C. Proses Terjadinya Naskh Dan Pembagian Naskh
1) Naskh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, naskh hukum iddah selama satu tahun, telah dinaswkh dengan hukum iddah selama empat bulan 10 hari.
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Al-Baqarah: 240)
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (Qs. Al-Baqarah: 234)
2) Naskh Al-Qur'an dengan hadits
a. Naskh Al-Qur'an dengan hadist ahad.
Jumhur berpendapat hal ini tidak boleh, sebab Al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanniy, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum dengan yang dugaan.
b. Naskh Al-Qur'an dengan hadits mutawatir.
Hal ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (Qs. An-Najm: 3-4)
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (Qs. An-Nahl: 44)
Sedang Imam Syafi'I, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?." (Qs. Al-Baqarah: 106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-Qur'an.
3) Naskh sunnah dengan Al-Qur'an
Jumhur ulama' membolehkannya. Seperti, masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan didalam Al-Qur'an tidak terdapat dalil yang menunjukkkannya. Kemudian dinaskh oleh Al-Qur'an dengan firman Allah:
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (Qs. Al-Baqarah: 144)
Naskh yang pertama kali dalam Al-qur'an adalah naskh tentang qiblat.
4) Naskh sunnah dengan sunnah
Dalam katagori seperti ini terdapat empat bentuk. Naskh mutawatir dengan mutawatir, naskh ahad dengan ahad, naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.
Hikmah Adanya Naskh Dalam Al-Qur'an
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat manusia.
3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. DEFINISI
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat tanpa sesuatu qayyid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu indifidu tidak tertentu dari hakekat tersebut.
Muqayyad adalah lafazh yang telah di hilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juz'I, atau Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakekat dengan qayyid (batasan), seperti kata "raqabah" (budak) yang dibatasi dengan iman dalam ayat:
"(hendaklah) ia memerdekakan budak beriman." {Qs. An-Nisa': 92}
2. MACAM-MACAM MUTLAQ DAN MUQAYYAD DAN STATUS HUKUMNYA MASING-MASING
Mutlaq dan muqayyad mempunyai bentuk-bentuk aqliyyah dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan sebagai berikut:
a) Sebab dan hukumnya sama.
Misalnya "puasa" untuk kafarah sumpah. Lafazh itu dalam qira'ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf di ungkapkan secara mutlaq:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." {Qs. Al-Ma'idah: 89}
Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan tatabu' (berturut-turut) dalam qira'ah Ibnu Mas'ud :
فصيام ثلاثة أيلم متتابعات
"Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut." Dalam hal seperti ini, pengertian lafazh yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimakdus oleh lafazh mutlaq adalah sam yang dimaksud oleh muqayyad), karena "sebab" yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan secara berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira'ah tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat golongan yang pertama. Maka dalam kasus ini di pandang tidak ada muqayyad yang karenanya lafazh mutlaq dibawa kepadanya.
b) Sebabnya sama namun hukum berbeda.
Seperti lafazh "tangan" dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku-siku. Allah berfirtman:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }
Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana di jelaskan dalam firman-Nya:
"Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafazh yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Ghayali menukil dari ulama' Syafi'I bahwa mutlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat "sebab"nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
c) Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya, pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak "beriman" dalam kafarah pembunuhan tak senganja. Allah berfirman:
"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (dengan memberi maaf). Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman." {Qs. An-Nisa': 92}
Sedangkan dalam kafarah dhihar ia diungkapkan secara mutlaq:
"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." {Qs. Al-Mujadalah: 3}
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya, "puasa kafarah" ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:
"Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." {Qs. An-Nisa': 92}
Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaiman dalam firman-Nya:
"Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur." {Qs. Al-Mujadalah: 4}
d) Sebab berbeda dan hukumpun berlainan
Seperti, "tangan" dalam berwudhu dan dalam kasus pencurian. Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian di mutlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." {Qs. Al-Ma'idah: 38}
Dalam keadaan seperti ini, mutlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena "sebab" dan "hukum"nya belainan. Dalam hali ini tidak ada kontradiksi (ta'arud) sedikitpun.
MANTUQ DAN MAFHUM
Definisi Mantuq.
1. Secara bahasa.
Secara bahasa manthuq diambil dari kata An Nathq (النطق), yaitu berbicara. Maka manthuq adalah sesuatu yang dibicarakan.
2. Secara istilah.
Secara istilah mantuq adalah sesuatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafadz menurut ucapannya, yakni penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.
Macam-Macamnya.
a) Dzahir.
Secara bahasa: Al-Wadih (jelas). Adapun secara istilah dzahir adalah yang jelas maksudnya dengan sendirinya, tanpa memperhatikan unsur dari luar, dan apa yang dimaksud bukan maksud asli dari siyaq kalamya.
Sebagaimana firman Allah swt:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa': 3)
Ayat ini dari Dzohir lafadznya bermakna jelas yang langsung bisa dipahami yaitu memperbolehkan kawin dengan wanita yang dihalalalkan. Dengan konteks kalimat; "Fankihu maa thaaba lakum minannisa(maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ) . tetapi makna ini bukan menjadi maksud asal dari susunan kata-katanya(siyakul kalam), karena maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu .
Hukum dzahir.
1. Dzahir memungkinkan untuk ditakwikan, atau merubah dari makna dzahir kepada makan yang lain. Seperti mengkhususkan yang umum, atau membatasi yang mutlak. Begitu juga memungkinkan bermakna majazi atau selainnya.
2. Wajib di amalkan sesuai dengan makna Dzahirnya selama tidak ada dalil yang menyelisihinya, atau mentakwikan dari makna dzahirnya. Karena tidak ada perubahan lafadz dari dzahirnya kecuali dengan dalil.menuntut untuk mengamalkan dengan selain yang dzahir.
3. Nash.
Nash adalah lafadz yamg bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas(sarih) tidak mengandung makna lain.
Sebagaimana Firman Allah :
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera ( Qs.An-Nuur:2)
Penyifatan "seratus jilidan" menunjukan lafadz yang berbentuk nash yang tidak menerima kemungkinan makna lain.
Hukum nash.
Nash sama dengan zhahir. Artinya ia wajib diamalkan sesuai dengan nashnya dan para fuqoha' mengatakan: "Setiap nash di dalam Al-Qur'an dan As-sunnah selalu berbentuk ijma' maksudnya tidak di ragukan lagi akan wajibnya beramal dengannya .
4. Dalalah Isyarah.
Isyarah adalah lafadz yang menunjukkan makna yang tidak dimaksud pada mulanya.
Menurut Dr. Sulaiman Al Asyqar, isyarah adalah lafadz yang dipahami diluar apa yang dimaksudkan oleh mutakalim(yang berbicara), siyaq kalam tidak dimaksudkan untuk, tapi mengikuti maksud dari perkataan.
Misalnya dalam firman Allah:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur denga istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepada kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapka Allah untukmu, dan makan dan minumlahhingga jelas bagi kamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…" ( Al-Baqarah: 187)
Maksudnya ayat ini menunjukan syahnya puasa bagi orangyang pagi-pagi masih daklam keadaan junub sebab ayat ini membolehkan bercampur sampai dengan terbit fajar, sehingga tidak ada kesempatan untuk mandi. Keadaan demikian menuntut atau memaksa kita pagi-pagi dalam keadaan junub. Membolehkan malakukan penyebab sesuatau berarti membolehkan pula meklakukan sesuatu itu. Maka membplehkan bersetubuh sampai pada bagian waktu terakhir dari mlam yang tidak ada lagi kesempatan untuk mandi sebelum terbit fajar, berarti membolehkan pula pagi-pagi dalam keadaan junub.
Hukum isyarah.
Al Mulakhusru berkata:"Penunjukkan dalil dengan isyarah adalah qath'i(tegas) secara mutlak."
Mafhum
A. Definisi Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafal tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.
B. Mafhum Muwafaqah
Dan mafhum terbagi menjadi dua bagian, pertama; Mafhum Muwafaqah. Adalah mafhum yang hukumnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafal.
C. Pembagian Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah terbagi menjadi dua. Pertama; Fahwal Khithab; Yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya seperti terdapat pada sebuah ayat,
"… Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"…"
Mantuqnya ayat di atas adalah haramnya mengatakan "ah", oleh karena itu keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
Kedua; Lahnul Khithab; Yaitu apabila hukum mafhum sama dengan hukum mantuq. Misalnya dalam firman Allah,
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."
Ayat di atas menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan yang bagaimanapun juga. Dalalah demikian disebut lahnul khithab karena ia sama nilainya dengan memakannya sampai habis.
Kedua mafhum ini disebut mafhum muwafaqah karena makna yang tidak disebutkan itu hukumnya sesuai dengan hukum yang diucapkan, meskipun hukum itu memiliki nilaitambah pada yang pertama dan sama pada yang kedua.
D. Mafhum Mukhalafah
Kedua; Mafhum Mukhalafah. Mafhum yang lafalnyamenunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum yang berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Allah Taala berfirman,
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir."
Bunyinya adalah haramnya darah yang mengalir. Sedangkan halalnya darah yang tidak mengalir adalah mafhum mukhalafah (pengertian kabalikan) dari bunyi nash dan untuk ini tidak ada petunjuk dari ayat, tetapi diketahui dari hukum asal mubah atau dengan dalil syara' yang lain. Seperti sabda Rasulullah Saw,
أُحِلَتْ لَكًُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، أَمَّا اْلمَيْتَتَانِ فَالسَّمَاكُ وَالْجَرَدُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.
"Dihalalkan bagimu dua bangkaidan dua darah; Dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati dan limpa."
E. Pembagian Mafhum Mukhalafah
Pembagian yang bisa digunakan sebagai hujah adalah konotasi terbalik dari hal berikut ini.
1. Mafhum Washfy (pemahaman dengan sifat)
Misalnya firman Allah Ta'ala dalam menjelaskan wanita yang haram untuk dinikahi;
"… (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…"
Mafhum mukhalafahnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti anak sesusuan. Sabda Rasulullah saw.
فِيْ السَّائِمَةِ زَكَاةٌ.
"Pada binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat.
Mafhum mukhalafahnya ialah binatang yang diberi makan, bukan digembalakan yang tidak perlu dibayar zakat.
2. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir)
Misalnya Allah Ta'ala berfirman,
"… Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..."
Mafhum mukhalafahnya adalah bila benang putih itu sudah nampak maka tidak boleh untuk makan dan minum yang berarti sudah muncul fajar.
3. Mafhum syarat (pemahaman dengan syarat)
Seperti firman Allah,
"… Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
Mafhum mukhalafahnyayaitu apabila isteri itu tidak dengan senang hati menyerahkan sebagian maskawinnya.
4. Mafhum 'Adad (pemahaan dengan bilangan)
Seperti firman Allah,
....
"…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari…"
Mafhum mukhalafahnya adalah kurang atau lebih dari tiga hari.
5. Mafhum laqab (pemahaman dengan julukan
Seperti firman Allah Ta'ala:
مُحَمَّدُ رَسُوْلُ اللهِ
"Muhammad adalah utusan Allah."
Mafhum mukholafahnya adalah selain muhammad. seperti sabda Nabi yang berbunyi:
فِيْ الْبُرِّ صَدَقَةٌ
"Pada gandum itu ada kewajiban zakat.”
Mafhum mukholafahnya adalah selain gandum.
Para ulaman ushul fikih sepakat untuk tidak menggunakan mafhum mukholafah nash bukan sebagai dalil pada suatu contoh dan sebagai dalil pada contoh yang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat bila menggunakan mafhum mukholafah nash sebagai dalil satu contoh saja.
6. Mafhumul Hashr (Pemahaman dengan pembatasan).
Allah Ta'al berfirman,
"Hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan."
Mafhumnya ialah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan, oleh karena itu ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
7. Mafhumul Hashr bi illa (Pemahaman untuk membatasi dengan kata Illa).
Contoh, kalimat لا إله إلا الله bentuk dari kalimat ini adalah meniadakan tuhan-tuhan dari berhala dan selainnya dan mafhumnya adalah menetapkan ketuhanan Allah. Inilah pembagian pemahaman yang paling kuat dari yang lainnya.
F. Kehujahan Mafhum
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat paling shahih, mafhum-mafhum tadi dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil/argumentasi) dengan beberapa syarat.
G. Syarat Kehujahan Mafhum
A. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka kebiasaan yang umum maka kata-kata yang ada dalam dalam pemeliharaan yang terdapat dalam ayat ;
"Dan anak-anak perempuan dari isteri-isterimu yang ada dalam pemeliharaanmu." tidak ada mafhumnya, (maksudnya ayat ini tidak dapat difahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi) sebab pada umumnya anak-anak perempuan isteri itu berada dalam pemeliharaan suami.
B. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Maka tidak ada mafhum bagi firman Allah:
"Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Sebab dalam kenyataan tuhan manapun selain dari Alalh tidak ada dalilnya, Jadi kata-kata "padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang hal itu" adalah suatu sifat yang pastiyang didatangkan untuk memperkuat realita dan untuk menghinakan orang yang menyembah tuhan selain Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dengannya dalil.
Kemu'jizatan Al-Qur'an
Definisi kemukjizatan dan ketetapannya
I'jas adalah menetapkan kelamahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerijakan sesuatu, lawan dari kemampuan.
Tahapan Rasulullah dalam menantang orang-orang arab tentang Al-qur'an:
1. Menantang mereka dengan seluruh al-Qur'an
2. Menantang dengan sepuluh surah
3. Menentang dengan satu surah
Aspek-aspek kemukjizatan:
• Abu Ishak Ibarahim an-Nizam (syi'ah), bependapat bahwa kemu'jizatan al-Qur'an adalah dengan cara sirfah (pemalaingan). Sirfah adalah bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menatang al-Qur'an padahaal mereka mampu untuk menghadapinya.
• Ada yang berpendapat: "Aaal-quran itu mu'jizat dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingnya.
• Segi kemukjizatan Al-Qur'an karena ia mengandung badi' yang sangat unik dan berbeda debngan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang Arab.
• Kemukjizatan Al-Qur'an terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu.
• Al-Qur'an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek kemukjizatan yang lainnya yang berkisar pada tema-tema di atas.
Kadar kemukjuzatan Al Qur'an
a. Golongan Mu'tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkatan dengan keseluruhan Al Qur'an, bukan dengan sebagiannya atau setiap surahnya yang lengkkap.
b. Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar dari al Qur'an, tanpa harus satu surah penuh , juga merupakan mukjizat.
c. Ulama lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah yang lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu ayah Al Qur'an, baik satu ayat atau beberapa ayat.
Kemukjizatan bahasa
Sejarah bahasa arab tidak pernah mengenal suatu masa dimana suatu bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut dihadapan bayan qur'ani, sebagai menifestasi pengakuan akan ketinggian akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya.
Di dalam Al Qur'an jalinan-jalinan huruf-hurfnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya.sehingga orang arab tidak dapat menndinginya meskipun ia turun ditengah mereka..
Kemukjizatan itu di dapatkan dalam keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya, sehingga telinga tak pernah bosan mendengarnya.
Kemukjizatan pula di dapatkan dalam macam-macam khitab, dimana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitasnya.
Kemukjizatan pula ditemukan pada sifatnya yang memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Dll.
Dostları ilə paylaş: |