Agar Cinta Bersemi Indah
Penulis: M. Fauzil Adhim
Menerima pendamping kita apa adanya dengan tidak berharap terlalu banyak, merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat.
Sebagai hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang perlu menyeimbangkan harapan. Tak salah kita berdoa memohon suami atau istri yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan. Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan idaman.
Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita. Akan tetapi, semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk memperoleh kebahagian dan kepuasan.
Apa bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah karena terpesona oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak memikat lagi. Betapa cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus ditanggung.
Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah mensyukuri perkawinan.
Disebabkan oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah dan Rasul-Nya istri Julaibib mengikhlaskan hati untuk menikah dengan Julaibib. Yang baru semalam usia pernikahan mereka Julaibib mengakhiri hayat di medan syahid. Ketika ibunya merasa tidak rela dikarenakan rendahnya rendahnya martabat dan buruknya perawakan fisik, ia meminta agar orang tuanya menerima pinangan itu kalau memang Rasulullah saw. yang menentukan.
Orang yang melapangkan hati untuk menenggang perbedaan, cenderung akan menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas tidak ada, tetapi kesediaan untuk menenggang perbedaan membuat kita mudah untuk melihat kesamaan dan kebaikannya. Sebaliknya, kita akan merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali pendamping hidup kita, bila kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita sering menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan semakin tidak nyaman membina hubungan dengannya.
Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa mengilmui. Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang membinasakan. Semoga Allah pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan kerelaan menenggang perbedaan. Sesungguhnya telah berlalu umat-umat sebelum kita yang mereka binasa karena sibuk mempersoalkan perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi rahasia Allah.
Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya, dan mengeluhkannya akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak melapangkan hati untuk menenggangnya? Sesungguhnya menenggang perbedaan akan menumbuhkan kasih sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan mengharukan yang sekaligus membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang ia sukai.
Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia mempercayai ketulusan kita. Pertama, berikanlah perhatian yang hangat kepadanya. Besarnya perhatian membuat dia merasa kita sayang dan kita cintai. Kedua terimalah ia tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat menunjukkan bahwa kita mencintainya dengan tulus. Tidak mungkin menerima dia apa adanya jika kita tidak memiliki ketulusan cinta dan kebersihan niat. Ketiga, ungkapkanlah dengan kata-kata yang tepat.
Berkaitan dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang ahsan yang disampaikan oleh ustaz yang kini masih mengajar di jurusan Psikologi, UII, Yogyakarta ini. Yakni terminologi “aku” dan kamu”.
Saat kita mendapatkan bahwa masakan yang dibuat pasangan kita keasinan misalnya, maka gunakanlah kata ganti “aku” . “Aku lebih suka kalau sayurnya lebih manis, sayang” Tapi saat kita mendapatkan suatu kelebihan pada diri pasangan, ia sukses menggoreng telor dadar misalnya (biasanya ia menggoreng berkerak), maka kita gunakan kata ganti “kamu”. “Kamu memang pintar, istriku”. Kita gunakan kata “aku” untuk sesuatu yang sifatnya negatif dan “kamu” untuk sesuatu yang sifatnya positif. Untuk semua hal.
Tampaknya memang benar, karena penggunaan kata ganti “kamu” untuk sebuah kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita cenderung menyaran pada arti memvonis alih-alih memosisikan pasangan kita sebagai tertuduh.
Dalam perspektif pragmatik (linguistik), terminologi ini merupakan sebuah upaya penggunaan maksim kesopanan dengan tetap mempertahankan maksim kerja sama. Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada keduanya.
Berangkat dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi kita untuk sibuk mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi kekurangan yang sulit dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian yang nyata. Betapa pun banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan dengannya tak akan pudar jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Allah, barangkali di balik itu Allah berikan kebaikan yang sangat besar. Sebaliknya, sesedikit apa pun keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan mengingatnya, akan sangat memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi hubungan suami istri, tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.
Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah. Sesudahnya berupaya memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna. Bukankah kita sendiri mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut istri untuk sempurna? Ada amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada ruang untuk saling berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan saling mengeluhkan, alih-alih menyebut-nyebut kekurangan.
Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan. Berikanlah dukungan dan kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah bahwa kita memang sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti dan bersemangat mendampinginya.
Dalam buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya membahas seputar keikhlasan menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya beliau memandang masalah yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi batu karang yang cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih konflik dan alih-alih perceraian.
Seperti pada bagian akhir, beliau menjelaskan bagaimana upaya belajar itu tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti dengan belajar mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang kita bukan tidak paham jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik pertanyaan pasangan.
Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita bukan mendengar pasangan tetapi mendengar diri sendiri, kita bukan memberi solusi tapi malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar alih-alih
menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi malah memberikan pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah memberatkan. Benarkah?
Al akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping kekayaan itu dimulai dari ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk berbagi dan lebih mudah mendengar dengan sepenuh hati.
Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh, sudahkah kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah panggilan sayang untuknya. Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang paling remeh atau kecil sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian Ustaz Aa’ berpesan. Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil menambahkan. Agar cinta bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa berbunga dalam kehidupan kita.
Masya Allah.Subhanallah.
Alhamdulillahirabbil alamiin.
Wallahu alam bisshawab.
(bagi yang belum menikah tidak usah khawatir, jika engkau jaga risalah Allah adalah sebuah keniscayaan jika Allah kan berikan yang terbaik buat antum, sekali lagi terbaik dalam perspektif Allah, dan bukan perpektif kita)
Pernik-Pernik Pranikah
Pertanyaan
Assalaamu’alaikum Wr Wb Ba’da Tahmid & Sholawat, Ustadz Ihsan yang saya
Hormati,
Saya adalah seorang pemuda yang merindukan terbentuknya suatu generasi yang
Islami melalui pernikahan dengan membina rumah tangga yang ber-Orientasi ke
Syurga (Rumah-ku Laksana Syurga-ku/Baiti Jannati/Home Sweet Home).
Saat ini saya bekerja disebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Di
sela-sela kesibukan saya ada 2 hal yang menggelayut di fikiran saya. Pertama
masalah Pendidikan, karena saya bertekad untuk melanjutkan ke Sekolah yang
lebih
tinggi lagi. Dan yang kedua adalah masalah “Walimah”, karena teman-teman
sesame aktivis selalu membicarakannya (ehm.. ehm...).
Belakangan ini ada seorang muslimah yang singgah di hati saya. Dia adalah
teman
lama saya dan telah 4 tahun tidak berjumpa (beda sekolah). Dia berbeda umur
1
tahun dengan saya. Saat ini dia masih kuliah di Bogor.
Perasaan ini terkadang datang terkadang hilang. Meskipun saya menyukainya,
saya
belum menterjemahkan perasaan suka saya itu ke langkah-langkah yang lebih
taktis. Meskipun saya belum tahu perasaan dia sebenarnya, kemungkinan besar
dia
tahu perasaan saya itu, karena belum saya ungkapkan kepadanya secara
langsung.
Karena ingin menjaga hati dan khawatir merusak konsentrasi kuliah dia, saya
berusaha menyembunyikan perasaan itu sampai waktu yang belum bisa di
tentukan.
Saya meyakini bahwa proses awal yang bersih akan membawa ke rumah tangga
yang
berkah, Insya Allah.
Pertanyaan Saya adalah :
1. Untuk kasus saya ustadz, sebenarnya saya masih ragu apakah saya sudah pantas untuk “W” atau belum?! Mengingat usia saya masih .... 20 Tahun. Dan bagaimana tanggapan ustadz atas konsep “Pernikahan Dini” yang tengah santer disosialisasikan sebagai Solusi bagi masalah remaja. Mengingat ada sebagian
lain
yang masih mempertanyakan Realitasnya?
2. Tolong diperjelaskan batasan “ Ta’aruf “ itu didalam Islam? Dan apasih perbedaan yang substansial dengan “Pacaran”? Apakah ta’aruf bisa melalui Telephon? Karena tidak ada batasan waktu yang jelas dalam ta’aruf saya khawatir kalau proses ta’aruf itu menjadi “pacaran yang tersamarkan”, dan saya tidak mau terjebak dalam kedua istilah itu. Mungkin kalau ustadz tidak berkeberatan
ustadz
bisa menceritakan proses ustadz dahulu dengan istri tercinta.
3. Tolong diperjelas tentang “Nazhor” (Melihat calon pasangan) itu, apa saja yang boleh dilihat & apakah kita harus melakukannya secara formal dengan kita datang ke rumahnya, atau tidak mengikat waktunya (kapan saja) dan bagaimana batasannya agar tidak jatuh kepada “Zina mata”?
4. Terakhir Ustadz, bagaimana jika seorang pria tertarik dengan seorang wanita yang belum terbina? Maksudnya belum menutup auratnya dengan sempurna, tetapi Insya Allah dia “Hanif” dan mempunyai Akhlaq yang baik. Atau lebih baik menunggu datangnya seorang muslimah Idaman? Mengingat terkadang ada lho muslimah yang “Bocor” (he..he..).
Afwan sebelumnya kalau suratnya agak panjang. Saya do’akan ustadz sekeluarga
diberkahi oleh Allah SWT. Diberikan rezeki dari jalan yang tidak
disangka-sangka. Titip salam saya untuk istri. Insya Allah jawaban ustadz
berguna bagi lelaki yang sudah “JW” (Jiwa Walimah), tetapi belum berani
merealisasikannya.
Syukron, Jazakallahu Khoiru Jazaa. Amien.
Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Fikri - Tebet
Jawaban
Assalaamu’alaikum Wr Wb,
1. Jika anda sudah baligh, sudah pernah mimpi basah, maka anda sudah pantas untuk menikah. Jika anda bukan orang yang buta tuli lumpuh seluruh tubuh dan lemah mental, maka Insya Allah anda sudah pantas menikah dan mencari nafkah. Jika anda bukan peminat cinta sejenis, anda selayaknya segera menikah. Jika anda pengikut Nabi Muhammad SAW dan penghamba kepada Rabb Semesta Alam yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka anda wajib menikah segera setelah semua syarat terpenuhi. Jelas?
Konsep “Pernikahan Dini” adalah konsep yang terpaksa kita terima. Karena
sebenarnya pernikahan ya tetap pernikahan, segera setelah sanggup
menikahlah.
Terpaksa kita mengakui adanya konsep pernikahan yang dini (dibedakan dengan
pernikahan yang tua atau biasa) adalah karena masyarakat kita masih mengakui
konsep remaja. Katakanlah konsep ini dimaksudkan agar masyarakat kita
mempunyai
tahap peralihan dari adat non Islam ke adat Islam. Dalam Islam tak ada
istilah
remaja. Yang ada adalah fase anak (sebelum baligh dan belum berdosa) dan
dewasa
(sesudah baligh dan dosanya sudah dihitung). Yang pasti, seorang yang sudah
baligh seharusnya sudah dapat menjalankan seluruh kewajibannya sebagai istri
atau suami yang wajar termasuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap
keluarga.
Saat ini seorang yang baligh pada usia 12-13 tahun hampir bisa dipastikan
masih
pakai celana pendek (smp) dan belum mampu cari nafkah dan bertanggung jawab
terhadap anak istri. Kelak kalau syariat Islam sudah ditegakkan di mana-mana
tak
ada lagi konsep pernikahan dini karena semua pemuda menikah segera setelah
baligh!
2. Perbedaan pacaran dengan bukan pacaran: (1) niat. Niatnya jelas hanya mencari kesenangan syahwat semata. (2) Menghalalkan cara-cara berinteraksi yang berbahaya dan dilarang Allah tanpa alasan terpaksa. (3) tidak memberikan batasan waktu yang cepat dan pasti unutk mengakhirinya dengan pernikahan. Misalnya dikatakan: kami menikah sekitar 2-3 tahun lagi lah!
Kalau memang hubungannya dalam rangka ta’aruf, maka harus ada batas waktu
sampai
saat pernikahan. Sehingga menahan diri dalam penantian ini masih bisa
dibenarkan
jika sedang berproses untuk menghalalkannya sesegera mungkin. Wallahua’lam
apa
lagi. Hati kita sendirilah yang bisa menilai dengan jujur.
Yang jelas, jika anda sudah pernah kenal calon anda itu maka anda pun tak
butuh
aktifitas ta’aruf! Usul kami, jika sudah siap, lamar saja sekarang. Kami
dulu
rekan sefakultas yang sebelumnya memang akrab dalam aktivitas belajar
bersama
(grup belajar bersama 6 orang lagi). Segera setelah kami saling tertarik
kami
memproses untuk menikah, dan kemudian menikah. Antara mulai kenal sampai
menikah
sekitar 4 tahun, dan jarak antara mulai sepakat menikah dan akhirnya menikah
sekitar kurang lebih beberapa bulan saja. Harap dicatat, masa itu belum ada
istilah murobbi, ta’aruf (kami tokh sudah kenal) dijodohkan, atau bahkan
istilah
tarbiyahpun belum dikenal.
Saat itu menikah seusia kami dianggap sangat aneh (24 tahun, ditahun 1984).
Bahkan saat pertama kali kenal, saya (SAN) belum berjilbab dan kamipun masih
“sekuler”. Kami saling mengenal isi pikiran kami justru karena kami berubah
bersama menuju Islam. Alhamdulillah kami dilindungi Allah dari kesesatan.
Sebagai tambahan, saat menikah Pak Ihsan belum punya pekerjaan apapun selain
pengalaman mengajar bahasa Inggris, ia ‘melangkahi’ (mendahului menikah) 4
kakaknya dan saya (SAN) melangkahi 2 orang. Alhamdulillah semua baik-baik
saja
sekarang. Alhamdulillah, sekali lagi Alhamdulillah.
3. Yang dimaksud dengan proses melihat calon istri, harus dilakukan sesuai dengan aturan syari’at. Tak boleh melihat auratnya dan tak boleh berkhalwat.
Itupun hanya butuh satu (maksudnya satu kali pertemuan) kali melihat
(kecuali
terpaksa) tak perlu berkali-kali dan berulang-ulang sehingga seperti orang
wa-kun-car (wajib kunjung pacar) atau “ngapel”. Jika selebihnya bisa jatuh
ke
zina mata yaitu melihat dengan rasa ingin atau rasa kagum.
4. Anda berhak memilih siapapun calon anda dan dari suku, golongan, kelompok manapun asal anda tetap mengedepankan kriteria mencari yang shalihat. Jika anda mencari yang shalihat pasti yang MAU berusaha tutup aurat dan terbukti sanggup melakukannya (apalagi zaman sekarang tantangannya kecil dibanding zaman kami dulu). Saat ini jika seorang wanita masih enggan berjilbab padahal ia sudah tahu jilbab itu wajib dan lingkungan sudah mempermudah, kemungkinan besar ia wanita yang lemah kepribadiannya. Setidaknya ia adalah orang yang mendahulukan hal-hal lain sebelum mempedulikan Allah. Yang begini sulit disebut shalihat. Jika ada wanita baik akhlaknya namun belum berjilbab, mungkin dia belum tahu wajibnya jilbab. Maka kewajiban anda mengujinya, setelah memberitahu dan mengajarkan padanya aturan Allah ini.
Lain lagi hal wanita berjilbab yang tidak baik akhlaknya.... itu pasti
karena
kelemahannya sendiri, atau karena ia belum pernah diajarkan akhlak. Atau
untuk
lebih mudahnya, dapat kami katakan bahwa kewajiban berjilbab adalah bagian
dari
KEWAJIBAN berakhlak baik yang sejajar dengan berbuat baik kepada tetangga,
menghormati ortu dsb.
5. Amien atas do’a anda.
Wallahua’lam bishshowwaab
Wassalaamu’alaikum Wr Wb
HM Ihsan Tanjung dan Siti Aisyah Nurmi
Dostları ilə paylaş: |