istrinya, adalah menjadi dalih bahwa dalam amal kebajikan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan, lebih-lebih dalam lapangan ilmu pengetahuan perempuan dan laki-laki sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun demikian hak dan kewajiban itu disesuaikan dengan fitrahnya baik fisik maupun mental. Umpamanya seorang istri mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga mendidik anak dan memelihara kesehatannya, menjaga kebersihan, menjaga rahasia rumah tangga dan lain-lain. Sedang suami sebagai kepala rumah keluarga bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah yang halal guna membelanjai istri dan anak-anak. Dalam keluarga atau rumah tangga suami dan istri adalah mitra sejajar, saling tolong menolong dan bantu membantu dalam mewujudkan rumah tangga sakinah yang diridhai Allah swt. perbedaan yang ada adalah untuk saling melengkapi dan kerjasama bukan sesuatu yang bertentangan dalam membina rumah tangga bahagia.

Meskipun nafkah keluarga merupakan kewajiban suami, bukan berati istri tidak boleh membantu nafkah keluarga, tetapi bila istri mengeluarkan biaya/nafkah rumah tangga, itu hanya sebagai tabarru’ bukan sebagai kewajiban. Bila suami jatuh miskin karena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau sakit yang menjadikan ia tidak bisa memberi nafkah, maka istri berkewajiban membantu biaya rumah tangga, tetapi bila suami sudah berkemampuan memberi nafkah maka ia wajib mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh istri, kecuali istri tersebut rela untuk tidak diganti, maka nafkah yang telah dikeluarkannya menjadi bantuan suka rela kepada rumah tangga.6

Kewajiban yang melekat pada suami menjadi hak yang dimiliki istri. Dalam hal nafkah, suami memilki beban dan tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Nafkah merupakan hak istri atas suami atau kewajiban seoarang suami atas istrinya.7

Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwijud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu sakinah, mawaddah wa rahmah.



Keluarga adalah sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggotanya. Sesorang suami dan istri seharusnya dapat menemukan ketenangan jiwa, kepuasan batin, dan cinta di dalam rumahnya. Untuk mewujudkannya, maka sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab anatara suami dan istri.

Perimbangan hak suami dan istri itu ukurannya dengan penilaian yang baik dimasyarakat dan dipandang baik menurut syara’ yaitu bergaul dengan baik dan tidak membuat bahaya dari pihak istri taat kepada para suami karena maskawin yang diberikan para suami kepada para istri.8

Jika akad nikah telah sah hal ini akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian hal ini pun akan menimbulkan hak serta kewajiban selaku suami istri. Hak dan kewajiban ini ada tiga macam:


  1. Hak istri atas suami

  2. Hak suami atas istri

  3. Hak bersama

Jika masing-masing suami istri menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudkan ketentraman dan ketenangan hati sehingga kebahagiaan suami istri tersebut menjadi kenyataan.9

Berikut ini adalah sebagian keterangan dari hak dan kewajiban yang dimaksud.



  1. Hak Istri atas Suami

Kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi kepada dua bagian yaitu kewajiban yang bersifat materi dan kewajiban yang bersifat non materi

  1. Mahar (Maskawin)

Telah dijelaskan Dalam surat (Qs.An-Nisa (4) 4)

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.


Al-Jashash dalam kutipan Ali al-sayish (1953:11:28) berhujah dengan ayat “ ” terhadap wajibnya mahar dengan sempurna/cerai sebelum berhubungan badan. Namun pendapat tersebut dibantah oleh kalangan jumhur, mereka mengatakan memang benar bahwa pernyataan ayat terebut di atas sifatnya umum mencakup semua wanita yang telah kawin dan mereka berhak memperoleh maskawin/baik ia telah digauli atau baru bermesra/mesraan khalawah shahihah.10

Dari ayat di atas di jelaskan agar para suami memberikan mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah yang terkenal dengan (mahar musamma) atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal dengan (mahar misil) karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya.11



Suami berkewajiban untuk memberikan maskawin kepada istrinya, maskawin tersebut merupakan hadiah dan pemberian dari pihak suami. Namun apabila istri tersebut mengembalikan atau memberikan kembali maskawin tersebut kepada suaminya, suami boleh memanfaatkan dan menikmati maskawin itu, asalkan pengembalian itu secara suka rela dan bukan atas dasar bujuk rayu suami, apalagi melalui ancaman atau intimidasi.12 Dijelaskan dalam surat (An-Nisaa’ (4):20-21) :

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”.
Dari segi tinjauan hukum, jika pihak suami melakukan pengambilan maskawin dengan ancaman dan intimidasi maka tidak diperbolehkan, karena dengan pernikahan istri telah bersedia menyerahkan dengan rela rahasianya yang terdalam, dengan membolehkan suami untuk melakukan hubungan seks dengannya. Dengan demikian maskawin yang diserahkan bukan menggambarkan harga seorang wanita atau imbalan kebersamaannya dengan suami sepanjang masa. Kalaupun seandainya maskawin dinilai sebagai harga atau upah, maka ia adalah harga seorang wanita atau imbalan kebersamaannya dengan suami sepanjang masa. Kalaupuin seandainya maskawin dinilai sebagai harga atau upah, maka ia adalah harga sesaat hubungan seks itu sehingga begitu saat tersebut berlalu harga atau upah itu bukan lagi menjadi milik suami. Karena itu pula suami yang menceraikan istrinya tidak pula ia menetapka mahar ketika berlangsung akad nikah.13 Dijelaskan pula dalam surah (An-Nisaa’(4):24)

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sebab turunnya ayat ini, ialah sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, beliau berkata, “kami memperoleh beberapa tawanan perang ketika di Atas (dalam perang hunain), sedang tawanan perang itu mempunyai suami. Kami segan untuk mencampurinya, lalu kami bertanya kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.” Menurut Muhajid, ayat ini diturunkan berhubungan dengan nikah mut’ah.

Dihalalkan bagi kamu Muslimin mencari perempuan dengan harta mereka untuk dinikahi, dengan maksud mendirikan rumah tangga yang bahagia, memelihara keturunan yang baru dan bukan untuk berzina. Maka kepada istri-istri yang telah kamu campuri itu, berikanlah kepada mereka maharnya yang sempurna sebagai suatu kewajiban dengan niat menjaga kehormatan dan sekali-kali tidak berniat untuk membuat perzinaan. Maskawin yang diberikan bukan semata-mata imbalan dari laki-laki kerelaan perempuan untuk menjadi istrinya, tetapi juga sebagai tanda cinta dan keiklasan.14 Allah Swt berfirman dalam surat Al-Maa’idah (5): 5)



Artinya: . (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Dalam ayat diatas diterangkan bahwa kamu orang mu’minat dan halal pula kawin dengan perempuan Ahlul-Kitab. Asal telah selesai dibayar maharnya. Kata mushanat, yaitu perempuan yang terbentang, artinya perempuan merdeka perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina dan budak-budak. Maka derajat mereka yang mu’minat dan Ahlul-Kitab, sebagai istri laki-laki islam yang beriman adalah disamakan oleh ayat ini. Dengan mulanya diberi ingat tentang membayar mahar terlebih dahulu dan ditekankan lagi dengan menyebut nikah.15jika kamu memberi mereka maharnya”. Yakni karena mereka memelihara diri dari perbuatan zina dan menjaga kehormatannya maka berikanlah mereka maharnya dengan suka rela. Firman Allah ta’ala, “dan dengan maksud menjaga kehormatan, bukan pezina, dan menjadikannya gundik-gundik” sebagaimana Allah mensyaratkan keterpeliharaan pada wanita, yaitu kesucian dari perbuatan zina, maka Allah pun mensyaratkan keterpeliharaan dan kesucian dari perzinaan pada kaum laki-laki.16

  1. Memberi Nafkah Istri.

Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan rumah tangga. Nafkah adalah apa saja yang diberikan suami kepada istri, seperti makanan, pakaian,uang atau yang lainnya.17 istilah nafkah pada umumnya merupakan pemberian seseorang kepada orang lain sesuai dengan perintah Allah, seperti terhadap istri, orang tua kerabat dan sebagainya. Nafkah merupakan hak istri atas suami atau kewajiban seoarang suami atas istrinya.

Yang dimaksud dengan nafkah disini adalah mencukupkan kebutuhan istri berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan, obat-obatan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. nafkah merupakan jaminan hidup bagi seorang istri setelah ia lepas dari tanggung jawab wali atau keluarganya. Keberadaan nafkah tidak terbatas ketika istri menjalankan peran domestik saja, melainkan juga atas istri yang telah bekerja di publik. Bahkan istri berhak menuntut penghargaan yang layak atas suaminya dalam hal pemeliharaan anak seperti menyusui. 18

Nafkah sudah menjadi ketetapan Allah atas para suami, bahwa mereka wajib menunaikannya kepada isti-istri mereka. Dasar ketetapan ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233, yaitu:

Artiny: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Pemilihan suami sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemberian nafkah adalah karena islam ingin melindungi wanita dari beban yang berlebihan. Wanita (dalam hal ini istri) sudah menanggung beban kodratnya sendiri, yaitu beban reproduksi yang penuh dengan resiko fisik dan mental. Logis jika beban nafkah tersebut diletakkan di pundak suami, karena dia tidak menanggung beban reproduksi. Ini adalah bentuk keseimbangan peran dan fungsi antara suami dan istri.19

Oleh karena itu syariat islam menetapkan baik istri kaya maupun fakir dari teks-teks Al-Qur’an yang memberi kesaksian tentang hal itu perkataan Allah SWT yang maha benar.20

Selain itu Imam syafii menetapkan standar minimal yang harus dipenuhi bagi suami yang berbeda, yaitu tiap hari 2 mud atau 12 ons gandum, bagi suami yang miskin maka kewajibannya adalah separuh dari kewajiban suami yang berbeda, dan suami yang memilki standar ekonomi menengah berkewajiban memberi nafkah sebesar diatas kewajiban suami yang miskin dan dibawah yang kaya. Ayat yang digunakan dalil adalah firman allah Qs. At-Thalaq ayat 7. Menurut imam syafi’i ayat ini tidak memebrikan ukuran tertentu sehingga memerlukan ijtihad. Metode yang digunakan adalah metode qiyas, yakni menganalogikan kadarnya pada kadar makanan kafarat.21

Nafkah memang menjadi kewajiban suami. Namun juga harus diperhatikan juga mengenai keadaan suami. Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 7, yaitu :



Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. At-Thalaq (67):7)
Berdasarkan ayat di atas, apabila suami itu kaya memang hendaknya ia memberi nafkah sesuai dengan kekayaannya. Sedangkan bagi yang sedang mengalami kesulitan, maka semampunyalah tanpa harus memberi lebih dari itu, dan sama sekali tidak ada keharusan melihat kaya-miskinnya pihak istri. Artinya, kalau suaminya miskin, sedang istrinya dari keluarga orang-orang kaya yang bisa hidup serba berkecukupan sandang-pangannya, maka dia sendirilah yang harus mengeluarkan hartanya untuk mencukupi dirinya, kalau dia punya. Kalau tidak, maka istri harus bersabar atas rizki yang diberikan Allah kepada suaminya. Karena Allah lah yang menyampaikan dan melapangkan rizki itu.22

  1. Kewajiban yang tidak bersifat materi

Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istrinya yang tidak bersifat materi adalah sebagai berikut:

  1. . Menggauli istrinya secara baik dan patut

Yang dimaksud pergaulan disini secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkanaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut disitilahkan dengan ma’ruf yang mengandung arti secara baik sedangkan bentuk ma’ruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini diserahkan pada pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat.

  1. Menjaga dari segala sesuatu yang mungkin melibatkan pada suatu perbuatan dosa dan maksimal atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan masa bahaya.23

  2. Mengajarkan masalah- masalah agama kepada istri dan mengajarkan agar selalu taat kepada Allah. selain dituntut untuk mempergauli istri dengan baik serta memperlakukannya denagn lembut seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suami juga dituntut agar tidak mengabaikan dan bosan mengajarkan agama dan mengajarkan agar selalu taat kepada Allah SWT.24 Dalam hal ini Allah berfirman:



Artiny: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

  1. Tidak menyakiti istri dengan memukul wajah atau menghinanya. Akan tetapi syariat juga membolehkan memukul istri jika dia melakukan nuzyus (meninggalkan kewajiban suami istri)dan tidak taat kepada suami dalam batasan yang dinyatakan Allah SWT dalam firman-Nya (Qs-An-Nisa:34)



Artinya: wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Dalam ayat ini, memukul istri dibolehkan dengan tiga catatan:



  1. Dilakukan setelah upaya nasehat dan pisah ditempat tidur tidak lagi efektif.

  2. Pukulan tersebut harus bersifat mendidik yang tidak melukai. Dalam pengertian lain, menusuk hati tapi tidak mematahkan tulang badan.

  3. Tidak menggunakan pukulan bila istri telah taat kembali kepada suaminya.25

Kewajiban suami sebagaimana telah disebutkan di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan dengan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya perawatan dan biaya pengobatan gugur apabila istri nusyuz. Istri dianggap nusyuzjika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam kecuali dengan alasan yang sah.

  1. Berlemah lembut terhadap istri

Allah berfirman dalan surah (An-Nisa (4): 19).

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa (4): 19).

Demikian itu karena dimasa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya, lalu ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal dunia atau (baru dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawin. Maka Allah memberikan ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang perbuatan itu.

Dahulu penduduk Thimah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang buruk hingga ia menceraikannya, tetapi dengan syarat ‘hendaknya si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang disetujuinya sebelum si istri membayar tebusan kepadanya dengan sebagaian maskawin yang pernah diberikannya’. Maka Allah melarangorang-orang mu’min melakukan perbuatan tersebut.

Rasulullah telah mencotohkan bagaimana cara mempergauli istri, yakni beliau adalah orang yang sangat baik dalam bergaul selalu gembira seiring bermain dengan istrinya dan bersikap lemah lembut kepada meraka memberi mereka kelapangan dalam nafkah secara gemar bersendau gurau. Hingga pernah beliau berlomba lari denga siti asiyah ammul Mu’minin r.a sambil bercengkrama dan berkasih mesra dengannya. 26


  1. Hak Suami Atas Istri

Kewajiban istri terhadapa istrinya merupakan hak suami dari istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi itu adalah:

  1. Patuh kepada suami

Seorang istri wajib mentaati semua perintah suaminya, baik yang rahasia maupun yang terang. Karena mentaati suami dapat mendataangkan kesenangan dan kepuasan. Sedangkan menentang suami dapat dapat mendatangkan kekecewaan dan kebencian sehingga meninbulkan ketidak serasian, perpecahan dan rasa dendam.

Tidak seorang istri yang melanggar perintah suaminya, melainkan akan mendatangkan kesengsaraandan cobaan bagi dirinya sendiri. Sebaliknya tidaklah seorang istri mentaati suaminya, melainkan akan menimbulkan kasih sayang dan kesetiaan diantara keduanya.27 seorang suami adalh pemimpin bagi seorang istri berdasarkan firman Allah SWT (Qs. An-Nisa:34)

Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Menilik istri yang tersirat dalam ayat diatas, maka Allah taala sudah memberikan ketentuan yang tidak dapat diubah-ubah atau sudah merupakan sunatullah, yaitubahwa keharmonisan keluarga itu, manakafa le laki dapat menguasai seluruh hal-ihwal keluarga, dapat mengatur dan mengawasi isteri sebagai kawan hidupnya dan menguasai segala sesuatu yang masuk dalam urusan keluarga itu sebagaimana pemerintah yang baik, pasti dapat menguasai dan mengatur sepenuhnya perihal keadaan rakyat.

Manakala ini terbalik, misalnya isteri yang menguasai suami, atau sama-sama berkuasanya, sehingga seolah-olah tidak ada pengikut dan yang diikuti, tidak ada pengatur dan yang diatur, sudah pasti keadaan rumahtangga itu menemui kericuan dan tidak mungkin ada ketenangan dan ketenteraman di dalamnya.

Ringkasnya para suamilah yang wajib menjadi Qawwaamuun, yakni penguasa, khususnya kepada isterinya. Ini dengan jelas diterangkan oleh Allah perihal sebab-sebabnya, yaitu kaum lelakilah yang dikaruniai Allah Ta'ala akal yang cukup sempurna, memiliki kepandaian dalam mengatur dan menguasai segala persoalan, juga kekuatannyapun dilebihkan oleh Allah bila dibandingkan dengan kaum wanit a, baik dalam segi pekerjaan ataupun peribadatan dan ketaatan kepada Tuhan. Selain itu suami mempunyai pertanggunganjawab penuh untuk mencukupi nafkah seluruh isi keluarga itu.

Oleh sebab itu isteri itu baru dapat dianggap shalihah, apabila ia selalu taat pada Allah, melaksanakan hak-hak suami, memelihara diri di waktu suaminya tidak di rumah dan tidak seenaknya saja dalam hal memberikan harta yang menjadi milik suaminya itu. Dengan demikian isteri itupun pasti akan dilindungi oleh Allah dalam segala hal dan keadaan, juga ditolong untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya yang dipikulkan kepadanya mengenai urusan rumahtangganya itu.28




  1. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami

Artinya: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S Al-Ahzab 33:33)


tafsirnya


  1. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada dirumah.




  1. Menggauli suaminya secara layak. Hal ini dapat dipahami dari ayat yang menuntut suami menggauli istrinya dengan baik yang dikutip diatas, karena perintah untuk menggauli itu berlaku untuk timbal balik

  2. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan memberikannrasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya.

  3. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.

  4. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak didengar.29

Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberikan bantuan batin yang satu kepada yang lain. Suami istri juga harus memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami istri wajib memelihara kehormatannya. Suami istri harus mempunyai tempat yang ditentukan bersama, tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman yang berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pernikahan memiliki banyak pengaruh yang penting dan konsekuensi yang besar. Pernikahan merupakan ikatan antara suami dan istri yang mewajibkan masing-masing menunaikan hak-hak atas yang lainnya, yang berupa hak jasmani, sosial dan hak material. Masing-masing dari suami dan istri harus berinteraksi dengan pasangannya secara baik dan menunaikan kewajiban dengan ikhlas, tanpa keterpaksaan dan tidak menunda-menunda.

Karena tujuan dari sebuah pernikahan menurut agam islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluaraga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhnya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.30

Dengan pernikahan akan terjalin kasih sayang. Ia memilki aplikasi berupa lahirnya tanggung jawab kemanusiaan yang dalam. Salah satunya adalah terjalinnya silaturrahim daripihak-pihak yang sebelumnya tidak pernah saling kenal. Selain itu perkawinan juga merupakan landasan bagi pengembangan dan perwujudan keluarga sakinah. Dari keluarga sakinah inilah diharapkan akan lahirgenerasi rabbani yang siap mengembangkan ajaran agama dalam konteks kehidupan yang kian kompleks.31

Dengan demikian pernikahan menuntut pertanggungjawaban secara seimbang dalam hak dan kewajiban antara suami dengan istri. Karenan dengan adanya keberhasilan membangun keselarasan antara hak dan kewajiban akan menjadikan sebuah keluarga yang harmonis, mawaddah wa rahmah. Sebaliknya, gagal dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban akan berakibat pada munculnya persoalan demi persoalan dalam rumah tangga.


  1. Hak-Hak yang Berkaitan dengan Keduanya

  1. Kesetiaan

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’(4):129)

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat dibagi suka yang lahir atas dorongan perasaan stiap orang tetapi obat yang sama, akan dicari disukai dan diminum karena akal si sakit akan mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan disni adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan sedang suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cendrung (kepda yang kamu cintai) dan janganlah kamu terlalu cendrung mengabaikan yang kamu kurang cintai.

Sedangkan menurut Sayid Sabiq hak bersama antara suami istri yakni:



    1. Mereka diperbolehkan saling menikmati hubungan seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik. Jadi suami halal berbuat kepada istrinya sebagaimana istri kepada suaminya. Melakukan hubungan seksual ini adalah hak bagi suami istri dan tidak boleh dilakukan kalau tidak secara bersama sebagaimana tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.

    2. Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakeknya anaknya, dan cuccucunya. Begitu juga ibu istrinya, anak perempuannya, dan seluruh cucunya haram dinikahi oleh istrinya.

    3. Sahnya mensabkan anak kepada suami yang sah.

    4. Bersikap baik. Wajib bagi suami istri memperlakukan pasangan dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan.32

    5. Setiap pasangan berhak mendapatkan warisan, apabila salah satu pasangannya meninggal maka pasangan lainnya berhakmendapatkan harta warisan dari pasangannya yang meninggal tersebut.33


1 Depaertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka 2001), hal. 1266.

2 Amir syarifuddin, Hukum Perekonomian Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media, 2006), hal. 159

3 Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas ..., hal. 122.

4 Marhumah, Membina Keluarga hal. 157

5 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan, Juz 1-3, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011, hal. 337

6 Ibid., hal. 338.

7 Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas Kajian..., hal. 122.

8 Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Keluarga Sakinah, terj.Ali Chasan Umar (Semarang: Karya Toha Putra,1994), hal. 13

9 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Jilid 3: Pengantar Imam Hasan Al-Bana..., hal. 39

10 Ibid., hal 182

11 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya: Edisi yang Disempurnakan, (Jakarta:Widya Cahaya: 2011), hal.117

12 Syibli Syarjana, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008), hal. 182

13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah..., hal. 387.

14 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan tafsirnya..., hal. 147

15 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VI, (Jakarta: Pustaka Pnjimas, 1982), hal. 144

16 Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hal 39

17 Ibraahim Muhammad Al-Jamal, fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981), hal. 459.

18 Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas...., hal. 96

19 Sri Mulyani, Relaksi Suami dalam Islam, (Jakarta:PSW Syarif Hidayatullah, 2004), hal.39.

20 Ali yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta : Amzah, 2010), hal. 187

21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: CV, Toha Putra, 1989), 568

22 Ibrahim Muhammad Jamal..., Fiqih Wanita, hal. 464

23 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan ..., hal.161

24 Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah Untuk Wanita (Jakarta:al-I’tishom Cahaya Umat, 2007) hal. 719.

25 Ibid... hal 85

26 Al-imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir juz 4; Ali Imran 92 s.d. an-Nisa 23 (Bandung; Sinar Baru Al-Gensindo), hal. 527

27 Mustofa Bisri, Bingkisan Pengantin, (Sumber Solo: Qaula Smart Media 2008), hal. 142

28 Riyyadisholihin

29 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan ..., hal. 162-163

30 Abdul Rahman Ghazaly hal..., 22

31 Departemen Agama, Mimbar Pembangunan Agama, (Departemen Agama, 2007), hal. 21

32 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Jilid 3: Pengantar Imam Hasan Al-Bana, (Jakarta: Pt Nada Cipta Raya, 2004), hal. 39

33 Fatkhur Rasyid, Babat Sikap-Sikap Istri Terhadap Suami yang Harus Dihindari Sejak Malam Pertama, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011), hal. 33

73

Yüklə 88,73 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin