Aku merasa ia menatapku lekat. Aku pun menatapnya yang tak lebih tinggi dariku. “kenapa? Jawabanku salah?”
“tidak….” Ia tersenyum, lalu kembali memandang jalanan. “jawabanmu bagus sekali….”
“Makanya aku tidak suka musim gugur….” Aku tersenyum. “aku lebih suka musim semi, yang membawa kebahagiaan dan kehangatan bagi semua orang yang menyukainya…. Bagi semua orang yang mengharapkannya….”
“Kenapa begitu?” tanyanya, membuat dahiku berkerut. “Maksudku, kenapa hanya bagi orang yang menyukainya? Kenapa hanya bagi orang yang mengharapkannya?”
“Tentu saja…. Jika musim semi datang pada orang yang tak menyukainya, maka itu jadi sebuah hal yang menjengkelkan. Bagi orang yang suka musim dingin, musim semi bagaikan musim panas…. Bagi orang yang suka musim panas, musim semi bagaikan musim dingin….”
“Bagi orang yang suka musim gugur sepertiku?” tanyanya lagi.
“Kalau yang itu, aku tak tahu. Kukira, keduanya sama….”
Gadis itu hanya tersenyum. “Aku jadi suka musim semi….”
“Benarkah?”
Ia mengangguk.
Aku tersenyum puas. “Akhirnya, aku bisa menemukan musim semiku…”
Ia menghentikan langkahnya. “maksudnya?”
“Ya….” Aku menghela nafas, lalu kembali menatap matanya, lebih dalam, lebih lekat. “Aku bisa menemukan orang yang membawa kebahagiaan dan kehangatan pada diriku, layaknya musim semi….”
“Benarkah?” tanyanya yang ku jawab dengan anggukan pelan. “siapa dia?”
“Kau….”
Ia terlihat terkejut.
“Makanya, aku ingin, membuatmu juga merasa, bahwa aku adalah musim semimu…. Jangan pernah angap aku musim dinginmu, musim panasmu, terlebih musim gugur, yang selalu menyakiti hati orang lain…. Anggaplah aku musim semimu….”
Ia tersenyum padaku. Aku merangkul bahunya erat, lalu mengajaknya berjalan menyusuri trotoar sambil memandangi pepohonan di tepi jalan, yang sama siapnya dengan kami untuk menyambut musim semi.
~***~
[EXO in Love] D.O — If Me
If Me
Author : Sasphire
Main cast : Do Kyung Soo EXO, Lee Chin Mae (OC)
Ratting : Teen, General
Genre : Romance, Family
Cr : sicafiramin
Length : Oneshoot
Contact : FB | Twitter | Wallpaper Gallery
~*Kyung Soo PoV*~
Pukul 22.45
Sudah saatnya pulang. Lelah menyerang begitu saja setelah aku melakukan hobiku. Trial Bike. Sama seperti Joon Myun-oppa.
Bedanya, ia melakukannya untuk pekerjaannya sebagai agen rahasia. Aku?
Hanya untuk hobi. Hanya untuk hura-hura. Aku masih muda ‘kan? Buat apa memikirkan pekerjaan?
Rumahku sepi. Yang menyala hanya lampu teras. Berarti semua sudah tidur.
Aku membuka pintu, dan mengunci pintu rumahku yang terletak di bawah karpet dalam rumahku.
CKLEK!!
Lampu menyala.
“Kyung Soo…”
“Ah, Ayah….” Aku hanya menggaruk tengkukku sambil memasang senyum palsu padanya. Aku sudah lama membencinya, lama sekali.
“Duduklah barang sebentar. Ayah ingin bicara….”
Tanpa banyak bicara, aku duduk di sofa ruang tamu itu. Ayah telah duduk didepanku, menatapku tajam. Sesekali, ia membetulkan posisi kacamatanya yang agak merosot (?).
“Ayah minta tolong…. Hentikan hobimu untuk berhura-hura seperti ini. Fokuslah pada pekerjaanmu sebagai penyanyi….”
“Supaya aku bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi untuk Ayah, begitu?” aku tersenyum sinis padanya. Ia terlihat menghela nafas.
“Kau sudah besar…. Pasti tahu mana yang benar, mana yang salah…. Ayah tak pernah mengajarimu untuk terbuai akan nikmatnya dunia….”
“Memang tidak pernah….” Potongku cepat. Aku tak mau ia menceramahiku lebih panjang lagi. “Tapi Ayah yang menuntunku seperti ini….” Aku menatap tajam matanya.
“KyungSoo….”
“Aku tanya padamu, Yah,” ucapku kemudian. “Apa Ayah ingat, kapan terakhir kali aku berbuat sopan pada Ayah? Apa Ayah ingat, kapan aku memulai semua kegiatan yang menurut Ayah salah ini?”
Sempurna. Ia tertuduk malu, sepertinya.
“Aku seperti ini, karena Ayah. Siapa suruh Ayah bercerai dengan Ibu? Siapa suruh Ayah selalu bertengkar dengan ibu setiap malamnya, dengan suara keras, hingga putranya mendengar itu semua dengan perasaan pilu? Apa Ayah tidak tahu, saat itu, yang ada dipikiranku, adalah : Ayah dan ibu orang dewasa, berarti saat aku dewasa, hatiku harus dipenuhi kebencian, supaya bisa menjadi orang dewasa yang seutuhnya….”
“KyungSoo!!”
Kali ini dia membentakku. Percuma. Tak akan membuatku tergetar sedikitpun. Karena apa? Yang membuat ibu meninggal 2 tahun lalu karena serangan jantung juga Ayah, karena Ayah mati-matian mencegahku bertemu dengan ibu.
“Terlambat bagi Ayah untuk menasihatiku saat ini….” Aku menatapnya penuh kebencian, lalu meninggalkannya menaiki tangga. Dasar orang tua payah!!
~***~
“KyungSoo….”
Sial!! Teriakan itu lagi. Baru jam 7 pagi, tapi gadis itu sudah membangunkanku lagi dengan pekikannya yang lebih hebat dari halilintar.
Oh, ok. Kali ini aku berlebihan.
Aku segera menuruni tangga, membuka pintu dengan kunci rumahku, lalu berlari menghampirinya.
“Bisa tidak, setiap pagi, saat aku di rumah, kau tidak membuat keributan?” ucapku sinis.
Ia malah tersenyum lebar. “Habis, semenjak jadi anggota EXO, kau jarang pulang…. Begitu kau pulang, pastinya aku senang. Kau ‘kan temanku dari kecil….”
Aku menatapnya lekat. Mengangkat sebelah alisku, tersenyum nakal padanya, dan berkata, “sayangnya aku tak pernah menganggapmu teman….”
Ia tertawa kecil, berikutnya ia mencubit pinggangku.
“AWW!!” dari dulu cubitannya sangat mantap. “Iya… Iya…. Aku hanya bercanda Chin Mae…”
Ia tertawa puas.
“Baiklah, sekarang, kenapa kau membangunkanku? Ada udang di balik batu?”
Ia tersenyum penuh arti padaku. Benar dugaanku. Pasti ada maunya.
~***~
Ya ampun.
Sudah terlanjur janji padanya, bahwa aku akan menemaninya kemanapun ia mau, jika aku tidak ada jadwal dengan EXO. Tapi, ternyata dia hanya mengajakku ke telaga dekat rumahku. Mana sekarang ia malah tertawa senang sambil merendam kakinya di air.
“Apaan sih?” ucapku padanya, memasang wajah bosan. “Sudah terlanjur janji mau menemanimu kemanapun, ternyata cuma ke telaga ini. Kukira mau kemana….”
Ia tersenyum. “Setelah kita sibuk dengan urusan masing-masing, kita jarang ke telaga ini ‘kan? Ini kan tempat favorit kita dari dulu….”
“Iya sih….” Aku punya ide. Akan kugoda dia. “lagipula, dulu ‘kan, kita sering mandi bareng di sini ya, waktu masih kecil?”
“Iya….”
“Sekarang, ayo~”
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, Do Kyung Soo!!” ia berteriak. Haha. Lucu sekali saat pipinya memerah seketika.
“Iya….” Aku tersenyum nakal padanya. Dari kecil, aku suka menggodanya seperti itu.
Tiba-tiba, ia memasang wajah serius. “kenapa?” tanyaku.
Ia menatapku, lalu kembali melihat jernihnya air yang merendam kakinya. “Kau masih membenci Ayahku? Bentakanmu tadi malam, tak sengaja terdengar di telingaku….”
“Kenapa kau menanyakan itu?” ucapku kesal. Mungkin raut wajahku sekarang berubah menjadi keruh karenanya.
“Em….” Ia mencipak-cipakkan air dengan kedua kakinya. “Aku hanya ingin bilang, sesuatu yang berharga bagi kita, terkadang tak terasa berharga saat kita masih ada di dekatnya…. Tapi saat kita kehilangan hal yang berharga tersebut, maka kita akan merasa menyesal….”
“Kau mengajakku kesini hanya untuk omong kosong seperti itu?”
“Bukan begitu…. Maksudku…. Mungkin jika nanti Ayahmu pergi… kau juga akan merasa….”
Aku berdiri, bergegas meninggalkannya. “Sudahlah, kau merusak mood-ku….”
Dia tak mengejarku, juga tak memanggilku. Biarlah, aku tak mau di ganggu.
“JIKA KAU TAHU AYAHMU TERKENA KANKER PARU-PARU DAN HIDUPNYA TAK LAMA LAGI, APA KAU MASIH KERAS KEPALA SEPERTI ITU??!! HAH??”
Apa dia bilang? Kanker paru-paru?
Aku membalikkan badanku, berjalan cepat menghampirinya. “apa yang kau bilang barusan?”
Dia hanya menatapku tajam, sambil mengatupkan bibirnya rapat, kebiasaanya dari kecil seperti itu kalau menahan marah.
“Kanker paru-paru?” tanyaku. “Kau hanya memancingku untuk peduli ucapanmu ‘kan?”
Ia menggeleng pelan. “Selama kau pergi, aku yang mengurusnya. Kau tahu ‘kan, aku tak punya orang tua? Sejak bertemu dengannya, aku sudah menganggapnya seperti ayahku sendiri.” Ia menghela nafas. “saat kau tak ada, aku yang menjaganya, merawatnya, karena aku merasa ada yang aneh dari kondisinya. Tanpa sepengetahuannya, aku menggeledah seluruh kamarnya. Kau tahu apa yang kutemukan?”
Aku meggeleng pelan.
“Aku menemukan selimut yang tersembunyi di bawah kasurnya, terdapat bercakan darah. Sepertinya ia berusaha mencucinya untuk menghapus bukti bahwa ia pernah muntah darah di atasnya, tapi tak berhasil. Maka dari itu, ia menyembunyikannya di bawah kasur. Lalu, aku menemukan sebuah berkas di laci kamarnya, keterangan tentang penyakitnya. Kalau kau mau tahu aku bohong atau tidak, slahkan geledahi kamar ayahmu sendiri….”
Aku terkejut mendengar penuturannya. Ayah….
“Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan atas apa yang ia lakukan pada ibumu 2 tahun lalu. Jika begitu, bukankah seharusnya aku maafkan saja dia?”
Aku menunduk. Aku kembali membalikkan badan, menjauhi gadis itu. Benarkah seperti itu?
Ayah….
Kenapa kau tak bilang padaku?
~***~
Kulihat ia membaca Koran pagi di teras rumah. Saat melihat aku pulang, ia tersenyum lebar. “Sudah selesai jalan-jalannya nak?” tanyanya padaku, sambil menepuk-nepuk pundakku. “Ayo…. Kita sarapan….” Ia masih saja menyambutku penuh kasih sayang, seolah tak terjadi apa-apa tadi malam.
Aku mengenggam tangan ayah yang menepuk pundakku, lalu menatapnya nanar.
“Ada apa KyungSoo? Tak seperti biasa….”
Aku mengeluarkan kunci motorku yang ada di kantong jaketku. Benar kata Chin Mae. Aku harus memaafkannya, karena ia sudah mendapatkan balasannya. Bukan suatu alasan bagiku untuk membencinya.
“Mulai hari ini, aku berhenti main trial bike, Yah….” Aku menggenggamkan kunci motorku ke tangannya. “Motornya untuk Ayah….”
“Hei, ayah tak mahir bermain motor seperti itu….”
“Bukan, bukan untuk ayah kendarai….” Mataku sudah menggenang. Aku berusaha mengatur suaraku agar tak terdengar bergetar menahan tangis, tapi sepertinya susah. “ini untuk Ayah jual, untuk menambah biaya penyambuhan penyakit Ayah….”
“KyungSoo….”
Aku tertuduk di bawah kakinya, menggenggam erat kakinya. Aku sudah menangis tersedu-sedu, mungkin lebih dari tersedu-sedu. “Maaf Yah…. Aku tidak perhatian pada Ayah…. Aku juga tak bisa bertingkah baik pada Ayah…. Maaf….”
“KyungSoo…. Berdirilah….”
Ia mengangkat kedua tanganku, memaksaku berdiri. Aku menggeleng kuat, aku mengelak darinya. Aku tetap bersujud di bawah kakinya. Aku belum berani menatap matanya yang penuh dengan kasih sayang itu. Aku selalu membalas tatapan matanya dengan penuh kebencian. Aku tak pantas mendapatkan kilatan mata yang seperti itu, aku tidak pantas.
“Maaf…..”
~***~
2 minggu kemudian….
“Kau mau cuti?” Mr. Lee, pemimpin SM sudah membulatkan bola matanya padaku, ah, membelalakkan matanya padaku, saat aku baru datang dan langsung minta cuti padanya.
Aku hanya mengangguk.
“Hei… proyek EXO masih banyak, kenapa kau malah minta cuti?”
Aku mendesah. “Panjang ceritanya….”
“Kalau kau tak memberikan alasan yang masuk akal, maka aku tak akan memberimu cuti…”
Aku melemparkan sebuah berkas padanya. Aku benar-benar kesal.
“Apa?”
“Buka saja….”
Ia menatapku tajam sebelum membuka berkas itu. Ia lalu membukanya. Dengan seksama.
Hening sesaat.
“Hoo…. Jadi ayahmu sakit keras, dan kau ingin menemaninya di sisa-sisa hidupnya, begitu?”
Aku mengangguk, sembari berkata, “BINGO!!”
Ia terlihat mendesah. “Baiklah….”
Aku tersenyum lebar. “terima kasih….”
~***~
Saat aku pulang dari SMTown management, aku langsung memasuki kamar ayahku. Kulihat, Chin Mae sedang berusaha menyuapi ayahku. Ia menoleh padaku saat mendengar suara gesekan pintu pada lantai kamar. Ia tersenyum padaku, lalu member tanda padaku untuk segera mendampingi ayahku.
Aku menjawabnya dengan anggukan. Aku bergegas duduk di samping Ayah, mengambil piring berisi bubur yang di pegang Chin Mae.
“Yah….” Panggilku pelan.
Ia menoleh pelan padaku.
“Makan….”
Ia hanya tersenyum padaku. Ia menggeleng pelan.
“Kenapa?”
“Ayah tak selera makan….”
“Tapi….”
“KyungSoo….”
“Ya?”
“Jangan berusaha menyembuhkan Ayah….”
Aku terkejut. Aku menatap Chin Mae yang tak kalah terkejut.
“Kenapa?”
“Ayah ingin segera bertemu ibumu, dan meminta maaf padanya….”
“t-ta-tapi….”
“Ayah ingin meminta maaf, karena Ayah sudah berusaha memisahkanmu dan ibu… Ayah macam apa aku ini? Membiarkan anaknya yang baik menderita seperti ini….”
Aku menitikkan air mata. Perlahan, kugenggam tangannya. “Ayah orang yang baik…”
~***~
Malamnya…..
“Tidurlah di samping Ayah nak….” Ucapnya perlahan. Aku tersenyum, lalu membaringkan tubuhku disampingnya. Kasurnya cukup luas, jadi aku tak khawatir.
“Nak.,..” panggilnya pelan. Aku menatapnya. Ia sedang menatap langit-langit dengan pandangan mata kosong.
“Ya?”
“Bagaimana menurutmu tentang Chin Mae?”
Aku tertawa kecil, lalu mengikuti langkahnya, menatap langit-langit kamar. “Kenapa Ayah tanya tentang itu?”
“Entahlah…. Ayah hanya menyukainya…. Dia anak yang baik, sangat patuh pada orang tuanya. Beda jauh denganmu….”
Ia tertawa lagi. Aku juga tertawa, walau di hati ada sedikit rasa kesal. Tapi, harusnya aku tahu diri. Aku memang tak punya sopan santun pada Ayah ‘kan?
“Dia sangat cocok untukmu….”
“Wae?”
“Ya…. Dia orang baik, yang bisa merubahmu menjadi lebih baik…. Yang bisa merubah lelaki badung ‘kan, wanita baik…”
Sekarang Ayah berbicara semakin ngelantur.
“Kau menyukainya ‘kan?” kali ini, Ayah menatapku. Aku tak berani menatapnya. Aku menjawabnya dengan senyuman, seraya berkata, “mungkin iya….”
“Dasar!! Dari dulu kau tidak berubah….” Ia terlihat menghela nafas. Suaranya semakin parau. Aku benar-benar ingin mengobatinya, tapi Ayah benar-benar tak mau diobati. Keras kepala. Itu juga yang menurun padaku.
“Dia itu…. Merawat Ayah, seperti merawat Ayahnya sendiri….” Ucapnya lembut, kembali menatap langit-langit. “saat Ayah mulai lemah, ia sangat telaten, membopong Ayah kemanapun Ayah pergi. Ia juga yang mengantar Ayah ke dokter. Dia juga yang memarahi ide gila Ayah…”
“ide gila?” aku mengernyit, kali ini aku menatap wajahnya. Ayah pun menatap wajahku dan mengangguk.
“Ayah ingin berpura-pura sehat di depanmu, seperti kemarin. Begitu dengar kau akan pulang ke rumah di waktu senggangmu, Ayah ingin menyambutmu dengan baik. Ayah tak ingin kau sedih, makanya Ayah berusaha menutupi penyakit ini. Tapi, saat Ayah memaparkan keinginan Ayah, Ayah malah di bentak….”
“di bentak?” tanyaku lagi.
Dan, Ayahku mengangguk lagi. “Dia bilang, ‘paman ini bagaimana? Dia kan anak paman, dia harus tahu keadaan paman yang sebenarnya. Ini tak boleh ditutup-tutupi’, dia bilang begitu….”
“Kalau aku jadi dia, mungkin aku juga akan mmbentak Ayah….”
Dia tersenyum lagi, lalu membelai rambutku halus. “Ayah tak ingat, kapan kita bermesra-mesraan seperti ini….”
“Hahahahaha…..”
“Malah tertawa….”
“Maaf….” Jelas kata-kata Ayah tadi membuatku tertawa. Bagaimana tidak? Ucapan Ayah tadi seperti sepasang kekasih yang telah terpisahkan bertahun-tahun lamanya.
“KyungSoo….”
“Ya?”
“Jika kau menyukai Chin Mae, Nyatakanlah cintamu, dengan gagah berani….”
Aku hanya tersenyum, sedikit menahan tawa. Dasar!! Jika bisa bercanda seperti ini, tak terlihat kalau ia sedang sakit. Padahal, berkali-kali ia mengerang kesakitan hari ini.
“Ayah sudah ngantuk… Ayah tidur dulu…” tanpa mendengar jawabanku, ia sudah memejamkan matanya.
Aku kembali memikirkan kata-kata Ayah barusan. Sebenarnya, sudah berkali-kali aku ingin melakukannya. Tapi saat aku menatap mata Chin Mae selembut mungkin, ia malah berpaling, lalu mengalihkan pembicaraan.
Bagaimana caranya aku mengungkapkannya?
Setiap ku memandangmu, merana hatiku
Terulas kisah rupa wajah sayu
Menetes sendu, rindu, pilu, ragu
Mengusik desik kelabu dirimu
Ku membelaimu, merenung diriku
Tersirat ingin ucap rasa cinta
Sadarkah bila
Saya cinta kamu?
~***~
Pagi-pagi buta, aku sudah tersadar dari tidurku. Seperti biasa, aku mengecek keadaan Ayah. Setiap malam, Ayah tak bisa tidur dengan tenang, terus-terusan batuk darah. Dan karena sudah tidak kuat berjalan, ia hanya bisa tidur. Buang airpun di atas kasur.
Aku meraba tubuh bagian bawahnya. Oh. Tidak basah, bersih. Kulihat, Ayah juga tidur dengan pulasnya, beserta dengkuran keras. Aku senang melihatnya seperti itu. Waktu kecilku dulu, dengkurannya adalah nina bobo bagiku. Aku bisa tidur tenang dengan dengkurannya.
Tapi, kesenangan itu hilang saat aku mengingat mimpiku barusan.
Di mimpi itu, aku bermimpi, Ayah memakai baju serba putih, sembari menggandeng tangan ibu yang juga memakai baju serba putih.
“Ayah sudah tampan?” tanyanya padaku. Aku hanya mengangguk.
“Baiklah…. Kalau begitu, Ayah bisa pergi dengan tenang….”
Ayah dan ibu meninggalkanku, sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Apa maksudnya?
Aku memutuskan untuk jogging. Tak lupa, aku mengajak Chin Mae ikut denganku. Sejak SD kelas 6, aku selalu melakukan hal ini dengannya.
“Ayo jogging….” Ucapku.
Ia melihat jam dinding yang ada di ruang tamunya. 4.30 AM.
“tak masalah, Ayahmu ditinggal sendirian?”
Aku menggeleng pelan. “Hari ini, ia bisa tidur nyenyak….”
Ia menggeleng pelan. “Aku ingin menemani Ayahmu…. Boleh ‘kan?”
Aku mengernyit. “Kenapa memangnya?”
“Entahlah… tadi malam aku bermimpi tentang Ayahmu. Setelah mimpi itu, perasaanku jadi tak enak…”
“Mimpi?”
Ia mengangguk. “aku mimpi, Ayahmu memakai baju serba putih, menggandeng tangan ibumu, sambil melambaikan tangan ke arahmu….”
Sama persis. “Baiklah… ayo….”
~***~
Aku dan Chin Mae sudah berada di dalam kamar Ayahku. Ia masih mendengkur. Wajahnya pucat. Namun begitu, dia terlihat sangat tampan daripada biasanya. Bahkan, sekarang ia tidur sambil tersenyum.
Sekelebat, aku merasakan hawa dingin yang merasuk sangat dalam hingga relung hatiku, membuat bulu kuduk berdiri dalam waktu sesaat. Aku merasa takut, namun langsung hilang, dan digantikan rasa nyaman di jiwaku.
“Kau merasakannya?” tanya Chin Mae, masih menatap lekat Ayahku. “Hawa dingin….”
Aku langsung menjawabnya. “Ya….”
Aku juga masih menatap Ayahku lekat. Mungkin, malaikat maut telah datang menjemput Ayah. Aku juga tidak tahu.
Aku melihat Ayahku menghela nafas sedalam mungkin, lalu menghembuskannya. Senyumnya semakin lebar, seolah seluruh penderitaan di hidupnya terangkat sudah. Aku sudah tak mendengar dengkurannya lagi.
“KyungSoo….” Ucap Chin Mae.
Aku hanya meraba tangannya. Dingin. Lalu mencari urat nadinya. Sudah tak berdetak lagi.
Aku menatap Chin Mae, lalu tersenyum. “Dia sudah sembuh….”
“Apa?”
“Sembuh…. Dia tak akan merasakan penyakit yang di deritanya lagi….”
“Omong Kosong!!”
Chin Mae memegang tangan Ayahku. Pasti sama dengan apa yang kurasakan. Ia mencari denyut nadinya. Sama saja.
Ia menangis, lalu memeluk Ayahku erat.
~***~
Pemakaman selesai siang itu. Rekan-rekan dari SM Town banyak yang datang mengucap bela sungkawa padaku. Ku sambut mereka dengan wajah sayu.
Di balik kesedihanku itu, ada kesenangan yang mendalam. Maksudku, bukan karena aku membencinya, tapi karena aku mencintai Ayahku.
Keinginan Ayah untuk bertemu kembali dengan Ibu sudah terkabulkan. Aku juga tak perlu melihat penderitaannya atas penyakitnya, yang selalu membuatku merasa bersalah. Bahkan di akhir hayatnya, ia mengembangkan senyum indahnya padaku.
Yang kali ini sangat terpukul, justru Chin Mae. Ia masih berdiri di depan foto Ayahku, dengan sisa-sisa isak tangisnya.
“Hei…” Aku menepuk-nepuk pundaknya.
“Aku kehilangan sosok Ayah yang berkharisma di mataku….” Ucapnya, dengan penekanan keputus-asaan di masing-masing katanya.
“Kalau aku….” Ucapku. Kalau aku apa ya?
Ia menatapku lekat. Aku hanya tersenyum tipis.
“Tidak. Tidak jadi….”
“Kalau kau, malah merasa senang karena dia mati, begitu?”
“Aduh, bukan itu….” Aku menggaruk kepalaku kasar. “Kenapa kau malah berpikiran seperti itu?”
“Aku tak melihatmu menangis sama sekali….”
Aku tersenyum padanya. “Kalau menangis bisa membangkitkan Ayahku kembali, dengan senang hati ku lakukan….”
Ia diam mendengar penuturanku.
“Aku tak mau membuatnya merasa bersalah lagi karena aku menangis….” Ucapku lagi. “coba pikir, Ayah meninggal dalam keadaan tersenyum ‘kan? Beban hidupnya sudah terangkat semua. Ayah orang baik. Orang disekitarnya pun mau memaafkan kesalahan yang pernah ia lakukan. Dia pasti senang di sana, aku tak mau mengganggu Ayah lagi….”
Ia menghapus air matanya. “benar juga….”
Aku menghela nafas, lalu mulai bernyanyi dengan lirih,
Setiap ku memandangmu, merana hatiku
Terulas kisah rupa wajah sayu
Menetes sendu, rindu, pilu, ragu
Mengusik desik kelabu dirimu
Ku membelaimu, merenung diriku
Tersirat ingin ucap rasa cinta
Sadarkah bila
Saya cinta kamu?
“Kau tadi….”
Aku hanya mengangguk untuk menyergahnya berbicara lebih jauh. Aku berdiri menatapnya lagi. Benar dugaanku, ia memalingkan wajahnya. Aku memegang dagunya, memaksanya menatapku.
“Di akhir hayatnya, ia menasihatiku seperti ini, ‘Jika kau menyukai Chin Mae, Nyatakanlah cintamu, dengan gagah berani…’,”
“Apa?”
Aku hanya tersenyum. “Aku ingin jawabannya besok….”
~***~
Esoknya….
Pagi-pagi sekali, dia sudah datang ke rumahku. Aku tersenyum padanya. Namun untuk saat ini, aku belum bisa menggubrisnya. Aku harus segera membereskan semua barang-barang Ayah yang ada. Sebelum penyakitnya parah, ia berpesan padaku,
“Jika Ayah meninggal nanti, sumbangkan semua barang-barang Ayah yang masih bisa digunakan….”
“butuh bantuan?” tanyanya.
“Ah… tidak usah…. Aku bisa sendi~”
Aku sudah melihatnya memasuki kamar Ayah sambil mengepak baju-baju Ayah yang ada di lemari. Ia melipatnya dengan rapi, lalu memasukkannya di kardus-kardus yang kuletakkan berjajar di atas kasur Ayahku.
“ri….” Lanjutku pelan.
“setelah ini, apa lagi?”
Aku menggeleng pelan, lalu menggaruk alisku dengan jari telunjukku. Sekilas, aku tersenyum padanya, “terserahmu lah~”
Ia tersenyum lebar, merasa menang dariku.
Beberapa lama kemudian….
“aku sudah bilang ‘kan? Aku bisa sendiri….” Omelku padanya, sambil merekatkan lakban hitam di kardus yang berisi pakaian Ayahku.
“tak apa ‘kan?” ucapnya cuek, sambil duduk di kasur Ayahku.
Yak, selesai!
Aku segera menumpuk kardus-karuds itu di hadapanku, lalu duduk di kasur Ayahku. Aku menatap ke seluruh ruangan. Rasa kehilangan kembali mendesakku, padahal aku sudah merelakan kepergiannya.
“benar katamu….” Ucapku lirih.
“Apa?”
“Aku hanya ingin bilang, sesuatu yang berharga bagi kita, terkadang tak terasa berharga saat kita masih ada di dekatnya…. Tapi saat kita kehilangan hal yang berharga tersebut, maka kita akan merasa menyesal….”
Dostları ilə paylaş: |