Hukum Mengerjakan Hadits yang Lemah



Yüklə 421,87 Kb.
səhifə4/10
tarix12.09.2018
ölçüsü421,87 Kb.
#81380
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10

Pasal ketiga


Menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan mazhab pertama yang mengklaim kaidah serta mengkaji pendapat mereka
Al Hafiz Al Sakhowi dalam Buku Al Qoul Al Badi’ Fi Fadli Sholat Ala Al Habib Al Syafi’ 2berkata :

  1. “Saya mendengar syeikh kami yaitu Al Hafiz Ibnu Hajar selalu berkata dan menulisnya untuk saya dengan tangannya : Syarat-syarat mengamalkan hadits dho’if ada tiga :

  1. yang telah menjadi kesepakatan, kelemahan hadits tersebut tidak parah. Maka tidak termasuk didalamnya hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi pendusta dan tertuduh sebagai pemalsu hadits serta yang perah kesalahannya.

  2. Harus berada dalam cakupan dalil asli [al quran atau al sunah], maka tidak termasuk didalamnya hadits yang dibuat-buat karena tidak mempunyai dalil asli.

  3. tidak meyakini ketetapan hadits tersebut ketika mengamalkannya. Agar tidak terjadi penisbatan kepada Rasulullah SAW apa yang tidak diucapkan beliau.

Dua syarat yang terakhir menurut Ibnu Abdi Salam dan sahabatnya Ibnu Dakik al I’d. Sedangkan syarat yang pertama diknukil dari Al Ala’I tentang kesepakatan yang ada padanya.. Pernyataan al Sakhowi rahimahullahu :

Menurut saya inilah syarat-syarat yang terkenal dari Al Hafiz Ibnu Hajar rahimahullahu , sebelum kita mengkaji syarat –syarat tersebut saya akan tambahkan syarat ke-empat menurut Izzi Ibnu Abdi Salam dan selainnya :



  1. Al Hafiz berkata dalam buku Tabyiyn Al Ajib Bimaa Waroda Fi Fadli Rojab1

2. Akan tetapi dikenal bahwa ahli ilmu mempermudahkan dalam memaparkan hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah walaupun ada diantaranya yang lemah, selama bukan palsu. Namun disyaratkan bagi orang yang mengamalkan untuk meyakini bahwa hadits yang diriwayatkannya lemah juga tidak memasyhurkan hadits ini guna mencegah orang lain mengamalkan hadits dho’if sehingga mensyari’atkan apa yang bukan syar’I atau dilihat oleh orang yang tidak tahu sehingga mengira hadits tersebut sohih.2

Sebagaimana yang dinyatakan oleh al Ustadz Abu Muhammad bin Abdi Salam dan selainnya guna memperingati orang lain agar tidak masuk dalam apa yang dikatakan Rasulullah SAW ,” Barang siapa yang mengatakan sebuah hadits yang berasal dariku, kemudian terlihat sebagai kebohongan, maka dia adalah salah seorang pendusta.” Apalagi orang yang mengamalkan??



Tidak ada bedanya mengamalkan sebuah hadits dalam masalah hukum ataupun keutamaan ibadah , karena semua itu disyari’atkan.1

Menurut penulis empat syarat harus dipenuhi untuk dibolehkannya mengamalkan hadits hadits dho'if dalam keutamaan ibadah dan sebagainya. Ditambahkan dari syarat yang ada syarat Syeikh islam Ibnu taimiyah yang telah kami sebutkan tadi yaitu :



  1. perbuatan yang disebutkan dalam hadits dho'if harus telah ditetapkan oleh syar’I sebagai perbuatan yang dipuji ataupun dicela. Hal ini walaupun sama dengan syarat yang kedua tapi syarat kelima ini lebih jelas.

  2. Hadits dho'if tersebut tidak mencakup perincian-perincian suatu perbuatan, ketetapan-ketetapannya, batasan-batasannya dan penambahan apa yang ada dalam hadits sohih.

Inilah kesimpulan dari perkataan para ulama dalam syarat-syarat yang ditetapkan pada hadits dho'if.
Kajian terhadap syarat-syarat yang telah disebutkan :

Syarat pertama :

Bagi orang yang ingin mengamalkan hadits dhoif harus bisa membedakan antara segi kelemahan yang besar dan yang ringan, atau kembali kepada ulama yang dapat membedakan keduanya. Menurut penulis dalam hal ini ada beberapa kesulitan:

Sesungguhnya untuk mengetahui tingkatan kelemahan dalam suatu hadits , harus lebih teliti dari sekedar mengetahui yang sohih dari yang lemah, karena itu yang mengetahui hal ini hanyalah orang –orang tertentu yang sudah ahli.

Ditambah lagi masalah ini akan berbeda jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, berapa banyak hadits yang sangat lemah menurut Zaid tetapi dianggap lemah saja oleh Amru . Bab ini termasuk dalam cakupan tasahul terhadap hukum atas hadits-hadits, maka hadits yang dho’if diamalkan karena rngannya segi kelemahan hadits, sampai ada yang mengamalkan hadits palsu, munkar dan matruk. Hanya Allah SWT lah yang Maha Penolong.



Syarat kedua :

Yang dimaksud adalah hukum asli global yang mempunyai aturan-aturan yang harus dijaga, karena tanpa ini semua syaray ini [dengan pemahaman yang salah] akan menjadi kerusakan terbesar dan penyebab terbukanya pintu bid’ah dan sesuatu yang dibuat-buat.

Imam Abu ishak al Syatibi rahimahullahu seorang peneliti haidts, ahli ushul yang terkenal dalam kitab ‘al I’tishom’ menjelaskan ; aturan aturan tersebutdengan sangat jelas, sdan membaginya dalam buku ‘ Al Ashlu al Amm’ menjadi bagian-bagian yang paten. Beliau dalam pernyataannya ini telah mempengaruhi periwayatan hadits yang berhubungan dengan syarat kedua ini.

Imam al Syathibi berkata :1

2. Kalau saja merupakan tugas orang islam untuk mengambil hadits apapun dan diriwayatkan oleh siapapun, maka bersandarkannya mereka kepada kaidah menyatakan seorang perawi adil atau cacat tidak akan mempunyai makna, begitu juga pencarian misnad tidak akan ada artinya. Maka secara tidak langsung mereka telah menganggap isnad sebagai bagian dari agama namun tidak menjaganya, ketika mengatakan { fulan bin fulan mengatakan kepada saya, maka yang dimaksud adalah ingin mengetahui tentang perawi yang meriwayatkan hadits tersebut sehingga tidak meriwayatkan dari seorang rawi yang majhul atau tidak dikenal, tidak cacat , tidak dituduh sebagai pemalsu. Kecuali mereka meriwayatkannya dari rawi yang dapat dipercaya riwayatnya. Karena jiwa drai masalah ini ketika meyakini tanpa ragu bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari Rasulullah SAW sehingga bisa dijadikan landasan syari;at dan hukum



hadits-hadits yang isnadnya dho'if tidak diyakini bahwa Rasulullah telah mengatakan hadits tersebut, maka tidak mungkin disandarkan keadanya suatu hukum, aplagi hadits –hadits yang sudah dikenal sebagai hedits palsu ? memang yang meriwayatkan hadits palsu adalah orang yang lebih mengutamakan hawa nafsunya.1

Pemasalahan yang ada sekitar disyaratkannya ke sohihan isnad dalam hadits yang berkaitan dengan anjuran2

Jika dikatakan, ini semua merupakan bantahan terhadap para imam yang bersandarkan kepada hadits-hadits yang tidak mencapai derajat sohih . Sebagaimana mereka mewajibkan syarat sohih isnad mereka juga menetapkan bahwa hadits – hadits yang berkaitan dengan anjuran, dan larangan tidak disyaratkan ke sohihan isnad bahkan walaupun hadits itu buruk. Tidak berdosa perawi yang meriwayatkannya dan berpedoman padanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama seperti Malik dalam buku al Muwatho’, Ibnu al Mubarok dalam buku al roqôiqoh , Sufyan dalam bulu jami’ al khoir dan sebagainya.

Semua hadits yang termasuk dalam hal ini kembali kepada anjuran dan larangan , jika dapat dijadikan landasan maka hal yang serupa dengannya dapat dijadikan landasan juga. Seperti sholat yang dianjurkan, mi’raj, malam nisfu sya’ban, malam jum’at pertama pada bulan rajab, puasa rajab, pusa pada hari ke dua puluh tujuh dari bulan rajab dan yang serupa denagnnya. Semua ini kembali kepada anjuran dalam mengerjakan amal soleh. Sholat secara global telah tetap hukumnya, begitu juga puasa dan bangun malam semua itu berdasarkan kebaikan yang keutamaannya telah disebutkan secara khusus.

Jika semua ini telah diitetapkan, maka setiap hal yang telah disebutkan keutamaannya dalam hadits-hadits termasuk dalam bab anjuran ‘targhib’ . Maka dalam hal ini tidak diperlukan kesaksian ahli hadits terhadap kesohihan isnadnya berbeda dengan hukum-hukum.

Jadi hal ini merupakan sytem pendalilan yang dilakukan oleh para ahli ilmu, bukan yang dilakukan oleh mereka yang hatinya dipenuhi dengan dengki, karena sistem ini membedakan hadits yang berkaitan dengan hukum maka mereka mensyaratkan kesohihan isnad didalamnya . Sedanlkan hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan tidak disyaratkan kesohihan isnad..



Bantahan terhadap permasalahan yang dijelaskan oleh Ibnu daqiq

Apa yang disebutkan ulama hadits dalam masalah bersikap permisif [tasahul] dalam hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangn tidak berhubungan dengan masalah kami , dengan penjelasan sebagi berikut :L

Pengamalan yang dibicarakan dalam hal ini adalah :



  1. Bisa jadi telah ditetapkan dalam hukum asli baik secara global maupun rinci.

  2. Belum ditetapkan dalam hukum asli baik secara global maupun rinci.

  3. Telah ditetapkan dalam hukum asli secara global saja.

Hal pertama,

Maka tidak ada masalah dalam kebenaran hal ini, seperti sholat-sholat wajib, sholat-sholat sunah yang dikerjakan berdasarkan sebab tertentu, seperti puasa wajib ataupu sunah berdasarkan sebab yang diketahui jika dikerjakan sebagaimana adanya tanpa ditambahi ataupun dikurangi1. Seperti puasa hari asyuro’, atau hari arafah, shalat witir setelah mengerjakan yang sunah dan sholat karena ada gerhana matahari.

Dalil yang ada dalam hal ini memenuhi apa yang telah disyaratkan, maka hukumnya telah menjadi ketetapan baik fardhu, sunah maupun mubah. Jika ada hadits sepertinya yang berkaitan dengan anjuran, atau peringatan terhadap orang yang meninggalkan yang fardhu, tidak mencapai derajat sohih yang tinggi dan juga merupakan hadits dho'if yang tidak bisa diterima siapapun atau palsu sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum, maka dibolehkan menyebutnya baik berupa peringatan dari sesuatu ataupun anjuran terhadap sesuatu setelah terbukti ketetapannya berdasarkan hukum aslinya dari sara yang benar.

Hal kedua :

Jelas bahwa hal ini tidak benar2, ini adalah bid’ah, karena bukan saj hal ini berdasarkan hawa nafsu akan tetapi juga merupakan bid’ah yang paling rusak seperti atheis, penyembah api, golongan yang takut kepada berhala, golongan yang menyembah matahari sambil berdiri ataupun sambil diam . maka anjuran yang seperti ini tidak dibenarkan karena tidak ada dalam syari’at dan hukum asli, bahkan mengancam orang yang melakukannya.

Hal ketiga :1

Mungkin ada suatu keraguan bahwa hal yang letiga ini sama dengan yang pertama dari suatu segi. Jika telah ditetapkan hukum asli suatu ibadah secara global, maka mudah dalam merincikian periwayatannya berdasrkan cara yang tidak mensyaratkan kesohihan isnad. Melakukan sholat sunah adalah sesuatu yang ada dalam syar’I, jika ada hadits yang berisi anjuran untuk mengerjakan sholat pada malam nisfu sya’ban, maka hadits ini telah didukung oleh dalil yang menyebutkan ketetapan hukum sholat sunah. Begitu juga jika telah ada dalil asli yang menetapkan kewajiban puasa, maka secara tidak langsung juga menetapkan puasa hari ke 27 pada bulan Rajab dan yang serupa dengannya.

Hal ini tidaklah seperti yang mereka ragukan:

Karena hukum asli jika telah ditetapkan secara global maka tidak perlu ditetapkan secara rinci. Jika telah ditetapkan wajibnya sholat secara global, tidak perlu ditetapkan lagi wajibnya sholat dzuhur, ashar, witir dan sebagainya tidak perlu ditetapkan secara terperinci dengan dalil -dalil khusus. Begitu juga halnya jika telah ditetapkan wajibnya puasa secara global, maka tidak perlu menetapkan lagi wajibnya puasa ramadhon, asyuro’, sa’ban dan sebagainya dengan dalil-dalil yang khusus. Kemudian mengkaji hadits-hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan berdasarkan amal-amal khusus yang telah ditetapkan dengan dalil yang sohih.

Dari pernyataan diatas tidak ada satu pun yang menyebutkan hal itu. Karena tidak adanya keharusan antara menetapkan hukum sholat malam atau siang secara global dan sholat malam pada malam nisfu sya’ban dengan cara tertentu, rakaat tertentu, membaca pada setiap rakaat surat-surat tertentu, secara khusus dengan jumlah tertentu.Seperti juga halnya dalam masalah hukum puasa tertentu pada bulan tertentu sehingga menjadi ibadah yang dimaksud secara khusus. Tidak ada satu dalilpun dalam hal ini yang menetapkan mutlaknya hukum sholat sunah dan puasa sunah.

Dalilnya adalah sebagai berikut :

Mengutamakan suatu hari diatas hari yang lain atau suatu zaman diatas zaman yang lain dengan suatu ibadah , mengandung hukum syar’I secara khusus. Sebagaimana yang ditetapkan untuk bukan asyuro’, arafah, sya’ban [ sebagai kelebihan dari mutlaknya puasa sunah]. Jika telah ditetapkan kelebihan suatu puasa dari hari-hari yang lain, maka kelebihan ini menunjukan bahwa kedudukan puasa ini lebih tinggi martabatnya dalam hukum dari selainnya.karena tidak dipahami dari mutlaknya hukum puasa sunah1. Karena mutlaknya suatu hukum menjadikan suatu kebaikan mendapatkan pahala dengan sepuluh ibadah yang serupa dengannya sampai 700 kali ibadah secara global. Puasa asyuro’ menghapus dosa setahun yang telah lalu, ini semua merupakan hal tambahan dari mutlaknya perintah puasa, dan merupakan kelebihan puasa ini dalam martabat hukum. Semua ini kembali kepada hukum .

Maka anjuran khusus yang menyebabkan sampainya kepada martabat sunah tertentu. Harus kembali mengkaji penetapan hukum ini pada hadits-hadits sohih sebagaimana mereka katakan : sesungguhnya hukum-hukum tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil sohih. Bid’ah yang berdasarkan kepada dalil yang tidak sohih pasti terdapat penambahan-penambahan atas apa yang telah disyari’atkan seperti pengkhususan terhadap zaman, jumlah dan cara. Secara tidak langsung hukum hukum dari penambahan atas yang ada ini ditetapkan berdasarkan hadits yang tidak sohih. Ini semua mengurangi ekstensi hukum yang telah ditetapkan para ulama.

Tidak dikatakan bahwa mereka menghendaki hukum-hukum wajib atau pun yang haram saja, karena menurut kami ini merupakan penetapan hukum tanpa berdasarkan dalil, bahkn tanpa hukum yang lima. Sebagaimana tidak dapat disyari’atkannya hukum wajib tanpa dalil sohih maka tidak dapat disyariatkan hukum hukum yang laim [hukum yang lima]kecuali dengan dalil sohih.1 Jika telah ditetapkan hukumnya maka orang lain akan mempermudah dalam menetapkan hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan. Yang demikian itu tidak boleh dilakukan.

Kesimpulan dari pernyataan Al Syathibi :2



Setiap sesuatu yang disukai jika telah ditetapkan hukumnya dan martabatnya dalam syari’at dengan dalil yang syar’I, maka hadits tersebut jika diriwayatkan dengan dalil yang tidak syar’I dapat dimaklumkan.

Kalau hal tersebut belum ditetapkan selain dengan hadits yang berkaitan dengan anjuran maka disyaratkan kebenarannya. Jika tidak maka tidak termasuk golongan fanatisme diantara para ulama ahli

Sebagian ulama yang bersandarkan kepada ilmu fikih1 dan mengkhususkan dari masyarakat awam dengan pernyataan tentang martabat hadits telah melakukan kesalahan dalam hal ini. Awal kesalahan ini disebabkan oleh tidak memahami statemen para ahli hadits dalam berbagai hal. Semua ini merupakan pernyataan al Syathibi rahimahullahu.

Jelaslah apa yang dikatakan Imam Muslim dalam Syarhu Shohihnya,2 untuk membantah periwayatan hadits dari rawi yang bodoh, lemah dan harus ditinggalkan dengan beberapa bantahan. Beliau berkata dalam bantahan yang keempat :

Mereka telah meriwayatkan dari perawi yang lemah hadits-hadits berkaitan dengan anjuran, larangan, keutamaan ibadah, kisah-kisah, zuhud dan nilai-nilai akhlak yang mulia selama tidak berkaitan dengan hukum menghalalkan sesuatu , mengharamkan sesuatu dan hukum-hukum lainnya. Dalam hadits madhrub [ hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang banyak cacatnya namun tidak sampai memalsukan hadits] kita boleh bersikap permisif dalam pengambilan isnad dan mriwayatkan hadits dari selain rawi yang palsu. Boleh mengamalkannya karena dalil dasar yang membolehkannya sohih dan telah ditetapkan dalam syar’I serta dikenal diantara para ahli ilmu.Menurut penulis alasan global yang dikemukakan bahwa dalil asli yang membolehkan periwayatan hadits dho'if adalah dalil yang sohih, telah ditetapkan dalam syar’I serta dikenal diantara para ahli ilmu , dalam alasan ini ada dua hal yang harus diperhatikan :

Pertama : dalil Imam Nawawi rahimahullahu untuk syarat kedua ini berbeda dengan Al Suyuthi dan sahabatnya yang mengatakan bahwa Nawawi hanya menyebutkan syarat pertama saja, sebagaimana dalam kitab “ tadrib al rowi”1

Kedua : Keglobalan yang ada dalam hal ini tidak bagus, telah dijelaskan sebelumnya dari apa yang diriwayatkan Ibnu Taimiyah dan Al Syathibi, bahwa tidak cukup dengan adanya hukum asli [hukum dari al-Quran dan al Sunah] akan tetapi ekstensi dari hadits dho’if harus masuk dalam cakupan masalah yang dimaksud yaitu masalah yang sama dengan yang ada pada hukum asli. Tanpa adanya penambahan, batasan, penetapan ataupun penjelasan, kalau tidak maka kita memerlukan dalil lain yang menetapkan penambahan, batasan dan lain –lain yang disebutkan. Menyepelekan syarat yang ini merupakan penyebabnya terjadinya bid’ah, begitu juga penambahan yang ada dalam hadits yang ada [ yaitu yang telah ditetapkan hukum aslinya namun belum ada dalil yang menetapkan penambahan yang ada didalam nya seperti penambahan waktu, tempat,cara, jumlah, keadaan dan sebagainya.

Jika semua ini sudah merupakan suatu ketetapan maka syarat ini telah menjdikan suatu perbuatan berdaarkan kepada hukum asli yang tetap bukan denagn hadits dho’if. Maka faidah dari pemaparan tentang hadits dho’if, penulisannya, periwayatannya, mendengar hadits secara langsung, membacakannya kepada orang lain merupakan suatu perintah mutlak untuk mengerjakan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya. Sebagaimana telah kami jelaskan.

Ada hal lain yang harus diketahui yaitu bahwa kebanyakan hadits-hadits dho’if mengandung banyak penjelasan yang nmenyimpang, seperti terlalu melebih-lebihkan ancaman untuk masalah kecil atau melelebih-lebihkan pahala untuk masalah yang kecil. Semua ini banyak terdapat dalam hadits –hadits yang berbentuk kisah.
Faidah : Komplikasi yang terjadi dalam perbuatan-perbuatan yang diakibatkan penjelasan yang menyimpang dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan.1

Hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan akhlak, anjuran, larangan walaupun tidak mencakup suatu hukum panghalalan ataupun pengharaman sesuatu, namun mencakup hal lain yang penting. Yaitu yang berkaitan dengan terjadinya komplikasi (Ihtilal An Nasb) yang tekah ditetapkan oleh Allah SWT berupa pembebanan dan amal-amal.

Setiap pekerjaan yang diperintahkan ataupun dilaang mengandung ukuran tertentu menurut Allah SWT dibandingkan perbuatan lain, maka kita tidak boleh keluar batas dalam kasus ini apalagi batas yang telah ditetapkan Allah SWT, ini akan merendahkan ataupun meninggikan posisinya.

Hal yang paling berbahaya ketika menganggap sebagian perbuatan baik melebihi kadarnya yang sebenarnya, dengan memperbesar pahalanya sehingga melupakan perbuatan yang lebih penting dalam pandangan agama. Demikian juga yang terjadi pada perbuatan buruk.

Penjelasan yang menyimpang dan terlaly berlebih-lebihan dalam janji dengan pahala, ancaman dengan sanksi telah memperkeruh agama menurut para alhi budaya. Karena mereka telah menisbatkan apa yang mereka dengar dan baca kepada agama padahal agama itu sendiri terbebas dari hal-hal tersebut. Hiperbolisasi ini sering menghasilkan (khusunya dalam hal yang berkaitan dengan ancaman) nilai yang buruk dan keguncangan jiwa. Dan mayoritas mereka justru membuat orang lain jauh dari Tuhan dan Rahmat-Nya.

Syarat Ketiga Jelas bahwa harus ditrangkan segi kelemahan hadits dho’if yang ada dalam keutamaan ibadah dan sebaginya supaya tidak diyakini sebagai suatu ketetapan hukum, karena bisa jadi hal tersebut belum ditetapkan [ Siapa yang mengkaji hadits dho’if dengan cara mendalam dan ilmiah akan jelas baginya bahwa hanya sebagian kecil dari hadits tersebut yang belum ditetapkan.1

Penulis telah mengukit perkataan Al Hafidz Ibnu ajar dalam bukunya Tabyin Al Ajib yang menetapkan hal ini kemudian diulangi pada syarat tempat.

Syarat yang banyak disepelekan dan dilupakan ini, karena beberapa sebab : Diantaranya kebanyakan orang yang menasehati sesama hanya menyebutkan apa yang mereka dengar berupa hadits dho’if dan mungkar tanpa menjelaskan segi kelemahan hadits. Jika hal ini sudah dikenal diantara para ulama shalaf maka penulis tidak akan meyebutkan pentingnya isnad sebagi pengganti keterangan dalam berbagai hal. Sedangakan pada masa sekarang ini, ulama kontemporer tidak menyebutkan hadits dho’if, mungkar dan bathil kecuali menerangkan segi kelemahannya dan ketidaksahannya dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.

Kebanyakan orang awam begitu juga orang yang ahli dalam bidangnya mempercayai hadits-hadits lemah tersebut yang telah tersebar dari mulut ke mulut semua ini kadang-kadang disebabkan oleh pengertian yang menarik dalam kandungan hadits yang dapat menarik hati dan kadang disebabkan oleh rasa aman untuk meriwayatkan dari rawi yang dianggap baik. Maka tidak mungkin meriwayatkan dan bersandarkan kepadanya jika tidak saah dalam syariah.

Semua ini memperluas cakupan kebohongan atas diri Rasulullah SAW dengan sengaja maupun tidak. Karena itu Imam Muslim RA bersikap tegas terhadap orang yang meriwayatkan hadits dho’if dan menyebakannya kepada masyarakat awam tanpa menjelaskan segi kelemahannya, beliau berkata dalam kata pengantar kitab shohihnya.1

Beliau mewajibkan untuk mengungkapkan aib para perawi hadits dan akhbar serta memberi fatwa dengan hal itu ketika ditanya karena hal ini sangat penting.

Hadits dalam agama berbentuk penghalalan sesuatu, pengharaman, perintah, larangan, anjuran dan ancaman.2 Jika rawi yang meriwayatkannya bukanlah seorang yang jujur dan amanh kemudian meriwayatkan dari orang yang telah diketahuinya tanpa menjelaskan segi kelemahan dan kekurangannya maka dia berdosa, atas kebohongannya kepada masyarakat muslim. Walaupun tidak dipercaya oleh sebagian orang yang mendengar hadits tersebut untuk diamalkan seluruhnya atau sebagian. Dan memang kebanyakan para pendusta tidak mempunyai dasar hukum. Kebanyakan hadits shahih dari perawi yang kredibel tidak mungkin bersumberkan pada perawi yang kurang terpercaya. Tidak bisa dihitung banyaknya perawi yang melakukan periwayatan dari hadits dho’if ini dan isnad-isnad yang tidak dikenal, namun tetap diakui periwatannya walaupun telah diketahui sisi kelemahannya, Orang yang meriwayatkan dan mengakui para perawi ini hanya ingin memperbanyak hadits dho’if di kalangan awam dan supaya orang mengatakan betapa banyaknya hadits yang dikumpulkan oleh fulan, ribua jumlahnya.

Ulama yang megikuti mazhab ini dan menjalani sistemnya itu tidak termasuk golongan mereka. Karena dia dinamakan Jahil karena penyebutan Jahil lebih utama dari pada menyandarkan kepada ilmu yang tidak dikuasai. Menurut penulis bahwa hal ini adalah kajian yang baik terhadap tiga syarat. Yang dikutip dari Syeikh Islam Al Hafidz Ibnu Hajar guna membolehkan pengamalan hadits dho’if pada keutamaan ibadah dan sebagainya. Tersisa syarat yang ditambahkan oleh Al Hafidz dalam buku Tabyin Al ‘Aajib yaitu tidak mengekspos hadits agar tidak menyebabkan orang lain mengamalkan hadits dho’if sehinga mensyariatkan yang bukan syariat, ataupun dilihat sebagian orang yang tidak tahu dan menganggapnya sebagai hadits yang shahih. Kemudian beliau berkata tidak berbeda mengamalkan hadits dho’if dalam hukum maupun keutamaan ibadah karena semuanya disyariatkan.

Syarat ini membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dalam masalah agama. Dan Inilah sebuah kenyataan yang dapat memperkecil rintangan periwayatan hadits dho’if pada kaum tertentu, mereka inilah yang mempunyai perhatian khusus terhadap hadits dan ilmu hadits. Merekalah ahli dalam membedakan hadits yang shahil dari yang lemah. Pentingnya syarat ini adalah untuk menekan golongan yang ingin menganggapnya baik. Ini bukanlah sekedar kaidah sesuatu yang tidak jelas. Tidak membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang shahih dan yang salah, yang berjaitan dengan ucapan tanpa memahami maksud narasumber. Dan dengan setiap kaidah tanpa mengetahu syarat-syarat, batas-batas, aturan-aturan, cara-cara dan penerapannya.

Kebanyakan kita lihat, orang yang menguasai suatu ilmu atau bekerja dalam bidang da’wah dan konseling mencecoki para pendengarnya dengan hadits-hadits dan atsar (perkataan sahabat) yang lemah bahkan munkar. Tanpa mengkaji dalil-dalil tersebut dari segi keabsahannya dan tingkat kelemahannnya dengan berpedoman bahwa dalil tersebut dalam masalah keutamaan ibadah dan sebaginya. Dan mereka tidak mengetahui sama sekali syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para Imam. Dan para pendengarpun tidak mengetahui seluk-beluk kaidah itu. Mereka hanya beranggapan baik kepada para da’I dan ulama tersebut, atas semua yang mereka katakan sampai mempercayai ketetapan hadits-haditsnya dalam hukum dan menisbatkannya kepada Rasulullah SAW apa yang tidak beliau katakan. Ini adalah bab yang luas pemaparannya diantara bab-bab kebohongan atas Rasulullah dan bab yang paling luas pemaparannya diantara bab yang berkaitan dengan bid’ah dan isu-isu yang direkayasa.

Mayoritas pemahaman yang salah, bid’ah yang tersebar diantara kaum muslim, penyebabnya adalah hadits-hadits dho’if yang telah tersebar diantara mereka dan menguasai pikiran dan hati mereka. Allah SWT lah yang Maha Penolong dan Pemberi petunjuk dari kesesatan.

Syarat Kelima dan Keenam

Kedua syarat ini telah dibahas. Keduanya merupakan syarat keempat menurut Al Hafidz Ibnu Hajar dan merupakan buah dari tulisan ini.

Selanjutnya, tiba waktu mengkaji pendapat mazhab kedua dalam maslah ini yaitu mazhab yang mempersamakan antara hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan hukum-hukum dalam pensyaratan kebenaran hadits yang berkaitan dengannya.1 Alasan penulis memaparkannya setelah mazhab pertama sesuai dengan sistem sebagian ulama yang mengakhirkan apa yang menurutnya mazhab yang kuat,yaitu setelah penyebutan mazhab sebaliknya dan mendiskusikan dalil serta membahas bantahannya. Maka mazhab yang kuat menurut mereka adalah mazhab yang terakhir disebutkan. Dimana diskusi pro-kontra itu sebagai permulaan dan jawaban terhadap bantahan yang ditujukan kepada mazhab yang kedua. Sistem inilah yang dipilih penulis dalam penyusunan tulisan ini, jika apa yang penulis lihat, pilih dan dukung sebagai sebuah kebenaran maka semua itu berasal dari Allah SWT dan jika salah maka semua itu adalah akibat dari keterbatasan ilmu penulis.


Pasal ke-empat

Mazhab kedua yang mempersamakan antara hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan hukum-hukum

  1. Imam Muslim rahimahullahu dalam kata pengantar buku sohihnya berkata : 2

(….Ulama diwajibkan untuk mengungkapkan aib para perawi hadits dan akhbar serta memberi fatwa dengan hal itu ketika ditanya, karena hal ini sangat penting.)

Hadits dalam agama berbentuk penghalalan sesuatu, pengharaman, perintah, larangan, anjuran dan ancaman. Jika rawi yang meriwayatkannya bukanlah seorang yang jujur dan amanah kemudian meriwayatkan dari orang yang telah diketahuinya tanpa menjelaskan segi kelemahan dan kekurangannya maka dia berdosa, atas kebohongannya kepada masyarakat muslim. Walaupun tidak dipercaya oleh sebagian orang yang mendengar hadits tersebut untuk diamalkan seluruhnya atau sebagian. Dan memang kebanyakan para pendusta tidak mempunyai dasar hukum….)

2. Ibnu Rojab Al Hanbali dalam buku (Syarhu ilal al Thurmuzi ) berkata :1

Jelas dari apa yang dikatakan oleh Muslim dalam kata pengantar bukunya untuk tidak meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan kecuali dari perawi yang meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum. Karena beliau telah mencela para perawi yang lemah dan munkar dalam kata pengantar bukunya ( Shohih Muslim).

3. Syamsuddin Al Sakhowi dalam buku Fathul Mughits berkata :1

Ibnu Al arobi Al Maliki benar-benar melarang pengamalan hadits dho’if

4. Syeikh Jamaluddin Al Qosimi dalam buku Qowa’id Al Tahdits berkata :2

Jelas bahwa mazhab Bukhori dan Muslim termasuk mazhab kedua . Sebagaimana yang disyaratkan Bukhori dalam hadits-hadits yang terdapat di buku Sohih. Juga Imam Muslim yang mencela para perawi yang lemah, sebagaimana telah kami sebutkan . Bahkan mereka berdua sama sekali tidak meriwayatkan hadits para perawi yang lemah.

5. Ibnu Sayyid Al Nas buku Uyun Al Atsar berkata : 3

Kebanyakan hadits yang diriwayatkan dari Al Kalbi tentang riwayat keturunan dan kondisi manusia, masa kejayaan bangsa Arab, sejarah dan yang berkaitan dengan itu semua yang mayoritas diriwayatkan dari perawi yang tidak meriwayatkan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.

Diantara para perawi ini, adalah : Imam Ahmad . Diantara ppara perawi yang menyamakan antara hadits hukum dengan hal-hal diatas, adalah : Yahya bin Mu’in. Masalah ini membutuhkan suatu kajian tersendiri yang tidak dapat disebutkan disini.

6. Al Qosimi berkata4:

Termasuk dalam mazhab ini Ibnu Hazm rahimahullahu , sebagaimana yang beliau katakan dalam buku Al Milal wa Al Nihal: apa yang dikutip oleh ilmuwan dari timur maupun barat, suatu kaum dari kaum lain, seorang yang terpercaya dari seorang terpercaya lain sehingga silsilah periwayatan tersebut sampai kepada Nabi SAW….dalam periwayatan hadits tersebut pasti ada seorang perawi pendusta, pelupa ataupun tidak diketahu kondisinya. Inilah yang dikatakan oleh sebagian muslim. Maka dalam kondisi seperti ini kita dilarang untuk mempercayai hadits ini apalagi mengamalkannya.

7. Al Syathibi dalam buku Al I’tishom berkata :2



Setiap sesuatu yang disukai jika telah ditetapkan hukumnya dan martabatnya dalam syari’at dengan dalil yang syar’I, maka hadits tersebut jika diriwayatkan dengan dalil yang tidak syar’I dapat dimaklumkan.

Kalau hal tersebut belum ditetapkan selain dengan hadits yang berkaitan dengan anjuran maka disyaratkan kebenarannya. Jika tidak maka tidak termasuk golongan fanatisme diantara para ulama ahli

8. Imam Al Syaukani berkata : 3

Kebanyakan ulama telah membolehkan pengamalan hadits dho’if dalam semua hal, sebagian yang lain hanya melarang pengamalan hadits yang tidak dapat dijadikan landasan hukum. Mazhab kedua inilah yang benar, karena hukum-hukum syar’I semuanya sama, diharamkan penisbatan sesuatu non syar’I kepada syar’I, yang seperti ini berarti telah mengatakan kebohongan atas Allah SWT.

9. Abu Syamah seorang ulama terkenal dalam buku ( al ba’its ala inkar al bid’I wa al hawadits ) berkata :1

Al Hafiz2tidak termasuk mazhab yang kedua, karena beliau membuat sebuah ketetapan yang didalamnya disebutkan hadits-hadits munkar, namun kedudukannya masih lebih mulia dari pada mengatakan sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW namun dianggap sebagai kebohongan.

Namun kebiasaan ahli hadits malah bersikap permisif dalam meriwayatkan hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah. Menurut para peneliti hadits dan ulama ushul hal ini adalah suatu kesalahan, yang harus dijelaskan segi kelemahan didalamnya jika hal tersebut diketahui, jika tidak maka si perawi akan mendapatkan apa yang diperingatkan Rasulullah SAW dalam sabdanya yang berbunya,” siapa yang mengatakan suatu hadits yang terlihat sebagai hadits palsu, sungguh dia telah termasuk salah seorang pendusta.”

10. Ahmad Muhammad Bin Syakir, ulam aterkenal dalam buku (Syarhi Alfiyah Al Suyuthi) berkata :1

menurut saya menerangkan segi kelemahan hadits dho’if adalah suatu kewajiban mutlak agar orang yang mempelajari hadits tidak menganggapnya sebagai hadits sohih.khusunya jika hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang rawi yang dipercaya perkataannya. bahwasanya tidak ada perbedaan antara hadits – hadits yang berkaitan dengan hukum, keutamaan ibadah dan sebagainya dalam larangan periwayatan,baik dari perawi yang lemah. Bahkan tidak seorang pun dibolehkan untuk menjadikan sesuatu landasan hukum kecuali dengan hadits yang sohih dan hasan dari Rasulullah SAW.

11. Ustadz Muhammad Muhyi al Din Abdul Hamid pada komentarnya dalam buku (taudih al afkar) berkata :2

Bagaimana mungkin mereka dapat membolehkan sesuatu yang berkaitan dengan nasehat dan sebaginya dengan berdasarkan hadits dho’if menurut istilah para ahli hadits kontemporer.1keutamaan ibadah tidak terlepas dri hukum yang paling mudah yaitu : pembolehan. Maka tidak ada bedanya antara hukum yang satu dengan yang lain selama pengertian dari hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid berdasarkan kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Jelas dari pembahasan ini sesuai dengan pendapat mujtahid.

12. Al Albani seoang ulama terkenal dalam kata pengantar buku (Sohih Al Jami’) berkata :2

Pernyataan beliau secara global, kami menasihati saudara kami sesama muslim baik dibagian timur bumi maupun barat, untuk menganjurkan pengamalan hadits dho’if secara mutlak, memfouskan semangat mereka untuk mengamalkan apa yang telah ditetapkan dari Rasulullah SAW yaitu yang terlepas dari hadits-hadits dho’if. Dalam hal ini merupakan cara untuk menghindari kebohongan atas Rasulullah SAW. Karena berdasarkan pengalaman telah kita ketahui bahwa golongan yang mengingkari ini semua, telah melakukan kebohongan atas Rasulullah SAW, karena mereka mengamalkan semua hadits yang mereka dengar dan mereka ketahui. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw ,” Cukuplah seseorang itu dikatakan pendusta jka mengatakan semua hal yang di dengar.3 Diriwayatkan Muslim dalam pendahuluan buku sohihnya. Berdasarkan ini penulis berkata : cukuplah seseorang dikatakan sesat jika mengamalkan semua yang dia dengar.


Yüklə 421,87 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin