KATA PENGANTAR
الحَمْدُ للهِ, والصّلاةُ والسّلامُ على رَسُولِ الله, سَيّدِناَ محُمَّدِ بْنِ عَبدِ الله, وَعلى آلهِ وَصَحْبهِ وَمنْ وَالاَه. أمَّا بَعْدُ.
Pengertian Islam
Agama Islam adalah agama yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa’: 107)
Ibnu Abbas dalam menafsiri Ayat tersebut berpendapat bahwa Rahmat tersebut mencakup orang yang beriman dan juga yang tidak beriman, namun bagi yang beriman rahmat itu terwujud berupa adanya kenikmatan di dunia dan akhirat, dan bagi yang tidak beriman adalah dengan diakhirkannya siksa dan tuntutan1. Hal ini juga sesuai dengan sabda Nabi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. 2
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa antara Iman dan Islam merupakan hal yang berbeda, karena makna Islam adalah tunduk/patuh secara lahiriyah, sedangkan makna dari Iman adalah keyakinan dan kepercayaan dalam hati yang mempunyai pengaruh terhadap perbuatan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa setiap orang mukmin sudah pasti muslim tapi setiap muslim belum tentu mukmin.
Allah SWT telah memberikan isyarat dalam Al-Qur’an tentang perbedaan ini. Firman Allah:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al Hujurat: 14)
Para Ahli tafsir menyebutkan kalau ayat ini turun pada orang-orang yang masuk Islam segi luarnya saja, supaya mereka tidak diperangi dan bisa mendapatkan bagian dari ghonimah (harta hasil perang), sedangkan hatinya tetap pada keyakinan Jahiliyah dengan tidak mau bersusah payah melaksanakan perintah jihad dan kewajiban-kewajiban yang lain.3
Islam Agama Universal
Agama Islam adalah agama universal. Pranata hukumnya masuk dalam semua aspek kehidupan manusia, dalam bidang ekonomi, sosial atau politik. Semua itu tidak terlepas dari hukum-hukum Islam yang mengaturnya, yang akan membawa kedamaian manusia di dunia dan akhirat.
Sejak pertama kali risalah Islam diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad . Sasaran risalah ini adalah seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Firman Allah SWT:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Katakanlah: Hai manusia. Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al A’raaf: 158)
Kelengkapan agama Islam memantapkan Islam sebagai satu-satunya sistem hidup yang berasal dari Allah SWT, Pencipta seluruh makhluk, Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui. Ajarannya yang rinci, lengkap, dan mampu menjawab seluruh problematika umat manusia sepanjang zaman telah dijamin sendiri oleh Allah SWT:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl: 89).
Ayat ini menegaskan bahwa salah satu fungsi al-Qur’an adalah menjelaskan (menjawab) segala problematika yang ada di hadapan manusia, di manapun dan kapanpun. Sebaliknya bila manusia (termasuk kaum muslimin) mengabaikan peringatan-peringatan dan hukum-hukum al-Qur’an maka yang diperoleh hanyalah kesempitan hidup, kesengsaraan dan kehinaan. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thahaa: 124)
Butuhnya Manusia pada Ajaran Islam
Ajaran Islam tidak terkhususkan pada umat ini saja, tetapi Islam adalah ajaran semua Nabi dan utusan-utusan Allah SWT untuk mengentaskan manusia dari gelapnya kesesatan serta kemusyrikan menuju terangnya cahaya tauhid. Dan Allah SWT telah memerintahkan setiap orang yang berakal untuk meninggalkan kemusyrikan.4 Firman Allah:
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَمَّا جَاءَنِيَ الْبَيِّنَاتُ مِنْ رَبِّي وَأُمِرْتُ أَنْ أُسْلِمَ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah (ya Muhammad): "Sesungguhnya aku dilarang menyembah sembahan yang kamu sembah selain Allah SWT setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku, dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Ghofir: 66)
Dan Allah SWT telah menjelaskan dalam beberapa ayat bahwa agama yang diridloi oleh-Nya hanyalah Islam. Firman Allah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridloi) di sisi Allah SWT hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘imron: 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imron: 85)
Sungguh nyata, manusia di setiap waktu dan zaman selalu membutuhkan makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan jasmani mereka, dan sebenarnya mereka lebih butuh terhadap apa yang dibawa oleh para utusan Allah SWT yaitu petunjuk-petunjuk yang agung dan pesan-pesan yang penuh arti untuk memenuhi kebutuhan rohani sekaligus menjadi bekal untuk kehidupan akhirat.
Khilafah Dambaan Kita Semua
Khilafah merupakan hal yang sangat pokok dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya seorang khalifah kita dapat menegakkan agama dan menjalankan syari’at Islam secara utuh. Mengangkat seorang khalifah merupakan kewajiban kita bersama untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat. Menurut persepsi kita kaum santri khilafah akan terwujud dengan munculnya Imam Mahdi yang bernamakan Muhammad bin Abdillah yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kedloliman. Dan yang akan mengangkat beliau adalah tentara-tentara Islam dari Khurosan dengan membawa bendera-bendera hitam. Mari kita doakan semoga mujahidin Thaliban sebagai muqoddimah dari tentara Khurasan itu, kalau memang mereka ahlussunnah, semoga mereka dilindungi dan dilestarikan Allah SWT untuk selalu melawan dan mengusir invasi Barat dan antek-antek Zionis dari Afganistan.
Cara Kita dalam Tathbiq as-Syari’ah
Penerapan Syari’at Islam (Tathbiq as-Syari’ah) adalah kewajiban bagi setiap muslim. Para pakar Kristen seperti Leeuwen mengakui bahwa Syari'at Islam itu mencakup dan mengatur berbagai aspek kehidupan. Aneh sekali jika di kemudian hari sebagian kalangan yang mengaku muslim meremehkan, melecehkan, memandang rendah, mencemooh, mengolok-olok, bahkan menghina Syari'at Islam, hanya karena terpukau pada tata aturan dan peradaban bangsa penjajah.5
Di Indonesia penerapan hukum yang diadopsi dari Syari’at Islam tidaklah bertentangan dengan keutuhan NKRI dan Pancasila. Jika seluruh komponen umat Islam memperjuangkannya dengan sepenuh hati, bisa dipastikan penerapan Syari'at Islam akan segera terealisasi.6 Dengan memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni ‘ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ ditetapkan dalam Konstitusi, maka bangsa Indonesia memiliki landasan konstitusional yang kuat untuk menerapkan Syari'at Islam dalam seluruh aspek kehidupan bangsa. Kendalanya adalah masih banyak umat Islam, bahkan dari tokoh-tokohnya yang menjadi Islamophobia (alergi terhadap Syari'at Islam), sehingga hukum Islam cuma dibuat bahan kajian, bukan untuk diamalkan. Mereka menentang ditegaskannya pelaksanaan Syari'at Islam dalam konstitusi.
Tetapi perjuangan tidak mengenal kata henti. Maka upaya untuk menerapkan Syari'at Islam harus diupayakan melalui berbagai cara, dan tidak semata-mata tergantung pada Piagam Jakarta. Kita umat Islam wajib membesarkan partai-partai Islam atau partai-partai yang anggota legislatifnya lebih banyak muslimnya yang sering membantu memperjuangkan berlakunya Perda-perda Syari'at dan juga platform partainya tidak mengacu pada liberalisme/Neo-liberalisme. Kita jangan terkecoh dengan gerakan Khilafah Islamiyyah atau gerakan nasionalis dan sosial kemasyarakatan seperti NU, dengan kata lain selama NU masih melindungi dan memasukkan orang-orang liberal, sekuler, plural, Syi'ah serta aliran sesat lainnya dalam struktur kepengurusan NU dan organisasi-organisasi di bawahnya, serta tidak pro dengan Syari'at atau Perda-perda yang berbau Syari'at.
Kita juga jangan bosan-bosan memberi masukan kepada Pemerintah, DPR/MPR untuk semaksimal mungkin menerapkan Syari’at Islam di negara kita ini. Dengan ditolaknya ‘tujuh kata’ secara formal untuk dikembalikan ke dalam Konstitusi Negara, maka perlu dicatat oleh para anggota DPR/MPR, pejabat negara, dan tokoh masyarakat, bahwa hukum Islam sebenarnya sudah secara sah berlaku dan wajib diberlakukan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.7
Wallahu A’lam Bi as-Showab.
Sarang, 6 Shofar 1431 H
Penulis
H. Muhammad Najih Maimoen
MUQADDIMAH
الحمد لله, أشهد أن لاإله إلاالله وحده لاشريك له, واشهد انّ محمدا عبده ورسوله, والصلاة والسلام على رسول الله, سيدنا محمد بن عبد الله, وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد.
Islam datang sebagai rahmat alam semesta, sebagai agama yang sempurna Islam tidak hanya berkutat dalam dunia transenden yang sarat dengan nuansa eskatologis sehingga sama sekali tidak bersentuhan dengan wilayah profan, atau dalam kata lain hanya berkaitan dengan apa yang disebut wilayah vertikal. Namun Islam tampil dengan Syari’at yang komprehensif yang mencakup semua sendi kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun akhirat. Islam mampu menghasilkan perubahan total dalam setiap lini kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut dimulai dari perubahan ideologi, pola pikir dan perubahan gaya hidup hingga terwujudnya Syari'at sebagai aspek hukum. Penerapan Syari'at mutlak dibutuhkan untuk mengatur kehidupan manusia. Eksistensinya yang selalu relevan sepanjang zaman mampu untuk menjawab masalah-masalah kekinian dan juga untuk membentengi diri dari rongrongan aliran-aliran sesat yang tidak sesuai dengan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Namun untuk merealisasikannya bukan hal yang mudah. Berbagai tantangan muncul bukan saja disuarakan oleh orang-orang di luar kaum muslimin, tetapi juga datang dari kalangan intern umat Islam sendiri. Sebuah fenomena yang menyedihkan, umat Islam sekarang dihadapkan dengan berbagai gerakan pemurtadan, juga dengan berbagai konspirasi musuh-musuh Islam dalam upaya pendangkalan agama, akidah , yaitu dengan cara menjauhkannya dari Syari'at Allah SWT dan Rasul-Nya. Berbagai invasi pemikiran dahsyat yang mengarah pada penghancuran ide-ide Islam. Perang pemikiran (Ghazwul Fikr) yang mereka lancarkan ternyata sangat efektif untuk mematikan akidah dan pemikiran serta perjuangan umat Islam secara perlahan. Menjadikan umat Islam tidak faham terhadap ajaran agamanya secara benar dan mendalam. Menciptakan tokoh-tokoh muslim untuk dijadikan agen-agen dan antek-antek mereka dengan dalih kerjasama atau demokrasi. Menciptakan perpecahan dan permusuhan serta menjadikan umat Islam terkotak-kotak agar kekuatan mereka musnah serta menjadikan umat Islam lemah dalam beribadah kepada Allah SWT. Mereka sangat gencar mensosialisasikannya lewat seminar-seminar, media massa, melalui tokoh-tokoh Islam moderat yang bekerja sama dengan musuh-musuh Islam. Dengan dalih toleransi, perdamaian, kerukunan, pluralisme, demokrasi atau mungkin dengan dalih Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Basyariyah dan Ukhuwah Wathoniyah, mereka pasarkan faham liberal, sekuler, serta faham-faham lainnya yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Beredarnya buku "Mantan kyai NU menggugat Tahlilan, Istighotsah dan Ziarah para Wali" karya H. Mahrus Ali dan juga munculnya tuduhan terhadap kaum santri yang disampaikan oleh satu kelompok dari salah satu partai besar (PKS) yang mengusung faham Wahhabiyyah. Mereka menuduh bahwa kaum santri sebagai penganut ajaran kafir, syirik dan Bid'ah.
Mereka menghimbau kepada seluruh anggotanya untuk bersama-sama memberantas kekafiran yang berbau syirik yang selama ini berkembang dan menjadi amalan di kalangan kaum santri. Tentu saja keberadaannya menimbulkan keresahan dan menuai reaksi beragam dari masyarakat. Ada yang tidak percaya dan semakin memperkokoh ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah dan ada juga yang menimbulkan keragu-raguan sehingga akan berpindah pada ajaran lainnya.8
Dalam menyikapi perkembangan dan penilaian terhadap aliran-aliran keagamaan di Indonesia, Majlis Ulama Indonesia (MUI) membuat sepuluh kriteria tentang bagaimana aliran-aliran tersebut bisa dikategorikan sesat.
-
Mengingkari rukun Iman dan rukun Islam.
-
Menyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i (al-Quran dan as-Sunnah).
-
Menyakini turunnya wahyu setelah al-Quran.
-
Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran.
-
Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.
-
Mengingkari kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
-
Melecehkan dan atau merendahkan para Rasul dan Nabi.
-
Mengingkari nabi Muhammad . sebagai Nabi dan Rasul terakhir.
-
Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari'ah.
-
Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i.9
MUI menyakini, jika ada aliran keagamaan yang terindikasi memiliki salah satu saja dari kriteria point-point di atas, maka bisa dikategorikan sebagai kelompok atau aliran sesat.
***
LIBERALISME
Faham liberal adalah faham yang memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan as-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran mereka semata.10
Secara sistematis, liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan serempak melalui tiga bidang penting dalam sejarah Islam, yaitu:
-
Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran faham pluralisme agama.
-
Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi Al-Qur’an.
-
Liberalisasi bidang Syari'ah dengan melakukan metodologi baru ijtihad.
Liberalisasi Akidah Islam
Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan menyebarkan faham pluralisme agama. Faham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi menurut penganut faham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena kerelatifannya- maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang paling benar.
Di Indonesia penyebaran faham ini sudah sangat meluas, sangat massif dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, akademisi dan para pengasong ide-ide liberal.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar”.11 Ulil juga menulis, “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiutas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”12
Ide ngawur Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar agama, do'a bersama, waris beda agama yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18 November 2002), Ulil juga menyatakan, “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, Dosen UIN Yogyakarta menulis, “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga adalah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu: Pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis -yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan- misalnya “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama.”, “agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah.”, atau “setiap agama meng-ekspresikan bagian penting sebuah kebenaran.”
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan ke-agamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik. Oleh karena itu ada istilah Satu Tuhan Banyak Jalan.”
Nurcholish Madjid juga menulis: “Jadi, Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnah Allah/Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.”
Dr. Alwi Shihab menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama, dan dengan begitu layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keagamaan dan menolak eksklusifisme. Dalam pengertian lain, eksklusifisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab al-Qur’an tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”
Abdul Muqsith Ghozaly, menulis dalam disertasinya di UIN Jakarta, “Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al Baqarah: 62)
Itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi Harfiyah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh –sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad- maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufassir dan bukan ungkapan al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridla berkata, “Tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad .”
Kesimpulan disertasi seperti itu sangat aneh. Apalagi kalangan Liberal sering sekali mengutip pendapat Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Padahal, jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan ditemukan bahwa pada surat Al-Baqoroh ayat 62 dan Al Maidah ayat 69, adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka belum berkewajiban beriman kepada Nabi Muhammad . Sebab mereka tidak menemui masa beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul, juga ayat ini turun menyangkut pendeta Yahudi dan Nasrani yang tidak menemui masa diutusnya Rosulullah tetapi diberi informasi tentang dekatnya kemunculan beliau dan mereka menunjukkan kepada Salman al-Farisi dan orang-orang semisalnya untuk membenarkan informasi tersebut. Atau ayat ini turun untuk Abdullah bin Salam dan para shahabatnya dari kalangan ahli kitab yang mengalami periode kenabian dan masuk Islam.13
Sedangkan bagi Ahlul Kitab yang da’wah Islam sudah sampai kepada mereka dan supaya bisa masuk surga maka disyaratkan beberapa syarat, diantaranya:
-
Beriman kepada Allah SWT dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan.
-
Beriman kepada al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad .
-
Beriman kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dengan mengucapkan dua syahadat sebagai syarat seseorang dikatakan muslim, bahkan mayoritas ulama sepakat harus ditambah dengan ucapan ‘Tabarro’tu min al-Yahudiyyah wa an-Nasroniyyah wa as-Shobi’iyyah’.
Karena itu, sangat disayangkan, sebagaimana perilaku sejumlah kaum pluralis agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam permasalahan ini, Nabi Muhammad sudah menegaskan:
عن أبي هريرة عن رسول الله أنه قال: وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
“Demi Allah SWT yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari aku hal ini seorangpun dari umat sekarang ini, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR. Muslim)14
Fenomena do'a bersama, antara umat Islam dan non-Islam, baik dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan akhir-akhir ini marak terjadi di kalangan umat Islam, dengan dalih kerukunan umat beragama, Ukhuwah Basyariyah, Ukhuwah Wathoniyah, demi untuk keselamatan bangsa dan negara. Strategi ini memang sengaja diterapkan oleh orang-orang kafir untuk memperlihatkan kesungguhannya untuk hidup rukun. Rencana besar (grand design) dibalik itu semua adalah umat Islam bersedia menghadiri acara-acara keagamaan mereka, sehingga umat Islam akan timbul keragu-raguan terhadap ajaran agamanya sendiri, dan akhirnya menjadi murtad dengan sendirinya.
Faham Pluralisme ini memberi pemahaman bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Sama-sama mengajak kebaikan dan melarang kejahatan. Jadi agama tidak hanya Islam yang benar, Yahudi-Nasrani dan keyakinan-keyakinan lainnya semua dianggap benar dan semua bisa masuk surga.
Islam menjamin hak beragama (agama samawi yang memiliki kitab suci) seperti yang tersebut dalam surat Al Baqoroh ayat 256, ‘Laa Ikroha Fi ad-Din’. Tapi toleran seperti itu sebatas pengakuan keberagamaan orang lain, tidak sampai pada keyakinan bahwa semua pengikut agama sama-sama menuju kebenaran. Kalau demikian, lalu apa gunanya seseorang memilih dan meyakini di antara sekian agama? Kalau teori ini diteruskan, maka bisa dipraktekkan sehari Islam, lain hari Budha misalnya, dan ini tidak masalah, karena semuanya benar, padahal itu merupakan toleransi intern yang mustahil terjadi, sebab menimbulkan kemurtadan.
Jadi fanatisme agama adalah naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri, sebab ketika kita sudah masuk suatu agama, pasti yakin inilah yang benar, dan yang lain bathil. Seperti Nabi Ibrahim AS ketika mencari Tuhannya, pertama dia menganggap bintang sebagai Tuhannya, lalu bulan dan matahari, karena benda-benda inilah yang menerangi alam semesta. Namun setelah semuanya tenggelam, beliau diberi petunjuk Allah SWT bahwa Tuhannya adalah pencipta langit dan bumi, bukan yang disembah kaumnya. Allah SWT mengabadikannya dalam surat al-An'am ayat 74-82. Pengakuan Nabi Ibrahim pada ayat 79: 15
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Sesungguhnya aku menghadapkan diriku pada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukan temasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (QS. Al-An'am: 79)
Ironisnya, banyak dari tokoh-tokoh Islam yang terjebak dan menjadi agen murahan serta menjadi antek-antek kaum imperalis dalam menyebarkan faham ini.
Dostları ilə paylaş: |