FIN
Epilog
“HEY! Kau mencuri FirstKiss-ku!!” sahut Chanyeol dengan wajah yang sengaja di buat kesal.
“hey! Kau tidak ingat ketika kau jatuh dari pohon? Siapa duluan yang mencuri firstkiss ku? Lagian ini bukan lagi Firstkiss.. kita sudah berciuman dua kali, tahu!” jawab ____ dengan kesal.
“kalau begitu, ini bukan yang kedua kali..” wajah chanyeol seperti berfikir keras.
“lalu maksudmu?”
“ini sudah menjadi ciuman kita yang kelima kali.. hahahah dulu aku sering mencium bibirmu diam-diam”
“Ya!! CHANYEOL!”
~~
The Lost Memory
pengarang: Annisa Nur Shabrina (sungheedaebak)
***
Aku orang yang pendiam. Aku kira aku punya teman. Teman sekelas pun tak apa. Tapi apa yang terjadi di sini? Aku dikucilkan. Aku ada di kelasku sendiri, dimana harusnya aku berbaur dengan yang lain. Aku melihat seorang temanku yang sedang menggambar sesuatu, namanya Mai. Dia orang Jepang. Dia yang paling baik padaku meskipun dia jarang bermain denganku. Aku hendak berdiri menghampirinya ketika temanku..well yah temanku yang lain, Kim Nareul, menghalangiku. Dia mendorongku sehingga aku terduduk kembali. Aku menatap Nareul dengan tatapan takut dia musuh bebuyutanku. Entah kenapa dia selalu menindasku padahal aku tidak pernah berbuat salah padanya. Apa yang membuatnya membenciku?
“Heh, Sunghee!! Cepat belikan aku makanan!” sembur Nareul.
“Ta…tapi.. sekarang kan bukan jam istirahat… gerbang TK dikunci..hanya anak SD yang bisa ke kantin…” ucapku takut-takut. Memang sekolah TK kami bersebelahan dengan SD Victoria. Kantin hanya dibuka saat jam istirahat SD.
“Alah…lompati saja gerbang itu! Cepat aku lapar sekali!” teriak Nareul. Aku menunduk. Aku melirik Mai. Dia masih serius menggambar. Dia memang tidak bisa mendengar keadaan di sekitarnya ketika dia sedang menggambar. Dia sangat mencintai menggambar. Cita-citanya adalah menjadi seorang pelukis terkenal.
“Tapi..Nareul-sshi, bagaimana kalau ketahuan?” Aku mencoba menatap wajahnya. Dia menatapku garang.
“Sudahlah cepat beli!! Kau mau aku mati kelaparan hah?!” Nareul membentakku lagi. Dengan gemetar, aku berdiri dan berjalan keluar kelas. Aku sempat melirik Nareul yang tersenyum angkuh padaku. Aku menghela napas dan berhati-hati keluar ruangan.
Ketika keadaan aman, aku berlari menuju gerbang. Tiba-tiba aku tertabrak oleh anak laki-laki yang sedang bermain bola. Aku terjatuh dan anak itu membantuku berdiri.
“Eh, maaf. Kukira tidak ada orang.” Laki-laki itu membersihkan debu di bajuku. Aku menghalangi tangannya.
“Tak apa. Aku sudah biasa.” Aku langsung melanjutkan lariku.
“Hei, kau mau kemana?! Gerbang kan masih ditutup! Hei!” Laki-laki itu terus memanggilku tapi aku mengacuhkannya. Aku pun memanjat gerbang yang tinggi tersebut ketika sepasang tangan mengangkat tubuhku dan menurunkan tubuhku di tanah. Aku berbalik dan mendongak untuk melihat siapa yang melakukan hal tersebut. Ternyata laki-laki yang menabrakku tadi.
“Lewat jalan itu tidak aman, masih ada penjaganya. Sini, kutunjukkan jalan yang aman.” Laki-laki itu tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menatapnya ragu. Dengan ragu, aku menyambut tangannya. Dia tersenyum dan menarikku menuju jalan yang aman itu. Ternyata sebuah gang kecil yang tertutupi oleh potongan-potongan kayu. Anak laki-laki itu menyingkirkan beberapa kayu dan berjalan masuk. Dia masih terus menarikku. Dilihat dari seragamnya, dia satu sekolah denganku. Mungkin beda kelas.
Ternyata jalan ini memutar menuju kantin. Aku tersenyum senang ketika kulihat bangunan yang cukup besar berdiri di hadapanku. Aku melepaskan tangannya dan berlari mencari makanan sebelum guru datang.
“Hei, kau tahu jalan kembalinya bagaimana kan?” tanya laki-laki itu. Aku mengangguk sekilas dan memesan makanan. Saat makanan sudah di tangan, aku berbalik dan laki-laki itu telah menghilang. Aku terkejut dan berlari mencari anak laki-laki itu. Tidak kutemukan. Akhirnya aku kembali ke sekolah dengan gontai.
Aku memberikan makanan yang sudah kubeli pada Nareul. Aku menyisakan satu bungkus pocky untuk anak laki-laki yang membantuku tadi. Tapi Nareul malah merebutnya dariku. Aku berusaha mengambilnya lagi tapi dia malah menjambak rambutku dan membentakku untuk pergi. Aku menangis dan duduk di kursiku. Aku menelungkupkan wajahku ke dalam lipatan tanganku di atas meja. Mai menghampiriku dan duduk di sebelahku.
“Sudahlah, nanti kubelikan pocky yang sama, ya?” ucap Mai menghiburku. Aku masih sesenggukan.
“Bukan masalah pocky-nya..” ucapku disela tangis.
“Kalau begitu nanti aku hajar Nareul!” Mai mengepalkan tangan.
“Jangan,” sergahku. “Jangan hajar dia. Biarkan saja!” Mai heran.
“Lho kenapa? Dia kan sudah sering menindasmu!” Mai bersikeras.
“Jangan..” Aku menatap Mai dengan tatapan penuh permohonan. Mai tertegun dan mengangguk. “Baiklah.”
Bel pulang sudah berbunyi. Teman-teman sekelasku berlari keluar kelas dengan riang. Aku hanya membuntuti dengan tenang di belakang. Tapi tiba-tiba aku teringat anak laki-laki itu. Aku pun menyerobot teman-temanku yang lain dan berlari menuju tempat bermain. Aku duduk di ayunan, menunggu anak laki-laki itu. Tapi sudah setengah jam aku menunggu, dia tak datang. Aku menunduk sedih.
“Heh, kamu! Sendirian aja, hah?! Dasar penyendiri! Kasian sekali kamu tidak punya teman!” Nareul tertawa. Aku mengepalkan tangan. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya yang sangar.
“Kau mau apa?” tanyaku pelan.
“Apa? Apa?! Si penyendiri ini bicara?! Oh, hebat sekali!” Dia tertawa lagi. Tawanya bagai suara petir di telingaku. Mataku mulai terasa hangat. Nareul mendorong kepalaku keras. Dia tertawa lagi. Dia lalu mengacak-acak rambutku. Aku hanya diam. Biar saja. Dia akan mendapat balasan dengan sendirinya.
“Hei! Jangan sentuh dia!” Seorang anak laki-laki berdiri di hadapanku dan merentangkan tangannya untuk melindungiku. Rambut coklatnya mirip dengan rambut anak laki-laki yang membantuku. Mungkinkah ini anak laki-laki tadi?
Nareul menatap anak laki-laki di hadapannya dengan pandangan meremehkan. Dia berkacak pinggang.
“Siapa kau?” tanya Nareul.
“Aku Lee Hyukjae! Aku temannya! Jangan ganggu dia!” suara anak laki-laki itu terdengar lantang dan tegas. Dia mengucapkan teman. Aku temannya. Bahkan tahu namanya pun baru sekarang. Dia sudah menganggapku temannya. Aku senang sekali.
“Cih, lain kali aku akan menghajar Sunghee lagi! Wee…” Nareul memeletkan lidah dan pergi. Hyukjae menatap Nareul sampai menghilang dengan tatapan marah. Dia lalu berbalik padaku yang masih terduduk di ayunan. Dia tersenyum. Dia mengulurkan tangannya lagi.
“Hai teman, namaku Lee Hyukjae. Kau bisa memanggilku Eunhyuk. Namamu siapa?” Aku menatap Eunhyuk ragu. Aku lalu menyambut tangannya.
“Lee Sunghee.” ucapku pelan. Dengan cepat aku melepaskan tanganku. Eunhyuk tersenyum.
“Baiklah, Sunghee. Kita teman ya! Mulai sekarang kalau ada yang mengganggumu aku akan datang dan melindungimu. Oke?” Eunhyuk berkata dengan riang. Aku mengangguk. Aku tersenyum. Sepertinya menyenangkan memiliki teman seperti dirinya.
Gedung TK masih sepi. Jelas saja, aku datang terlalu pagi. Ruangan kelas masih dikunci. Tempat bermain dipenuhi dengan embun-embun. Sisa hujan semalam. Aku lalu memutuskan untuk duduk di ayunan. Aku mulai mengayun dengan pelan. Mataku terus menatap pintu gerbang. Berharap ada seseorang yang mendorongnya. Dan ternyata harapanku terkabul setengah jam kemudian. Eunhyuk masuk dengan membawa kantong makanan di tangannya. Aku masih terdiam memperhatikannya. Dia mencoba membuka pintu kelas di sebelah kelasku dan usahanya gagal karena semua pintu kelas dikunci. Karena tindakannya itu aku tahu dia anak kelas sebelah.
Aku masih terdiam. Aku ingin sekali sekedar menggumam untuk memberitahunya bahwa aku ada disini tapi aku tidak berani. Aku merasa malu untuk bicara dengan orang yang baru kukenal. Makanya aku mendapat sebutan si penyendiri.
Ternyata mata anak itu menangkap sosokku yang duduk di ayunan. Eunhyuk lalu tersenyum dan berjalan riang menghampiriku.
“Ternyata kau sudah datang! Kenapa tidak menyapaku?” tanya Eunhyuk. Dia lalu duduk di ayunan sebelah. Aku menunduk.
“Aku…takut..” Aku berkata dengan jujur. Tanganku gemetar. Eunhyuk melihat tanganku yang gemetar dan menggenggamnya.
“Kau tahu kan kalau sekarang musim dingin? Kenapa tidak memakai sarung tangan?” Tanganku terasa hangat karena genggamannya. Aku menoleh untuk menatap wajahnya. Dia sedang tersenyum lembut.
“Aku membawa dua sarung tangan. Ehm…maksudku dua sarung tangan yang satu kanan dan yang satu kiri. Kau mau pakai satu?” tanya Eunhyuk. Aku hanya terdiam. Eunhyuk tersenyum simpul dan melepaskan sarung tangan sebelah kirinya. Dia lalu memasangkannya pada tangan kiriku. Aku menatapnya. Lagi-lagi dia tersenyum lembut.
“Jangan takut padaku. Kita kan teman!” ucapnya. Aku terharu mendengarnya. Ternyata aku bisa mendapatkan teman yang sesungguhnya.
Detik demi detik kami lewati dengan mengobrol. Anak-anak mulai berdatangan dan kelas pun sudah dibuka. Aku melihat Nareul masuk dengan seragam yang rapi. Aku menaikkan alis. Setelah ayahnya pergi, dia lalu mengeluarkan baju seragamnya sehingga terlihat berantakan. Matanya tak sengaja menatapku yang duduk di ayunan bersama Eunhyuk. Dia menyeringai lalu berjalan ke arah kami. Eunhyuk sudah terlihat waspada. Dia berdiri dan dengan protektif menjagaku dengan berdiri di hadapanku. Aku melirik ekspresi Nareul yang berubah angkuh.
“Mau apa lagi kau? Jangan mengganggu Sunghee!” ucap Eunhyuk lantang. Nareul bersedekap.
“Memangnya kau pacarnya? Hahaha…” Nareul tertawa. Tapi tawanya tidak terdengar bahagia. Lebih ke mengejek.
“Aku sahabatnya!” ucap Eunhyuk. Apa? Sahabat? Belum pernah aku mendengar ada seseorang yang mengucapkan hal itu padaku.
“Hahaha.” Nareul memutar bola matanya bosan. “Kau akan menyesal bersahabat dengannya!” Nareul mendorong tubuh Eunhyuk dan pergi ke kelas. Eunhyuk berbalik dan menatapku. Aku menatapnya takjub.
“Kau tak apa, kan?”
“Tentu saja.” Eunhyuk tersenyum mendengarnya. Kami berdua lalu memutuskan untuk masuk ke kelas.
Tak terasa 2 minggu sudah acara perpisahan. Selama ini Eunhyuk selalu menolongku. Tubuhnya selalu berdiri di hadapanku dan dengan lantang melarang orang lain untuk menindasku. Akibatnya, Eunhyuk jadi lebih sering bersamaku dan Mai dibanding bersama dengan teman laki-laki yang lain. Karena jika dia lengah sedikit, Nareul pasti akan menindasku. Jadi dia selalu ada disisiku.
Selama 2 minggu ini seluruh murid TK Victoria disuruh untuk latihan menari. Nanti kami semua akan tampil dalam acara perpisahan. Karena tarian yang akan aku tarikan dengan Eunhyuk berbeda, kami jadi agak jarang bersama lagi. Paling waktu pulang saja dia selalu menjemputku ke kelas. Begitu pula hari ini. Kami berdua berjalan menuju mobil jemputan. Rumahku dan dia dekat. Hanya beda beberapa blok. Jadi kami menaiki mobil yang sama. Sambil menunggu anak SD pulang, kami bermain-main di dalam mobil. Kami bermain tebak-tebakan. Jika salah satu salah, harus digelitiki oleh yang memberi pertanyaan. Kami berdua awalnya menaati peraturan itu tapi akhirnya kami berdua malah bermain menggelitik dengan serunya. Kami tertawa lepas bersama. Tak terasa anak SD sudah masuk ke dalam mobil jemputan. Tiba-tiba ponsel butut yang dibawa Eunhyuk berbunyi. Dia dijemput. Dia lalu bergegas turun dari mobil dan melambai padaku. Aku balas melambai.
“Eunhyuk itu seperti perempuan saja,” celetuk salah satu kakak kelas. Aku menatapnya.
“Kenapa?” Aku memberanikan diri untuk berbicara. Kurasakan tanganku bergetar. Oh! Sarung tangan itu belum kukembalikan! Aku lupa! Nanti aku akan mengembalikannya.
“Ya soalnya dia selalu bermain dnegan perempuan. Denganmu misalnya. Setiap istirahat pasti bermain dengan perempuan. Dasar banci.” Aku kesal mendengarnya.
“Dia tidak seperti itu! Dia bermain dengan perempuan karena dia ingin menjagaku! Lagipula dia masih suka bermain dengan laki-laki!” Aku merasa suaraku terlalu lantang. Para kakak kelas menaikkan alis.
“Begitukah? Tapi banyak sekali lho yang bilang kalau Eunhyuk sukanya bermain dengan perempuan. Bukan hanya aku saja,” kata kakak kelas itu lagi.
“Dia hanya ingin menjagaku…” ucapku pelan dan gemetar. Aku merapatkan tanganku.
Hari perpisahan telah tiba. Aku sedang berada di belakang panggung untuk bersiap-siap. Eunhyuk menghampiriku dengan wajah riang.
“Hai, Sunghee! Sudah siap?” tanyanya. Aku mengangguk. Dia tersenyum puas.
“Berjuang ya! Kau pasti bisa! Aku akan menontonmu nanti!” Aku mengangguk lagi.
“Kau juga berjuang ya..” ucapku dengan suara pelan. Herannya, Eunhyuk bisa mendengar suaraku yang kecil di tengah-tengah kebisingan ini. Dia mengangguk semangat.
Ternyata aku yang tampil lebih dulu, aku tidak bisa melihat Eunhyuk di bangku penonton. Mungkin persiapan dia belum selesai. Aku sedikit kecewa tapi aku masih memberikan penampilan yang terbaik di atas panggung. Selang beberapa penampilan akhirnya giliran Eunhyuk datang. Aku duduk di bangku penonton bersama orang tuaku. Orang tuaku memotret penampilannya. Tubuhnya sangat lihai. Aku senang menontonnya. Setelah penampilannya selesai orang tuaku mengajakku pulang. Aku menurut begitu saja. Kami lalu pulang ke rumah.
Aku tertegun ketika kulihat sarung tangan Eunhyuk masih tergeletak di atas meja belajar. Aku lupa menanyakan kemana dia akan melanjutkan sekolahnya. Semoga masuk ke SD Victoria, sama sepertiku.
Hari pertama masuk SD tidak begitu menyenangkan. Kenapa? Karena Nareul masuk kelas yang sama denganku. Dia malah memilih duduk di sebelahku. Aku tahu alasannya. Agar ia leluasa menindasku. Sekarang aku tidak akan melihat Eunhyuk lagi. Dia tidak masuk SD Victoria. Aku menyesal tidak menanyakan kemana dia akan melanjutkan sekolahnya. Aku bahkan lupa mengembalikan sarung tangannya.
“Sekarang kau tidak bisa menghindar, Sunghee. Eunhyuk-mu sudah pergi jauh! Dia tidak akan membelamu lagi!” Nareul tertawa senang. Mataku berair. Eunhyuk, tolong aku…
“Heh, Sunghee! Cepat belikan makanan!” Nareul membentak. Aku ingin mencoba untuk melawannya, seperti yang Eunhyuk lakukan untukku.
“Kau punya kaki kan? Beli saja sendiri.” Aku tidak percaya aku mengucapkannya. Nareul terbelalak marah.
“Apa?! Kau berani melawanku?! Memangnya kau siapa?!” Nareul berteriak. Aku mengepalkan tangan.
“Kau berani menyuruhku? Tanya dulu pada dirimu, siapa dirimu!” Aku juga berteriak padanya. Aku melihat sekeliling dan aku tidak melihat Mai lagi. Tentu saja karena dia tidak masuk SD Victoria. Murid-murid di sini tidak ada yang memperhatikanku. Aku kembali menjadi penyendiri yang tak punya teman.
Tak kusangka, Nareul melemparkan tas besarnya padaku. Saat itu dia memakai tas yang bentuknya seperti koper, ada rodanya. Roda dan besi tas itu tepat mengenai kepalaku. Aku mengaduh kesakitan tapi tak ada yang menoleh. Tak ada yang peduli. Eunhyuk, bantu aku..
Nareul tertawa lepas.
“Itulah akibatnya kalau kau membangkang! Cepat belikan aku makanan!!” Nareul berteriak sangat kencang. Gendang telingaku rasanya akan pecah. Mataku berair. Kepalaku pusing. Tolong aku..
“Aku tidak mau!” Dengan air mata yang hampir turun, aku masih berteriak padanya. Nareul tersenyum sinis padaku.
“Segitu saja nangis! Dasar cengeng! Sudah penyendiri cengeng lagi! Tak akan ada orang yang mau menjadi temanmu lagi!” Nareul masih berteriak. Biar saja dia teriak. Biar pita suaranya putus dan tidak bisa berteriak lagi. Aku menunduk.
Nareul menarik baju seragamku dan mendorongku kasar ke arah pintu. Dia membuka pintu dan mendorongku keluar. Kurasakan setetes air mata sudah jatuh menuruni pipiku. Nareul menyadarinya dan dia malah mendorong kepalaku yang sedang pusing karena lemparannya tadi. Aku berasa di neraka. Rasanya aku akan pingsan. Kenapa tidak ada yang menolongku? Apa mereka tidak bisa melihatku yang meringis kesakitan dan membutuhkan pertolongan? Kemana orang-orang? Kenapa mereka tidak peduli? Kenapa?
Aku berjalan gontai menuju kantin. Aku melirik gerbang. Di pikiranku terlintas Eunhyuk yang sedang mengangkatku dan menurunkan aku di tanah. Dia menyodorkan tangan dan menarikku. Jalan yang aman. Dengan tergesa, aku menghapus air mataku yang mulai turun.
“Ini.” Aku melemparkan makanan yang kubeli ke atas meja. Nareul menatapku dengan tersenyum angkuh. Aku menyembunyikan sebungkus pocky di belakang punggungku. Mata Nareul yang tajam sempat menangkapnya. Dia lalu merebut pocky itu. Aku berusaha mempertahankan hakku dan dia malah merebutnya dan merobek bungkusnya. Dengan rakus, dia memakan semua pocky itu sendirian. Kekesalanku sudah mencapai puncak. Aku ingin Nareul dikeluarkan dari sekolah ini. Tapi apa yang bisa kulakukan?
Jam masuk berbunyi. Sekarang pelajaran matematika. Aku mengerjakan soal di depan dengan serius. Sementara Nareul malah terdiam santai. Aku sudah menyelesaikan soal dan berdiri untuk menyerahkan hasil pekerjaanku. Tapi Nareul menahanku. Dia menarikku untuk duduk dan dia merebut bukuku dari tanganku. Dengan santai dia menyalin isinya. Saat itu kami duduk di pojok belakang. Aku tidak bisa keluar dari bangku karena dia selalu menghalangiku. Aku terduduk dengan kesal. Padahal semakin cepat menyelesaikannya semakin besar nilai yang akan kita dapat. Tapi Nareul memperlambat waktuku. Beberapa orang sudah selesai dan mereka mendapatkan nilai A. Lalu B. Dan C. Aku sudah tidak tahan. Seharusnya aku yang mendapatkan nilai A!
Dengan tidak berdosa, Nareul berjalan santai menuju guru. Dia mendapat nilai C. Aku menyusul di belakangnya. Dan kau tahu? Aku mendapat nilai D karena waktu untuk mendapat nilai C sudah habis. Nareul yang terakhir. Aku merasa sangat kesal. Aku ingin sekali memukul Nareul.
2 minggu setelah itu aku tidak melihat Nareul lagi. Teman-teman di kelas bilang dia dikeluarkan.
“Lho, kenapa?” tanyaku.
“Karena dia sering menindasmu! Kami tidak tahan melihatnya jadi kami memutuskan untuk melaporkan dia ke kepala sekolah! Akhirnya dia dikeluarkan karena dia tidak mengganggumu saja. Anak lain juga menjadi korban!” jelas Yeonmin panjang lebar. Aku mengangguk-angguk. Ternyata mereka masih sadar aku ada di antara mereka.
Setelah Nareul dikeluarkan aku merasa hidupku lebih tenang. Hari ini aku pulang ke rumah sendirian. Di rumah masih sepi. Kedua orangtuaku bekerja. Jadi mau di sekolah atau di rumah aku selalu kesepian. Julukan penyendiri memang cocok untukku.
Aku menaiki tangga ke kamarku. Aku merasa bersalah ketika melihat sarung tangan Eunhyuk. Aku mengambilnya. Aku memperhatikan warnanya. Sapphire blue. Warna favorit kita. Aku tersenyum simpul melihatnya. Tiba-tiba aku dikagetkan suara klakson mobil orang tuaku. Aku berlari ke lantai bawah. Tiba-tiba kakiku terpeleset dan aku jatuh terguling ke bawah. Kepalaku membentur besi tempat rak sepatu bersih dengan keras. Akibatnya aku langsung tidak sadarkan diri.
Aku mengerjapkan mata. Aku berada di rumah sakit. Aku tahu itu karena ketika aku menoleh melihat tanganku , aku diinfus. Tapi kenapa aku masuk ke rumah sakit?
“Sunghee! Kau sudah sadar?” eommaku menyambut dengan ceria. Aku mengangguk.
“Aku kenapa?”
“Kamu masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga. Kepalamu terbentur besi. Cukup parah. Kau tidak ingat?” Ekspresi eommaku berubah khawatir. Aku berusaha mengingatnya dan aku gagal. Aku tidak ingat apa-apa. Aku menggeleng lemas. Sekarang ekspresi eommaku terlihat panik. Tapi sudahlah…paling hanya kenangan penyendiri saja yang aku lupakan. Tak apa. Malah bagus. Tunggu, kenapa aku ingat kalau aku adalah seorang penyendiri?
“Sebentar eomma panggilkan dokter.” Eommaku pun pergi keluar ruangan. Aku memegang kepalaku. Agak sakit. Tapi kepalaku tidak diperban. Berarti tidak sampai berdarah. Syukurlah. Mungkin aku amnesia, tapi tidak parah.
Dokter memeriksa aku. Setelah selesai ekspresi dokter terlihat sedikit sedih.
“Sunghee mengalami amnesia ringan. Tapi hanya hal yang indah saja yang dia lupakan. Dia tidak ingat apa yang terjadi kemarin. Jadi..Sunghee hanya akan mengingat apa hal buruk yang menimpanya. Hal yang indah ia lupakan,” ucap dokter itu. Hah…memangnya aku memiliki kenangan indah?
Ekspresi eomma berubah menjadi prihatin. Aku memejamkan mata. Berusaha mengingat sesuatu yang indah tapi percuma. Akhirnya aku diperblehkan pulang. Aku langsung menuju kamarku. Aku melihat foto-foto. Ada foto saat aku menari. Aku mengingatnya. Kenapa? Bukankah menari itu hal yang indah? Dokter bilang aku hanya melupakan hal yang indah.
Aku melanjutkan melihat-lihat foto. Beberapa ada yang aku lupakan dan beberapa ada yang kuingat. Aku lalu membuka album foto. Banyak sekali yang aku lupakan. Dan aku tertegun ketika ada foto seorang anak laki-laki. Siapa ini? Saudaraku? Sepertinya bukan. Teman? Hah.. punya teman adalah hal yang langka untukku. Lalu kenapa aku melupakannya? Kalau Nareul aku ingat. Lalu siapa laki-laki ini? Kalau kulupakan berarti dia hal yang indah? Yang menyenangkan? Siapa? Namanya pun aku tidak ingat.
Baiklah, aku melanjutkan membuka-buka album. Ada lagi foto beberapa orang laki-laki yang sedang menari. Kepalaku terasa pening. Sepertinya otakku bereaksi ketika melihat foto ini. Seperti ada sesuatu. Tapi apa? Hal indahkah? Oh aku ingat! Itu saat perpisahan TK! Lalu siapa anak-anak ini? Apa aku mengenal mereka? Aku menghela napas. Percuma saja mengingatnya.
Aku tiduran di atas tempat tidur. Berarti aku akan melupakan hal indah yang kulewati bersama orang tuaku juga. Saat ulang tahunku dirayakan… Setidaknya aku tahu ulang tahunku pernah dirayakan karena ada fotoku memakai gaun putih selutut dan fotoku saat membuka kado-kado. Berarti aku melupakan saat indah itu? Saat dimana aku merasa aku punya teman. Air mataku mengalir perlahan. Aku akan melupakan apa yang orang tuaku telah perbuat untukku. Aku akan melupakan hal indah yang telah kulewati. Seburuk apapun hidupku pasti ada hal yang indah di dalamnya. Aku akan melupakan semuanya. Termasuk.. anak laki-laki itu?
Tak terasa aku sudah masuk SMP. Aku tidak terlalu memikirkan masalah amnesiaku karena hal itu tidak terlalu berpengaruh pada kehidupanku yang sekarang. Di SD aku sudah punya beberapa sahabat. Begitupun di SMP. Sekarang aku menduduki bangku kelas 8. Sebentar lagi kelas 9. Entah kenapa, otakku selalu bereaksi ketika aku melihat sarung tangan yang tergeletak di atas meja dan foto anak laki-laki berambut coklat. Memangnya apa yang terjadi? Kenapa ketika mataku melihat fotonya saat menari aku seperti mengingat sesuatu? Perlahan-lahan aku mulai mengingat laki-laki itu. Tapi aku hanya mengingat apa yang telah dia lakukan untukku. Aku melupakan wajahnya dan namanya. Siapa namanya? Kenapa aku bisa melupakannya?
Hal yang dia lakukan padaku memang hal yang indah. Dia ternyata sahabatku. Padahal dulu aku mempunyai sahabat bernama Mai. Dia juga baik padaku. Aku masih ingat namanya tapi kenapa nama anak laki-laki itu tidak? Apa namanya berawalan dari H? Atau E? K mungkin? D? R? Siapa namanya? Lalu sarung tangan itu.. dia pernah meminjamkannya padaku. Ya yang aku ingat begitu. Aku juga ingat aku pernah memperbaiki imagenya di depan kakak kelas. Ya aku ingat. Dia yang selalu menjemputku selesai latihan menari, ya aku ingat. Tapi kenapa aku melupakan namanya? Aku ingin mencarinya. Aku ingin mengembalikan sarung tangan ini dan mengucapkan terima kasih padanya. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dia! Aku menyesal waktu itu tidak menanyakan nomor ponselnya. Ya meskipun itu ponsel kakaknya tapi tetap saja aku punya kesempatan untuk menghubunginya.
Aku sadar. Sudah 8 tahun aku memikirkannya. Sampai kapan aku harus memikirkannya? Bagaimana mungkin aku memikirkan seseorang yang bahkan namanya pun aku lupakan? Kenapa pula otakku harus bereaksi ketika melihat fotonya? Begitu indahkah namanya sampai aku tidak bisa mengingat namanya lagi?
Aku sudah gila. Aku tahu aku tidak akan menemukan namanya di internet ketika aku mengetik H. Tentu saja aku tidak akan menemukannya! Tapi yang aku ingat namanya berawalan dari H dan berakhiran dari E. Aku mencoba mencarinya dan tentu saja gagal! Aku memang gila. Sudah 13 tahun aku memikirkannya terus. Kemana aku harus mencari? Bertanya pada Mai? Oh gila. Aku harus pergi ke Jepang dulu untuk bertanya padanya. Aku kehilangan kontak dengannya. Kabar terakhir yang kudengar adalah dia sudah kembali ke negeri asalnya. Lalu jika aku pergi ke Jepang aku harus ke kota apa? Daerah apa? Tokyo? Kyoto? Oh Nagasaki! Tapi… masa aku harus mengelilingi Jepang demi mencari Mai? Gila! Itu pun kalau berhasil menemukannya dan dia tahu nama anak laki-laki itu. Kalau dia juga lupa? Sia-sia.
“Sunghee! Ayo makan malam!” terdengar suara ibuku. Aku berlari menuruni tangga.
“Hati-hati nanti terpeleset lagi,” ucap ayahku. Aku hanya tersenyum. Adikku melirik ke arahku.
“Kapan dia terpeleset?” tanya adikku yang masih duduk di bangku SMP. Aku hanya tersenyum.
“Itu masa lalu.” Aku bergumam. Adkku semakin penasaran. Tapi akhirnya dia melupakan rasa penasarannya karena makanan sudah tersaji di atas meja.
Aku iseng main ke TK Victoria. Pikiranku langsung bekerja. Kebanyakan kenangan dari Nareul yang jahat. Dan sedikit dari Mai. Lalu dari anak laki-laki itu. Lalu aku melihat gerbang. Aku tertegun ketika melihat seorang laki-laki berambut coklat sedang memandangi gerbang itu. Dia tersenyum tipis seperti sedang mengenang sesuatu. Otakku makin bekerja. Pikiranku bertabrakan di dalam otak. Ada apa ini? Otakku lalu menyuruh mataku untuk melihat tangan lelaki itu. Dia memakai sarung tangan yang sama dengan yang ada di rumahku. Dia memakainya di kanan. Dan milikku yang kiri. Mungkinkah itu..?
Laki-laki itu cukup tinggi. Rambutnya coklat. Warnanya persis dengan anak laki-laki yang ada di foto. Wajahnya tampan. Tubuhnya kurus. Dia memakai topi berwarna hitam oranye dan kaus oranye serta celana panjang berwarna biru tua. Kakinya dihiasi dengan sepatu kets putih. Aku masih asyik memperhatikannya ketika seorang temannya datang dan menepuk pundaknya. Dia menoleh pada temannya dan tersenyum. Aku melepaskan handsfree-ku agar aku bisa mendengarkan percakapannya.
“Hyukkie! Mengenang masa lalu, hah?” sapa temannya. Lelaki yang lebih pendek sedikit dan berambut hitam gelap. Tak kalah tampan dengan lelaki yang memakai topi.
“Ya, hae. Dulu aku pernah menggendong seorang anak kecil yang kabur di sini.” Lelaki yang dipanggil Hyukkie itu tertawa. Tunggu dulu. Hyukkie kan awalnya dari H dan berakhiran E. Rasanya otakku senang aku menyadarinya. Ingatan-ingatan saat TK berkelebatan dalam pikiranku.
“Anak kecil yang kabur?” tanya lelaki yang dipanggil Hae.
“Ya, dulu anak kecil itu kabur dan hampir memanjat gerbang untuk pergi ke kantin. Aku menggendongnya dan menurunkannya di tanah. Lalu aku menawarinya untuk mengantarnya ke kantin lewat jalan yang lebih aman. Anak itu..imut.” Hyukkie tersenyum. Hae terlihat tertarik. Aku terdiam mematung. Dia menceritakan apa yang anak laki-laki itu lakukan padaku. Pikiranku bersikeras dialah orangnya. Orang yang selama 13 tahun kulupakan namanya tapi tidak pernah kulupakan dirinya.
“Ceritakan lebih tentang gadis itu. Siapa namanya?” tanya Hae antusias.
“Namanya Lee Sunghee. Dulu dia murid kelas sebelah. Dia seorang penyendiri. Dia selalu ditindas oleh anak yang bernama Kim Nareul. Dan saat itu aku yang melindunginya. Waktu itu aku pernah memberikan sarung tangan sebelah kiriku padanya. Itu sebabnya aku hanya menggunakan yang kanan. Waktu itu sarung tangan itu kebesaran di tangan kami. Tapi sekarang pas. Di tangannya juga pasti pas.” Aku tidak tahan lagi. Orang yang kucari selama 13 tahun ini ada di depan mata! Aku bahkan tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Aku tidak bisa sekedar menggumam untuk menyadarkannya bahwa aku ada disini. Aku terpaku olehnya.
“Yah.. Lee Hyukjae… ternyata kau sudah jatuh cinta ya. Sampai sekarang masih memikirkannya?” Nama yang disebutkan Hae membuatku lebih bereaksi lagi. Sekarang aku ingat. Itu nama orang yang aku cintai. Ya aku mencintainya. Aku mengingat namanya! Namanya memang bagus. Tak heran aku sampai melupakannya.
“Dari dulu sampai sekarang aku masih mencintainya. Aku selalu memikirkannya. Sudah 13 tahun rasanya aku selalu memikirkannya.” Kata-kata Eunhyuk.. Eunhyuk… aku ingat nama panggilannya adalah Eunhyuk, membuatku terharu. Aku menutup mulut. Rasanya mataku mulai menghangat. Aku lalu memberanikan diri untuk menghampirinya. Aku berdiri di dekatnya dan menatap gerbang itu. Tak lupa aku memakai sarung tangan pemberiannya yang kubawa. Dadaku berdegup kencang. Padahal jarak aku dan dia sekitar 2m. Aku menatap gerbang dengan tatapan menerawang. Eunhyuk melirikku.
“Dulu TK di sini juga?” tanya Eunhyuk ramah. Aku mengangguk. Ya ampun..mendengar suaranya membuat darahku rasanya berhenti mengalir. Suara yang kurindukan selama 13 tahun. Suaranya sudah tidak secempreng dulu. Suaranya terdengar merdu di telingaku sekarang.
“Gerbang itu..memberikan kenangan yang manis untukku.” Aku memulai. Eunhyuk terlihat tertarik.
“Kenangan yang manis untukku juga bermula dari gerbang itu. Bisa kau ceritakan tentang kenanganmu itu?” tanya Eunhyuk. Tentu saja hyuk.. tanpa kau minta aku akan menceritakannya. Kisah kita. Akan kulengkapi ceritamu tadi.
“Dulu…aku kabur dari kelas karena seorang temanku yang bernama Kim Nareul menyuruhku membeli makanan. Aku tertabrak oleh seorang anak laki-laki yang sedang bermain bola. Dia meminta maaf dan aku hanya mengangguk dan berlari pergi. Dia memanggilku tapi aku hanya mendiamkannya. Saat aku mulai memanjat gerbang sepasang tangan menggendongku dan menurunkanku di tanah. Dia mengulurkan tangannya dan mengantarku ke jalan yang aman untuk pergi ke kantin. Setelah sampai, aku sempat melupakannya. Saat aku berbalik dia sudah menghilang. Padahal aku sudah beli pocky untuknya. Tapi pocky itu direbut oleh Nareul.” Aku berhenti sesaat. Eunhyuk tercengang.
“Lalu.. aku dan dia jadi semakin dekat. Bahkan dia pernah meminjamkan sarung tangan sebelah kirinya padaku. Tapi aku yang bodoh ini selalu lupa mengembalikannya. Malah tersimpan di rumahku selama 13 tahun lamanya. Bodohnya aku sempat melupakan orang ini. Aku sempat amnesia. Dan aku melupakan namanya yang indah.” Aku sengaja membuat jeda. Eunhyuk menelan ludah tidak percaya. Hae memperhatikan kami dengan penasaran.
“Dokter bilang aku hanya melupakan hal yang indah. Lalu perlahan-lahan aku mulai mengingat semuanya. Kecuali satu nama. Nama anak laki-laki itu. Tapi sekarang aku sudah mengingatnya. Namanya Lee Hyukjae.” Aku tersenyum. Eunhyuk masih terdiam. Aku mengeluarkan sesuatu dari tasku, sebungkus pocky. Aku memberikannya pada Eunhyuk dan Eunhyuk menerimanya dengan heran.
“Akhirnya aku bisa memberikan pocky ini untukmu, wahai orang yang bernama indah. Dari dulu aku ingin sekali memberikan pocky ini. Akhirnya niatku tersampaikan. Terima kasih banyak, Lee Hyukjae, atau Eunhyuk, atau Hyukkie, atau sahabatku, atau cintaku.” Aku tersenyum haru. Sepertinya akan ada setetes air mata yang turun menuruni pipiku. Eunhyuk menatapku dengan ekspresi yang tak bisa digambarkan. Campuran antara kaget, senang, terharu, dan rindu.
“Oh ya, satu lagi. Ini sarung tanganmu.” Aku ingin melepaskan sarung tangan itu dari tangan kiriku tapi Eunhyuk menahannya. Dia menggenggam tanganku. Dia menatapku dengan tatapan dan senyuman lembutnya. Aku balas menatapnya.
“Aku bangga padamu, Sunghee. Kau bisa berkata sebanyak itu. Aku senang mendengar suaramu lagi. Aku senang menggenggam tanganmu lagi. Aku senang melihatmu lagi.” Eunhyuk tersenyum lembut. Senyuman yang sangat berbeda dari sebelumnya. Entah kenapa karena melihat senyumnya aku merasakan cintanya.
“Pakai saja sarung tangan itu. Itu untukmu. Kau yang kiri, aku yang kanan. Saling melengkapi, bukan?” Aku mengangguk. Aku melihat ke sekeliling. Lho? Kemana Hae?
“Sunghee..” lirih Eunhyuk. “Ya?” tanyaku.
“Bolehkah aku memelukmu?” tanya Eunhyuk. Wajahku memerah. Aku mengangguk. Eunhyuk pun menarikku ke dalam pelukannya.
“Aku mencintaimu, Sunghee ah. Cintaku sudah bertahan selama 13 tahun lebih lamanya. Apa kau merasakan hal yang sama?” tanya Eunhyuk, masih memelukku.
“Hm. aku juga merasakan hal yang sama. Meskipun aku melupakan namamu, tapi aku tidak pernah melupakan dirimu. Aku selalu mencintaimu. Selama 13 tahun aku selalu mencarimu dan mencoba mengingat namamu. Dan sekarang aku sudah ingat semuanya. Aku..senang sekali.” Aku merasakan air mata haru mulai mengalir. Eunhyuk melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku. Dia lalu terdiam sambil memegangi wajahku. Dia menatapku lembut.
“Tak kusangka kita bertemu lagi di tempat kita bertemu untuk pertama kalinya,” ucap Eunhyuk. Aku mengangguk setuju. Aku tersenyum. Eunhyuk melepaskan tangannya dari pipiku dan menarikku ke pelukannya lagi. *play: Suju- Endless Moment*
“Aku mencintaimu. Ayo kita buat kenangan yang tidak terlupakan lagi,” kata Eunhyuk. Aku tersenyum.
“Aku juga mencintaimu. Tentu saja. Untuk yang ini aku tidak akan melupakannya lagi.” Kami berdua tersenyum. Tiba-tiba Eunhyuk tersadar sesuatu. Dia mencari ke sekeliling. Dia lalu mendapatkan apa yang dia cari. Hae sedang berdiri di dekat tiang sambil memakan pocky.
“Hae…pocky-ku..” kata Eunhyuk pelan. Hae hanya menatap Eunhyuk dengan tatapan tak bersalah.
“Ini pocky-mu? Kukira untukku. Habisnya kau langsung memberikannya padaku. Ya sudah kumakan.” Dengan wajah polos, Hae kembali memasukkan pocky ke mulutnya.
“Apa..? Maksudku kan nitip.. Hae itu dari orang yang spesial!! Kembalikan!!!” Eunhyuk berseru dan berlari menuju tempat Hae berdiri. Hae yang mengetahui bahwa situasi sedang gawat, langsung berlari menghindar. Aku tertawa melihatnya.
“Eunhyuk ah!! Nanti aku beli lagi pocky yang banyak deh! Tenang saja!” Aku tersenyum. Eunhyuk berhenti mengejar Hae dan berjalan mendekatiku.
“Tapi maknanya udah beda.” Eunhyuk merajuk. Aku gemas melihatnya.
“Satu dus deh.” Aku mengacungkan jari telunjukku. Eunhyuk terlihat menimbang-nimbang dan akhirnya mengangguk semangat.
“Oke! Nah sekarang biarkan aku selesaikan masalahku dengan Hae ya..” Eunhyuk berkata dengan lembut dan mulai berlari mengejar Hae lagi. Aku tercengang sebentar.
“Tunggu Hyukkie!! Kan aku akan membelikan yang satu dus! Hei!!” Aku lalu berlari mengejarnya. Eunhyuk tertawa. Jadilah aku dan Eunhyuk yang kejar-kejaran. Seperti permainan tebak-tebakan di mobil jemputan waktu itu. Hahaha..
THE END
PS: ini 70% kisah nyata aku sendiri ^ ^
U-Kiss & Telor Rebus
Title : U-Kiss & Telor Rebus
Author : ditjao (a.k.a Dhita Febriana Sari a.k.a Yoo Na-yeon a.k.a. Kawamori Hana)
Cast :
Main Cast
Support Cast
Rating : General
Genre : yakin Random lah ini mah. Comedy tapi kusut, pabaliut, amburadul =.=v
Length : Ficlet mungkin
Disclaimer : Plot-nya milik saya. Cast-nya milik kita bersama~ Tapi khusus Kevin punya saya lho ya…
Dostları ilə paylaş: |