Mereka hendak menipu Allah dan orang beriman, tetapi mereka hanya menipu diri sendiri, dan tidak mereka sadari! (Surat al-Baqarah, 9)
Ketika orang kafir mencoba merencanakan, mereka tidak menyadari suatu fakta yang sangat penting yang ditekankan dengan kata-kata "mereka hanya menipu diri sendiri, dan tidak mereka sadari!" dalam ayat itu. Inilah yang nyata bahwa segala yang mereka alami adalah suatu imajinasi yang dirancang untuk dicerap oleh mereka, dan semua rencana yang mereka kemukakan hanya kesan-kesan yang terbentuk di otak mereka persis seperti setiap adegan lain yang mereka perankan. Kebodohan mereka membuat mereka lupa bahwa mereka semua sendirian dengan Allah dan, karena itu, mereka terperangkap dalam rencana mereka sendiri yang berliku-liku.
Tidak berbeda dari orang kafir yang hidup di masa silam, orang kafir yang hidup di zaman sekarang menghadapi suatu kenyataan yang akan menyebarkan rencana berlika-liku mereka dengan landasan mereka. Dengan ayat "... diperdayakan oleh setan-setan” (Surat al-An’aam, 71), Allah berfirman bahwa rencana ini berakhir dengan kegagalan pada hari perencanaannya. Allah menyampaikan berita baik kepada orang beriman dengan ayat "... Tipu muslihat mereka sama sekali tidak merugikan kamu." (Surat Aali ‘Imraan, 120)
Dalam ayat lain, Allah berfirman: "Tetapi mereka yang kafir, amal mereka sepreti bayangan di padang pasir, yang oleh orang yang sedang kehausan dikira air, sehingga bila ia sampai ke tempatnya, tak ada apa-apa, tetapi yang ditemuinya Allah bersama dia, dan Allah membuat perhitungan." (Surat an-Nuur, 39). Materialisme juga menjadi suatu "bayangan" bagi yang memberontak seperti yang dinyatakan dalam ayat ini; bila mereka menemukan jalan lain, mereka tidak mendapati apa-apa selain ilusi. Allah menipu mereka dengan bayangan sedemikian, dan memperdaya mereka sehingga mereka mencerap seluruh kumpulan kesan ini sebagai sesuatu yang nyata. Semua orang yang "terkemuka", profesor, astronom, biolog, fisikawan, dan lain-lain, apa pun kedudukan dan status mereka, terperdaya begitu saja seperti anak-anak, dan terhina karena mereka mengambil materi sebagai tuhan mereka. Dengan menganggap sekumpulan kesan itu mutlak, mereka mendasarkan filosofi dan ideologi mereka pada sekumpulan kesan itu, menjadi terlibat dalam diskusi serius, dan menggunakan wacana yang disebut "intelektual". Mereka menganggap mereka cukup bijaksana menawarkan suatu argumen tentang kebenaran alam semesta dan, yang lebih penting, menentang Allah dengan intelegensi mereka yang terbatas. Allah menerangkan situasi mereka dalam ayat berikut ini:
Dostları ilə paylaş: |