Perlu diketahui bahwa ulama dalam hukum mengamalkan hadits dho’if pada keutamaan ibadah ada dua mazhab 1:
Pertama : Boleh dengan syarat –syarat yang berbeda menurut pendapatulama yang dikumpulkan oleh Syeikh Islam Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolany rahimahullahu. Akan disebutkan secara rinci.
Kedua : Tidak boleh , karena adanya kesamaan keutamaan ibadah dengan hukum-hukum dalam pengamalan hadits dho’if
Mazhab yang pertama, dikatakan oleh segolongan ulama yang dipimpin oleh Syeikh Muhyiddin An Nawawi rahimahullahu. Yang telah menyatakan kesepakatan ulama akan bolehna hal ini di dalam buku yang tidak dia tulis sendiri. Bahkan memubahkan mengamalkan hadits dho'if dalam keutamaan ibadah dan yang serupa dengannya. Tetapi beliau tidak menambahkan syarat lain yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits dho'if kecuali khusus dalam keutamaan ibadah 1. Kemudian ditambahkan oleh Al Hafiz Al Alâi agar hadits yang diamalkan jangan terlalu lemah , beliau menyatakan kesepakatan ulama dalam hal ini. Ibnu Daqiq Al Iid menyebutkan dua syarat lain yaitu : pertama, hadits dho'if itu harus benar -benar ada berdasarkan sumber yang asli artinya bukan merupakan hadits rekayasa seseorang. Kedua tidak menganggap sebagai penetapan hadits dho'if tersebut ketika mengamalkannya, akan tetapi dimaksudkan untuk berhati-hati .
Syarat tersebut telah dikumpulkan oleh : Al Hafiz Ibnu Hajar , sebagaimana disampaikan oleh murid beliau Syamsudin al Sakhowy di buku ( Al Qoul Al Badi’ Fî Al Sholat Alal Habib Al Syafi’ ) halaman 255.
Kemudian diikuti oleh An Nawawi rahimahullahu, begitu juga para ulama lain seperti Al Suyuthi, Al Haitamy, Ibnu Urrôk dan masih banyak lagi. An Nawawi rahimahullahu adalah ulama pertama1 memperkenalkan masalah ini dengan bentuk seperti ini. Orang yang melihat pendapat para ulama yang sebelum An Nawawi rahimahullahu tidak akan menemukan ulama yang mengatakan bolehnya bahkan mubahnya masalah ini. Akan tetapi yang ada hanyalah terlalu memudahkan dalam “isnad” rantaian perawi hadits-hadits dan ekstensi hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah, pahala dan hukuman, nasehat, kelembutan, sejarah, kisah - kisah dan yang serupa dengannya. Abu Umar Bin Al Solah rahimahullahu sebagaimana disebutkan dalam buku (ulumul hadits) mazhab ulama dalam hal ini hanya mengkhususkan pada masalah terlalu memudahkan dalam rantaian perawi hadits-hadits dan ekstensi hadits itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan. Ketika Imam An Nawawi rahimahullahu meringkas kitab Ibnu Solah (Al Irsyad) dan ( At Taqrîb) menambahkan masalah hukum mengamalkan hadits dho'if menurut pemahaman dan keyakinannya………………
Akan saya paparkan untuk pembaca secara rinci apa – apa yang saya globalkan disini. Akan disebutkan apa yang ada antara pendapat-pendapat ulama salaf dengan tarekatnya dan antara pendapat Imam Nawawi dengan pengikutnya berupa perbedaan- perbedaan.
Terlalu memudahkan masalah isnad , tidak berarti mengamalkan ekstensi yang ada dalam isnad tersebut. Akan tetapi mengandung makna selain yang dikenal atau masyhur dari kaidah ini.1 Akan saya paparkan usaha sebagian para hufadz dan pemimpin mereka 2 dalam mencari isnad hadits yang berkaitan degan keutamaan ibadah, sampai jelas dalilnya . ini adalah sebagian contoh yang menyatakan bahwa kaidah3 ini belum ditolak oleh mereka hanya tidak boleh diceritakan kecuali oleh orang yang meriwayatkannya. Sedangkan seluruh ulama salaf membolehkan apabila perbuatan mereka menunjukan sikap mazhab tertentu secara jelas. Jika tidak maka tidak boleh. Bertentangan dengan apa yang dinukil berupa kesepakatan atau ijma’ dalam hal ini. Bagaimana bisa sedangkan yang mereka nukil adalah masalah terlalu dimudahkannya masalah isnad yang berkaitan dengan keutamaan ibadah yang jumlahnya bisa dihitung jari. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam arti ‘terlalu memudahkan isnad’ sebagaimana akan dijelaskan.
Mazhab kedua , diceritakan4 oleh sebagian ulama salaf seperti Yahya Bin Mu’in
Dapat dipahami dari perkataan sebagian mereka seperti Imam Muslim Bin Al Hujaj di pendahuluan shohihnya , di tampakan 5 dari Abi Abdullah Al Bukhori kemudian diikuti oleh segolongan ulama yang sedikit terlambat dari mereka dan diikuti mayoritas ulama kontemporer. Mereka mengatakan hal ini dengan dalil-dalil yang tidak cukup untuk ditulis dalam pendahuluan ini. Namun akan dibahas pada pasal selanjutnya. Ini adalah mazhab yang benar menurut pendapatku ( penyusun).
Akan saya paparkan bagi orang yang berkecimpung dalam masalah ini dalil-dalil sebagian ulama yang memerintahkan untuk beragama sebagaimana yang telah ditetapkan pada hadits Rasulullah SAW yang tidak lemah, anjuran untuk menghafal hadits dan menerimanya dari perawi –perawi yang dapat dipercaya serta menjaga sunah dan menyebarkannya dengan membedakan yang shohih dari yang bathil dan yang baik dari yang buruk.
Pendahuluan
Anjuran untuk mengikuti hadits-hadits yang shohih , menghindari meriwayatkan hadits dari perawi yang lemah dan anjuran untuk menjaga sunah serta menyebarkannya.
-
Abu Bakar Al Khotib dalam bukuya ( Al Kifayah Fii Ilmi Riwayah)mengatakan :1
Bab dalam memilih pendengar hadits yang dapat dipercaya
Dan dibencinya meriwayatkan dari perawi yang lemah
Diterangkan dalam isnadnya diceritakan oleh Thowus Bin Kaisân
-
Disandarkan kepada Al Syafi’I rahimahullah yang berkata: paman saya Muhammad Bin Ali Bin Syafi’ berkata : dia memuji hisyam bin urwah dari ayahnya Urwah Bin Zubair yang mengatakan ,” Sesungguhnya jika saya mendengar hadits yang saya anggap baik, maka tidak suatu apapun yang mencegah saya untuk menyebutkannya kecuali saya takut akan didengar seseorang kemudian mengikuti hadits tersebut, yang demikian apabila aku mendengarnya dari orang yang tidak kupercaya. Kadang aku mendengar hadits dari perawi yang kupercaya, sedangkan bila kumendengarnya dari perawi yang tidak kupercaya maka aku tidak berbicara tentang hadits tersebut.”
Syafi’I berkata :
Ibnu Sirin, Ibrohin Al Nakh’i dan banyak ulama dari thabi’in tidak menerima hadits kecuali dari perawi yang dikenalnya dan menghafal hadits. Tidak pernah kulihat salah seorang dari ulama mengatakan hal yang bertentangan dengan mazhab ini. Thowus jika mendengar seseorang menyebutkan hadits beliau berkata,” jika hadits ini dari perawi yang hafiz dan mali’1, maka riwayatkanlah jika tidak maka jangan menyebutkan hadits ini.”
-
Khotib menyandarkan kepada Ya’qub Bin Sufyan, berkata : dia memuji Abu Bakir yang berkata : Ibnu Wahab berkata kepadaku : Malik berkata kepadaku, yaitu Ibnu Abbas,” saya datang kepada a’isyah binti Sa’ad bin Abi Waqosh, maka saya bertanya kepadanya tentang beberapa hadits , tetapi hati ini tidak ridho untuk meriwayatkan hadits darinya karena dia perawi yang lemah.”
Malik berkata : aku mengenal banyak perawi diantara mereka hidup pada masa shahabat, tetapi aku tidak bertanya mengenai sesuatu apapun kepada mereka . seakan Malik menganggap lemah para perawi tersebut.
-
Dalam sebuah hadits yang disandarkan kepada ya’kub bin Sufyan juga, beliau berkata : saya mendengar Aba Basyir Bakar Bin Kholaf berkata : Abdurrahan Bin Al Mahdi berkata : Tidak layak bagi seseorang menyibukan diri menulis hadits dari perawi yang lemah, maka paling sedikit dari apa yang ditulisnya dia akan kehilangan sejumlah apa yang dia tulis dari hadits-hadits dho'if, dia akan kehilangan hadits dari perawi yang dapat dipercaya.1
-
Celaan Imam Muslim kepada para perawi hadits-hadits dho'if dan munkar yang menyebarkannya kepada masyarakat awam . serta mewajibkan periwayatan dari perawi yang dikenal dengan kebenaran sumbernya
4.Imam Muslim rahimahullahu dalam pendahuluan shohihnya mengatakan 2,’ Sesungguhnya Allah SWT mengasihi kamu dengan penciptaanmu. Aku ingat bahwa kamu ingin meneliti sejumlah hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sunah-sunah agama dan hukum-hukumnya dan yang berkaitan dengannya berupa pahala, hukuman, anjuran, larangan dan sebagainya..kemudian beliau berkata3, “ Apabila hal ini seperti yang telah kami sebutkan, maka tujuan mencapai kebenaran yang sedikit lebih utama dari bertambahnya kerusakan. Sebagian orang yang memenfaatkan keadaan ini memperbanyak hadits-hadits dho'if dan mengumpulkan pengulangan- pengulangan dalam hadits demi kepentingan suatu golongan dari orang-orang yang dikaruniai Allah SWT sedikit kepandaian dan pengetahuan dengan berbagai sebab dan alasannya.
Kemudian menyebutkan sistem yang dijalaninya dalam menyusun shohihnya , dan mengatakannya kepada sebagian perawi hadits yang jujur dan dapat dipercaya, kepada orang-orang yang dituduh sebagai pemalsu hadits dan membuat-buat hadits begitu juga kepada orang yang mayoritas hadits-haditsnya munkar dan salah. Beliau berkata :Semoga Allah SWT mengasihimu, kalau bukan karena kita melihat banyaknya pemalsu yang mengklaim dirinya sebagai ahli hadits kemudian melontarkan hadits-hadits dho'if , riwayat yang munkar dengan meninggalkan hadits-hadits shohih terkenal yang diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya dan dikenal dengan kejujuran serta sifat amanahnya. Setelah mengetahui tentang mereka dan mendengar pengakuan dari mulut mereka.Kebanyakan orang yang menyebarkan hadits dho'if adalah al aghbiya’1 dari golongan manusia, mereka pengingkar dan berasal dari golongan yang tidak disenangi. Diantara yang mencela hadits riwayat mereka adalah ulama ahli hadits, seperti : Malik Bin Abbas, Syu’bah Bin Al Hujaj, Sufyan Bin Uyaynah, Yahya Bin Sa’id Al Quthôn, Abdurrahman Bin Mahdi dan seterusnya. Mudah bagi kami untuk menjawab persoalan ini berupa perbedaan dan hasil, tetapi agar kami bisa memberitahumu tentang golongan yang menyebarkan hadits-hadits yang munkar dengan perawinya yang lemah dan tidak dikenal kemudian mereka menyebarkan hadits-hadits tersebut kepada orang awam yang tidak mengetahui aib mereka .maka mudah bagi kami menjawab pertanyaanmu.
Ketahuilah , semoga Allah SWTmemberimu taufik bahwa setiap orang harus bisa membedakan antara riwayat hadits yang shohih dari yang dho’if, antara perawi yang kuat dan dapat dipercaya dari yang suka membuat hadits-hadits dho'if. Supaya mereka tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang diketahui kebenaran sumber haditsnya dan Al Sitâroh1 dari orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya. Serta berhati-hati dari mereka apabila mereka termasuk golongan yang senang memalsukan hadits dan orang –orang yang sesat dari ahli bid’ah.
Dalil yang menyatakan wajibnya hal yang kami paparkan tadi tanpa boleh menentangnya , firman Allah SWT,”Hai orang-orang yang beriman apabila datang kepadamu oran fasik yang membawa suatu kabar, maka carilah kejelasannya supaya kamu sekalian tidak dibodohi, maka menyesali perbuatan kamu.” Allah SWT berfirman,” Diantara saksi-saksi yang kalian sukai.” Allah SWT berfirman,” Dan datangkanlah dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Ayat-ayat Al Quran yang kami sebutkan diatas menunjukan bahwa kabar yang dibawa orang fasik tidak dapat diterima dan kesaksian dari saksi yang tidak adil ditolak.
Kabar walaupun berbeda arti dengan kesaksian dalam beberapa segi, tetapi mempunyai banyak kesamaan dari segi yang lain. Kabar yang dibawa orang fasik ditolak menurut ulama sebagaimana ditolaknya kesaksian mereka. Dengan ini sunah menunjukan penolakan riwayat yang munkar dalam kabar (hadits) seperti Al Quran menolak kabar yang dibawa oleh orang fasik. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW yang terkenal , “ Barang siapa yang menisbatkan kepadaku sebuah hadits yang palsu, maka dia termasuk golongan pendusta.”
-
Pernyataan Abi Hatim Bin Hibban Al Busty rahimahullah dalam pengantar tentang para rowi yang lemah
5.Beliau mengatakan 1: ( Mencegah secara keras kebohongan terhadap Rasulullah SAW)
Beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada abdullah bin amru bin ash , beliau mengatakan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ,” sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat dan katakanlah apa yang berasal dari bani isra’il, dan kamu tidak berdosa, akan tetapi barang siapa yang sengaja berbohong atasku maka siapkanlah tempat duduknya dari api neraka.”2
Abu Hatim mengatakan dalam perintah Rasulullah SAW kepada umatnya untuk menyampaikan hadits kepada generasi setelah mereka dengan menyebutkan balasan neraka bagi pendusta hadits menunjukan bahwa Rasulullah SAW menetapkan penyampaian ini haruslah apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW, yang merupakan sunah pekerjaan nabi ataupun sunah taqriry artinya yang Rasulullah SAW tidak mengatakan sesuatu ketika melihat suatu perbuatan. Namun tidak semua orang termasuk dalam perkatan nabi SAW,” Allah SWT memudahkan seseorang” yaitu seluruh ahli hadits. Akan tetapi yang termasuk dalam arti literal hadits ini hanyalah orang yang mengamalkan hadits shohih saja tanpa hadits yang lemah.
Saya takut orang yang meriwayatkan apa yang dia dengar berupa hadits yang shohih dan lemah termasuk golongan yang pendusta atas Rasulullah SAW jika dia mengetahui apa yang dia riwayatkan.
Membedakan antara rawi yang adil, yang lemah dan yang harus ditinggalkan berdasarkan hukum yang yang jelas dari Allah SWT.
6.Beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada samroh bin jundub RA yang mengatakan , Rasulullah SAW bersabda :“ Barang siapa yang mengatakan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta, sunguh dia salah satu pendusta”1
Kemudian beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada Mughiroh Bin Syu’bah RA, Rasulullah SAW bersabda,” Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta, sunguh dia salah satu pendusta”2
Kemudian beliau berkata : dalam hadits ini menunjukan kebenaran atas apa yang telah kami sebutkan, bahwa seorang ahli hadits jika meriwayatkan sesuatu yang bukan dari Rasulullah SAW dan dia mengetahui hal tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Karena makna eksternal hadits diatas lebih menguatkan. Karena itu Rasulullah SAW bersabda,” Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta.” Disini Rasulullah SAW tidak mengatakan ,”..dan diyakini bahwa dia seorang pendusta…”
Setiap orang yang ragu dengan apa yang diriwayatkannya pakah hadits yang shohih atau lemah, dia termasuk dalam makna hadits ini. Walaupun dia belum mempelajari sejarah nama-nama rawi yang dapat dipercaya dan rawi-rawi yang lemah dan para perawi yang dibolehkan berdalil dengan hadits-hadits mereka dan yang tidak, kecualiuntuk hadits ini.
Wajib bagi setiap orang yang mengikuti sunah agar tidak menyepelekan sejarah, agar tidak termasuk dalam pendusta atas Rasulullah SAW. Minimal mengetahui aturan menetapkan hadits-hadits tertentu. Sehingga menjadi dalil baginya atas ulama: bahwa ini khobar wahid (hadits yang diriwayatkan oleh kurang dari 3 orang pada setiap masa) dari rawi yang dapat dipercaya dalam agamanya, yang dikenal jujur dalam ucapannya, masuk akal dengan perkataannya, sangat mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat hadits, terbebas dari kebohongan ketika mendengar apa yang dia riwayatkan dari satu orang perawi yang serupa dengan keadaannya, ilmunya dan sifat-sifatnya sehingga periwayatan hadits ini sampai kepada Rasulullah SAW dengan cara mendengar langsung dari perawi sebelumnya.
7.Beliau menyandarkan periwayatan hadits ke-empat kepada Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda,”Seseorang itu akan berdosa jika mengatakan semua yang dia dengar”1
Abu Hatim menatakan, hadits ini merupakan peringatan untuk orang yang selalu mengatakan apa yang dia dengar, sampai mereka mengetahui benar keshohihan hadits dengan mengesampingkan yang tidak shohih, sebagaiman yang telah kami sebutkan tadi.
Kemudian beliau menyebutkan perintah untuk mengeritik rawi yang lemah, beliau berkata :1
8.Tidak ada satu zamanpun yang lebih mewajibkan mempelajari ilmu ini dari zaman kita. Terutama dengan meninggalnya ulama yang ahli dalam bidang ini dan sedikitnya pelajar yang mempelajari ilmu ini1, karena mereka sibuk mempelajari ilmu yang ada pada zaman ini. Maka mereka terbagi menjadi dua kelompok : yang pertama pelajar yang mencari hadits ke negri-negri lain mayoritas tekad mereka adalah untuk menulis hadits, mengumpulkannya tanpa menghafalkannya dan mempunyai ilmu ini serta membedakan yang shohih dari yang lemah . mazhab yang kedua ahli fikih yang menyibukan diri untuk menghafal pendapat-pendapat dan perbedaan pendapat antar ulama, lupa untuk sunah dan makna-makna yang terkandung didalamnya, cara menerima hadits, membedakan yang shohih dan yang lemah dari hadits serta meninggalkan seluruh sunah dibelakang punggung mereka.
Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa ilmu akan berkurang pada akhir zaman, menurut saya semua ilmu akan berambah pada akhir zaman kecuali ilmu ini (ilmu hadits) karena ilmu ini berkurang setiap hari. Seakan akan ilmu yang dikabarkan Rasulullah SAW kepada umatnya akan berkurang pada akhir zaman adalah ilmu yang berkaitan dengan sunah-sunah yang mana ilmu ini hanya bisa dikuasai dengan mengetahui yang lemah dan harus ditinggalkan dari para perawi.
Abi Hatim mengatakan setelahnya :2
9.Barang siapa yang tidak menjaga sunah Rasulullah SAW. Membedakan yang shohih dari yang lemah, tidak mengetahui yang rawi yang kuat diantara para ahli hadits, tidak mengetahui yang lemah dan yang harus ditinggalkan diantara para ahli hadits, tidak mengetahui rawi yang wajib diterima hadits yang diriwayatkan sendirian, dari mereka yang tidak wajib diterima penambahan lafadznya dalam hadits yang diriwayatkannya, tidak ahli dalam mengetahui makna-makna yang terkandung dalam lafadz hadits dan menyatukan hadits-hadits yang berlawanan secara literal, tidak bisa menjelaskan yang global dari hadits, tidak bisa menyimpulkan yang rinci dari hadits, tidak mengetahui naskh dan mansukh (hadits yang sudah diangkat hukumnya dan hadits yang menggantikan hukum hadits tersebut) , tidak mengetahui lafadz khusus yang dimaksud secara umum dan lafadz umum yang dimaksud secara khusus, tidak mengetahui perintah yang mengandung makna wajib dan fardhu dan perintah yang mengandung makna keutamaan dan anjuran , tidak mengetahui larangan yang pasti serta tidak boleh dikerjakan dari larangan yang bermakna boleh dikerjakan dalam semua fase sunah dan berbagai macam hadits yang kami sebutkan pada buku ( fusuul al sunan ) : bagaimana bisa1 diizinkan baginya memberi fatwa atau bagaimana membolehkan dirinya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dengan hanya mengikut-ngikuti mereka ( yang tidak menghafal sunah dan semua yang berkaitan dengannya) yang kadang benar dan salah dalam fatwa dengan menolak apa yang berasal dari orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya dalam berbicara, dan hanya berbicara berdasarkan wahyu saja yaitu Rasulullah SAW…..
10. Abu Hatim mengatakan, 1
“Kita tidak boleh berdalil dengan hadits yang tidak sah dari segi periwayatan pada suatu hal dalam buku kita karena, kalau seandainya terbukti benar maka “Alhamdulilah!”, dan kita tidak perlu berdalil dalam agama dengan sesuatu yang tidak valid.2 Kalau tidak ada isnad dan hadits yang ada belum diteliti, akan menyebabkan penyelewengan agama pada ummat ini sebagai mana yang terjadi pada ummat lain.
11. Abu Hatim mengakhiri dalilnya dengan mengatakan,3
“Garda ilmu ini adalah mereka yang menjaga agama orang muslim, memberi mereka petunjuk kepada jalan yang lurus, meninggalkan jejak-jejak kemenangan dan mengikuti mereka untuk bepergian ke berbagai negeri guna mencari hadits, mengumpulkannya dengan kewaspadaan dan mengelilingi dunia sehingga ada salah seorang diantara mereka bepergian dalam mencari hadits ini dengan menempuh jaraj yang sangat jauh. Dan memakan waktu yang banyak dalam mencari satu kalimat agar orang-orang yang sesat tidak dapat menyusupkan suatu kesesatan di dalam sunnah. Adaikata ada yang melakukan ini, maka para Satria ilmu inilah yang akan mencegah kebohongan tersebut. Merekan inilah yang menegakkan agama Allah SWT.
Abu Hatim mengakhiri kata pengantarnya dengan perkataan Abu Bakr Al Khotib pada kata pengantar buku Al Kifayah Fi ilmi Ar Riwayah.1
12. Ulama pada jaman kita telah mencurahkan usahanya dalam menulis hadits dan mengumpulkannya tanpa memakai system yang dijalankan oleh salaf, dan mereka melihat dengan sudut pandang ulama salaf pada keadaan perawi dan hadits, membedakan cara yang jelek dari yang baik, menyimpulkan apa yang ada di sunnah berupa hukum-hukum dan menambahkan di dalamnya ilmu fiqih yang berkaitan dengan halal dan haram. Bahkan mereka rela untuk tidak meneyebut nama mereka dalam menulisan hadits dan buku. Mereka inilah golongan yang telah melakukan banyak perjalanan, menanggung kesulitan yang berat, bepergian ke negeri-negeri yang jauh, di lain sisi mereka tidak terlalu mendapat kesulitan bekal dan merasa letih. Perjalanan itu menepuh jalur laut dan darat, mengorbankan jiwa dan harta, penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan mencemaskan, sampai tidak pernah melakukan perawatan pada rambut, wajah yang pucat, kelaparan, sakit pada tubuh, menghabiskan waktu dalam perjalanan di berbagai negeri guna mencari sumber perawi hadits yang pertama. Mereka tidak menginginkan hal lain dan juga tidak mencarinya, Mereka menolak perawi yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya, juga tidak menerima hadits yang tidak jelas kebenarannya, tidak yakin bila tidak mendengarnya dengan jelas, tidak berpedoman kepada perawi yang mempunyai bacaan al qur’an yang tidak bagus. Juga kepada para prawi yang tidak qualified, orang-orang yang tidak bisa membedakan antara perawi yang mendengar langsung atau yang hanya mendapat izin ( Izajah ) untuk periwayatan, yang tidak bisa membedakan antara yang musnad dan mursal, yang bersumber pada orang-orang fasiq yang juga dicela dalam lingkungan mazhabnya, dan dari orang yang suka membuat isu-isu (bid’ah) dalam agama serta yang mengalami kerusakan pada pemahaman aqidahnya, yang mengira bahwa apa yang mereka lakukan dibilehkan dan meriwayatkan dari mereka adalah wajib.
Apabila riwayat itu didengar dengan baik dan isnadnya mencapai perawi paling pertama, maka riwayat itu bisa dibuat sebagai landasan hukum, inilah sebuah gambaran realitas pada zaman ulama salaf. Banyak para ahli bid’ah yang mencela para ulama salaf sampai mencela hadits dan alhi hadits yang memberikan fatwa dalam agama. Bahkan mereka, dengan kesombongannya, mengaku sebagai salah seorang imam Mujtahid. Ketika mereka berpaling dari hadits ke pendapat yang rusak. Memberikan hukum pada agama dengan pendapatnya yang menyimpang. Ini benar-benar sesuatu yang konyol dan jauh dari nilai-nilai agama.1 Bergabung dengan kaum yang suka berbuat sewenang-wenang, membantu kaum tersebut jika ada kesulitan. Mereka merasa lelah dalam menghafal hadits, mencampur adukan isan tanpa melakukan verivikasi, menjauhi dalil yang sudah independent, mengikuti apa yang tidak mereka ketahui, mereka lebih suka bersenang-senang dan istirahat. Bahkan mengajar di majlis-majlis padahal mereka tidak berilmu serta mencela ilmu yang tidak mereka kuasai.
Mereka mengambil hadits dari buku-buku yang dijual, hanya mengeluarkan biaya untuka mengumpulkan buku-buku itu, tanpa langsung mendengar hadits dari para perawi, tidak mengetahui tentang semua yang berhubungan dengan perawi , apbila mereka menghafal salah satu hadits maka mereka mencampur adukan yang buruk dengan yang baik dan yang benar-benar sohih dengan yang lemah.
Jika ditanyakan kepada mereka tentang isnad atau dalil dari suatu hadits mereka bingung , mengusap jenggotnya yang semua itu menunjukan kebodohan mereka dalam hal ini. Seperti keledai dalam kandangnya, apabila mereka bertemu ahli hadits yang mana ilmu ini tidak mereka kuasai mereka mencela para ahli hadits ini bahkan terus melecehkan mereka.1
Inilah saat terjadinya penetapan hukum yang dimaksud. Saya awali dengan memaparkan perkataan para ulama yang terlalu memudahkan dalam isnad hadits dho’if pada keutamaan ibadah dan terlalu sangat berhati-hati dalam isnad hadits yang berhubungan dengan hukum-hukum, agar kita bisa memikirkan ini semua, mengkaji apa yang mereka katakan dan apakah yang mereka katakan ini benar-benar sesuai dengan yang dikatakan ulama salaf dalam masalah ( mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah) atau mereka hanya sekedar berkata tanpa tahu hakikatnya?.
Ya Allah SWT mudahkanlah dan tolonglah kami wahai yang Maha Mulia.
Pasal ke-satu
Menyebutkan dalil-dalil ulama yang merupakan dalil kaidah
1.Abu Bakar Al Khotib dalam buku (Al Kifayah) mengatakan :1
Bab yang tentang wajibnya berhati-hati dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan denganhukum-hukum dan bolehnya memudahkan isnad dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah
Mayoritas ulama salaf menyatakan larangan meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum halal haram kecuali dari rawi yang terbebas dari tuduhan fasik, dan jauh dari hawa nafsunya.
Sedangkan hadits yang berkaitan dengan anjuran, nasehat dan sebagainya boleh diriwayatkan dari seluruh ulama manapun.
-
Abu Sa’id Al Almani mengabarkan, Abdullah Bin Addi 2 mengatakan, Ishaq Bin Ibrohim Bin Isma’il Al Ghozzi berkata kepada kami, ayahku berkata kepadaku, Rowad Bin Jaroh berkata kepadaku , saya mendengar Sufyan Al Tsauri berkata :
“ Jangan mengambil hadits ini dalam hukum halal dan haram kecuali dari pembesar perawi yang terkenal dengan kedalaman ilmunya, mengetahui yang berupa tambahan dan kekurangan dalam hadits dan boleh dari selain mereka apabila termasuk masyaikh (ulama yang sangat menguasai ilmu agama dengan benar)
-
Abu Bakar Al Barqôi berkata kepada kami, Muhammad Bin Hasan Al Saruri berkata, Abdurrahman Bin Hatim berkata, ayahku berkata kepadaku dan Ali Bin Hasan Al Hanjasânî mereka berdua berkata, kami mendengar Yahya Bin Al Mughiroh berkata, saya mendengar Ibnu Uyaynah berkata :
“Janganlah kamu sekalian mendengar hadits dari selain pembesar ulama, namun kamu boleh mendengar dari mereka tentang hadits yang berkaitan dengan pahala dan hukuman.’
-
Muhammad Bin Al Qottônal Naisabury berkata, Muhammad Bin Abdullah Bin Muhammad Al Hafiz berkata, saya mendengar Aba Zakariya Yahya Bin Muhammad Al anbary berkata, saya mendengar Aba Al Abbas Ahmad Bin Muhammad Al Sajzi berkata, saya mendengar Al Nuflî berkata ( yaitu Aba Abdullah ), saya mendengar Ahmad Bin Hanbal berkata :
“ Jika kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW yang berkaitan dengan halal, haram, sunah-sunah dan hukum-hukum maka kami sangat berhati-hati dalam isnad. Jika kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan hadits yang tidak menyebabkan penetapan hukum maupun hilangnya hukum maka tidak terlalu mempersulit hal ikhwal isnad.”
-
Abdul Aziz Bin Ja’far berkata kepada saya, Abu Bakar Ahmad Bin Muhammad Bin Harun Al Khilal berkata, Al Maimunî berkata kepada saya, saya mendengar Aba Abdillah berkata :
“ Kita mungkin mempermudah hal isnad dalam hadits hadits yang berkaitan dengan akhlak sampai ada sesuatu didalamnya yang berhubungan dengan penetapan hukum”
-
Muhammad Bin Ahmad Bin Ya’kub berkata, Muhammad Bin Nu’aim berkata, saya mendengar Aba Zakariya Al Anbary berkata,” Suatu hadits jika tidak mengharamkan yang halal, tidak menghalalkan yang haram, tidak menetapkan suatu hukum dan hadits ini seputar anjuran, larangan, kesulitan dalam amal dan kemudahan didalamnya maka harus kita ikuti dan tidak terlalu menyulitkan dalam isnad.”
-
Abu Abdullah Al Hakim Al Naisabury , penulis buku Al Mustadrok dalam buku (Al Madkhol Ilâ Kitâbi Al Iklil) berkata :1
-
Saya mendengar Aba Zakariya Al Anbary berkata, Muhammad Bin Ishak Bin Ibrohim Al Hantoli berkata, ayah saya 2 menceritakan kepada saya tentang Abdurrahman Bin Mahdi yang berkata :
“Jika kami meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan pahala, hukuman, keutamaan ibadah maka kami mempermudah dalam isnad, kami maklumkan perawinya. Jika kami meriwayatkan yang berkaitan dengan halal, haram dan hukum-hukum kami persulit dalam hal isnad dan kami keritik para perawinya.”
-
Al Baihaqy dalam kitab Al Madkhol Al Shogir 3 yang merupakan pengantar ke buku Dalâil Al Nubuwah4
Menyebutkan tentang hadits al madhrub , martabat dan kekuatannya :
-
Hadits al madhrub adalah hadits yang perawinya tidak dituduh memalsukan hadits, hanya saja dikenal sebagai rawi yang hafalannya buruk, banyak salah dalam apa yang diriwayatkannya atau rawinya tidak dikenal dan tidak memenuhi kriteria rawi yang boleh diterima riwayat haditsnya.
-
Hadits al madhrub tidak dipakai dalam hukum-hukum sebagaimana dalam kesakasian hukum. Dipakai dalam pengakuan, anjuran, larangan, penjelasan dan ancaman selama tidak berkaitan dengan hukum sesuatu.
-
Saya mendengar Aba Abdillah Al Hafiz1 berkata, saya mendengar Aba Zakariya Yahya bin Muhammad Al Anbary berkata, saya mendengar Aba Al Hasan Muhammad Bin Ishaq Bin Ibrohim Al Hantoli berkata, ayah saya bercerita kepada saya dari Abdurrahman Bin Mahdi berkata sebagaimana yang diriwayatkan Al Hakim diatas.
-
Muhammad Bin Abdullah Al Hafiz mengabarkan kepada kami, Abu Al Abbas Muhammad Bi Ahmad Al Mahbuby mengabarkan, kepada kami, Ahmad Bi Sayyar berkata, saya mendengar Aba Qodamah berkata , Yahya Bin Sa’id Al Qotton berkata : “Permudahlah di pentafsiran hadits dari kaum yang mereka tidak dipercayai dalam hadits” kemudian mereka menyebutkan : Laits Bin Abi Sulaim, Jubair Bin Sa’îd, Al Dohâk, Muhammad In Al Sâib , yaitu Al Kalbî. Kemudian Al Baihaqy berkata : mereka ini yuhmadu memuji2 hadits dari kaum yang mempermudah dalam hal isnad dan menulis pentafsiran dari mereka.
4. Al Baihaqy rahimahullahu berkata :
“Mereka mempermudah dalam mengambil pentafsiran mereka karena yang mereka tafsirkan adalah lafaznya, yaitu dari segi bahasa. Sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hadits dan mendekati mereka saja.
-
Al Baihaqy bersandarkan kepada Abbas Al Daury yang berkata, saya mendengar Ahmad Bin Hanbal ditanya ketika berdiri didepan pintu rumah Abi Nadr Hâsyim Bin Al Qôsim , dikatakan kepadanya : ya Aba Abdillah , apa pendapat kamu tentang Musa Bin Ubaidah dan Muhammad Bin Ishaq?. Beliau berkata : Musa Bin Ubaidah rawi yang baik, akan tetapi beliau meriwayatkan banyak hadits munkar dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW. Sedang Muhammad Bin Ishaq adalah perawi yang menulis hadits dari Musa bin Ubaidah. Maka jika ada hadits yang berkaitan dengan halal dan haram kami menghendaki kaum yang seperti ini (Abu Fadl atau Abu Abbas menggenggam empat jarinya dari kedua tangannya kecuali ibu jari).
-
Abdurrahman Bin Abi Al Hatim dalam pengantar buku Al Jarhu wa Al Ta’dil1 berkata:
Bab adab dan nasehat yang kemungkinan diriwayatkan oleh rawi yang lemah
-
Ayah saya berkata bahwa Abdah yaitu Ibnu Sulaiman berkata bahwa ada yang mengatakan kepada Ibnu Mubarak dan diriwayatkan sebuah hadits dari seorang laki-laki : “Ini perawi yang lemah, beliau berkata kemungkinan dia meriwayatkan hadits dha’if ini atau yang serupa dengannya.” Saya berkata kepada Ubdah, “ Apa yang dimaksud dengan perkatataan [hadits yang serupa dengannya] ??” Ubdah berkata, “Yaitu hadits yang berkaitan dengan adab, nasehat, zuhud dan sebagainya.”
6. Abu Umar Bin Abdilbar berkata di dalam buku Jami’ Bayanil Al Ilmi wa Fadlihi1
Segolongan ulama mempermudah isnad dalam hadits yang berkaitan dalam keutamaan suatu ibadah, mereka meriwayatkannya dari semua orang, namun di lain pihak mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum.
Beliau berkata. “Kita tidak perlu mengetahui ulama yang menjadikan hadits keutamaan ibadah sebagai dalil.”2 Inilah hal terakhir yang penulis ketahui dari dalil-dalil ulama salaf dalam masalah ini, ditambah dengan pernyataan Ibnu Abdilbar Rahimahullahu, karena dekatnya beliau dengan ulama salaf dan kemiripan pernyataannya dengan mereka. Dalil-dalil ini merupakan sandaran pemilik kaidah ini dan tidak ada salahnya untuk dikaji dan dibandingkan dengan pendapat ulama kontemporer.
Penulis dengan keterbatasan ilmunya berkata, jika berhadapan dengan masalah yang serupa, maka saya akan mengikuti perkataan Al Hafidz bin Hajar:3
“Beliau mengatakan secara jelas bahwa mayoritas ahli hadits dan selain mereka berbondong-bondong untuk meriwayatkan hadits dari sesepuh mereka dan mengikutinya maka sesepuh mereka inilah yang mereka percaya, bahkan yang mereka cari karena image mereka yang baik.”
Inilah sebenarnya titik masalah yang timbul dalam pembahasan para ulama yang mengadopsinya dengan suara mutlak dan mufakat yang bulat. Dalam masalah ini seperti An Nawawi Rahimahullahu, pengikutnya dan para senior mereka, seperti Abu Umar bin Adilbar, seperti yang disebutkan dalam dalil yang keenam pada fasal pembahasan ini, 1 Hal yang sama juga terjadi dalam pembahasan hukum mengamalkan hadits dho’if dalam mengamalkan keutamaan ibadah.
Pasal II
Studi Kritis Terhadap Argumen Para Ulama
Penulis berpendapat bahwa para ulama tidak mempunyai argumen uang sesuai bahkan sebuah semi-argumen pun terhadap problematika yang dimunculkan oleh para ilmuwan hadits kontemporer tentang pengamalan hadits yang mempunyai tingkatan lemah ini sebagai landasan hukum kegiatan-kegiatan positif (Keutamaan ibadah). Perjelasannya seperti ini :
Pertama,
Statemen Sufyan Ast Tsaury, “Janganlah mengambil sebuah ilmu…. kecuali dari para ilmuwan-ilmuwan besar yang valid keilmuwannya…… Tapi boleh juga mengambil ilmu dari para ilmuwan yang dianggap setingkatan dengannya.”
Interpretasi dari “Ilmuwan besar yang valid keilmuwannya” adalah mereka-mereka yang sudah masuk dalam katagori “Huffadz “ yang mengerti secara detail apa yang mereka hafalkan, yang sangat sadar atas fluktuasi hafalannya, orang-orang yang sering disebut sebagai ‘terpercaya dan terpercaya’ (tsiqah-tsiqah) atau ‘terpercaya secara tetap (tsiqah-tsubut) dan istilah-istilah yang hampir sama dengannya. Katagori tsiqoh atau terpercaya ini hanya disebutkan untuk menunjukkan personalitas mereka saja dan tidak pernah bermaksud menunjuk yang lain. Dimana dalam sejarahnya tidak seorangpun yang mencap hadits-hadits mereka mempunyai kelemahan akan tetapi pasti masuk dalam katagori Sahih atapun Hasan dan yang sederajat dengannya. Singkatnya, mereka yang mempunyai image dan julukan “Tsiqah” [terpercaya] “Suduq” [terkenal kejujurannya] dan lain sebagainya.
Kedua,
Komentar Iman Ahmad tentang kedudukan Muhammad bin Ishaq, pengarang buku Al Maghazi, bahwa dialah sebenarnya sumber yang valid dalam periwayatan hadits-hadits ini, maksdunya hadits yang terdapat dalam kitab itu. Maka penulis membandingkan ini dengan dengan komentar Ahmad yang lain tentang haditts itu sebagai klasifikasi hadits ‘Hasan Shahih’.
Ketiga,
Komentar Al Baihaqy : “Mereka mempermudah dalam mengambil pentafsiran mereka karena yang mereka tafsirkan adalah lafaznya, yaitu dari segi bahasa. Sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hadits dan mendekati mereka saja. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak bermaksud percaya dengan para periwayat hadits yang mempunyai kelemahan-kelemahan dalam proses pentafsiran itu, karena proses interpretasi itu tidak mengharuskan adanya sikap ‘tsiqah’ atau kejujuran ideal, apa yang dibutuhkan adalah fakta dan bukti-bukti yang benar yang berfungsi untuk mendukung dan membackup argumennya. Kendatipun demikian, tidaklah etis untuk mengatakan bahwa Hadits dho’if adalah layak dijadikan sebagai landasan hukum dan norma dan sebagainya.
Keempat,
Sebuah kenyataan yang terdapat dalam komentar Ahmad dan Ibnu Al Mubarak dengan statement yang mengandung hipotesa latar belakang masalah ini. Ahmad berkomentar bahwa kemungkinan mereka itu bersikap permisif dalam penetapan Isnad, sampai diketahui ada kaitannya dengan hukum. Sementara itu, Ibnu Mubarak berkata, “Kemungkinan dia memang periwayat hadits dha’if jenis ini atau yang serupa dengannya.
Maka sebenarnya ini adalah sebuah permasalahan yang dianggap enteng, bukan sebuah masalah yang pelik atau bersifat wajib dan bukan pula sebuah perkara yang perlu mendapat resistensi tapi sebuah permasalahan yang bisa saja dilakukan dan bisa pula ditinggalkan.
Kelima,
Kasus Tasyaddud [Kehati-hatian yang penuh sampai memberatkan] dan Tasahul [permisifisme] sebenarnya belumlah terbukti secara ilmiah dan juga limit definisinya juga belum jelas, para ilmuwan juga kenyataannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang definisnya yang sebenarnya.
Pihak yang berpendapat bahwa Tasyaddud dalam proses pembuatan hukum dan pembentukan argumen berdasarkan hadits mempunyai keistimewaan tersendiri. Sementara Tasahul dalam proses pembuatan hadits sebagai argumen mempunyai nilai keistimewaan yang lebih rendah bahkan lebih rendah dari tingkatan pelandasan hukum, Imam Ats Tsaury telah banyak berkomentar banyak dalam hal ini dalam pembahasan sebelumnya. Sikap ini dapat di implementasikan dalam kasus hadits yang masuk dalam katagori Shahih dan Hasan.
Sementara itu pihak lain berpendapat bahwa sikap Tasyaddud dapat dibenarkan dalam pembuatan hukum sementara Tasahul tidak.Contohnya dalam dua penilaian hadits yang bersamaan, disatu pihak Shahih Hasan dan pihak lain di nilai Dho’if.
Keenam,
Di bawah ini adalah sumber yang melatarbelakangi pendirian mereka :1
-[…….Maka dengarkanlah hadits yang berkomentar kepada pahala dan sebagainya]
-[…….Kami telah bersikap tasahul dalam peroses penetapan isnad]
-[…….Kemungkinan besar mereka telah bersikap tasahul]
-[…….Wajib tunduk dengannya, dan bersikap tasahul dalam periwayatannya]
-[…….Kami bersikap tasahul pada penetapan isnad dan permisif pada penentuan personalitas perawinya.
-[…….Bersikap tasahul lah pada penafsiran atas golongan yang tidak mempercayai mereka akan hadits.
-[Mereka memuji Hadits-haditsnya, dan menuliskan tafsir darinya]
-[….Dialah seorang yang menulis darinya hadits ini, -seakan-akan Al Maghozi dan yang serupa dengannya.]
-[ Janganlah bersandarkan dengan pengetahuan seperti ini dalam penentuan halal dan haram kecuali….. tapi tidak masalah mengikuti selainnya]
-[ Kemungkinan dia telah merawikan hadits dho’if ini dan yang serupa dengannya]
Inilah sepuluh landasan bersikap, sebagai sumber pijakan dalam mengamati masalah ini, Sebelum penulis melakukan studi lebih lanjut saya menyampaikan beberapa nilai-nilai eksplisit yang dikemukaan oleh sebagian Huffadz, seperti Al Hafidz Abi Bakr Al Khotib, seperti yang terdahulu pembahasannya dalam kitab Al Kifayah.
1.Komentarnya, Bab mengenai Tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum, dan bolehnya bersikap tasahul dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah…. Tidak boleh meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum penghalalan dan pengharaman kecuali…. Sedangakn hadits yang berkaitan dengan anjuran dan nasehat, boleh ditulis dari seluruh Ulama.
Beginilah menurut Al Hafidz bin Rajab Al Hambali, dalam penelitiannya tentang buku “Syarhu Ilal At Turmudzi”1 atas pernyataan Abu Isya’ : Siapapun yang meriwayatkan hadits dari perawi yang dituduh pemalsu atau lemah karena kebodohannya, banyak salahnya sedagkan hadits tersebut tidak dikenal kecuali dari perawi itu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
2. Ibnu Rajab berkata : Sedangkan apa yang disebutkan oleh Turmudzi. Maksudnya adalah tidak bisa dijadikan dalil dalam hukum-hukum syar’I, perkara-perkara amal, walaupun hadits itu sudah diriwayatkan oleh sebagain mereka dalam hadits yang berkaitan dengan akhlaq, anjuran dan larangan. Mayoritas ulama telah meringankan persyaratan dalam mengeluarkan hadits-hadits berkaitan dengan nilai itu dari perawi yang lemah, di antara yang membolehkan adalah Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal.
Kemudian mereka berkata sesungguhnya periwayatan hadits yang berkaitan dengan larangan, anjuran dan zuhud serta adab, adalah hadits yang dirriwayatkan oleh ulama yang pelupa namun bukan seorang pemalsu. Apabila ia seorang pemalsu maka ditolak haditsnya. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dan kawan-kawan.
3. Menurut Abi Umar bin Sholah dalam kata pengantarnya pada Kitab Ulumul Hadits1 Beliau berkata, baik ahli hadits maupun bukan dibolehkan bersikap permisif dalam isnad dan riwayat apapun selain yang palsu diantara hadits-hadits dho’if tanpa memperhatikan keterangan letak kelemahannya selama tidak berhubungan dengan sifat Allah SWT, hukum-hukum syariah berupa halal dan haram. Dan maksudnya itu seperti nasehat-nasehat, kisah, keutamaan ibadah, dan semua bentuk anjuran dan larangan serta semua yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan akidah. Di antara ulama yang membolehkan bersikap permisif dalam hal ini adalah Abd Rahman Bin Mahdi dan Ahmad Bin Hambal RA.
4. Menurut Ibnu Wajir Al Yamani dalam buku Tanqih Al Anzhor2 Dilarang menyebutkan hadits palsu kecuali dengan keterangannya. Jika selain hadits palsu maka boleh bersikap permissif dan meriwayatkannya tanpa menerangkan segi kelemahannya. Jika yang demikian itu tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan aqidah seperti sifat-sifat Allah SWT yang jaiz dan mustahil. Diantara ulama uanh mengatakan hal ini adalah Abd rahman bin mahdi, Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Al Mubarak.
Abu Al Yasar, penulis statement dibawah ini, berkata :
Aku persembahkan bagi para pencari kebenaran, dalil-dalil ulama berdasarkan statement mereka, kemudian aku teliti bagimu intisarinya dan aku tambahkan dengan menyebutkan pemahaman sebagian Huffadz di dalamnya. Mengikuti konvensi ulama salaf juga karena keengganan atas dengan keterbatasan ilmu. Maka menurutku :
Istilah-istilah para ulama salaf adalah tentang tasyaddud, tasahul, sima’, penulisan dan periwayatan hadits dari perawi yang lemah atau tidak dapat dipercaya dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan sebagainya.
Kemudian istilah-istilah para Huffadz periode setelah ulama salaf adalah tentang masalah kapasitas dan periwayatan tanpa disertai keterangan lemah pada hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan sebaginya dari hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.
Mereka yang mengkaji pendapat suatu golongan dan mengikuti cara mereka dalam kemampuan sima’ hadits, dalam Dapat kita ketahui dalam hal ini bahwa mereka mempunyai beberapa sistem :
-
Komentar Al Uqaily tentang para perawi yang lemah (1/15).
Yahya Bin Usman berkata kepada kami, Na’im Bin Hamad berkata, Hatim Al Fahir [Seorang Rawi yang dapat dipercaya berkata: Saya mendengar Sufyan Ats Tsaury berkata : Saya meriwayatkan hadits dari tiga segi, Pertama : Saya mendengar hadits dari seorang rawi maka saya jadikan dalil, saya mendengar hadits dari seorang perawi dan saya bersikap abstein, saya mendengar hadits dari seorang perawi dan saya tidak meriwayatkannya tapi penasaran. Dan Ibnu Abdilbar, dalam buku Jami’ Bayan Al Ilmi bab keringanan dalam menulis ilmu hal : 38, juga meriwayatkan hal yang serupa.
Menurut penulis, lebih kurang :
-
Mengambil Hadis yang diriwayatkannya sebagi dalilm dianggap suatu ibadah jika hadits yang diriwayatkannya shahih dan dapat dijadikan landasan hukum kepada orang yang mendengarnya.
-
Kemampuan dalam sima’ hadits dengan kemudian bersikap abstein tentang kebenaran hadits dan feasibilitasnya sebagai hukum yang disebabkan adanya cacat di hadits semua ini tidak menutup kemungkinan untuk meriwayatkannya selama isnadnya jelas. Karena penyebutan isnad menurut ulama salaf, kedudukannya sederajat dengan interpretasinya. Mereka beranggapan bahwa periode mereka terbebas dari itu. Anggapan ini mendapat bantahan dari ulama kontemporer, Al Hafidz Al Sakhowi menyatakan bahwa periode mereka tidak terbebas dari itu, karena tidak pernah ada periode yang terlepas dari hal itu.
-
Kemampuan mendengarkan hadits yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, pembuktian atau untuk mendapat loyalitas.
-
kemampuan mendengarkan hadits yang dijelaskan segi kelemahannya untuk membedakannya dan mengetahuinya supaya tidak bercampur dengan hadits yang shahih.
-
Periwayatan seorang ahli hadits yang cerdas yang mampu melakukan klasifikasi antara hadits yang shahih dan lemah.
Menurut penulis, Kita dapat mengikuti statemen para ulama dalam hal yang berkaitan dalam keutamaan ibadah dan sebagainya berdasarkan katagori nomor dua dan tiga dari lima katagori di atas.
Ada sistem lain menurut penulis yang lebih sesuai dari apa yang dikandung dalam pembahasan ini, sistem itu adalah Mutlak dalam penerimaan nasehat dan penjelasan. Maksud dari semua yang disebutkan oleh penulis berupa tasahul, sima’, kodifikasi, menulis, menghafal dan meriwayatkan adalah yang berhubungan dengan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah, pahala, sangsi, anjuran dan larangan. Yang mana nilai perbuatan ini sudah tetap hukumnya dalam syar’I. Dengan begitu dapat diperlakukan dengan sikap toleransi.. Hikmah dari semua itu, sebagai mana saya sebutkan adalah mutlak menerima nasehat dan penjelasan tentang yang berkaitan dengan hadits berupa anjuran dan larangan yang mana riwayatnya didengar langsung sebagai perintah dalam mengerjakan suatu ibadah jika perintah itu terpuji dan sebagai larangan untuk meninggalkan ibadah tersebut jika tercela.
Dengan catatan, jika hadits dho’if tersebut mempunyai penjelasan dan ketentuan atau limit yang tidak menetapkannya sebagai sunnah maka tidak boleh diikuti karena semau itu termasuk bid’ah buatan.1 Seperti hadits tentang keutamaan sholat pada waktu tertentu, dengan bacaan tertentu atau sifat tertentu dan sebagainya. Kita tidak boleh mengatakan hakikat sholat itu diwajibkan, tetapi kita mengakatakan apa yang ditambahka dari hakikat sholat yang ada belum ditetapkan oleh hukum Islam. Ibadah adalah perkara yang pasti. Yang dikiaskan atas ketaatan yang lain seperti puasa, koma, sedekah, zikir, baca al qur’;an dan sebagainya.
Inilah yang penulis uraikan secara global yaitu, pengkajian terhadap kasus yang sangat penting dalam memahami statemen ulama dan dalil-dalil mereka, pada kenyataannya tidak boleh mengamalkan hadits dho’if secara mutlak baik itu dalam hukum maupun ibadah, yang ada hanyalah periwayatannya dengan cara yang telah saya jelaskan. Hal ini adalah sebuah usaha preventif terhadap agama dari isu-isu yang tidak relevan juga dari ulama yang terlibat.
Ini adalag kesimpulan dari semua pembahasan dari masalah ini semua. Termasuk didalamnya pendapat para ilmuwan yang saya ikuti :
-
Syeikh Islam, Ibnu Taimiyah RA, berkata :1
Pendapat para ulama tentang amalan terhadap keutamaan ibadah bukanlah berarti penetapan hukum sunnah berdasarkan hadits yang sebenarnya tidak perlu, akan tetapi itu semua sangat memerlukan proses-proses hukum berdasarkan syariat. Mereka yang menyebarkan pendapat bahwa Allah SWT menyukai amalan yang tidak mempunyai landasan hukum yang jelas berarti telah terlibat dalam pemberitaan sesuatu yang tidak dilarang. Seperti halnya penetapan hukum wajib dan haram. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam hal penetapan hukum sunnah seperti halnya masalah-masalah lain bahkan dalam masalah pokok-pokok agama sekalipun.
Maksud mereka adalah agar itu semua merupakan ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai ibadah yang dicintai-Nya atau telah ditetapkan sebagai perbuatan yang dibencinya berdasarkan Al Quran, al Sunah dan ijma’. Seperti membaca al Quran, tasbih, do’a, sedekah, membebaskan budak, berbuat baik kepada orang lain, dibencinya kebohongan dan khianat dan sebagainya. Jika diriwayatkan sebuah hadits yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dimubahkan beserta pahala-pahalanya dan hadits yang berkaitan dengan dibencinya sebagian perbuatan berserta sangsinya maka ukuran pahala dan sangsi jika diriwayatkan di dalam hadits yang tidak diketahui kepalsuannya maka boleh meriwayatkannya dan mengamalkannya. Artinya : Bahwa jiwa seseorang mengharapkan pahala dan waspada terhadap sangsi seperti kondisi seseorang yang mengerti bahwa bisnis itu adalah sesuatu yang mendatangkan profit, kemudian dikhabarkan bahwa dia untung dengan jumlah yang besar. Jika berita tiu didapat dari seorang yang jujur maka akan bermanfaat sebaliknya jika berita itu bersumber dari seorang pembohong maka tidak akan membayahakan.1
Contohnya, Anjuran, larangan-berdasarkan israiliyat dan ta’wil mimpi, pernyataan ulama salaf dan fakta serta yang sejenisnya yang tidak layak dijadikan landasan dalam penetapan hukum syar’I, memubahkan sesuatu dan seterusnya. Tetapi boleh disebutkan dalam anjran, larangan, petunjuk, peringatan dan sebagala sesuatu yang telah jelas efeknya dengan dalil syar’i. Maka semua inil adalah sesuatu yang bermanfaat dan tidak berbahaya. Baik itu, dalam hal serupa, benar atau salah.2 Jika diketahui hal tersebut bathil dan palsu tidak boleh diikuti. Jika telah terbukti dapat dijadikan landasan hukum. Kalau misalnya mempunyai derajat yang sama makam diriwayatkan berdasarkan kemungkinan kebenaran dan tidak adanya bahaya dalam kebohongan.
Imam Ahmad berkata : jika ada hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan maka kami bersikap permisif dalam isnad. Artinya : kami meriwayatkan hadits itu dengan isnadnya walaupun perawinya bukan seseorang perawi yang “tsiqot”[mempunyai sifat yang benar-benar adil ] yang dapat dijadikan landasan hukum. Ada juga ulama yang mengatakan : dapat diamalkan dalam keutamaan ibadah1. Yang dimaksud dengan perbuatan disini adalah perbuatan yang baik seperti membaca al Quran, zikir, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela.
Sebagaiman yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al bukhori2 dari Abdillah bin Amru,” sampaikanlah apa yang berasal dariku walau satu ayat, dan katakanlah apa yang berasal dari bani israil dan kamu tidak akan berdosa , siapa yang sengaja berbohong atasku maka disediakan baginya tempat duduk dari api neraka”. Dalam sebuah hadits sohih3 yang lain ,” Jika ahli kitab mengatakan sesuatu kepada kalian maka janganlah dipercaya dan jangan juga diingkari.”
Ini semua merupakan keringanan dalam periwayatan hadits mereka, yang berisi larangan mempercayai dan membenarkan merela. Namun jika apa yang mereka ucapkan benar-benar tidak bermanfaat, maka tidak ada keringanan lagi. Kalau dibolehkan mempercayai mereka hanya dengan berdasarkan hadits ini, maka tidak akan dilarang mempercayai mereka. Karena seseorang akan mengambil manfaat dari apa yang dikiranya suatu kebenaran dalam kepalsuan.
Jika penulis menggabungkan hadits keutamaan ibadah yang dho’if berdasarkan ukuran dan limitasinya, seperti keutamaan sholat pada waktu tertentu, dengan bacaan dan sifat tertentu pula, tidak diperbolehkan, karena sunnah dari kondisi tertentu ini tidak mendasar dari segi hukum syar’i. Berdeda dengan :
“Siapa yang pergi ke pasar maka sebutlah : La Ilaha Illallah apa bila begini dan begitu….”1 Sesungguhnya mengingat Allah SSWT di pasar disunahkan sebagai pengingat bagi orang –orang yang lalai. Sebgaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang sudah dikenal ,”Mengingat Allah SWT diantara orang –orang yang lalai bagaikan pohon yang subur diantara pohon –pohon yang kekeringan”.2
Baik ditetapkan atau tidak pahala yang disebutkan dalam hadits tidak berbahaya.
Kesimpulannya , bab ini diriwayatkan dan diamalkan dalam hal yang berkaitan dengan anjuran dan larangan tanpa hal yang berkaitan dengan disunahkannya sesuatu kemudian diyakini sebagai kewajiban yaitu ketetapan pahala dan sangsi yang berdasarkan kepada dalil syar’i.
7.Beliau juga berkata 1: dalam sayri’ah tidak boleh bersandarkan kepada hadits-hadits dho’if yang bukan hadits shohih dan hasan. Akan tetapi Ahmad bin Hanbal dan sebagian ulama membolehkanperiwayatannya dalam keutamaan ibadah walaupun belum diketahui ketetapannya dan tidak diketahui kebohongannya.
Karena jika telah diketahui ahwa suatu perbuatan telah ditapkan oleh syari’ah dengan dalil syar’I, kemudian diriwayatkan keutamaannya di hadits yang tidak diketahui kebohongannya, boleh jadi pahalanya benar. Tidak seorang ulama pun yang membolehkan menjadikan sesuatu wajib atau sunah dengan hadits dho’if. Jika ada yang mengatakan sebaliknya maka dia telah menentang ijma’ .2. semua ini sebagaimana dilarangnya mengaharamkan sesuatu kecuali dengan dalil syar’I ketika diketahui keharamannya. Kemudian diriwayatkan sebuah hadits yang berisi ancaman terhadap suatu perbuatan namun tidak diketahui bahwa hadits tersebut bohong, maka boleh diriwayatkan.
Boleh meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan anjuran dan ancaman yanag tidak diketahui kebohongan hadits tersebut tetapi dalam sesuatu yang diketahui bahwa Allah SWT menyukai perbuatan tersebut ataupun membencinya dengan dalil lain selain hadits pertama.
7.Imam Al Syatibi mengatakan dalam buku Al I’tishom 1: setiap sesuatu yang disukai jika telah ditetapkan hukumnya dan martabatnya dalam syari’at dengan dalil yang syar’I, maka hadits tersebut jika diriwayatkan dengan dalil yang tidak syar’I dapat dimaklumkan.
Kalau hal tersebut belum ditetapkan selain dengan hadits yang berkaitan dengan anjuran maka disyaratkan kebenarannya. Jika tidak maka tidak termasuk golongan fanatisme diantara para ulama yang sangat menguasai ilmu agama.
Sebagian ulama yang bersandarkan kepada ilmu fikih dan mengkhususkan dari masyarakat awam dengan pernyataan tentang martabat hadits telah melakukan kesalahan dalam hal ini. Awal kesalahan ini disebabkan oleh tidak memahami statemen para ahli hadits dalam berbagai hal.
Menurut penulis, semua ini merupakan pernyataan yang berharga yang merupakan kesimpulan dari kajian panjang Al Syatibi rahimahullahu .cukup dengan apa yang disimpulkannya secara jelas disini. Kajianbeliau seluruhnya sangat penting dan akan penulis paparkan dalam pasal kajian terhadap syarat-syarat menagmalkan hadits dho’if.
9. Syeikh Ali Al Qory berkata dalam buku [ Mirfatt Al Mafatih] 2 : Hadits dho’if diamalkan dalam keutamaan ibadah, walaupun belum ada ijma’ yang berkaitan dengannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Nawawi : yaitu keutamaan dalam ibadah yang telah tetap hukumnya dalam Al Quran dan Al Sunah.
10. Al Syihab Al Khifaji dalam buku [Syarhu Al Syaqo] berkata 3: apakah tidak kamu lihat jika diriwyatkan sebuah hadits dho’if yang berkaitan dengan hal-hal yang telah disunahkan, dianjurkan , keutamaan sebagian sahabat RA dan zikir-zikir tidak diharuskan didalamnya ketetapan hukum asli ? dan tidak dibutuhkan klasifikasi antara hukum dan perbuatan-perbuatan sebagaimana diragukan karena adanya perbedaan yang nyata antar perbuatan dan keutamaannya.
Syeikh Abdurahman bin Yahya al Mu’alimy al Yamany dalam buku [ Al Anwar al Kasyifah] berkata :2
Makna tasahul dalam istilah para imam adalah : sikap permisif dalam riwayat.
Para imam tidak meriwayatkan hadits sampai terbukti keshohihannya atau mendekati sohih atau hampir shohih jika ada dalil pendukung dan menghindari selain hal diatas.
Diantara para imam ada yang jikamendapatkan suatu hadits yang segi kelemahannya tidak besar, tidak berkaitan dengan suatu hukum dan sunah, berkaitan dengan keutamaan ibadah yang telah disepakati seperti menjaga sholat jama’ah dan sebagainya tidak melarang periwayatannya.
Inilah yang dimaksud tasahul dalam istilah mereka. Tetap sebagian ulama periode setelah mereka memahami tasahul yang berkaitan dengan keutamaan ibadah tertentuyang telah ditetapkan dalam syar’I, seperti sholat malam tertentu , hal ini termasuk dalam global dalil syar’I yang menetapkan sholat malam, berdasarkan ini semua maka dibolehkan mengamalkan hadits dho’if.
Al Syatibi dalam buku Al I’tishom menerangkan1 bahwa pemahaman ini salah, penulis sendiri dalam hal ini mempunyai tulisan yang belum selesai.2
Karena sebagian ahli hadits terlalu berlebih-lebihan dalam hal ini dan menetapkan semua hadits yang didengarnya tanpa menjelaskan segi kebatilannya ketika penulisan.
Sebagian ulama lain juga ceroboh mengumpulkan semua yang mereka dengar, dengan alasan bahwa mereka diharuskan untuk menulis semua yang mereka dengar dan menyebutkan perawinya. Maka atas setiap orang agar tidak mempercayai itu semua sampai mereka tanyakan kepada ahli ilmu hadits dan perawi.
Kemudian muncul golongan periode setelah mereka yang menambahkan tanah basah dengan menghapus isnad. Kesimpilan dari semua ini mudah yaitu harus menerangan kebenaran kepada seluruh orang dan kembali kepada ahli ilmu, taqwa dan ma’rifat. Musibah yang besar karena manusia menolak ilmu yang mulia ini, yang tersisa hanya golongan yang mencela fenomena ini sehingga tidak seorangpun yang kembali kepada ilmu ini bahkan diantara mereka ada yang menghina, membenci dan memusuhi ahli ilmu serta memfitnah mereka pada setiap kesempatan yang ada, mengaku sebagai apa yang diinginkannya, tidak mempunyai pertimbangan selain mengikuti hawa nafsunya, tidak mempedulikan apa yang bertentangan dengan hawa nafsunya walaupun hal tersebut ada dalam buku Al Shohihaini yang berasal dari segolongan sahabat serta dijadikan landasan hukum berdasarkan apa yang terkait didalamnya berupa periwayatan di buku manapun yang ada. Juga berupa keterangan tentang perawi yang diragukan, yang ditolak, yang palsu dan sebagainya.1
Penulis berkata : dari keterangan diatas telah disebutkan, bahwa orang mengklaim hadits dho’if sebagai landasan hukum independen dalam menetapkan keutamaan ibadah atau larangannya tanpa dalil yang benar dari Al Quran dan Al Sunah yang memuji ibadah tersebut ataupun mencela perbuatan tersebut, maka dia telah mengatakan sesuatu tentang Allah SWT tanpa ilmu dan telah menetapkan sesuatu dalam syar’I yang belum disyari’atkan.
Diketahui juga dari pernyataan Abi Al Hasanât al Kanwy rahhimahullahu dalam buku [ Al Ajwibah Al fadhilah] 2 : kebenaran dalam hal ini adalah jika belum ditetapkan kebenaran sesuatu atau kebolehannya dengan hadits sohih , kemudian ada hadits dho’if yang tidak terlalu lemah menyebutkan hal yang sama , maka tetaplah hukum kebolehannya dengan syarat keberadaan hadits tersebut berdasarkan hadits yang sohih dan tidak bertentangan denagn dasar hukum syar’I dan dalil-dalil yang shohih.
Faidah : asanid (rantai perawi dalam hadits) menurut ulama salaf sendiri adalah keterangan tentang keadaan mutun [ isi hadits]. Jika diriwayatkan suatu hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah beserta isnadnya yang diantara perawinya ada yang lemah namun tidak diterangkan, inilah arti yang dimaksud oleh Abu Amru bin Al Solah dalam masalah tasahul yang telah disebutkan. Maka kalimat yang ada disini adalah : inilah perbedaan yang jelas diantara para para ulama salaf dengan ulama kontemporer dalam masalah ini. Maka mana orang-orang yang telah mencari hadits diantara mereka?. Tidak seorangpun diantara mereka sampai kepada martabat yang tinggi kecuali telah menguasai ilmu Al Rijal Dan Al Ilal , mempelajari keadaan perawi dari segi pantas tidaknya dinyatakan sebagai perawi yang cacat atau yang adil, menghafal usia dan tanggal kematian perawi mengetahui para guru dan murid-murid perawi, tempat tinggal dan perjalanan perawi, siapa saja yang mereka temui [baik yang diriwayatkan atau didengar langsung haditsnya maupun tidak] , siapa saja yang mereka nyatakan sebagai rawi yang lemah dan seterusnya.jika seorang diantara penuntut ilmu mendengar sebuah hadits maka dia kritik perawinya, mengungkapkan aibnya, memberitahu yang sohih dari yang salah, yang silsilah perawinya bersambung dari silsilah perawi yang terputus .
Keadaan seperti ini tersebar diantara mereka atau di antara mayoriyas mereka. Sedang pada saat ini ilmu ini telah menjadi sesuatu yang mulia keberadaannya, sepenting bagian korek api yang berwarna merah, tidak mungkin menerapkan kaidah dalam arti ini “ periwayatan hadits dho’if tanpa menerangkan segi kelemahannya” apalagi pada masa sekarang dimana orang tidak lagi bisa membedakan antara hadits dan yang selainnya berupa hikmah-hikmah, nasehat-nasehat dan kisah-kisah dimana amereka nisbatkan kepada Rasulullah SAW semua yang mereka anggap baik maknanya. Allah SWT lah sebaik-baik penolong
Al Sakhowi dalam Fathul mughits 1 berkata : pada masa ini tidak dapat terlepas dari isnad karena tidak aman dari kerusakan, walaupun para ahli hadits pada masa lalu telah melakukannya sejak 200 tahun sampai sekarang.
Dostları ilə paylaş: |