data ihwal konservasi alam dan
pengelolaan satwa liar.
“Antara 1979 - 1982, Indonesia
juga mendapat bantuan dari FAO-
UNDP,” jelas Effendy. Bantuan
terakhir ini masih menyangkut
proyek pengembangan taman
nasional. Selain mendapatkan
proyek dari FAO-UNDP,
pemerintah juga mendukung penuh
pembentukan taman nasional. “Jadi
mulai 1979, Direktorat PPA sibuk
sekali mempersiapkan pembentu-
kan taman nasional di Indonesia,”
tutur Effendy.
Nah, penunjukan lima taman nasional pertama didasarkan pada sistem skoring FAO-UNDP tahun 1974-1978. “Intinya, lima taman
nasional itu perwakilan tipe-tipe
6
ekosistem. Dan merupakan satu
wilayah yang memang sudah bagus pengamanan, ekosistemnya dan lain-lain,” terang Effendy.
Pada saat itu, Effendy memaparkan, pemerintah mengeplot dulu kawas-
an taman nasional seluas mungkin, yang masih bebas dari manusia. “Setelah itu, baru dibentuk-bentuk sesuai dengan daerah jelajah satwa atau tipe ekosistemnya.”
Selanjutnya, dikeluarkan National
Conservation Plan pada 1982
sebanyak 8 volume, yang lengkap
dengan indikator-indikator pe-
nentuan taman nasional. Effendy
melanjutkan, penentuan lima taman
nasional tersebut berdasarkan pada
telaah ilmiah dan kemampuan
pengelolaan, yang pada saat itu,
memang masih lemah.
Sebagai sesuatu yang baru, publik menyambut baik taman nasional
ini. “Pada umumnya happy.”
Effendy menambahkan, “Waktu itu,
saya mempromosikan bahwa dunia
internasional akan membantu,
kalau kita telah mempunyai taman
nasional….”
Meski di Indonesia telah bertebaran
cagar alam, suaka margasatwa dan
hutan lindung, gagasan mendirikan
taman nasional didorong keingin-
an untuk mengikuti standar in-
ternasional IUCN. “Saat Kongres
Kedua, IUCN telah menekankan
untuk mengikuti kategori in-
ternasional, dan pada saat itu
belum ada soal itu (taman nasional)
dalam undang-undang. Kita masih
berpegang pada Undang-Undang
No. 5/Tahun 1967,” jelas Effendy.
ADANYA TAMAN nasional juga
menyebabkan berkembangnya
direktorat PPA menjadi direktorat
jenderal PHPA, dalam naungan
Departemen Kehutanan. Effendy
juga mengembangkan Bina Cinta
Alam, yang dipandang sangat
penting dalam pengelolaan taman
nasional, terutama terkait dengan
program penyadaran masyarakat.
“Dalam Bina Cinta Alam, harus ada
kader konservasi,” papar Effendy
yang telah membuat konsep Bina
Cinta Alam tahun 1983.
Lepas dari beragam dinamika
taman nasional sepanjang tiga
dekade yang telah berlalu, Effendy
menuai hikmahnya. “Dalam kon-
servasi, apapun juga yang kita
kerjakan, asalkan tekun dan yakin,
pasti akan berhasil. Kita juga harus
bersabar, karena konservasi bersifat
longterm, tidak bisa dilakukan
sesaat.”***
S
ebelum lima taman nasional pertama mewujud di
bumi Nusantara, sejak tahun 1969 telah terentang
beragam langkah demi memuluskan kelahirannya.
Berikut ini, setapak demi setapak jejaknya hingga tahun 1982 saat Kongres Taman Nasional Sedunia Ketiga berlangsung di Bali.
1969
Menghadiri Konferensi Umum IUCN ke-10 di India yang membahas
pengertian taman nasional.
1972
Menghadiri Kongres Taman Nasional Sedunia Kedua, di
Taman Nasional Yellowstone, AS. Kongres ini, salah satunya, menyetujui definisi taman nasional.
1974
FAO-UNDP Nature Conservation
and Wildlife Management Project
sampai 1978.
Bappenas mulai merencanakan Mengirim delegasi ke Seminar “National
pendirian taman nasional. Park and Equivalent Reserve” ke-10.
1977
• Bappenas menyetujui pendanaan bagi persiapan 12 calon
taman nasional.
• Management Plan calon taman nasional sampai 1981
disiapkan dengan bantuan WWF.
1979 1980 1982
• Program FAO-UNDP National
Parks Development Project
hingga 1982.
• Menjadi anggota Commission
on National Parks and Protected
Areas (CNPPA-IUCN).
• Persetujuan menjadi tuan rumah Adam Malik membuka
Kongres Taman Nasional ketiga di Bali. Kongres Taman Nasional
• Peresmian lima taman nasional pertama Sedunia Ketiga di Bali dan
di Indonesia. peresmian 11 calon taman
• Penetapan Subdirektorat Taman nasional di Indonesia.
Nasional, Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam.
• Usulan Strategi dan Program Konservasi
Sumber Daya Alam.
7
Gerbang wisata bagi khalayak ramai terbuka di
taman nasional. Menjejak usia tiga dasawarsa,
sebagian gerbang kokoh berdiri, yang lain rapuh.
Agus Sartono
“MENYUSURI CIGENTER dapat
memberi pertanda keberuntungan.
Ada pengunjung yang dapat
menjumpai berbagai satwa, tetapi
ada juga pengunjung yang sama
sekali tidak menemuinya,” tutur
Mamad salah seorang petugas
Ujung Kulon.
Cigenter, sebatang sungai di Ujung
Kulon, adalah salah satu tempat
yang menawarkan ketakjuban bagi
para pelancong yang berkunjung
ke Taman Nasional ini. Ini hanya-
lah secuil objek alam yang bisa
dinikmati di tanah tepi barat
Jawa itu.
Bisa dibayangkan betapa keindahan
Leuser, Ujung Kulon, Gede
Pangrango, Baluran dan Komodo,
yang berderet dari barat ke timur,
dengan aneka flora dan fauna
tropis. Lima taman nasional yang
terlahir bersama itu tak hanya
menjaga dan melindungi alam,
namun juga memanfaatkannya
untuk menyajikan keagungan alam
Nusantara.
8
Khalayak dunia juga telah
mengakui kekhasan pusaka alam
di taman nasional. Gelar Situs
Warisan Dunia dari UNESCO telah
tersemat di Leuser, Ujung Kulon
dan Komodo. Yang disebut terakhir
ini, bahkan kini sedang berjuang
dalam New 7 Wonders of Nature
(N7WN), kompetisi untuk tujuh
keajaiban dunia.
Taman nasional ibarat etalase
sejarah alam negeri ini. Meski tak
luas dan bebas, etalase itu hanya
mungkin digelar di taman nasional.
Dengan demikian, sejak tiga dekade
lalu dunia wisata Indonesia kian
semarak dengan lahirnya taman
nasional. Hanya saja, meski berbekal
flora, fauna, dan panorama bentang
alamnya, etalase lima taman
nasional pertama itu tak semuanya
terang benderang, sebagaian malah
redup.
MEMBENTENGI SALAH SATU ra-
ngkaian gunung berapi yang
menjalar dari Sumatera, Jawa
hingga Nusa Tenggara, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango
menampilkan ‘museum alam’
geologi pegunungan.
Lantaran itu pula, sejak lama, dan hingga kini, Gede Pangrango dikenang sebagai salah satu objek penelitian dan pendakian.
Bagi masyarakat seputarnya,
mendaki dan menjelajahi padang Edelweis menjadi kekhasan Gede Pangrango.
“Kegiatan pendakian ini sudah ada sejak lama,” jelas Didin Syarifudin, salah satu pengendali ekosistem
hutan (PEH) senior Gede
Pangrango.
“Kami biasanya dibantu para voluntir, untuk menjaga keamanan para pendaki,” tambah Sofyan, seorang polisi hutan senior yang piawai mengenali jenis tumbuhan di Gede Pangrango.
Namun, aktivitas pendakian itu tak
selamanya membawa berkah bagi
Gede Pangrango. Para pendaki yang
lazim mengaku sebagai pecinta
alam, rupanya tak semuanya benar-
benar menghayati arti menjaga dan
mencintai alam.
Sampah yang tercecer di sepanjang
jalur pendakian, tersebar di puncak
Gede Pangrango dan corat-coret
tangan jahil adalah sejumlah bukti
aktivitas pendakian berdampak
yang tak kecil.
“Kami sering diminta bantuan
oleh Taman Nasional untuk mem-
bersihkan sampah-sampah yang
ditinggalkan para pendaki,“ terang Rifky
Instiana, mantan sukarelawan Gede Ribuan pasang kaki telah menjelajahi salah satu jalur pendakian, dari tiga setapak
Pangrango. yang ada, di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat.
Situasi itu mendorong Taman
Nasional ini untuk tetap menjaga
keindahan dan kelestarian Gede
Pangrango melalui SKKB Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango
No. 93/11-tu/1/2009, 10 Agustus
2009.
Memang keadaan saat ini berbeda
dengan beberapa tahun silam.
“Tidak seperti dulu, para pendaki
adalah peneliti sehingga sangat
paham arti kelestarian. Saat ini, para
pendaki banyak yang tidak mampu
menjaga alam,” ujar Sumarto,
kepala Balai Taman Nasional Gede
Pangrango.
Kini, dengan adanya pemanduan
yang bersifat wajib, Sumarto
berharap, tidak hanya akan
semakin menjamin keselamatan
para pendaki, namun juga
mencegah pendaki bertindak tak
ramah terhadap ekosistem Gede
Pangrango.
Hanya saja, SKKB itu juga membawa dampak. Suara-suara tak setuju datang dari sejumlah pihak. Para pedagang di sekitar kawasan pun ikut merasakan menurunnya jumlah pengunjung.
“Pendapatan pedagang di sekitar
sini menurun karena adanya SKKB
itu,” tutur Instiana. Itu dampak
negatif; di sisi lain, jumlah sampah
yang tercecer di areal pendakian jauh menyusut. Hingga awal 2010, areal pendakian sudah bisa dikatakan bersih dari sampah.
Toh, tak semua pihak menentang
SKKB itu. Sejumlah pihak malah
menganggap hal tersebut wajar,
mengingat nilai kekayaan alam Gede
Pangrango. “Wisatawan asing akan
dengan senang hati membayarnya,”
kata Tangguh Triprajawan, juga
seorang PEH Gede Pangrango.
Kondisi bak bara dalam sekam
itu melecut Taman Nasional,
sebagai pengelola Gede Pangrango,
berembuk dengan sejumlah
kelompok pecinta alam pada 1
April 2010 silam untuk mencari
jalan tengah bersama. Hasilnya, revisi SKKB.
Selain revisi yang terkait soal wajib
pendampingan bagi pendakian
wisatawan mancanegara, bagi para
pendaki domestik juga dibedakan
antara yang wajib pendampingan
dan yang tidak.
Pendampingan tidak wajib dilakuk-
an, bila: pecinta alam dengan surat
organisasi; pelajar yang disertai
surat lembaga pendidikan; dan,
pecinta alam independen. Tentu
saja, para pendaki juga harus
memenuhi standar dan peraturan
pendakian di Gede Pangrango.
SELAIN KEINDAHAN ALAM,
taman nasional didirikan untuk melestarikan satwaliar yang ter-
ancam punah. Satwa yang menjadi spesies bendera (flagship spesies)
juga menjadi magnet untuk me-
narik wisatatan datang.
”Sebagian besar masyarakat di
sini sangat tergantung dengan
mawas (orangutan-red), meskipun
pada musim panen buah selalu
saja terjadi konflik antara pemilik
ladang dengan mawas,” tutur Daulat
Purba, tokoh masyarakat di Bukit
Lawang, Taman Nasional Gunung
Leuser.
Bukit Lawang adalah tempat Pusat
Pengamatan Orangutan Sumatra
(PPOS) yang keberadaannya tidak
bisa dipisahkan dengan masyarakat
sekitarnya. Masyarakat di sekitar
Bukit Lawang selama ini memang
mencoba menjaring rejeki di
kawasan ekowisata itu dengan
menjual jasa, pemandu, penjual
makanan, cinderamata, sampai
penginapan.
Daulat mengisahkan, konflik antara
pemilik lahan dengan orangutan
kala musim panen adalah lumrah.
Masyarakat peladang yang berlahan
9
di sekitar habitat primata besar
itu pun semakin dapat menerima kenyataan pahit, bila durian yang mereka gadang-gadang, ludes dipanen mawas. Bahkan, sejumlah warga rela menanami hutannya dengan pohon buah-buahan, khusus untuk orangutan.
Meski begitu, usai banjir bandang
yang meluluhantakan Bukit
Lawang pada 2003, akitivitas
pelesiran, beserta sendi-sendi yang
mengikatnya, sempat lumpuh.
Namun, saat ini Bukit Lawang
telah menggeliat kembali. Jumlah
pelancong manca negara, misalnya,
pelan-pelan mulai menanjak selepas
tahun 2004—dari 1.051 menjadi
8.544 orang pada 2009.
Seiring naiknya jumlah wisatawan, mau tidak mau harus pula diimbangi dengan peningkatan
kualitas pelayanan. Hal ini
membuat Seksi Pengelolaan Tam-
an Nasional (SPTN) Wilayah V
Bohorok merangkul para pihak
di Bukit Lawang melalui sebuah
forum untuk berkoordinasi secara
berkala.
Panorama Bukit Lawang menarik
UNESCO dan Pemerintah Spanyol
untuk turut serta membangun
kembali dunia pariwisata kawasan
ini. Salah satunya, renovasi besar-
besaran pusat informasi yang
ada di Bukit Lawang. Sayangnya,
pusat informasi itu belum
termanfaatkan secara maksimal. Hanya segelintir wisatawan yang tertarik memasukinya.
Menurut Kepala Sub-Bagian
Perencanaan dan Kerjasama, Rivan
Diwana, karya fenomenal yang
tercetak indah dalam sejarah Leuser
adalah Tangkahan, sebuah tempat
indah di Kabupaten Langkat yang
berkibar menjadi salah satu ikon
ekowisata di Leuser.
Istimewanya, ”The Hidden
Paradise” itu mewujud dari sebuah
kawasan yang beberapa tahun
silam sebagian besar penduduknya
menjadi penebang liar, yang kini
telah menjelma menjadi para
pekerja konservasi.
Pada perkembangannya, Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) sebagai pelaksana kegiatan ekowisata Tang-
kahan telah memiliki kesepakatan dengan Balai untuk mengelola kawasan ekowisata itu.
Di Tangkahan pula, pada 2007
para tokoh dan masyarakat seputar
Leuser menggelar Konferensi
Rakyat Desa Leuser demi untuk
kebaikan Taman Nasional ini.
Pertemuan yang juga dihadiri
Menteri Kehutanan M.S. Kaban
itu, melahirkan rekomendasi
untuk mengurai permasalahan kawasan Leuser, terutama yang berada di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
KADAL PURBA KOMODO Varanus
komodoensis, menjadi bukti
gamblang soal daya tarik satwa
liar yang dilindungi. Pada alam
nan kerontang di Taman Nasional
Komodo, ora, sebutan lokal untuk
Banjir yang melanda Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh Darusalam, sempat menurunkan jumlah pelancong yang berkunjung. Perlahan, dunia wisata kembali bergairah.
Bisro Sya’bani
10
ketaknyamanan pejalan yang berkunjung.
PELAJARAN BERHARGA terkait daya
dukung kawasan bisa dijumpai
di Taman Nasional Baluran, Jawa
Timur. Kini tak mudah untuk
menikmati kawanan banteng jawa,
Bos javanicus, lantaran savana Bekol
yang menjadi tempat berkumpul
satwa bendera Baluran itu tak lagi
memadai.
Sejak awal mula, Baluran dijuluki
Afrika dari Jawa, yang menampilkan
panorama padang rumput dengan
gerombolan banteng jawa, rusa
(Cervus timorensis), dan kerbau liar
(Bubalus bubalis).
“Saat itu, banteng, kerbau liar dan
rusa mudah dijumpai di Bekol,”
Suprayitno Sakera kenang Sukri yang menjadi pemandu
Keberadaa biawak komodo, Varanus komodoensis, melekatkan wisata Baluran pada 1983. Kawanan
citra kepurbaan pada Taman Nasional Komodo. kerbau liar sering bergerombol
mengayomi anakan kerbau jika
biawak raksasa itu, bertahan hidup
melewati pergantian zaman.
Tidak mudah menjumpai ora di
alam. Naga komodo itu biasa aktif
terbatas pada jam-jam tertentu:
pagi, 08.00-09.00 dan tengah hari,
11.00-12.00. Ini berbeda di lokasi
pusat pengunjung dan atraksi,
komodo sudah terbiasa menyambut
tamu yang datang.
Selain panorama daratan, perairan
Komodo juga memiliki keindahan
bawah laut yang luar biasa. Tidak
kurang 385 spesies koral dan lebih
1000 spesies ikan mengisi relung-
relung laut yang jernih berbatas
hamparan pasir putih nan lembut.
Hanya saja, sejumlah hal agaknya
masih perlu dibenahi untuk makin
membuat bersinar Taman Nasional
Komodo. Dalam rentang 30 tahun,
dengan bekal alam liar yang tak ada
duanya, Komodo sudah sepatutnya
meraih citranya.
Selama itu pula, diam-diam
tersebar beragam kelemahan.
Mulai dari yang remeh-temeh,
seperti penampilan petugas yang
tak rapi hingga sarana pendukung
tanpa karakter lokal atau pun tidak
adanya perencanaan tapak (site
plan) yang jelas.
Pada awal pengembangannya,
rencana tapak Taman Nasional
ini dibangun secara terencana
mengacu Management Plan 1978-
1982. “Hasilnya, sebuah arsitektur
Komodo yang disusun dengan
adaptasi lingkungan yang tinggi,”
kenang Puji Sumarto Pratjihno,
yang pernah menjabat Kepala Sub-
Balai KPA merangkap pemimpin
Proyek Taman Nasional Komodo
(1981). Sayangnya, hal itu kini
tinggal kenangan.
Dengan kondisi seperti itu,
menelisik daya dukung kawasan
Taman Nasional ini diperlukan
untuk pengaturan pengunjung,
melindungi potensi alamnya dan
pelayanan yang prima. Pengunjung
yang berlebihan akan mengancam
kelestarian objek wisata itu sendiri,
yang akhirnya menimbulkan
wisatawan mendekat. Sebaliknya,
“Banteng jawa bergegas pergi,” papar
Sukri yang kini koordinator polisi
hutan, “satwa ini memang pemalu.”
Kini pamor itu memudar. Rumpun
rumput Bekol tergerus berpinaknya
akasia duri, Acacia nilotica, yang
sengaja ditanam untuk sekat
bakar. Sayangnya, watak penyerbu
tanaman eksotik ini tak dipahami
saat pertama kali ditanam pada
1969.
“Saat itu, pengetahuan tentang akasia duri memang masih sedikit,” jelas Mahrudin polisi hutan Baluran. “Maksudnya memang baik untuk sekat bakar,” lanjutnya, “tapi belum tahu dampak invasif akasia.”
Perkara juga bertambah pelik. Sejak 2002, gersang benar-benar
menghantam savana Bekol yang
melecut menyusutnya populasi
banteng jawa. Baluran dikenal
sebagai Taman Nasional yang kering
kerontang. Hujan hanya membasahi
Baluran selama tiga bulan dalam
setahun.
11
Saat Presiden Abdurrahman Wahid
(1999-2001), atau Gus Dur, hendak
dimakzulkan, akses menuju Balur-an,
dari Surabaya dipandang tak aman.
“Saat itu, banyak pendukung Gus
Dur yang protes dengan menebangi
pohon di tepi jalan,” terang Sukri,
“orang enggan ke Baluran.” Setelah
itu, peristiwa bom Bali juga
mempengaruhi aliran wisatawan dari
pulau dewata itu.
Keadaan ini tak menyurutkan
semangat Baluran untuk menarik
kembali para turis menyambangi
Taman Nasional ini. “Banteng jawa,
khan ikonnya Baluran. Masak, datang
ke Bekol tidak ketemu banteng,” jelas
Bambang.
MESKI PARIWISATA BARU satu aspek
Padang Bekol Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, kini
lebih banyak dihuni kawanan rusa, Cervus timorensis,
semenjak populasi banteng terus menyusut.
Erwin Sugandhi dalam pengelolaan, namun hanya
di taman nasional kesempatan
untuk pamer warisan alam kepada
masyarakat bisa terbuka. Sebelum
dikenal taman nasional, bentuk
Dan, pertaruhan hidup-mati
banteng jawa sesungguhnya
terentang kala tanah dan padang
rumput berwarna kuning keemas-
an; saat hutan musim sedang
menggugurkan dedaunan. Kala
kemarau menggarang Baluran pada
titik terpanas. “Persoalan utama
sebenarnya air,” terang Muhammad Yusuf Sabarno, salah seorang Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Baluran.
Air yang mengalir melalui
rangkaian pipa dari Kacip, sebuah
mata air abadi di lereng Gunung
Baluran, dan Talpat mandek. Sejak
itulah, Bekol seperti neraka yang
mencekik banteng jawa—juga
satwa liar yang lain, yang berakibat
menyusutnya populasi banteng
jawa.
Untuk memasok air di savana
Bekol, sebenarnya juga ada
upaya untuk menyedot air tanah
dengan genset. Sayangnya, usaha
ini pun tak sepenuhnya lancar.
“Untuk menyedot air tanah Bekol
12
diperlukan biaya yang besar,” terang
Agus Bambang Haryono, kepala
Bagian Tata Usaha Taman Nasional
Baluran. Maklum, tenaga diesel
memerlukan bahan bakar solar.
Ikhtiar untuk menghadirkan
kembali air di sejumlah titik di
Bekol akan dilakukan pada 2010.
“Mulai 2010, akan dicoba dengan
tenaga sel surya untuk memompa
air tanah di Bekol,” jelas Bambang.
Keberadaan banteng jawa, dan
mamalia besar lainnya, di Baluran
diyakini menjadi salah satu penarik
wisatawan untuk datang. Namun
Sukri juga memiliki pandangan
lain, letak Baluran di Situbondo
punya pengaruh penting bagi
aliran wisatawan.
Taman Nasional ini terletak di
daerah tapal kuda (Pasuruan,
Probolinggo, Situbondo, Bondo-
woso, Lumajang, dan Jember), sebutan dari antropolog Clifford Geertz, yang banyak dipengaruhi subkultur kehidupan santri.
kawasan konservasi yang lain—
cagar alam, suaka margasatwa—tak
memungkinkan menjadi jendela
untuk mengintip keagungan alam
Nusantara.
Tentu saja tak gampang untuk meraih wisata alam yang ideal. Namun tekad tiga dekade lalu masih hangat dalam benak Indra Arinal, kepala Balai Taman Nasional Baluran.
Baginya memberi kesempatan bagi
khalayak untuk menikmati alam
melatari niat awal Baluran dijadikan
taman nasional. Indra memang
bertekad untuk memulihkan populasi
banteng jawa, “Apapun akan kita
lakukan untuk banteng jawa.”
“Agar banyak orang bisa menikmati
rona bumi yang berupa savana,
Dostları ilə paylaş: |