Jumat, 08 Maret 2013
PENDAHULUAN
Setiap lafadz ( kata ) yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafadz itu. Ada pula lafadz yang mengandung beberapa pengertian yang mengandung beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafadz itu. Apabila hukum berlaku untuk lafadz itu, maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, ada juga suatu lafadz yang hanya mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk itu saja. Lafadz yang mengandung beberapa pengertian itu secara sederhana disebut ‘Amm ( umum ), sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian tertentu, disebut Khash.
Lafadz yang khusus itu ada yang digunakan tanpa dikaitkan kepada sifat apapun, dan ada pula yang dikaitkan kepada sifat atau keadaan tertentu. Lafadz yang tidak dikaitkan kepada sesuatu apapun disebut mutlaq, sedangkan lafadz yang dikaitkan kepada sesuatu disebut muqayyad.
Untuk itu, kelompok kami akan memaparkan makalah kami yang membahas lafadz umum dan khash, lafadz mutlaq dan muqayyad.
PEMBAHASAN
A. LAFADZ ‘AMM ( UMUM ) DAN KHASH ( KHUSUS )
a. Pengertian Lafadz ‘Amm
Secara bahasa ‘amm berarti syamil ( yang berarti mencakup, menyeluruh ).
Secara istilah berarti :
اللفظ المستفرق لجميع افراده بلا حصر
“ Lafadz yang mencakup seluruh anggotanya tanpa ada batasan”.
Lafadz ‘amm adalah suatu lafadz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu ( Rahmat Syafi’i : 2007. 193 ). Menurut Al Amidi, seorang ulama’ yang mendefinisikan lafadz ‘amm sebagai berikut :
هو اللفظ الدال شيئان او فصاعدا متلقا معا
“ Suatu lafadz yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlaq”
Menurut Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘amm adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. Contoh lafadz ‘amm seperti kata Al Insan dalam firman Allah :
ان الانسان لفي خسر ○ الا الدين امنوا وعملواالصلحت
“ Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh”.
Kata Al Insan yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan mencakup seluruh makhluk yang disebut manusia ( Zainal Abidin : 1997. 68 ).
Keumuman termasuk sifat lafadz karena merupakan dalalah lafadz yang didalamnya tercakup semua satuannya. Apabila lafadz ini hanya menunjukkan satu satuan seperti seorang laki-laki, atau dua satuan seperti dua orang laki-laki, atau beberapa kelompok.
b. Bentuk-bentuk lafadz ‘amm.
Untuk mengetahui dan menentukan lafadz-lafadz ‘amm, diperlukan pemahaman mendalam terhadap gramatika bahasa arab terutama yang membahas morfologi paralel ( shorof ) dan sintaksis parallel ( nahwu ). Dari situ akan kita ketahui maksud dan tujuan nash, apakah arahnya umum atau khusus. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bahasa arab.
Kata yang menunjukkan makna umum, seperti[1] :
a. Kata kull ( كل/ setiap) dan jami’ ( جميع / semua ). Misalnya :
كل امرئ بما كسب رهين
“ Tiap-tiap ( kull ) manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan ( QS. At Thur : 21 )
هو الدي خلق لكم ما في الارض جميعا
“ Dia-Lah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan ( jami’an ). ( QS. Al Baqarah : 29 )
b. Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya. Seperti kata Al walidat ( para ibu ). Misalnya Surat Al Baqarah : 233 :
والوالدات يرضعن اولادهن حولين كاملين
“ Para ibu (hendaklah) menyusukan ananknya selama dua tahun penuh, yaitu : bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. ( QS. Al Baqarah : 233)
Kata Al Walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama ibu.
c. Kata benda tunggal yang dima’rifatkan dengan alif lam. Contoh :
والسارق والسارقة فقطعوا ايديهما
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya. (QS. Al Maidah : 38)
d. Isim isyarah (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata من. Contoh :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله الا ان يصدقوا
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja ( hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya ( si terbunuh ) kecuali jika mereka ( keluarga terbunuh ) bersedekahlah . . . . ( QS. An Nisa’ : 92 )
e. Isim nakiroh yang dinafikan, seperti kata لا جناح dalam Surat al Mumtakhanah : 10 :
ولا جناح عليكم ان تنكحو هن ادا اتيتموهن اجورهن
“ Dan tidak ada dosa ( لا جناح ) atas kamu mengawini mereka apabila kamu membayar kepada mereka maharnya . . . (QS. Al Mumtakhanah : 10 )
f. Isim maushul (kata ganti penghubung). Misalnya kata الدين
ان الدين ياءكلون اموال اليتامى ظلما انما ياءكلون في بطونهم نارا وسيسلون سعيرا
“ Sesungguhnya orang-orang yang (الدين ) memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (QS. An Nisa’ : 10)
g. Isim istifham (kata tanya). Contoh :
فاين تدهبون
“ Maka kemanakah kalian akan pergi ? (QS. At Takwir : 26)
c. Pembagian Lafadz ‘Amm
Lafadz umum seperti dijelaskan, Mushtafa Said Al Khin, Guru besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus dibagi kepada tiga macam :
a. Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya, karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis. Misalnya :
وما من دابة في الارض الا على الله رزقها
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizqinya . . . (QS. Hud : 6 )
b. Lafadz umum padahal yang adalah makna khusus, karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya :
ما كان لاهل المدينة ومن حولهم من الاعراب ان يتخلفوا عن رسول الله ولا
يرعبوا بانفسهم عن نفسه
“ Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah ( pergi berperang ) dan tidak patut pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul ( QS. At Taubah : 120 )
c. Lafadz umum yang terbebas dari indikasi baik yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh QS. Al Baqarah : 228 :
والمطلقا ت يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
“ Dan wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri ( menunggu ) tiga kali quru'. ( QS. Al Baqarah : 228 )
d. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘amm.
‘Amm ( umum ) adalah lafadz yang menunjukkan pada satuan - satuan yang terbatas dari semua satuan yang tercakup pada maknanya tanpa dibatasi sesuatu baik tujuan bahasa maupun tinjauan maksud penyertanya. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘amm adalah sebagai berikut :
1. ‘Amm dan maksudnya.
Makna ‘amm itu menurut maksud lafadznya, demikian yang banyak dipegangi jumhur Ulama’. Sebagian pendapat menyatakan bahwa maksud dari lafadz umum itu tidak hanya berlaku pada lafadznya tetapi juga berlaku pada maknanya.
2. ‘Amm dan ketentuan uumum.
Jumhur Ulama menetapkan bahwa keumuman lafadz itu belum menunjukkan pada suatu hukum, karena hukum mencakup perkataan, perbuatan maupun si pelakunya, sedang umum itu masih belum mencakup keseluruhan itu. Contoh, semua pencuri harus dipotong tangannya, padahal ketentuan potong tangan bagi pencuri itu ada ketentuan-ketentuan khusus.
3. ‘Amm dan cakupannya.
Lafadz ‘amm itu keumumannya bersifat keseluruhan, sedang lafadz umum yang mutlaq itu bersifat sebagian lafadz umum yang mencakup keseluruhan itu hukumnya ditujukan kepada setiap individu, sedang lafadz umum yang menunjukkan sebagian maka hukumnya berlaku bagi individu tertentu.
e. Takhsis ‘amm
Berkaitan dengan lafadz umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudhori Beik dalam bukunya Ushul Fiqh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan suatu lafadz umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz umum dengan dalil.
Diantara dalil-dalil pentakhsis adalah takhsis dengan ayat Alqur’an, takhsis dengan As-Sunnah dan takhsis dengan Qiyas.
B. Pengertian Lafadz Khash ( Khusus )
Secara bahasa khash berarti lawan dari ‘amm. Secara istilah ialah :
اللفظ الدال على محصور بشحص او عدد
“ Lafadz yang menunjukkan sesuatu yang dibatasi dengan pribadi atau bilangan”.[2]
Dengan demikian, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan arti atau makna tertentu dan khusus. Tidak ada perbedaan yang prinsip di kalangan Ulama’ Ushul Fiqh tentang pengertian lafadz khash.
Lafadz khash ialah :
ما وضع يدل على شيئ معين او رجل معين
“ Lafadz yang diwadla’kan untuk menunjukkan kepada orangyang tertentu.”[3]
Lafadz khusus ialah lafadz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu, berupa orang seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum golongan, jama’ah, kelompok dan lafadz lain yang menunjukkan satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.[4]
Menurut Ulama’ Al Syaukani, lafadz khash adalah suatu lafadz yang menunjukkan kepada satu sebutan saja. Oleh karena itu, karakteristik lafadz khash adalah :
1. Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu kalimat.
2. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang.
3. Suatu lafadz yang diberi batasan dengan sifat atau idhafat.
Dari ketiga karakteristik diatas dapat dipahami bahwa lafadz khash menunjukkan makna tertentu dan spesifik, yang cakupannya terbatas pada satu obyek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu.
a. Hukum Khash.
Bila ada suatu lafadz khash dalam nash syar’i maka makna khash yang ditunjuk oleh lafadz itu adalah qath’iy ( قطعى ) bukan dhonny ( ظنى ), contohnya :
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء
“ Dan wanita-wanita yang ditalaq suaminya itu hendaklah menunggu iddah mereka selama tiga kali.”
Lafadz tsalatsah disitu adalah khash dan maknanya qath’iy. Seringkali lafadz khash itu terdapat secara mutlaq tanpa ada batasan atau ikatan apapun dan sering pula terdapat dalam bentuk tuntutan perbuatan. Contohnya اتقواالله ( bertaqwalah kepada Allah ). Seringkali terdapat dalam bentuk larangan perbuatan, seperti ولا تجسسوا ( dan janganlah kamu memata-matai ). Jadi dalam lafadz khash itu terdapat lafadz muthlaq, ikatan atau batasan, perintah dan larangan.
Hukum khash secara global ialah apabila terdapat nash syara’ sedang maknanya yang khusus menunjukkan dalalah secara pasti, maka pada hakikatnya lafadz khash itu dibuat dan pengertiannya diambil hukum dengan pasti, tidak dengan dugaan. Tidak ada pertentangan antara Ulama’ Ushul Fiqh mengenai ketetapan hukum qath’iy dari lafadz khash.
b. Macam-macam lafadz khash
Lafadz khash berbentuk mutlak
والدين يظا هرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل
ان يتمسا دالكم توعظون به والله بما تعملون خبير
“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak abdum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Mujadalah : 3)
Lafadz khash berbentuk muqayyad.
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“Barangsiapa membunuh orang mukmin karena tersalah hendaknya ia memerdekakan budak yang beriman”. (QS. An Nisa’ : 42)
Lafadz khash berbentuk amr.
ان الله ياءمروكم ان تؤدوا الامنت الى اهلها
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (QS. An Nisa’ : 58)
Lafadz khash yang berbentuk larangan.
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن
“ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (QS. Al Baqarah : 221).
C. MUTHLAQ DAN MUQAYYAD.
a. Pengertian lafadz muthlaq dan muqayyad.
Dalam memberikan definisi pengertian muthlaq terdapat pada beberapa rumusan yang berbeda, namun saling berkaitan.
1. Muhammad Al Khudhari Beik, memberikan definisi :[5]
المطلق ما دل على فرد او افراد شا ئعة بدون قيد مستقل لفظا
Muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
2. Abu Zahrah memberikan definisi :[6]
اللفظ المطلق هو الدي يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة اوالجمع
اوالوصف بل يدل على الماهية من حيث هي
Lafadz muthlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Dengan demikian muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.[7]
Contohnya, Firman Allah dalam QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“ Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Lafadz raqabah رقبة yang berarti hamba sahaya itu adalah muthlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Muqayyad (yang diikatkan kepada sesuatu) yaitu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafadz itu suatu sifat.[8]
Contohnya firman Allah QS. An-Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Disini tidak sembarang hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, yaitu hanyalah hamba sahaya yang beriman.
Jadi perbedaan antara muthlaq dan muqayyad itu adalah bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Sedangkan muqayyad, menunjukkan kepada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau sifat dan keadaan.
a. Hukum lafadz muthlaq dan muqayyad
Ada beberapa bentuk pola hubungan antara lafadz muthlaq dan muqayyad yang menjadi perbincangan di kalangan ulama’ ushul fiqh.[9]
1. Hukum yang disebutkan dan sebab yang menimbulkan hukum itu adalah sama.
Contoh muthlaq QS.Al Maidah : 3 :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير
“ Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi”.
Kata الدم (darah) dalam ayat tersebut adalah muthlaq karena tidak diikat oleh sifat atau syarat apapun.
Contoh muqayyad QS. Al An’am : 145 :
قل لا اجد فيما اوحي الي محرما على طاعم يطعمه الا ان تكون ميتة اودما
مسفوحا او لحم خنزير
“ Katakanlah aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan kepadaku tentang makanan yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.”
Dalam ayat ini kata الدم (darah) diberi sifat dengan masfuh (mengalir). Tetapi hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama haramnya. Demikian juga sebab yang menimbulkan hukum juga sama yaitu “darah”.
Oleh karena itu ditanggungkan muthlaq mutlaq atas muqayyad, dalam arti hukum lafadz mutlaq harus dipahami sesuai lafadz muqayyad. Dalam contoh diatas darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
2. Hukumnya sama tetapi sebab yang menimbulkan hukum berbeda.
Contoh mutlaq QS. Al Mujadalah : 3 :
فتحرير رقبة من قبل ان يتمسا
“Maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Contoh muqayyad QS. An Nisa : 92 :
ومن قتل مؤمنا خطاء فتحرير رقبة مؤمنة
“ Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.
Dalam ayat pertama lafadz raqabah dalam bentuk mutlaq, sedangkan ayat kedua lafadz raqabah diberi qayyid dengan lafadz mu’minah. Sebab yang menimbulkan hukum pada kedua ayat berbeda, pada lafadz mutlaq adalah kasus kifarat zihar. Sedangkan pada ayat muqayyad karena pembunuhan yang tidak disengaja. Hukum kedua ayat adalah sama, yaitu memerdekakan hamba sahaya.
3. Hukum yang berbeda tetapi sebab yang menimbulkan adalah sama.
Contoh Muqayyad QS. Al Maidah : 6 :
يايها الدين امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”
Contoh mutlaq :
فان لم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه
“Bila kamu tidak menemukan air, bertayamumlah dengan tanah yang bersih basuhlah mukamu dan kedua tanganmu dengan bersih”
Hukum dalam kedua ayat tersebut berbeda, yaitu pada muqayyad berbicara tentang wudlu. Sedangkan pada contoh mutlaq berbicara tentang tayammum. Namun sebab dari kedua ayat tersebut adalah sama tentang keharusan bersuci untuk shalat.
4. Sebab yang menimbulkan hukum dan hukumnya yang menimbulkan adalah sama.
Contoh mutlaq QS. Al Maidah : 38 :
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya”
Contoh muqayyad QS Al Maidah : 6:
يايها الدين امنوا اداقمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق
“Hai orang-orang yang beriman bila kamu akan melakukan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”
Hukum kedua ayat tersebut berbeda. Pada mutlaq diharuskan dipotong tangannya, pada muqayyad keharusan mencuci tangan. Sebab berlakunya hukum juga berbeda. Pada mutlaq adalah sanski karena mencuri, sedangkan pada muqayyad adalah berwudlu untuk shalat.
Dalam hal ini ulama’ sepakat mutlaq dan muqayyad berlaku sendiri-sendiri. Berarti hukum memotong tangan untuk mencuri boleh sampai mana saja pada tangan. Sedangkan hukum berwudlu tangan yang dicuci harus sampai siku.
KESIMPULAN
Ketetapan hukum syar’i yang sudah digariskan oleh Alqur’an dan as Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mumpuni bagi calon-calon mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu Ushul Fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
[1] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ( Jakarta : Prenada Media, 2005 ), h. 196
[2] Syeikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin, Ushul Fiqh, ( Kairo : Darul Aqiqah, 2003 ), h. 60
[3] Tengku Muhammad Hasbie Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, ( Semarang : PT Pustaka Rizqi Putra, 1997 ), h. 320
[4] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Quwait : Darul Qalam, 1997 ), h. 281
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001 ), h. 116.
[6] Ibid,
[7] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh, ( Pekalongan : STAIN Press, ), h. 239
[8] Op.cit, h. 117
[9] Syafi’i Karim, Ushul Fiqh, ( Bandung : Pustaka Setia, 1997 ), h. 172
اِقْطَعُوْا فِى رُبْعِ دِيْنَارٍ وَلاَتَقْطَعُوْا فِيْمَا اَدْنىَ ذلِكَ (رواه أحمد عن عائشة)
Artinya:
“Potonglah tangan pencuri yang mencuri jumlah seperempat dinar dan jangan potong kurang dari seperempat dinar.” (HR. Ahmad dari Aisyah)
Dalam hal ini, kita mengambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut. Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW (merupakan contoh dari lafal ‘am karena sebab khusus), katanya:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ اِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا القَلِيْلَ ِمنَ المَاءِ فإَنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِسْنَا أَفَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ ص . م : هُوَ الطُّهُوْرُ مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ (رواه الترمذى)
Artinya:
“Hai Rasulullah! Bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan, padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu dengan air ini, tentu kita akan kehausan, apakah kita boleh berwudhu dengan air laut? Maka Nabi bersabda: Laut itu suci dan binatangnya halal (dimakan)” (HR. Tirmidzi)
Jawaban itu seolah-olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga andaikata tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan bangkai binatangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah di atas, maka pengertian jawaban Nabi SAW. itu menunjukkan yang ‘am. Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian umum.
ILMU MUKHTALIF AL-HADITS WA MUSYKILUH
(علم مختلف الحديث ومشكله)
Oleh Khambali
PENDAHULUAN
Ilmu mukhtalif al-hadits termasuk ilmu terpenting bagi ahli hadits, ahli fiqh dan ulama-ulama lain. Bagi yang hendak menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman. Orang yang bisa mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadits dan fiqh. Dalam hal ini, As-Syakhawi mengatakan: “Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus imam yang memadukan antara hadits dan fiqh dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam”.[1]
Ilmu ini merupakan salah satu buah dari penghafal hadits, pemahaman secara mendalam terhadapnya, pengetahuan tentang ‘am dan khash-nya, yang muthlaq dan muqayyad-nya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penguasaan terhadapnya. Karena tidak cukup bagi seseorang hanya dengan menghafal hadits, menghimpun sanad-sanadnya dan menandai kata-katanya tanpa memahaminya dan mengetahui kandungan hukumnya.
Para ulama telah memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif al-hadits dan musykil al-hadits ini sejak masa para sahabat Rasul Saw, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah Saw, wafat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antara berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka, mengompromikan antara hadits yang tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Para ulama memiliki peran yang besar dalam menghilangkan dan mengenyahkan sebagian kerumitan yang ditebarkan oleh sementara aliran, seperti Mu’tazilah dan Musyabbihah seputar beberapa hadits. Mereka menjelaskan pemahaman yang benar mengenai hal-hal tersebut dan menghimpunnya di dalam karya-karya spesifik.[2] Dalam hal ini, penulis akan mencoba menguraikan dengan singkat tentang apa, bagaimana dan mengapa ilmu mukhtalif al-hadits ada dalam pembahasan ilmu hadits.
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu Mukhtalif Al-Hadits, ialah:
Dostları ilə paylaş: |