Faktor pendorong dalam penulisan buku dari tersebarnya hadits-hadits dho’if dan munkar bahkan palsu berdasarkan kaidah yang populer yaitu : Diperbolehkannya pengamalan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah. Padahal kebanyakan mereka tidak memahami maksud yang sesungguhnya dan syarat-syaratnya……….
Argumen sebagian ulama yang bersandarkan kepada kaidah ini, mereka hanya taklid kepada Syeikh Muhyiddin An Nawawi Rahimahullahu yang mengutip kesepakatan dan ijma’ yang berkaitan dengan kaidah ini. Dan petunjuk atas argumen banding kepada ahli hadits dalam apa yang dikutip dan diklaim sebagai kemufakatan.
Menyebutkan tentang peneliti hadits Abdurrahman bin Yahya Al Muallimi Al Yamani yang menjadi penulis tunggal buku yang berkaitan dengan hadits palsu. Dan diikuti ulama yang lain dalam hukum pengamalan hadits dho’if secara global tanpa pembatasan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keutamaan ibadah sebagaimana judul bukunya yang sebagian belum dicetak dan penulis belum membaca sisanya.
Bagian ini sebagai persembahan untuk mahasiswa yang memdalami ilmu hadits.
Kata Pengantar
Penyebutan dua mazhab ulama dalam masalah tasahhul atau pengamalan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah.
Pemaparan mazhab pertama yang mengatakan pembolehan mazhab ini dimotori oleh Muhyiddin An Nawawi Rahimahullahi, orang yang pertama kali memperkenalkan aliran ini.
Mengakhirkan pemaparan tentang mazhab kedua yang melarang kaidah ini.
Pendahuluan
Perintah untuk mentaati hadits-hadits yang shohih, menjauhi periwatan rawi yang lemah dan perintah untuk menjaga sunnah dan menyebarkannya.
Statemen Abu Bakar Al Khotib dalam kitab ‘Al Kifayah Fi Ilmi Al Riwayah’ dalam memilih mendengarkan hadits dari perawi yang kredibel serta membenci periwayatan perawi lemah.
Celaan imam muslim dalam mukaddimah kitab Shohihnya atas para perawi hadits dho’if dan munkar, menyebarkan kepada masyarakat awam dan Imam Muslim mewajibkan periwatan hadits dari perawi yang kredibel.
Statemen Abi Hatim bin Hibban Al Busti dalam mukaddimah kibat ‘Al Majruhin’.
Statemen Abu Bakar Al Khotib dalam mukaddimah kitab ‘Al Kifayah’.
Pasal I
Penguraian dalil-dalil ulama yang bersandarkan kepada kaidah ini.
Statemen Abu Bakar Al Khotib dalam mukaddimah kitab ‘Al Kifayah’. Bab Tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum dan membolehkannya dalam keutamaan ibadah.
Statemen sofyan Al Tsaury
Statemen Sufyan bin Uyainah.
Statemen Ahmad Bin Hanbal
Statemen Al Hakim Abi Abdillah penulis kitab Al Mustadrak dalam Al Madkhol Ila Kitab Iqlil.
Stamen Al Baihaqy dalam pengantar kitab Dalail Al Nubuwah, yang didalamnya berisi komentar Hakim, Yahya bin Sa’id Al Qattan, Ahmad bin Hanbal tentang Muhammad Bin Ishaq penulis kitab Al Maghozy.
Statemen Ibnu Abi Hatim dalam Mukaddimah kitab Al Jarhu Wa Al Ta’dil yang berisi komentar Abdillah bin Mubarok.
Statement Abi Umar bin Abdilbar dalam kitab ‘Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadlihi’
Kutipan Al Sakhowi dalam ibnu Abdilbar dalam kitab Fath Al Mugits.
Pembahasan argumen dalam diskusi ulama kontemporer tentang kasus pengamalan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah serta dan hubungannya dengan komentar Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kasus ini dalam kitabnya Al Fath
Pasal II
Kajian terhadap dalil mazhab pertama
Kevakuman dalil dalam apa yang dianut oleh Ulama kontemporer.
Kajian tentang : Statemen Al Tsaury, Ahmad tentang Ahmad bin Ishaq, Baihaqi dan Ibnu Mubarok dalam pengungkapan lafaz ‘kemungkinan’.
Kajian makna tasahhul dan tasyaddud menurut ulama, penguraian sumber-sumber argumen dari statemen para ulama, berjumlah sepuluh.
Penjelasan dalil-dalil ini menurut Al Khotib, Ibnu Rajab Al Hanbali, Ibnu Sholah dan Ibnu Wazir Al Yamany.
Tiga Sistem periwayatan hadits Al Tsaury.
Penguraian penulis tentang sistem para ulama periwayatan dan memercayakan periwayatan, dalam hal ini mereka tidak terbatas atas apa yang dijadikan landasan hukum.
Sistem yang paling kuat menurut penulis dalam sikap para ulama terhadap hadits-hadits dho’if yang berkaitan dengan keutamaan ibadah.
Perlu diperhatikan : Dalam mengambil kesimpulan dari hadits tersebut yang tidak memenuhi kriteria perincian, ukuran dan batasan yang belum ditetapkan.
Dua poin di atas merupakan kesimpulan dari tulisan ini.
Pembahasan statemen ulama yang sesuai dengan pendirian penulis.
Komentar Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dalam kitab majmu’ al fatawa ketika menjelaskan maksud para ulama dalam masalah tasahhul dan pengamalan hadits dho’if dalam pengamalan keutamaan ibadah.
Ibnu Taimiyah Mensyaratkan Hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah adalah hadits yang telah ditetapkan hukumnya dalam hukum syar’i.
Dikotomi Ibnu Taimiyah tentang statemen Imam Ahmad dalam masalah tasahhul dan ulama yang mengatakan dalam masalah pengamalan.
Statemen Ibnu Taimiyah yang lain dalam kitab ‘Majmu Al fatawa’.
Statemen Imam Al Syatibi dalam kitab Al I’tishom dengan ringkas.
Statemen Syeikh Ali Al Qory dalam kitab ‘Mirqat Al Mafatih’
Statemen Abdulrahman Al Muallimy dalam kitab Al Anwar Al Kasyifah.
Petunjuk Penulis yang telah mengumpulkan tulisan yang menunjukkan kedudukan Syeikh Al Muallimi termasuk di dalamnya biografy dan statemen beliau tentang rawi, sejarah, mustholah al hadits dan sebagainya yang semuanya telah ditulis dan diteliti.
Menjelaskan kesalahan Abdul Hay Al Lucknowy dalam kitab dimana beliau berpendapat bolehnya penetapan suatu perkara dengan hadits dho’if.
Faidah : penguraian tentang perbedaan antara ulama salaf dan kontemporer ketika meriwayatkan hadits dengan isnadnya tanpa menjelaskan sisi kelemahannya. Hal ini walaupun populer diantara ulama salaf namun tidak demikian pada ulama kontemporer seperti yang dikatakan oleh Al Sakhowy.
Pasal III
Pengurain syarat mazhab yang pertama tentang kaidah ini dan kajiannya.
Kutipan Al Hafidz Al Sakhowy dalam kitab ‘ Al Qaul Al Badi’ ‘ Tentang syarat pengamalan hadits dho’if menurut Ibnu Hajar Rahimahullah; yaitu tiga syarat.
Syarat keempat menurut Ibnu Hajar dalam kitab ‘Tabyin Al Ajib Bima Warada Fi Fadl Al Rajab’ Ini adalah syarat yang sangat penting.
Syarat kelima dan keenam yang ditambahkan penulis, dua syarat ini disebutkan dalam statemen Ibnu Taimiyah.
Kajian terhadap syarat-syarat di atas.
Statemen Abi Ishaq Al Syatibi dalam kitab Al I’tishom, Statemen ini sangat panjang dan bermanfaat berisi penjelasan maksud ulama syalaf dalam masalah tasahhil dan penjelasan segi kesalahan ulama kontemporer dalam memahaminya.
Ringkasan statemen Al Syatibi.
Diskusi Al Nawawy Rahimahullahu tentang apa yang disebutkannya dalam kitab Syarh Al Muslim berisi sarannya dalam menyikapi periwayatan hadits dho’if yang berkaitan anjuran, larangan dan keutamaan ibadah yang dilakukan oleh ulama terdahulu.
Faidah : Komplikasi diantara perbuatan yang diakibatkan misinterpretasi dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan.
Komentar terhadap syarat keempat yang ditambahkan oleh Al Hafidz dalam kitab Tabyin Al Azib.
Penjelasan sistem penulis dalam pemaparan buku ini.
Pasal IV
Penguraian tentang mazhab kedua yang mepersamakan antara hadits yang berkaitan dengan hukum dan yang berkaitan dengan keutamaan ibadah.
Statemen Imam Muslim dalam mukoddimah kitab ‘Sohih’nya.
Statemen Ibnu Rojab dalam kitab ‘Syarhu ilal Al Thurmuzi’.
Statemen Al Sakhowi dalam kitab ‘fathu al Mughits’ yang berisi tentang mazhab Abi bakar bin Al Arobi Al Maliki.
Statemen Syeikh Jamaludin Al Qosimim dalam kitab ‘Qowa’id tahadus’ dalam memperkuat mazhab Bukhori dan Muslim.
Statemen Ibnu Sayid Al Nas dalam kitab ‘Uyun Al Atsar’ yang berisi tentang mazhab Ibnu Mu’in dalam hal ini.
Statemen Al Sakhowi yang lain tentang mazhab Ibnu Hazm.
Stateman Syathibi dalam kitab Al ‘I’thishom’
Statemen Al Syaukani yang dikutip dari tulisan ‘bazlul jihad’ karya Abi Abdillah Adil al Sa’idani.
Statemen Abi Syamah Al Mukoddasi dalam kitab ‘Al ba’its ala Inkar al Bid’I wa al hawadits’.
Statemen Ahmad Muhammas Syakir dalam kitab ‘Syarhu Alfiyah Al Suyuthi’
Statemen Imam Al Albany dalam mukodimah kitab ‘Sohih al Jami’.
Statemen Ustadz Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid dalam komentarnya terhadap kitab ‘ Taudih Al Afkar’
Pasal V
komentar terhadap mazhab kedua , pemaparan dalil-dalil mereka . ini adalah mazhab yang kuat menurut penulis.
Ringkasan dalil-dalil mazhab kedua yang dibagi menjadi 4 point.
Diskusi Ibnu Hajar Al Haitimi atas apa yang dikatakanya dalam kitab ‘Fathul Mubin Syarhu Al Arba’in’, dalam catatan kaki.
Hasits sohih dan pembagiannya tidak membutuhkan hadits dho’if dalam suatu hal di syar’i.
Statemen Muslim dan Ibnu Hibban dalam hal ini.
Keterangan penulis dalam masalah ini secara logika. Dan dikutip dari Ibnu Hazm.
Hadits dho’if menyebabkan prasangka yang lemah.
Kerusakan –kerusakan yang disebabkan kaidah ini.
Diskusi Suyuthi rahimahullahu atas apa yang dikalimnya bahwa cukup dengan kelemahan hadits yang berkaitan dengan hal memuliakan kedua orang tua nabi SAW dan menetapkan keiman mereka. Dan menjadikan hadits ini bagian dari hadits dho’if yang dapat dijadikan landasan dalam keutamaan ibadah. Menjelaskan bahwa hadits ini dho’if bahkan palsu. Karena hadits ini berkaitan dengan penetapan keimanan, ini adalah masalah tauhid.
Diskusi Tahawuni atas pernyataannya dalam kitab ‘Qowa’id fi Ulum Al Hadits’ bahwa Bukhori bersikap permisif(tasahul) dalam hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan. Penjelasan sisi cacatnya untuk mengutip pernyataan Al hafiz Ibnu Hajar dalam mukodimah kitab ‘Al Fath’ atas muhammad bin abdurahman Al Tofawi.
Faidah
Penguraian tentang usaha Syu’bah dalam meneliti hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah, demi mengetahui kebenaran isnadnya. Dan perjalanan yang ditempuh beliau dalam hal ini.
Kalimat Ibnu Addi dalam kitab ‘Al Kamil’ tentang hadits ini, yaitu tentang keutamaan shalat dua rakaat setelah wudhu’.
Ketelitian Syu’bah dalam mengkritik isnad hadits dan meneliti para perawinya.
Perjalam dari Kufah ke Makkah, kemudian ke Madinah sampai ke Basroh, untuk mencari sumber hadits ini.
Pelajaran yang diambil dari cerita ini.
Hadits ini berkisar tentang keutamaan ibadah.
Kaidah ini tidak ditolak oleh beliau.
Didalamnya mengandung gambaran tentang usaha para ulama salaf dalam meneliti kebenaran suatu hadits.
Disalamnya mengandung pelajaran untuk tidak langsung mempercayai apa yang didengar, tetapi harus melalui proses penelitian kebenaran akan apa yang didengarnya.
Mengungkap kekurangan para da’I dan orang yang suka menasehati yang tidak mengetahui ilmu hdadits sedikitpun namun mengklaim diri mereka sebagai ahli fikih, huffaz dan ahli hadits.
Menyebutkan contoh dari da’I seperti mereka, yaitu Syeikh Wukur. Penulis kitab ‘Al Sunah baina ahlu Al Fikh wa Ahlu Al Hadits’. Peringatan dari kesesatan yang disebabkanya.
Penguraian mazhab ketiga yang membolehkan pengamalan hadits dho’if secara mutlak, mengutamakannya diatas qiyas dan pendapat ulama, tanpa membatasinya dengan keutamaan ibadah dan sebaginya. Bahwa yang dimaksud dho’if disini adalah hadits hasan .
Penguraian tentang hal aini oleh Imam Ahmad , Abi daud dan Abi Hanifah.
Permasalahan yang ada dalam mazhab ini.
Syeikh Islam Ibnu taimiyah yang menghilangkan permasalahan ini dari aslinya. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dho’if dalam pernyataan Imam Ahmad adalah hadits hasan dalam istilah para ulama kontemporer, seperti Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.
Pembagian hadits menjadi: shahih, hasan dan dho’if, inilah pembagian hadits yang dikenal dari Thurmudzi. namun pembagian hadits menurut ulama salaf hanya berupa hadits sohih dan dho’if, hadits dho’if mencakup hadits hasan dan yang mendekati hasan.
Statemen Ibnu Qoyim dalam kitab I’lam Al Muwaqi’in yang menyerupai statemen Ibnu Taimiyah, didalamnya terdapat penjelasan tambahan.
Para ulama menerima dengan baik pernyataan Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qoyim.
Lampiran bermanfaat.
Memaparkan hadits-hadits dho’if dan palsu yang terkenal dalam cakupan kaidah ini, sebgai peringatan agar tidak menisbatkannya kepada Rasulullah SAW, apalagi sampai mengamalkannya.
Syarat penulis dalam lampiran ini, yaitu harus tersebut harus terkenal tanpa pengkhususan dho’if berdasarkan penulisan. Sifat terkenal ini adalah suatu yang relatif.
Macam-macam hadits yang ada dalam lampiran ini.berdasarkan segi kelemahan.
Pemaparan buku-buku yang dijadikan pedoman oleh penulis dalam menguraikan hadits-hadits ini, bagi orang yang ingin menelitinya.
Urutan hadits berdasarkan bab.
Iman, taubat, nasehat dan akhlak yang mulia.
Keutamaan al quran, do’a-do’a dan dzikir.
Etika dan fitnah.
Keutamaan Nabi SAW.
Keutamaan Umat Islam, para khalifahnya, ahli bait, seluruh sahabat, orang-orang selain mereka dan keutamaan tempat-tempat tertentu.
Akhlak, kebaikan dan hubungan silaturahmi.
Adab dan meminta izin.
Sejarah Nabi.
Perdagangan, usaha dan zuhud.
Kesucian.
Sholat.
Sedekah, puasa, haji dan nikah.
Ilmu pengetahuan.
Penutup.
Sumber bacaan.
Daftar isi.
1 Sahih, Telah ditakhrij dalam buku “Al Fusul fi Sirah Al Rasul” (Fase-Fase Sejarah Rasulullah SAW) diteliti oleh penyusun
1 Al Bukhori di Shohihnya (1/194-Al Fath)
1 Pembukaan Shohih Muslim ( 1/14) hadits ini telah diteliti oleh penyusun di buku As Syama’il Al Muhammadiyah (nomor 417)
2 Dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak , lihat pembukaan Shohih Muslim ( 1/15)
3 Pembukaan Shohih Muslim (1/15) bab ke-lima
1 Bentuk jamak dari daijûr yang artinya kegelapan
2 Turuhât ; kebathilan, bentuk tunggalnya turhat. Arti aslinya adalah jalan yang kecil yang terhapus dengan jalan yang lebih besar
1 Saya menyebutkan dua mazhab dan tidak menyebut tiga mazhab sebagaimana yang dikenal dalam kitab-kitab dan tulisan-tulisan karena buku ini memaparkan tentang pendapat kelompok-kelompok manusia dalam hukum mengamalkan hadits dho’if secara mutlak tanpa pengkhususkan dalam keutamaan ibadah. Tesis ini tentang keutamaan ibadah sebagaimana judul. Telah saya susun sebuah pasal pada akhir buku ini yang menyebutkan mazhab ketiga, yaitu mutlaknya menjadikan hadits dho’if sebagai dalil serta mendahulukannya diatas qiyas dan pendapat ulama biasa.
1Demi Allah SWT kecuali bila sumber dalil tersebut diluar jangkauan saya, hal ini sangat sedikit,maka saya menisbatkan dalil kepada yang menyebutkannya.
1 Lihat catatan kaki nomor 1
1 Ini yang dimaksud kebanyakan ulama, An Nawawi rahimahullahu tidak menyebutkan selain syarat ini, ini merupakan perkataan yang benar dibandingkan dengan apa yang dikatakan Syeikh Nawawy dalam Matan at Taqrib yang dijeaskan oleh As Suyuthi dalam kitab At Tadrib ( 1 / 298 ), beliau juga menyebutkan syarat lain yang akan saya bahas pada pasal ke-tiga. Insyaallah .
1 Mengkhususkan Nawawy sebagai yang pertama kali memperkenalkan , untuk membedakan dengan orang lain yang menukil perkataan An Nawawy, sedangkan pendapatnya tidak dikenal, kemudian menjadi dasar hukum bagi orang sesudahnya. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Nawawy. Penulis mengangkat hal ini sehingga tidak seorangpun mengaku bahwa si fulan termasuk mereka. Sedangkan dia tidak dikenal, sebagaimana yang terjadi pada Imam nawawy. Maka penyusun akan berkata : tetapi dia tidak terkenaldan orang tidak meriwayatkan darinya. Maka berhati-hatilah.
1 Yang dimaksud adalah kaidah dalam mengamalkan hadits dho'if.
2 Yaitu pemimpin orang mukmin dalam hadits Abu Bastom Syu’bah Bib Al Hujaj rahimahullahu.
3 Yang dimaksud adalah terlalu memudahkan dalam isnad hadits
5 Ditampakan oleh Al Qosimy di buku Al Qowa’id. Yang semuanya akan diterangkan pada bab ke-tiga
1 Di sebutkan dalam kitab Al Umm jilid 6 / 91
1 Laki –laki mali’ yaitu yang dapat dipercaya. Sebagaimana dalam kitab Mukhtar shohah. Jika dikatakan lelaki mali’ artinya lelaki yang mulia yang memenuhi mata dengan kesempurnaannya. Sebagaimana dalam buku Al Mu’jam Al Wasith
1 Dalam buku Al Ma’rifah karangan Al Baihaqy (2: 449)
2 Syarhun Nawawy (1 : 45 )
3 Syarhun Nawawy (1 : 47 )
1 Dikatakan An Nawawi dalam Syarhun Nawawy, mereka adalah orang yang bodoh, tidak mempunyai ilmu dan tidak mempunyai kecerdasan
1 An Nawawi berkata Al Sitâroh dengan kasroh pada huruf sin adalah alat untuk menutup. Dalam kalimat ini berarti menjaga.
1 Halaman : 6
2 hadits shohih ,diriwayatkan oleh Al Bukhori dalam shohihnya, buku hadits para nabi, bab yang menyebutkan tentang bani israil nomor ( 3461), dan At Thurmuzi dalam al ilmu nomor (2671) dan juga ulama lainnya selain mereka dari hadits Abdullah Bin Amru RA
1 Hadits shohih, diriwayatkan Muslim dalam pengantar buku shohihnya ( halaman 62 – dengan penjelasan Nawawi) dan Ibnu majah dalam pengantar kitab sunahnya, bab melarang keras kesengjaan berbohong ats Rasulullah SAW, hadits nomor 39.
2 Hadits shohih, yang diriwayatkan dengan lafadz ( barang siapa yang mengatakan suatu hadits dariku): Imam Muslim pada pengantar buku shohihnya halaman : 62. Dan thurmudzi di al ilmu nomor 2799 dengan lafadz ( siapa yang meriwayatkan): Ibnu Majah pada al mukoddimah nomor 40 dari hadits Ali bin Abi Tholib RA. Mereka bertiga mempunyai hadits-hadits dengan banyak dalil. Saya cukupkan dengan menyebutkan ke benaran hadits-hadits mereka.
1 Ini adalah perkataan shahabat, atau hadits yang perawinya hanya sampai sahabat atau thabi’in. Nawawi rahimahullahu biasa mengutamakan rawi yang lebih kuat secara mutlak. Karena itu beliau meneliti sambungan antar rawi. Kaidah ( bertambah kuatnya rawi maka dapat diterima) bukannya ditolak. Yang rincinya bisa dilihat di buku Mustolah al hadits.
Perkataan sahabat ini ( atsar) ada yang tidak menerapkan kaidah ini, diantara yang mengkhususkan dengan penambahan sambungan antar rawi : Ali Bin Hafs Al Mada’I, seorang yang jujur. Beliau ditentang oleh 6 orang hufadz ( yang menghafal lebih dari 100.000 hadits) yang diketuai oleh Ibnu Mahdi .Telah dijelaskan hadits yang perawinya hanya sampai thabi’in : imam para ulama dalam Ilmu al Ilal. Ulama yang dikenal dengan hafalannya, keritikannya dan kekuatannya : Al Darulquthni rahimahullahu ini adalah salah satu hadits yang diteliti oleh Imam Muslim. Sebagaimana dalam buku ( Al Ilzamat wa tatabbu’) milik Imam Muslim. Hadits nomor 1.
Atsar ini dibenarkan oleh perkataan Umar dan Ibnu Mas’ud RA dengan lafadz ,” Seseorang itu akan berdosa jika mengatakan semua yang dia dengar”. Muslim meriwayatkan dari mereka berdua dalam pengantar buku shohihnya , bab ke-tiga : larangan mengatakan semua yang didengar. Halaman: 74-75.
1 Halaman ; 11
1 Bagaimana dengan zaman sekarang?? Allah SWT lah tempat kita memohon bantuan.
2 Halaman :13. Maksud hadits ini sebagai ancaman bagi orang yang menempatkan dirinya pada kondisi yang tidak sesuai, mennyandarkannya kepada yang bukan ahlinya, menisbatkan dirinya kepada Rasulullah SAW semua hadits yang dia dengar tanpa membedakan yang shohih dari yang lemah, dan memberi fatwa berdasarkan itu semua.
1( Bagaimana bisa?? ) seperti jawaban dari perkataan Abu Hatim pada awal kalimat (. Barang siapa yang tidak menjaga sunah Rasulullah SAW….),akan tetapi panjang jarak antara keduanya. Yang pertama secara literal mengulang kembali kalimat pertama sebelum awal jawab, dengan adanya keterkaitan kalimat pertama dengan terakhir, seakan-akan Abu Hatim berkata : siapa yang tidak menghafal semua itu, bagaimana bisa diizinkan…
1 Hal : 25
2 Pernyataan ini merupakan salah satu dalil golongan yang melarang hadits dhoif secara mutlak sebagaimana akan kami terangkan.
3 Hal : 27
1 Hal : 32
1 Kaum ini diibaratkan dengan mereka yang dikuasai oleh akal dan menjadikannya sebagai dasar hukum syar’I, yang sesuai dengan akal mereka jadikan hukum sedangkan yang bertentangan ditolak. Inilah cara ahli bid’ah semoga Allah SWT menyelamatkan kita semua dari kesesatan.
1 Pernyataan Abu Bakar Al Khotib merupakan pernyataan yang baik, mengandung banyak faidah,setiap kalimatnya membutuhkan penjelasan dan penelitian yang terpendam, kalau bukan karena penyusun buku ini menghindari penjelasan yang terlalu panjang pasti akan beliau tulis semuanya dalam buku ini. Karena itu beliau hanya memaparkan pernyataannya ini saja, agar lebih bermanfaat dan berfaidah.
1 Hal : 133
2 penulis buku ( al kamil fi al du’afa) yang diriwayatkannya dalam kata pengantarnya halaman : 159, dan juga diriwayatkan al khotib dengan sanadnya.