Kalau dipikir-pikir, apa yang kulakukan padanya juga untuk menjaganya. Tapi aku tak bisa menjaga hatinya.
“Bodoh!!” ucapku.
“Kenapa?”
“Aku sudah sering membentakmu ‘kan? Kenapa kau masih menyukaiku?”
“Karena aku tahu kau mencintaiku?”
“dasar…” aku tersenyum.
“BRAKK!!”
Aku melihat 2 orang yang berusaha mengejarku tadi terjatuh dari atap rumah itu. Kasihan sekali.
“Ayo pulang… sebelum pemilik rumah marah….”
Aku mengendarai motorku lagi. Secepat mungkin.
Setelahnya…..
Aku menghubungi Mr. Choi lewat handphone ayahku setelah aku sampai di rumah.
“Halo….” Terdengar suara di ujung sana.
“Kutegaskan….” Ucapku secara tegas. “Aku bukan tandinganmu…. Jadi jangan pernah main-main denganku…. Karena kau, akan tahu akibatnya….”
PIP!!
Kumatikan hp ayahku, lalu menatap Eun Ja yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
“Kau yakin mau jadi kekasihku?”
Ia mengangguk tegas.
“Benarkah?”
Ia mengangguk lagi.
“Kau tak takut celaka?”
“tidak…. Aku sudah memutuskan untuk menjadi kekasihmu dari dulu….”
“Hey….” Aku mengacak rambutnya. “ini bahaya lo….”
Ia menggenggam tanganku yang mengacak rambutnya. “jangan anggap aku seperti anak kecil….” Ucapnya. “Aku bisa jadi baik jika berada di sampingmu….”
Aku tersenyum. “Baiklah….”
“Apa?”
“Kita pacaran….” Ia tersenyum.
“YEAAAHHH!!!”
Hah? Suara apa itu??
Aku segera membuka pintu rumahku.
“GUBRAKKK!!!!”
Seluruh teman EXO, serta Miyoung, Heerin dan Nana jatuh tersungkur di bawah kakiku, setelah kutarik pintu rumahku untuk membukanya
“Lho?? Kalian??” ucapku.
“Ahahahaha….” Mereka tertawa.
“Maaf ya….” Ucap Hye Rin.
“Kami hanya ingin memastikan kalian sukses….” Ucap Heerin kemudian.
“Dan ternyata…. Benar-benar sukses….” Miyoung melanjutkan.
“Kaliaannn….” Aku geram.
“Hahahaha….” Eun Ja malah tertawa.
“Kabur!!!!” Mereka lari terbirit-birit menaiki mobil van mereka. Aku mengejar mereka.
“Heh!!! Mau kemana?? Aku ini putra seorang polisi!!! Kalian berani bermain-main padaku, berarti kalian berani menanggung resikonya!!”
~*EPILOGUE*~
Hari itu aku kembali di serang. Kali ini yang menyerangku adalah seorang pembunuh berantai yang telah membunuh 5 orang dokter ahli dengan sadis, dalam kurun waktu 4 bulan.
Modus pembunuhannya adalah, menyelinap masuk ke rumah para korbannya —yang sudah mengoperasi anaknya dan mengambil organ dalam tubuh anaknya untuk di transplantasikan dengan orang lain— dan memukul kepala korban dengan tongkat, lalu membunuh mereka dengan menggoreskan pedang ke tubuh korban. Tega ya?
Dan yang harus kuhadapi sekarang adalah orang tega seperti itu.
Aku ragu melawannya. Bukan karena aku tak mampu akan kemampuanku.
Tapi, asistenku sekarang adalah Eun Ja. Kau bisa membayangkan betapa khawatirnya aku? Pasti bisa.
Gadis itu benar-benar keras kepala. Lihat saja….
“Kita mengikutinya ya?” ucapnya padaku saat aku memboncengnya. Aku hanya mengangguk.
“Sudah kubilang kan, kau pantau aku dari alat penyadap yang sudah ku pasang, tak usah ikut….” Gerutuku.
“mana mungkin kubiarkan kekasihku menantang bahaya sendirian?”
Sudah kukira, harusnya tak usah berpacaran dengannya.
DORRR!!!
Sial!! Peluru itu tepat mengenai ban motorku. Aku segera menepikan motorku di tepi jalan.
“bagaimana ini?” ucapnya khawatir. Aku hanya mengangkat bahuku.
Oh, ternyata dia punya pengawal yang mengawasinya dari belakang. Mereka tahu kalau aku mengikutinya. 2 orang. Pembunuh berantai itupun berhenti dan mendekatiku.
“Kau hadapi pembunuh itu…. Aku yang menghadapi 2 orang itu….” Bisikku padanya.
“T-tapi….”
“tak ada tapi-tapi….” Ucapku. Ia hanya mengangguk, berdiri dan beradu punggung denganku.
Aku tahu, Eun Ja tidak takut pada pembunuh sadis itu, tapi ia takut aku kenapa-kenapa.
“Jangan bergerak!!” ucap mereka sembari mengacungkan pistol padaku.
“memangnya kenapa?” ucapku santai, lalu berbisik pada Eun Ja. Kita mulai sekarang….”
Aku melangkah maju menjauhi Eun Ja.
“Kurang ajar!!” mereka langsung menembakiku, sayangnya tak kena. Mereka langsung mengendarai motor mereka untuk menabrakku.
Saat mereka sudah dekat denganku, aku segera mencengkram setir mereka kuat, kukerahkan seluruh tenagaku, lalu mendorong setir mereka jauh ke hadapanku. Mereka terpelanting cukup jauh.
Aku berlari menghampiri mereka sebelum mereka bangkit. Aku menendang tubuh mereka.
“Akh!!” teriak mereka. Oh, mulut mereka mengeluarkan darah cukup banyak, karena saat ku dorong setir mereka, motor mereka satu sama lain bertabrakan, dan helm yang mereka kenakan lepas. Sungguh malang.
“Tsk….” Aku berdecak. Aku meraba tubuh mereka. Tak ada senjata lain selain pistol yang mereka gunakan untuk menyerangku tadi. Baguslah. Aku segera menyita pistol mereka.
~*Eun Ja PoV*~
“Apa yang mau kau lakukan, gadis kecil?” ucapnya menyeringai. Cih! Aku tak suka ia menanggilku gadis kecil.
“menangkapmu!!”
Aku berjalan penuh percaya diri. Ia menembakkan pelurunya. Sepertinya, sasarannya adalah mata kananku.
DORR!!
Aku hanya menunduk menghindarinya. Aku sudah lebih ahli, karena dilatih JoonMyun.
Berkali-kali ia menembakkan pelurunya untukku, namun dengan lihainya aku menggerakkan tubuhku hingga terhindar dari timah panas itu.
Saat aku sudah ada di depannya, ku tangkis pistol yang ia pegang, lalu menendang perutnya.
Cih!! Langsung mengeluarkan darah dari mulutnya dan mengenai jas putihku. Pasti sulit mencucinya.
Ia sudah tergeletak.
Setelahnya, terdengar sirine polisi. Mungkin JoonMyun menghubungi polisi tadi.
“Great…. My girl….” Joon Myun menepuk pundakku. Aku mengedipkan mata kananku.
“trimakasih, sudah menjagaku lagi….”
“menjagamu? Bukankah, yang melawan pembunuh berantai tadi adalah dirimu?”
“ya…. Dan kau melawan musuh bermotor yang sulit ku tandingi. Kau sudah menyelamatkanku tadi….”
~***~
1) tehnik berdiri pakai ban depan saja, memutarkan bodi dan bagian belakang motor, lalu mendarat ke tanah.
2) koefisien gesek antara permukaan jalan dan ban.
3) tehnik berputar seperti gasing dengan mengerem ban depan sebagai poros dan hanya berputar dengan ban belakang. karena Aus, jadi berasap akibat panas.
[EXO in Love] Tao — My Sweet Destiny
My Sweet Destiny
Author : Sasphire
Main cast : Tao EXO, Xue Rui Li
Ratting : Teen, General
Genre : Romance
Length : Oneshoot
Contact : FB | Twitter | Wallpaper Gallery | Blog
~*Tao PoV*~
“Cepat pulang ya…..”
“Ya….” Ucapku cuek menanggapi kata Kris barusan.
“Iya…. Jadwal kita padat akhir-akhir ini….”
“Ya….” Kali ini aku menanggapi ucapan Xiu Min.
Ya, hari ini aku pergi ke China, untuk menemui kekasihku, Xing Fang. Sudah lama kita tak bertemu. Sekitar…. Setahun? 2 tahun? Ah, beberapa tahun lamanya, itu yang benar. Sejak aku trainee di SM, aku sudah jarang menemuinya lagi.
Bahkan kami tidak saling berkomunikasi lagi. Bukannya apa.
Dia anak dari Master Kungfu yang mengajariku. Dia di isolasi dari tekhnologi modern oleh ayahnya. Benar-benar kolot.
~***~
Keramaian di Bandara Incheon sedikit membuatku pusing, namun aku tetap pada pendirianku untuk pergi ke China. Untuk mengalihkan rasa pusingku, sambil berjalan menarik koper, aku memasang earphone Ipod dan mendengarkan mp3 di dalamnya. Tapi tetap tak bisa menghilangkan rasa pusingku karena melihat banyak orang berlalu lalang di depanku. Mengurangi saja tidak.
“BRUUKK!!!”
Aku meringis kesakitan karena tabrakan seseorang padaku yang membuat tubuhku jatuh.
“Oh…. Sorry….” Ucap gadis yang menabrakku sambil membantuku berdiri. Aku hanya mengangguk sambil menggerakkan tanganku, mengisyaratkan padanya bahwa aku tidak apa-apa, sambil berkata, “It’s Okay….”
“But You’re look in pain….” Ucapnya lagi.
“No…. I’m Okay….” Jawabku lagi.
Setelahnya, ia mengeluarkan dompet dari celana jeans-nya. Aku tak menghiraukannya dan terus berjalan kea rah tujuanku sebelumnya.
“Eh… Wait….” Ucapnya lagi. Ia berlari menghampiriku dan menggenggamkan sesuatu di tanganku. “if any trouble ‘bout you because my mistake, just contact me….”
Aku terpaku menatapnya karena ulahnya yang bisa di bilang berlebihan. Aku hanya jatuh ‘kan? Yang sakit hanya pantatku yang mendarat lebih dulu saat jatuh, tapi setelahnya sudah tak sakit lagi.
Aku membalikkan badan dan mendapati sesosok gadis yang berjalan cepat sambil menggeret koper hitamnya. Kelihatannya ia terburu-buru hingga tanpa sengaja menabrakku. Itu yang ada di pikiranku.
Setelahnya, aku tetap berjalan sambil menatap kartu nama berwarna pink, dengan Background bunga sakura dan tulisan namanya berwarna merah tua dengan efek timbul.
Xue Rui Li.
Orang Taiwan? Orang China?
Aku mengangkat bahuku dan selanjutnya berjalan lagi, lalu memasukkan kartu nama itu ke saku celanaku.
~***~
Akhirnya…. Sampai.
Aku menghela nafas dalam-dalam…. Lalu mengeluarkannya pelan. Tersungging senyuman dari bibirku yang tipis.
Xing Fang, aku datang….
Bisikku dalam hati.
Dengan penuh percaya diri, aku berjalan keluar dari bandara, lalu menghentikan sebuah bus yang kebetulan lewat di depan bandara.
Aku segera menaiki bus itu dan menyebutkan tempat tujuanku, “Dojo Master Guang Zhou?”
Supir bis mengernyit. “Dojo Master Guang Zhou?”
“Iya…. Kenapa? Bus ini searah ‘kan?”
Entah kenapa, perasaanku jadi tak enak saat supir bus memandangku tajam tadi. Setelahnya, ia menyalakan mesin lalu menjalankan bus itu. Di belakangku pun, terdengar bisik-bisik yang aku yakin mengarah padaku.
Entahlah.
Kutepis semua prasangka buruk itu dan memikirkan rencana yang akan aku lakukan saat bertemu dengan Xing Fang nantinya.
~***~
“BRUKK!!!”
Dengan kasar, sopir bus mendorongku keluar bus saat malam hari, saat akan sampai ke Dojo guruku.
“Kenapa~”
“di dalam sana tidak ada halte bus…. Mana mungkin kami mengantarkanmu sampai tempat tujuan??!!” tanyanya ketus.
Aku bangun sambil mengelus pelan pantatku yan terkena bebatuan kasar sambil meringis kesakitan. Maaf pantatku, seharian ini kau sudah tersakiti 2 kali.
Pasrah, aku menarik koperku dan bangkit, lalu menyusuri jalan gelap di antara hutan itu.
Dojo guruku itu ada di tengah-tengah hutan. Dan terkadang, ada babi liar yang siap menerkam siapapun.
Melawan segala rasa takut, aku menyalakan lampu senter yang ada di handphone-ku, lalu bersenandung dengan lagu kesukaanku.
An empty street…
An empty house….
I hole inside my heart….
I’m all alone
The rooms are getting smaller
Tak sengaja, aku mengarahkan cahaya handphone-ku ke sebuah marka jalan bergambarkan bagian belakang bus. Di sampingnya, terdapat halte bus yang sudah tua, berserakan daun-daun kering di sana. Aku tersenyum, sekaligus miris.
Beberapa tahun lalu, saat aku akan pergi ke Korea, Xing Fang mengantarku ke halte bus ini.
Senyumku semakin lebar saat melihat bayangan diriku dan Xing Fang beberapa tahun lalu.
Akupun melanjutkan perjalananku setelah puas mengenang masa laluku di halte bus yang sudah tak terpakai itu.
I wonder how
I wonder why
I wonder where they are
The days we had
The songs we sang together
And all my love
We’re holding on forever
Reaching for the love that seems so far….
Sial!! Handphone-ku batreinya habis. Aku harus berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam ini dengan hati-hati.
Dengan bergumam penuh rasa kesal, aku kembali bernyanyi dengan menahan rasa takut yang semakin menjadi-jadi karena suara lolongan serigala yang begitu keras terdengar.
Tak lama kemudian, terdengar suara kaki kuda. Aku menoleh ke belakang. Aku sedikit menyipitkan mataku karena cahaya lentera yang dibawa seorang pria berkuda itu.
“Mau kemana?” tanyanya dengan bahasa China.
Aku diam saja. Aku belum kenal dia, bagaimana aku bisa mempercayainya?
“Kenapa malam-malam begini ada di tengah-tengah hutan?”
Aku masih memilih diam.
“Apa kau murid dari Dojo Guang Zhou?”
Kali ini aku tersentak kaget. “darimana kau tahu?”
Ia hanya tersenyum. “naik ke belakangku…. Aku akan mengantarkanmu ke sana…. Aku tinggal di sana….”
Aku semakin heran. Master Kung Fu yang mengajariku tak pernah mengijinkan murid laki-lakinya menginap di rumahnya, kecuali aku, karena aku calon menantunya. Kenapa sekarang ada lelaki lain yang sebaya denganku yang tinggal di rumahnya? Aku tahu pasti dia bukan saudara kandung Xing Fang karena Xing Fang adalah anak semata wayang dari Master.
“Hey…. Mau ku antar atau tidak?” ucapnya membuyarkan lamunan panjangku.
Aku hanya mengangguk, lalu bergegas menuruti omongannya untuk naik ke belakangnya.
~***~
“Tao…. Murid kesayanganku….” Ucap Guruku yang sudah memanjangkan jenggot putihnya, lalu memelukku erat. “Sudah lama tak bersua….”
Setelah melepas pelukannya, ia menatapku erat, lalu menepuk-nepuk pundakku.
“Guru….” Ucapku. “lelaki yang sudah baik hati mengantarku ke sini….”
Guru mengernyit. Kerutan di wajahnya semakin bertambah kala ia mengernyit.
“Dia siapa?”
“Eh…. Dia….”
“Suamiku…. Kau sudah pulang….”
Aku kenal betul suara yang memekik manja tadi. Suara Xing Fang. Dasar gadis bodoh! Kami belum menikah, bagaimana mungkin ia memanggilku dengan sebutan ‘Suami’?
Aku melihat ia muncul dari balik tirai mengenakan baju warna merah dengan kerah shanghai bewarnakan emas. Cantik sekali. Apalagi senyum lebar menghasi wajahnya.
Aku tersenyum padanya, namun seketika itu juga berubah menjadi kaget.
Xing Fang berpelukan dengan lelaki yang mengantarku tadi? Dan, guru juga tidak memarahi mereka berdua!!
Jangan-jangan….
“Ayah…. Ibu….”
Seorang anak kecil dengan matanya yang sipit tersenyum gembira, lalu berlari menghampiri Xing Fang dan lelaki asing tersebut, memeluk mereka manja.
Dadaku terasa sesak.
Kurasakan tangan milik pak tua yang sudah berkeriput itu mengelus pundakku. “Sabar Tao….”
Mendengar Ayahnya menyebutkan namaku, Xing Fang menoleh. Menatapku kaget.
“Kau kenal dengannya?” tanya suami Xing Fang.
Kau mau jawab apa?
Xing Fang menatap mesra lelaki yang sedang menggendong anak lelaki mereka, lalu berkata santai, “tidak…. Aku tidak kenal dengannya….”
Aku semakin kesulitan menelan ludahku sendiri.
~***~
Aku menatap langit yang penuh bintang malam itu lewat jendela kayu yang sudah rapuh di gerogoti oleh rayap kayu. Dojo ini sebenarnya sudah bobrok. Cita-citaku untuk sukses sebenarnya hanya untuk memperbaiki Dojo ini. Tapi, setelah melihat ini semua, masih pantaskah aku?
“Masuk….” Ucapku saat mendengar sebuah ketukan pintu. Setelahnya, terdengar suara pintu yang di gerakkan secara paksa.
“Aku tak menyangka kau akan kembali….”
Aku membalikkan badan, dan mendapati wanita yang membuat hatiku hancur tengah berdiri di hadapanku sekarang. Menarik. Umur 19 tahun, tapi dia sudah punya anak lelaki berumur 4 tahun.
“Kau pasti juga tidak menyangka bahwa aku kesini hanya untuk menemuimu ‘kan?” ucapku sambil tersenyum, berusaha meyakinkan padanya bahwa aku lelaki yang tegar, walau kenyataannya berbading terbalik. “Aku juga tidak menyangka…. Lama tak bertemu, kau sudah berubah…. Sangat berubah….”
Ia hanya menunduk. “Maaf….”
“Dulu…. Kau adalah musim semiku….”
Ucapanku barusan membuatnya perlahan mengangkat kepalanya dan menatap mataku. Kulihat, matanya berkaca-kaca.
“Kau adalah musim semi yang hangat, yang datang mengubah hatiku yang selalu dirundung musim salju yang dingin…. Kau membawa perubahan besar didiriku hingga aku menjadi lelaki yang hangat….”
Air matanya sudah benar-benar tumpah.
“Aku kira, kau akan tetap menjadi musim semiku…. Menepati janjimu beberapa tahun yang lalu, untuk tetap menungguku…. Ternyata kau ingkar….”
“Aku benar-benar minta maaf….”
“Tidak!!” segahku. Ia menatapku penuh rasa terkejut.
“Ini bukan salah siapa-siapa….” Ucapku pelan. “ini bukan salahmu yang tak setia, aku juga tak mau menyalahkan diriku sendiri yang tak kunjung kembali kesini, hingga membiarkanmu di rebut lelaki lain….”
Aku menghela nafas. Sebisa mungkin aku menahan air mata ini meleleh, dan tetap tersenyum padanya. “ini semua, adalah kenyataan yang harus kita hadapi, bahwa kita bukan jodoh….”
Ia kembali menangis tersedu-sedu.
“Aku harap, secepat mungkin, aku bisa menemukan kembali musim semiku….”
Aku membalikkan badan, kembali menatap bintang yang bertebaran di langit. “kembalilah ke kamarmu…. Sebelum suamimu mengetahui hubungan kita di masa lalu….”
“Sayang sekali…. Aku dengar semuanya….”
Suara berat namun parau itu terdengar di telingaku. Suara yang juga kudengar di tengah hutan tadi.
Aku mendesah, lalu membalikkan badanku lagi, tersenyum padanya. Another trial…. Gumamku.
“Lancang sekali kau membuat istriku menangis….” Ucapnya sambil merangkul Xing Fang.
Aku tetap diam, memutuskannya untuk berbicara sesuka hatinya.
“Tidak menjadi suaminya saja, kau membuat dia menangis, apalagi jika menjadi suaminya? Pasti Xing Fang akan menangis terus-menerus tiap harinya…. Untung saja dia menikah dengan lelaki baik hati seperti aku. Wanita cantik dan terhormat seperti Xing Fang tak cocok menikah dengan lelaki berandalan sepertimu?”
Aku hanya tersenyum padanya.
“dilihat dari model rambutmu yang acak-acakan saja sudah kelihatan kalau kau bukan lelaki yang baik….”
Mendengar ucapannya yang tambah lama tambah ngelunjak sebenarnya sudah membuat hasrat menghunuskan pedang padanya semakin kuat. Kalian tahu aksiku di Video Mama? Saat aku memainkan pedang di video itu? Nah, ingin aku melakukan itu untuk memotong lidahnya.
Aku mengatur nafasku, tersenyum padanya, dan berkata, “iya ya…. Aku memang tidak cocok untuk Xing Fang…. Aku kan berandalan? Mana mungkin bisa menikah dengan Mulan? Kau memang cocok menikah dengan XingFang…. Aku mengaku kalah….”
Lelaki itu mengeluarkan senyum sinisnya, sebelum tahu apa yang akan aku katakana setelahnya.
“Tapi, orang yang mengalah itu belum tentu kalah dari orang yang menyombongkan dirinya…. Jadi…. Aku cukup bangga dengan apa yang kulakukan kali ini….”
Raut wajah lelaki itu berubah menjadi keruh. “apa kau bilang?”
Aku membalikkan badanku untuk menutup jendela yang sedari tadi terbuka.
“Besok pagi-pagi sekali, aku pulang….” Ucapku lalu menaiki ranjang tidurku. “bisakah kalian keluar? Aku harus istirahat….”
~***~
@Seoul….
Kini aku ada di terminal bus. Akhirnya aku kembali ke Seoul. Semuanya sia-sia, pikirku.
Aku menghela nafas, dan memikirkan bagaimana caranya untuk menghadapi teman-temanku.
Dengan penuh percaya diri aku bilang pada mereka bahwa aku akan membawa belahan jiwaku ke sana. Kalau sudah begini, aku harus bilang apa?
Mungkin mereka tak akan menertawakan aku, tapi mereka akan iba padaku. Aku tak mau itu terjadi.
Mungkin aku jangan muncul di hadapan mereka dulu sampai aku bisa menemukan musim semiku.
Tapi, memangnya kapan aku bisa menemukan musim semiku?
“Ayah…. Ibu….” Aku menoleh ke salah satu sudut ruangan yang dekat kios buah. Kudapati anak perempuan berumur 6 tahunan menangis tersedu-sedu. Ah, kehilangan orang tua, pikirku.
Semua orang di sekitarnya, dan di sekitarku berpura-pura tidak melihatnya, sibuk mengurusi urusan masing-masing, termasuk aku. Maksudku, aku juga sedang sedih sekarang, sama dengan anak itu. Bedanya, aku tidak menangis keras seperti dia. Aku menangis dalam hati.
Walau begitu, aku tetap tak tega pada anak kecil itu. Berkali-kali kualihkan pandanganku darinya, berkali-kali juga aku menoleh ke arahnya.
“Adik kecil….” Seorang gadis menghampiri anak itu sambil tersenyum, lalu jongkok dan menghapus air mata anak itu. “Aku akan membantumu menemukan orang tuamu…. Jadi…. Jangan menangis lagi ya….”
Aku merasakan ketulusan dari cahaya matanya yang begitu senang bertemu dengan anak kecil itu. Melihatnya tersenyum, tanpa sadar aku juga menyunggingkan senyumku.
Kulihat gadis itu menggendong anak kecil yang rambutnya di kuncir dua itu.
Lama-lama, kuperhatikan dia berjalan ke arahku. Akupun segera menoleh kea rah lain.
“Tuan….”
Ah, ya. Gadis itu malah menepuk pundakku. Aku menoleh padanya, lalu tersenyum. “ya?”
“Bisa kau tunjukkan padaku ruang siaran? Anak ini kehilangan orang tuanya….”
Gadis ini…. Rasanya aku pernah bertemu dengannya. Dimana ya?
Aku tersenyum lagi padanya. “Ayo…. Ikut aku….”
~***~
Sambil menunggu orang tua anak kecil ini menjemputnya, aku memperhatikan wajah gadis yang memangku anak kecil itu dengan seksama.
Aku tak asing dengan wajah ini. Aku yakin kami pernah bertemu sebelumnya. Tapi dimana? Kapan?
“Ah Joong….” Ibu anak perempuan itu langsung menggendong anaknya yang tengah terlelap dari pangkuan gadis itu.
“trimakasih…. Trimakasih….”
Gadis itu hanya tersenyum.
“Ah…. Kau….” Pekiknya senang melihat wajahku. Aku semakin heran.
“Kita pernah bertemu?”
Ia mengangguk. “kemarin di bandara…. Kau ingat? Xue Rui Li….”
“Ah…. Ya…. Ingat….” Ucapku sambil tersenyum. Benar pemikiranku.
“Maaf ya…. Yang kemarin….”
“Tidak apa-apa….”
“Tapi, aku tetap tak enak….” Ucapnya. “sebagai permintaan maafku, mau ya…. Ku ajak jalan-jalan? Sekedar refreshing….”
Boleh juga. Aku harus refreshing ‘kan?
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum padanya.
“Bagus….” Ia menarik tanganku kasar. “Ayo….”
“Eh?”
~***~
Beberapa hari setelahnya….
Aku mengulangi jalan-jalan soreku dengan Xue Rui hari itu. Mengenang perkenalan pertama kami di terminal bus kapan hari.
“Sebentar lagi musim semi….” Ucapnya senang.
Aku tersenyum. “iya….”
“Diantara semua musim, musim apa yang kau suka?”
“Musim semi….” Jawabku singkat.
“Kalau aku musim gugur….”
“Kenapa?”
“Aku suka melihat daun berguguran….” Ucapnya sambil tersenyum senang. “Aku boleh tanya sesuatu?”
“Tadi kau tak tanya itu sebelum menanyakan musim kesukaanku….” Godaku.
“Hey…. Tinggal jawab…. Boleh atau tidak….”
“Boleh…. Mau tanya apa?”
“jika kau berada di musim gugur, kau pilih apa? Batang kayu yang menggugurkan daunnya dan setia menanti tumbuhnya daun baru, Daun yang merelakan diri gugur karena tak sanggup bertahan lama di batang kayu karena membahayakan hidup kayu, atau angin, yang merubah semua keadaan?”
“aku pilih angin….” Jawabku singkat.
“Kenapa?” Xue Rui mengerutkan dahinya.
“Batang kayu yang menggugurkan daunnya dan setia menanti tumbuhnya daun baru, bukan menunjukkan orang yang setia, tapi menunjukkan orang yang suka mempermainkan hubungan dengan orang lain. Menggugurkan daun, ibaratkan melepas orang yang sudah tidak berguna karena manfaatnya sudah habis, dan mencari orang baru yang bisa dimanfaatkan lagi. Daun yang merelakan diri gugur karena tak sanggup bertahan lama di batang kayu karena membahayakan hidup kayu, ibaratkan orang yang tidak percaya pada dirinya sendiri hanya karena keterbatasan yang ia miliki. Aku suka angin yang selalu merubah keadaan. Aku ingin mengubah keadaan yang tak mungkin menjadi mungkin, yang tak baik menjadi baik., yang buruk menjadi tak buruk….”
Dostları ilə paylaş: |